KUNUUZUN AL ALFAADZ AL ‘ARABIYYAH (PEMBENDAHARAAN KOSAKATA BAHASA ARAB)
BAB I
PENDAHULUAN
Bahasa (manusia) apapun di dunia ini,
termasuk bahasa Arab , pada mulanya merupakan bahasa lisan, bukan bahasa tulis.
Bahkan alquran yang kini terkodifikasi (terbukukan) dalam mushaf awalnya juga
merupakan kalam ilahi, dan baru disimbolisasikan dalam bentuk tulisan setelah
dipahami dan disampaikan oleh nabi Muhammad Saw kepada para sahabatnya. Bahasa
tulis (al-Lughah al-Maktubah) memang baru muncul kemudian setelah
manusia mengenal dan mampu merumuskan/melambangkan huruf-huruf (simbol-simbol
bunyi). Kamus sebagai manifestasi dari simbol-simbol bunyi yang terkodifikasi,
juga muncul
belakangan, bukan sejak bahasa itu ada. Kamus disusun antara lain,
untuk menfasilitasi para pengguna bahasa agar dapat memilih dan menggunakan
kata secara tepat. Kamus juga mewadahi “kekayaan bahasa” berupa kata-kata,
ungkapan-ungkapan dan istilah-istilah
yang digunakan penutur bahasa tertentu.[1]
Kosakata (mufradat) adalah himpunan kata atau
khazanah kata yang diketahui oleh seseorang atau kelompok, atau merupakan
bagian dari suatu bahasa tertentu. Kosakata seseorang didefinisikan sebagai
himpunan semua kata-kata yang dimengerti oleh orang tersebut dan kemungkinan
akan digunakannya untuk menyusun kalimat baru. Kekayaan kosakata seseorang
secara umum dianggap merupakan gambaran dari intelejensia atau tingkat
pendidikannya.[2]
Menurut Horn, kosakata adalah sekumpulan kata yang
membentuk sebuah bahasa. Peran kosakata dalam menguasai empat kemahiran
berbahasa sangat diperlukan sebagaimana yang dinyatakan Vallet adalah bahwa
kemampuan untuk memahami empat kemahiran berbahasa tersebut sangat bergantung
pada penguasaan kosakata seseorang. Meskipun demikian pembelajaran bahasa tidak
identik dengan hanya mempelajari kosakata. Dalam arti untuk memiliki kemahiran
berbahasa tidak cukup hanya dengan menghafal sekian banyak kosakata.[3]
Seperti halnya qawa’id, mufradat juga hanya merupakan
sarana atau media, bukan tujuan pembelajaran bahasa Arab itu sendiri. Karena
itu, kurang tepat anggapan sementara orang bahwa belajar bahasa asing itu tiada
lain adalah mempelajari kosakatanya. Tidak dipungkiri bahwa mufradat itu sangat
penting dalam pembelajaran bahasa asing termasuk Bahasa Arab, tetapi jika tidak
digunakan dalam struktur kalimat dan dikontektualisasikan, maka mufradat menjadi
tidak bermakna.[4]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mu’jam (kamus)
Kamus
((قاموس, dari segi bahasa.
Berarti laut atau lautan yang luas. Kamus sinonim dengan mu’jam yang dalam
bahasa Inggris disebut dengan dictionary dan dalam bahasa Jerman disebut dengan
Worterbuch. Kata “mu’jam” itu sendiri pada awalnya berarti menjelaskan sesuatu
(kata, istilah, ungkapan, frasa) yang masih kabur atau belum jelas dan asing.
Kata “mu’jam” itu sendiri mempunyai dua arti yang saling berlawanan, yaitu:
1. Tersembunyi dan samar (belum jelas)
2. Menjelaskan dan menerangkan (al-Rajihi, 2002:139). Oleh karena itu orang
asing dalam bahasa arab disebut ‘ajam (ya’qub, 1981: 13). Dengan demikian,
eksistensi kamus berfungsi sebagai penjelas, penafsir dan pemberi makna
terhadap kata, istilah, ungkapan atau frasa yang masih asing atau belum jelas.
Kamus merupakan karya kebahasaan yang
memuat sejumlah kosakata dalam suatu bahasa
disertai dengan penjelasan derivasinya dan penafsiran maknanya, disusun
menurut aturan tertentu dan dengan sistematika tertentu pula.kamu bahasa paling
tidak megandung sejumlah enrti, kosakata berikut derivasi dan
perubahan-perubahan, yang kemudian diikuti dengan arti, penjelasan makna,
sinonim, ataupun antonimnya, bahkan contoh pengejaannya dan penggunannya.
Singkatnya, kamus merupakan buku mengenai kosakata suatu bahasa berikut artinya
yang disusun dengan aturan dan urutan alfabetis tertentu.
Selain itu, secara akademik dan ilmiah,
tujuan penyusunan kamus adalah untuk mengabadikan , mengsistemasikan,
mengembangkan dan menfasilitasi para penggunanya dalam rangka bidang studi
tertentu. Karena itulah, berbagai kamus dalam bahasa bisa disusun oleh para
ahlinya. Meskipun satu kamus dengan yang lain berbeda tujuan penyusunannya,
dapat dipastikan bahwa tidak ada kamus yang disusun tanpa mempertimbangkan
kebutuhan masyarakat penggunanya terhadap eksistensi kamus itu. Kamus Mahmud
Yunus misalnya, Kamus ‘Arab-Indonesia, disusun antara lain untuk menfasilitasi
para pelajar bahasa Arab, terutama tingkat menengah. Kamus al-Munawwir atau
kamus “Krapyak” al-Asyri, disusun untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa dan
masyarakat luas yang meminati studi bahasa Arab di Indonesia, bahkan di
Malaysia dan Brunei Darussalam.[5]
B. Perkembangan Kosakata Bahasa Arab
Sebuah bahasa termasuk bahasa arab, pada
awalnya bermula dari bahasa lisan yang digunakan pemakainya untuk
berkomunikasi. Selain itu juga berfungsi sebagai alat berpikir atau media nalar
bagi pemakai bahasa itu sendiri. Perkembangan sebuah bahasa mengikuti
perkembangan pemikiran pengguna bahasa. Sedang manusia, ia tidak akan mampu
menghafal dan mengembang seluruh kata dari bahasanya sekalipun ia memiliki
tingkat kecerdasan yang tinggi. Oleh sebab itu, terkadang seseorang tidak mampu
mengingat sebuah kata atau kesulitan untuk menyebutkna kata yang sesuai dengan
yang ia inginkan.
Problem di atas menunjukkan urgensi kamus
sebagai bahan rujukan untuk mengembangkan makna, menghimpun kata, melestarikan
bahasa dan mewariskan peradaban yang bisa dikembangkan. Hal ini mendasari
manusia melirik pentingnya bahasa tulis untuk mengkodifikasi bahasa mereka.
Bahasa arab adalah bahasa yang kaya. Dalam
bahasa arab pembentukan satu kata saja bisa menunjuk ke beberapa makna.
Contohnya: kata عين yang memberi makna kepada penglihatan, mata air,
sebuah negeri, sebuah tempat, ketua kaum, pimpinan tentara, bermakna diri,
bayaran sekaligus secara tunai, sejenis mata uang, pengintip dan huruf ‘ain.
Bahkan terdapat perkata-perkataan yang digunakan lebih dari satu atau dua kata
menggambarkan kepada satu makna atau makna yang hampir sama. Istilah-istilah
yang merujuk pada makna unta, kuda, kurma, pedang, kambing, biri-biri, kibas
dan lain-lain diungkapkan dengan beberapa perkataan yang memberi makna hampir
sama.
Jadi,, pada awalnya, proses pemaknaan
kosakata dalam bahasa arab bermula dari metode pendengaran, yaitu pengambilan
riwayat oleh para ahli bahasa dengan cara mendengarkan langsung perkataan
orang-orang badui. Kemudian, metode pendengaran bergeser ke metode analogi
(qiyas), yaitu pemaknaan kata dengan menggunakan teori-teori tertentu yang
dibuat oleh para ahli bahasa. Salah satunya, metode qiyas ala Khalil yang
mengedepankan derivasi kata melalui teknik khusus yang dikenal taqlibul
kalimah.
Khalil[6]
berinteraksi dengan 28 huruf hijaiyah sebagai kumpulan dasar (majmu’ah
ashliyah) yang dari sana dihasilkan setiap percabangan yang terdiri dari dua
hingga lima unsur. Kata-kata dalam bahasa arab menurut metode Khalil adakalanya
terdiri dari dua huruf, tiga huruf, empat huruf, atau lima huruf. Disamping itu
ada huruf tambahan yang bisa dibuang dan mengembalikan kata mazid (yang
berimbuhan) kepada kata mujarrad.
Atas dasar itu, ia mulai menyusun huruf hijaiyah yang satu dengan yang lain
menjadi kata yang terdiri dua huruf,
tiga, empat atau lima huruf dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang
ada. Misalnya kata bada, daba, abada, adaba, bada’a, da’aba, dan
seterusnya dengan melakukan pengulangan. Tehnik ini disebut dengan taqlib
al-Kalimah.
Menurut sejarawan, kemungkinan penyusunan
huruf ini (mulai dari dua hingga lima huruf) mencapai 12.305.412 kata dan
gabungan huruf. Kemudian Khalil meneliti kata-kata atau gabungan huruf ini.
Jika didapati kata itu dalam kenyataan semisal dharaba maka itu
didokumentasikan dan dibubukan dalam kamus, sedangkan kalau dalam kenyataan
tidak digunakan simisal jasyasya, maka diabaikan. Hasil kodifikasi
Khalil berupa sebuah kamus al-‘Ain yang
merupakan kamus pertama dalam sejarah bahasa Arab.
Para khalifah umawi mendorong rakyatnya
yang berbakat meletakkan pondasi bahasa Arab. Mereka juga memberi hadiah
kepada siapa saja yang rancangannya bernilai. Buku-buku Al-Asma’I
tentang tumbuhan dan hewan bukanlah karya botani dan zoology. Tetapi risalah
linguistik yang
mengidentifikasi, menganalisis, mengklasifikasikan nama hewan dan tumbuhan
serta penggunannya. Karya-karya itu merupakan kosakata khusus, dimana kata
disusun berdasarkan maknanya dan bukan ejaannya. Disinilah dumulai peyusunan
kamus-kamus bahasa Arab dengan pendekatan makna atau kamus ma’ani. Orang arab
menciptakan beratus-ratus sehingga meletakkan dasar bagi para linguistik Arab. Disamping karya Al-Asma’I,
yang paling terkenal adalah fiqh Al-Lughah karya al-Tsa’labi dan Ibnu
Sidah dengan karyanya, Al-Mukhashshash.
Memasuki era Abbasiyah, kemunculan
kamus-kamus ma’ani mulai berkurang seiring perkembangan ilmu metodologi Islam,
seperti nahwu, fiqh, tafsir, ilmu hadist, dan sebagainya. Di era Abbasiyah,
penyusunan kamus-kamus bahasa Arab mulai menggunakan sistematika leksikografi
tertentu lebih mengedepankan makna, sehingga muncul kamus-kamus alfadz.[7]
C. Ruang Lingkup Kamus (kosakata)
Secara garis besar, ada dua model
sistematika penyusunan kamus-kamus bahasa Arab yang digunakan seorang
leksikologi yaitu:
1.
Sistem makna kamus (قاموس معاني)
Sistem makna (kamus ma’ani) adalah model
penyusunan kosakata (item) di dalam kamus yang digunakan seorang leksikologi
degan cara menata kata/entri kamus secara berurutan berdasarkan makna atau
kelompok kosakata yang maknanya sebidang (tematik). Dengan kata lain,
pengelompokan entri pada kamus-kamus ma’ani lebih mengedepankan aspek makna
yang terkait dengan topic/tema yang telah ditetapkan oleh leksikologi. Misalnya, kata kurikulum,
materi ajar, buku, siswa, kuliah, semua entri tersebut dimasukkan kedalam
tema/topic tarbiyah (pendidikan).. kata monitor, mouse, laptop, keybord,
dimasukkan ke tema computer (teknologi), dan sebagainya. Dengan sistematika
ini, maka kamus ma’ani lebih tepat disebut dengan kamus tematik.
Kamus-kamus tematik berbahasa Arab, antara
lain:
a. Kamus al-Gharib Al-Mushannaf karya Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam (150-244 H)
Ada 11 tema yang didalam kamus ini:
كتاب خلق الإنسان, كتاب النساء, كتاب اللباس, كتاب
الأطعمة, كتاب الأمراض, كتاب السلاح, كتاب الأواني, كتاب الشجر, والنبات, كتاب
الإبل, كتاب الغم, كتاب الوحش
b. Kamus Al-Mujannad (kurra’ Al-Naml (w. 310 H)
Ada enam tema, yaitu:
أعضاء جسم الإنسان, الحيوان, الطيور, السلاح, السماء,
الأرض
c. Kamus mabadi’ Al-Lughah Al-Iskafi
Empat tema:
الطبيعة, المادية, الحيوان, النبات والشجر
d. Kamus Al-Mukhashshash, Ibnu Sydah (w. 458 H)
5 tema:
الإنسان, لحيوان, السماء والمناخ, الأرض, الماديات
2.
Sistem lafal (قاموس الفاظ)
Sistem lafal adalah kamus yang kata-kata
(item) di dalamnya tersusun secara berurutan berdasarkan lafal (indeks) dari
kosakata yang terhimpun, bukan melihat pada makna kata. Sejak munculnya kamus bahasa arab pertama,
mu’jam al-‘Ain yang diperkenalkan Khalil bin Ahmad Al-farahidi, sistematika
penyusunan kamus-kamus alfadz terus berkembang seiring dengan kebutuhan para
pengguna kamus.
Dalam sejarah perkembangan leksikon bahasa
Arab, paling tidak terdapat 5 model
sistematika (nidzham tartib) yang pernah digunakan para leksikologi Arab dalam
menyusun kamu-kamus lafal, yaitu: Nidzam Al-Shauty (sistem fonetik), Nidzam Al-faba’I Al-Khas (sistem alfabateis
khusus), Nidzam Al-Qafiyah (sistem sajak), Nidzam Al-Faba’I Al-‘Aam (sistem
alfabetis umum) dan Nidzam Al-Nutqi (sistem artikulasi).
a. Sistem Ponetik (نظام الصوت)
Model ini diperkenalkan oleh khlil akhmad
al-farahidi. Sistem ini berdasarkan pada urutan huruf yang muncul dalam
makharijul khuruf.
Faktor yang melatar belakangi penyusunan kamus dengan
model ini adalah :
Ø Menghindari pengulangan kata pada kamus
Ø Mencakup semua kata
Ø Memudahkan pembaca dalam mencari makna kata.
Ø Tidak ingin meniru sistem urutan hijai.
Sedang asas-asas kamus alfadz sistem fonetik ini adalah :
a) Asas tartibul khuruf
Karena sistemnya fonetik maka berpedoman
pada makhorijul khuruf sejak huruf yang keluar dari tenggorokan hingga
yang keluar dari bibir, dan diahiri dengan huruf-huruf mad. Kamus fonetik karya
khalil ini dikenal dengan kamus al-‘ain Karen diawali dengan huruf ‘ain.
Berikut ini urutan huruf dalam kamus yang
menggunakan sistem fonetik :
ع – ح – ه – خ ق – ك – ج – ش – ض – ص – س –
ز – ط
|
د – ت – ظ – ث – ر – ل – ن – ف – ب – م – و
– ا – ي – أ
|
Setiap kata didalam kamus bersistem fonetik
, diletakan secara berkelompok dibagian huruf yang paling awal/bawah dalam urutan makharijul huruf. Contoh :
- Kata لعب
diletakan pada bagian huruf ‘ain karena huruf itu uratan pada makharijul huruf lebih awal dari selainnya.
- Kata رزق juga berada pada kumpulan
huruf ق dengan alasan yang sama yaitu
huruf ق lebih awal dari selainnya.
b) Asas taqsimul bina
Kata-kata yang telah tersusun berdasarkan
urutan makharij al-huruf, diklasifikasikan lagi berdasarkan struktur kata
(bina) yang dibedakan menjadi beberapa bab seperti berikut :
1. Bab tsunai shahih (2 huruf dan shahih).misalnya خ dan ق maka didalamnya meliputi
: خق , الخخق , خقة , الأخقوق .
2. Bab tsulatsi sahih (3 huruf sahih dan tidak ada huruf tambahan). Misalnya
bab ع – ه – ق maka didalamnya meliputi عهق , هقع
3. Tsulatsi mu’tal (3 huruf yang mengandung huruf ilat). Misalnya pada bab خ – ط – حرف علة maka didalamnya meliputi طيخ , خيط , وخط , خطو , خطأ , خطو , طخي .
4. Bab lafif (terdapat 2 huruf illat). Misalnya أقا , واق , وقي , قوق , قوي , أوق , قاء .
5. Bab rubai’ (4 huruf sahih). Misalnya bab huruf ج didalamnya
meliputi :
جلهق , جوسق , جبلق , منجق , جرمق , قنفج ,
جنبق .
6. Bab khumasi (5 huruf sahih). Misalnya bab ج meliputi سفرجل , جرنفش .
c) Asas taqlib al-kalimah
Setelah urutan makharij alhuruf, bina ,
kemudian dibolak-balik hingga menjadi beberapa kata yang berbeda yang bertujuan
mengulangi pengulangan kata pada bab yang lain. Contoh taqlib al-kalimah
adalah kata عبل , علب , بعل , بلع , لعب , لبع . semua kata
tersebut dimasukan dalam bab ع karena huruf
‘ain adalah huruf paling bawah dari huruf lainnya.
Dalam proses ini sesungguhnya
melelahkan dan tidak semua kata bisa ditaqlib oleh karena itu dalam
taqlib memiliki kata yang musta’mal dan muhmal (tidak dipakai). Misalnya pada
bab س , ت , ن hanya terdiri 2 kata
musta’mal yaitu ستن (lari) سنت, (menimpa). Sedang
yang 4 lainnya di anggap muhmal yaitu : نتـش , نشـت , تنـش , تشـن .
2) Taknik pencarian makna kata
a) Menentukan akar kata yang hendak dicari maknanya, seperti : إستففر←غفر
b) Menentukan huruf yang paling bawah dari ketiga huruf(con. غفر)menentukan struktur
kata, apakah termasuk kata tsunai (2 huruf), tsulatsi sohih, tsulatsi mu’tal,
lafif (ada 2 huruf ‘ilat), ruba;I, atau khumasi.
Jadi dalam kamus fonetik semisal mu’jmaul ‘ain
kata bias ditemukan pada bagian ghin, bab tsulatsi sahih minal ghin.
3) Kelebihan dan kekurangan sistem fonetik
ü
Kelebihan-kelebihan :
a) Dinilai bisa menjamin tingkat obyektifitas penyusun kamus dalam menata
kosakata yang ditemukan.
b) Sebagai alat Bantu untuk menafsirka al-qur’an.
c) Menjadi landasan bagi landasan bagi generasi setelah khalil dalam
penyusunan kamus-kamus bahasa arab.
ü
Kekurangan-kekurangan :
a) Adanya kesulitan bagi pemakai kamus dalam mencari letak kata-kata
b) Kesulitan dalam mencari akar kata dengan mentajdid (menghilangkan huruf
tambahan)
c) Adanya kata muhmal bisa menghilangkan kekayaan kosakata dalam bahasa
arab.
4) Kamus-kamus sistem fonetik
Berikut ini beberapa kamus bersistem
fonetik yaitu:
a) Kamus Al-bari’
Kamus ini disusun oleh Abu Ali Al-Qaly
(280-356 H). Ada dua asas yang digunakan Al-Qaly dalam kamusnya ini,yaitu:
1.
Taqsim al-kalimah yaitu bagian kamus
diklasifikasikan menurut sistematika makhorij al-huruf seperti
kamus Al-‘Ain.
2. Taqsim al-huruf yaitu klasifikasi bina’ atau struktur kata yang ada didalam
kamus Al- bari’ yang sedikit berbeda dengan kamus Al-‘Ain.
b) Kamus Tadzhib Al-Lughah
Kamus ini disusun oleh Abu Mansyur
Al-Azhari (282-370M). yang dianut dalam kamus Tadzhib Al-Lughah sama dengan
kamus Al-‘Ain,baik dalam hal urutan huruf,pembagian struktur kata dan teknik
pengembalikan kata.
c) Kamus Al-Muhith
Kamus ini disusun oleh Ash-Shahib bin Ubbad
(324-385 M). Kamus ini sama dengan kamus Al-‘Ain dalam hal sistematika urutan
huruf, struktur kata dan pengembalikan kata. Akan tetapi Kamus Al-Muhith lebih
memprioritaskan kata dengan memperbanyak jumlah dan meringkas makna kata.
d) Kamus Mukhtashar Al-‘Ain
Kamus ini disusun oleh Abu Bakar Al-Zubaidi
(w.379 M) penyusunan huruf dan teknik penyusunan kamus ini sana dengan kamus
al-ain, akan tetapi berbeda dalam hal taqsim al-bina dengan menambahkan
bab Tsunai Mudha’af Mu’tal.
e) Al-Muhkam
Kamus ini disusun oleh Ibnu Saidah (398-458
H). Sistematika dan metode pencarian kata dalam kamus ini sama dengan Al-‘Ain,
akan tetapi berbeda dalam dua hal yaitu:
1.
Dalam hal struktur kata ( bina’)
2. Menambah banyak kata melebihi jumlah kata dalam kamus Mukhtashar Al-‘Ain
yang menjadi panduan penyusunan kamus ini.
b. Sistem Alfabetis Khusus (نظام
الالفابع الخاص)
1) Latar Belakang
Sistem Alfabetis Khusus
Nidzam Al-faba’i Al-Khas adalah sistem penyusunan kamus alfadz yang diperkenalkan oleh Abu Bakar
bin Duraid (233-321 H). Yang dimaksud dengan sistem khas adalah sistem
penyusunan urutan kata-kata dalam kamus berdasarkan urutan huruf hijaiyah yang
telah disusun oleh Nasr bin Ashim.
Ada dua faktor yang melatar belakangi Ibnu Duraid menyusun sistem alfaba’i
khas yaitu:
a)
Kesulitan dalam mencari makna kata dalam kamus yang
menggunakanberhasisistem fonetik seperti kamus Al’Ain karya Khalil dan
kamus-kamus lain yang beredar saat itu.
b)
Susunan huruf hijaiyah (tartib alhija’i) yang berhasil
disusun oleh Nasr bin Ashim, telah populer dikalangan masyarakat.
2) Asas-asas Kamus
Alfadz Sistem Alfabetis Khusus
a) Asas Taqsim
al-Bina’
Ibnu Duraid, dalam kamusnya Al- jamharah yang
bersistem alfabetis, lebih mengedepankan aspek struktur kata (Bina’)daripada
aspek urutan huruf seperti kamus Al-‘Ain.
b) Asas Tartib
al-Huruf
Sistem alfabetis dalam kamus Al-Jamharah karya
Ibnu Duraid berikut ini:
كتاب الجيم باب الثائية المضاع
جح جخ جد جر جز جس جش جص جظ
باب الجيم والراء
جرس جرش جرد جرع جرف جرل جرم
Teknik urutan huruf hijaiyah yang diperkenalkan Ibnu
Duraid diatas, sedikit berbeda dengan Ibnu Faris (329-395 H). Jika Ibnu Duraid
tidak mengenalkan pengulangan urutan kata dan selalu diakhiri dengan huruf ya’
sebagai huruf terakhir, maka Ibnu Faris memilih mengembalikan urutan huruf
terakhir dan dari ya’ ke hamzah hingga huruf terakhir sebelum huruf dimaksud.
c)
Asas Taqlib al-kalimah
Asas pembalikan huruf dalam kata (taqlib al-kalimah)
dalam sistem alfabetis, baik menurut Ibnu Duraid maupun Ibnu Faris, sama dengan
teknik taqlib al-kalimah dalam kamus Al’Ain karya Khalil.
3) Teknik Pencarian
Makna Kata
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mencari
makna kata dikamus-kamus bersistem alfabetis khusus seperti kamus Jamharah
maupun Maqayis Al-Lughah, adalah sebagai berikut:
a)
Teknik Tajrid, yaitu huruf-huruf zaidah
(tambahan) harus dihilangkan lebih dulu untuk mengetahui akar kata (ushul
kalimah) dari kata yang kita cari.
b) Teknik Tahdid
al-bina’, yaitu mencari tahu struktur kata dari akar kata yang telah kita
temukan tersebut. “Apakah ia termasuk pada bab tsunami (2 huruf), tsulatsi (3
huruf), ruba’i (4 huruf), atau khumasi (5 huruf)” Lalu merujuk pada bab
tersebut.
c) Teknik Awwal
al-huruf, yaitu mencari tahu tentang huruf yang lebih dahulu disebutkan
dalam urutan huruf hijaiyah untuk mengetahui pecahan kata yang musta’mal
sebagai hasil dari proses taqlib al-kalimah.
4) Kelebihan dan
kekurangan kamus sistem alfabetis khusus.
Munculnya kamus-kamus tersebut langsung mendapat
respon positif dikalangan ahli bahasa maupun masyarakat arab. Mereka menilai sistem
alfabetis umum lebih mudah dari pada sistem yang dirilis Khalid bin Ahmad.
5) Kamus-kamus sistem
alfabetis khusus
a)
Kamus Al-Jamharah
Kamus ini disusun oleh Abu Bakar Muhammad bin Al-Hasan
bin Duraid dari Basrah.
b)
Kamus Maqayis Al-Lughah
Kamus bersistem alfabetis ini disusun oleh Ahmad bin
Faris bin Zakaria Al-Qazwiny Al-Razi (931-1004)
c. Sistem Sajak/Sastrawi(نظام القفية)
Diperkenalkan oleh Ismail bin Ahmad
Al-Jawhari (w. 1003 M). Dinamakan sistem al-qafiyah, sebab urutan dalam kamus
didasarkan pada urutan terakhir dari sebuah kata seperti sajak-sajak dalam
syair
d. Sistem Alfabetis Umum (نظام
الالفابع العام)
Sama dengan sistem alfabetis khusus,
perbedaanya sistem alfabetis umum dengan sistem alfabetis khusus terletak pada
aspek akar kata. Misalnya kata استغاثة setelah ditajrid menjadi غاث. Lalu kata غاث dirujuk pada bagian huruf غ .
e. Sistem Artikulasi (نظام النطق)
Diperkenalkan oleh Al-Kafuuri dengan
kamusnya Al-kulliyat dan Al-Jurjani (1340-1413) dengan kamusnya Al-Ta’rifat.
Sekalipun muncul-munculnya kamus-kamus
bersistem alfabetis umum dianggap paling mudah dari sistem sebelumnya, namun
kamus tersebut masih membutuhkan pemahaman tentang dasar-dasar ilmu tata
bahasa. Bagi siswa di tingkat pemula atau bahkan bagi kalangan non Arab,
pencarian kata dengan teknik tajrid-tardid untuk mencari asal kata sesuai wazan
morfologi, tetap saja dianggap sulit dan membutuhkan proses yang cukup lama.
Untuk mencari makna kata dalam kamus yang
bersistem alfabetis, terlebih dulu menghilangkan huruf zaidah, lalu
mengembalikan huruf yang telah diganti ke huruf asalnya atau mencari huruf yang dibuang. Sistem kamus artikulasi
adalah pencarian makna kata berdasarkan huruf pertama yang terucap dan kata
dicari lansung bisa diketahui dalam materi kamus, tanpa menuntut seseorang
mencari akar kata.
BAB III
KESIMPULAN
Secara garis besar model penyusunan kamus-kamus bahas
arab yang sdigunakan para leksokolog yaitu kamus ma’ani dan kamis lafdzi.
- Sistem Makna (Kamus Ma’ani)
Sistem ini adalah model penyusunan kosa kata
berdasarkan makna atau kelompok kosa kata yang maknanya sebidang (tematik).
Misalnya kata kurikulum, materi ajar, buku, siswa, kuliah, semua entri tersebut
dimasukan kedalam topic tarbiyah (pendidikan).
2. Sistem Lafadz
(Kamus Alfadz)
Sistem lafal kamus adalah kamus yang kata-kata
didalamnya tersusun secara berurutan berdasarkan urutan lafal (indeks) dari
kosakata yang terhimpun, bukan melihat pada makna kata.
DAFTAR PUSTAKA
Muhbib
Abdul Wahab, ,Drs, MA, Teknik dan model penyajian materi Bahasa Arab,
Depag RI, Jakarta, 2004.
Ibrahim, Anis. Dilaalah Al Alfadz, Darun Al
Ma’arif, Cet. 6, Mesir, 1986.
Muhbib, Abdul Wahab. Epistemologi dan
Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab.UIN, Jakarta Press, 2008.
Mustofa, Saiful, Strategi Pembelajaran Mufradat, UIN Malang,
2010
Taufiqurrochman. 2008.
Leksikologi Bahasa Arab. UIN, Malang Press
[1] Muhbib Abdul Wahab, Epistomologi & Metodologi Pembelajaran
Bahasa Arab, Jkt Press Hal:269
[2] http://bdkjakarta.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=870
[4] Abdul Wahab,Muhbib,Drs, MA, Teknik dan model penyajian materi
Bahasa Arab, Depag RI, Jakarta, 2004.
[5] Ibid., h:273
[6] Penulis kitab al-ain adalah kahlil
bin ahmad (718-786 M) yang lahir di Umam, tetapi besar, belajar dan
mengajar di Bashrah. Dia lahir dari kabilah Al-Azd dan dikenal dengan Al-Farahidi.
Kitab al-ain merupakan kitab kamus pertama yang sampai
kePada kita. Disamping itu, khalil menulis kitab Al-Arudh,
Asy-Syawahid, Al-Jumal, Al-Iqna, dan An-Naqth Wa
Asy-Syakal.
Diantara metode penulisan yang digunakan al-khalil
dalam kitab al-ain adalah sebagai berikut.
1.
Urutan entri-entri sesuai dengan makhraj
(tempat keluar) suara sebagai berikut.
و ي ا - ف ب م - ر ل ن - ظ
ذ ث - ط د ت - ص س ز- ج ش ض – ق ك – ع
ح هـ خ غ
Khalil menyusun urutan huruf tersebut berdasarkan
huruf mulai dari ujung tenggorokan sampai syafah (bibir)
Penyusunan jumlah kalimah (kata) mengikuti aturan
huruf-huruf asli, tanpa memperdulikan huruf-huruf tambahan atau huruf-huruf
yang dibalik/dioplos(taqlibat).
2.
Mengikuti susunan taqlibat (pembalikan
huruf ) yang digagas khalil sendiri. Ia memproses satu kalimah dan membaliknya
masih dalam satu tempat. Misalnya kita dapat menemukan kalimah
ب ع د- ب غ د – ب ع د – د ع ب -
د ب ع – ع د ب – ع ب د semuanya dalam satu entri
kalimah serta berada di bawah huruf ain (ع), karena huruf ain lebih
dahulu dari (ب) dan ( د) sesuai urutan makhraj huruf.
Untuk itu, khalil memulai kamusnya dengan entri kalimah عق kemudian عك, tetapi
ia tidak melanjutkan kepada kalimah – kalimah yang tersusun dari huruf ع dan ح atau dari
huruf ع danخ misalnya.
Kenapa khalil tidak memulai dengan أ) ( kemudian (هـ) padahal keduanya merupakan
bagian dari ujung huruf tenggorokan? Dapat disimak dari perkataanya sendiri: “
aku tidak memulai dengan hamzah, karena ia bertemu dengan نقص(kurang), حذف (membuang),
dan تغير (mengubah).
Tidak juga dengan alif, karena huruf alif tidak dapat ditempatkan di awal kalimah,
tidak dalam isim dan fi’il. Tidak dimulai dengan ha’ (هـ) karena ia merupakan suara yang
pelan dan tidak terang. Maka aku tempatkan pada alur kedua. Disana terdapat
huruf ع dan ح, maka
akau temukan ternyata huruf ain lebih terang dibandingkan dua huruf lain. Untuk
itu, aku mulai dengannya agar lebih bagus dalam susunan. Suatu pengetahuan
tidak berarti lebih dahulu atas pengetahuan lain. Karena semuanya butuh pada
pengertiannya. Maka apa saja yang aku mulai itu baik dan lebih utama
didahulukan. Karena akan lebih banyak digunakan secara bebas.
3.
Mendatangkan Syawahid (bukti kutipan)
dalam kebanyakan kalimah yang dijelaskan. Syawahid
tersebut dalam bentuk syair. Hadis dan Al-qur’an. Namun lebih sering
menggunakan syair dan al-qur’an
Banyak menetapkan sanad dan sebagian tokoh yang semasa
denganya,. Namun kebanyakan tokoh dari kalangan murid-muridnya sendiri, seperti
Al-Ushmu’i, Abi Ubaidah dan Sibawaih.
[7] Taufiqurrochman, Leksikolgi Bahasa Arab, UIN Malang Press
2008, hal:192
[8] http://sportales.com/martial-arts/kamus/
adakah perbedaan antara penyusuan khalil dan sibawaih???
ReplyDeleteterimak kasih