METODE PEMBELAJARAN KITAB TAFSIR JALALAIN DI PESANTREN ROJAUL HUDA PART 2
BAB II
ANALISIS TEORITIK METODE PEMBELAJARAN TAFSIR
DI PESANTREN
A. Pondok Pesantren
1. Pengertian Pondok Pesantren
Menurut Azyumardi Azra (1994:16) yang dikutip oleh Abdul
Mughits, (2008:119) “Pondok” secara terminologi berarti bangunan untuk
sementara rumah bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak yang berdinding
bilik dan beratap rumbia dan madrasah atau asrama (tempat mengaji atau belajar
agama Islam)”.
“Pondok” yang biasa dipakai dalam tradisi Pasundan dan
Jawa (Aceh : Rangkong meunasah; Sumatera Utara : Makro maktab;
Minangkabau : Surau;) untuk menyebutkan asrama tempat belajar agama
Islam, sebenarnya tidak sama sekali asli Nusantara, tetapi merupakan hasil
penyerapan dari bahasa Arab al-funduq yang berarti hotel; tempat penginapan. (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1990:695).
Sementara itu, Abdurrahman Wahid memaknai pesantren secara teknis, a place
where santri (student) live, sedangkan Abdurrahman Mas'oed menulis, the
wosd pesantren stems from
"santri" which means one who seeks Islamic knowledge". Kata
pesantren berasal dari "santri" yang berarti orang yang mencari
pengetahuan Islam, yang pada umumnya kata pesantren mengacu pada suatu tempat,
dimana santri menghabiskan kebanyakan dari waktunya untuk tinggal dan
memperoleh pengetahuan (Zamakhsyari Dhofier, 2011:44).
Pesantren yang merupakan
"bapak" dari pendidikan Islam di Indonesia didirikan karena adanya
tuntutan dan kebutuhan zaman. Hal ini bisa dilihat dari perjalan sejarah, bila
dirunut kembali sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban
dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus
mencetak kader-kader ulama atau da'i. (Hasbullah, 1999:138)
Pondok pesantren adalah lembaga
pendidikan dan pusat penyiaran Islam yang tertua di Indonesia yang lahir dan
berkembang seirama dengan masuknya Islam ke Indonesia. Menurut Arifin
(2000:240) pengertian definitif tentang apa yang kita sebut "pondok
pesantren" itu sulit untuk dirumuskan. Hal itu terbukti dengan berbeda dan
beragamnya definisi yang dirumuskan oleh para pakar. Lebih lanjut Arifin
mengemukakan bahwa "Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam
yang tumbuh dan diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus)
dengan santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau
madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership
seorang atau beberapa orang kiyai dengan ciri khas yang bersifat kharismatis
serta independen dalam segala hal".
Sementara itu menurut Marwan Raharjo
(1995:25) pondok pesantren disamping sebagai lembaga pendidikan juga merupakan
lembaga kemasyarakatan. Karena itu beliau merumuskan pondok pesantren sebagai
lembaga sosial yang memiliki hubungan fungsional dengan masyarakat dan hubungan
tata nilai dengan kultur masyarakat".
Dari kedua pendapat di atas, dapat di
simpulkan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang sangat berperan
secara fungsional dalam masyarakat sekitar.
Pesantren berkembang dalam
pranatanya yang khas selama berabad-abad sebagai lembaga pendidikan Islam yang
mandiri dan bebas dari pengaruh pendidikan Barat-Eropa. Isinya adalah
pendidikan rohaniyah keislaman yang menentukan falsafah hidup para santri serta
merupakan landasan spiritual, moral dan etika dalam berbagai bidang kehidupan.
Prinsip atau falsafah hidup yang dipegang oleh pesantren adalah :
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبَّا وَبِا
اْلاِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَّمَدٍ نَّبِيًّا وَّرَسُوْلاً وَبِالْقُرْأنِ
حُكْمًا وَّاِمَامًا وَبِالْمُؤْمِنِيْنَ اِخْوَانًا
Artinya:
"Saya ridho Allah menjadi Tuhanku, Islam menjadi agamaku, Muhammad
menjadi Nabi dan Rasulku, Al-Qur'an menjadi penentu hukum dan imamku, serta
saya ridho orang-orang beriman (mukmin) menjadi saudaraku"
(Hery
Noer Aly, 1999:228).
Dengan falsafah hidup pesantren di
atas, pesantren sebagai komunitas dan lembaga pendidikan yang besar jumlahnya
dan luas penyebarannya di berbagai pelosok tanah air telah banyak memberikan
kontribusi dalam perkembangan manusia Indonesia yang religius.
Sebagai suatu lembaga pendidikan,
pendidikan menurut Djamaludin (1999:99) pondok pesantren dari sudut
historis-kultural dapat dikatakan sebagai training center yang otomatis
menjadi cultural center Islam yang disahkan dan dilembagakan oleh
masyarakat Islam itu sendiri yang tentunya hal itu tidak bisa diabaikan begitu
saja oleh pemerintah. Dengan demikian jelaslah bahwa pondok pesantren merupakan
sebuah sistem pendidikan Islam tertua di Indonesia yang usianya sudah mencapai
ratusan tahun.
2. Tipologi Pondok Pesantren
Dilihat dari tipologi pembelajaran, pondok pesantren memiliki keunikan
tersendiri. Salah satu keunikan tersebut adalah independensinya yang kuat. Sama
halnya dengan madrasah tumbuh dan berkembang dari masyarakat. Kuatnya
independensi sebagaimana yang diungkapkan oleh Husni Rahim (2001:158) kuatnya
independensi pesantren, menyebabkan lembaga ini memiliki keluesan dan kebebasan
relatif yang tidak harus memihak dan mengikuti model baku yang diterapkan oleh
pemerintah dalam bidang pendidikan. Pesantren bebas mengembangkan model
pendidikannya tanpa harus mengikuti standarisasi dan kurikulum yang ketat.
Artinya pesantren memiliki kebebasan dan peluang untuk menentukan sistem
pendidikan yang akan diterapkan di pesantren. Sebagai akibat dari hal di atas
adalah model atau sistem pendidikan yang berjalan di pesantren sangat beragam
sesuai dengan kecenderungan dan misi yang dikembangkan oleh sang Kiyai sebagai
pemilik pesantren tersebut.
Berawal dari keanekaragaman di atas,
pondok pesantren pun banyak ragamnya, Husni Rahim (2001:158) menjelaskan
sedikitnya ada 6 sudut pandang yang bisa kita gunakan dalam mengklasifikasikan
pondok pesantren :
Pertama, Pesantren Tradisinal
(salaf) dan pesantren modern (kholaf). Disebut tradisional karena
sistem pengajarannya masih menggunakan sistem sorogan, wetonan dan bandongan,
tanpa kelas dan batas umur. Adapun pesantren modern adalah pesantren yang
sistem pendidikannya sistem kelas, kurikulum dan batas umur.
Kedua, pendidikan pesantren
dengan pendidikan formal, yaitu jalur sekolah (seperti SD/MI, SLTP/MTs, dll),
jalur luar sekolah (seperti Madrasah Diniyah Awaliyah, Wustho, Ulya, paket A
dan paket B) dan pra sekolah (RA dan TK).
Ketiga, pondok pesantren
dibedakan berdasarkan jumlah santrinya. Disebut pesantren besar apabila
santrinya diatas 5000 orang; pesantren menengah kalau santrinya antara
3000-5000 orang; pesantren sedang kalau sanrinya antara 1000-3000 orang, dan
pesantren kecil jika santrinya dibawah 1000 orang.
Keempat, pondok pesantren
yang berafiliasi dan tidak berafiliasi dengan organisasi massa Islam tertentu,
seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dll.
Kelima, pondok pesanren yang
menampung santri mukim dan santri kalong. Santri mukin yaitu santri yang
belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren. Sedangkan
santri kalong adalah santri yang bertempat tinggal di asrama pondok pesantren
tapi belajar di madrasah atau sekolah umum atau bisa juga santri yang ikut
belajar di pesantren tapi bertempat tinggal di rumah masing-masing.
Keenam, pondok pesantren
pedesaan dan perkotaan. Hal ini bisa didasarkan pada letak sebuah pondok
pesantren. Pesantren pedesaan kebanyakan berada di pedesaan yang jauh dari
pusat keramaian, dan santrinya umumnya berasal dari desa. Sedangkan pesantren
perkotaan biasanya terletak di pinggiran kota atau pusat, kebanyakan santrinya
berasal dari kota.
3. Unsur-Unsur Pondok Pesantren
a) Kyai
Peran penting kyai
dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren
berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren,
watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman
ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi
kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren
(Hasbullah, 1999:144).
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa. Dalam
bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu:
1.sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; Contohnya,
“kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton
Yogyakarta; 2. gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 3. gelar yang
diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau
menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para
santrinya (Dhofier, 2011:93).
b) Masjid
Sangkut paut
pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di
seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat
beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat
kehidupan rohani, sosial
dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari
yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap
sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam
praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran
kitab-kitab Islam klasik.” (Dhofier, 1985:49) Biasanya yang pertama-tama
didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah
masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai.
c) Santri
Santri merupakan
unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah
pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang
datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah
seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun
fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri
mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok
tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran
di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar
pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim
ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya
berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di
sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia
harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi
sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).
d) Pondok
Definisi singkat
istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai
bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142) Di Jawa, besarnya pondok
tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah
santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan
jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri,
asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.
Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri
dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga,
kantin, koperasi, lahan pertanian dan atau lahan pertenakan. Kadang-kadang
bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk
desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama
para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan
ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat
sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian
sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan
sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem
pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan
di Afghanistan (Dhofier, 1985:45).
e) Kitab-Kitab
Islam Klasik
Kitab-kitab Islam
klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai
macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan
pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena
warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.
Menurut Dhofier (1985:50) “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam
klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan
pesantren”. Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran
pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan
pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan
tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana,
kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu
pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah,
1999:144).
Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab
Islam klasik, termasuk: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh;
4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain
seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam
kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan
lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier,
1985:51).
B. Konsep
Pembelajaran di Pesantren
1. Pengertian Pembelajaran di Pesantren
Pembelajaran pada dasarnya ada proses belajar mengajar. Proses adalah kata
yang berasal dari bahasa Latin “processus” yang berarti: ”berjalan ke
depan” (Muhibbin Syah, 1995:113). Kata ini mempunyai konotasi urutan langkah
atau kemajuan yang mengarah pada suatu sasaran atau tujuan. Sedangkan definisi
lain yang dikutip oleh Muhibbin Syah (1995:114) menyatakan “Proses adalah suatu
perubahan yang menyangkut tingkah laku atau kejiwaan. Jadi, proses adalah
cara-cara atau langkah-langkah khusus yangdengannya beberaa perubahan
ditimbulkan, sehingga tercapainya hasil-hasil tertentu”.
Dengan demikian, kata proses jika
dihubungkan dengan kata belajar menjadi proses belajar. Sehingga proses belajar
diartikan sebagai tahapan perubahan prilaku kognitif, afektitif dan prikomotor
yang terjadi pada pribadi murid atau santri. Masalahnya sekarang apa yang
dimaksud “belajar”. Para ahli pendidikan bervariasi dalam mendefinisikan dan
menginterpretasikan perbuatan belajar. Perbedaan terminologis (istilah) yang
digunakan serta konotasi masing-masing istilah, juga perbedaan penekanan pada
aspek-aspek tertentu, yang berpendapat bahwa: belajar adalah perubahan seluruh
tingkah laku individu dan relatif menetap sebagai pengamalan dan interaksi
dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
Penjelasan di atas menunjukkan
sedikitnya ada dua aspek yang ditekankan. Pertama, penekaan pada aspek psikis,
yaitu pengamalan, dan kedua aspek fisik interaksi dengan lingkungan. Jadi,
menurut S. Nasution (1967:36) diambil kesimpulan bahwa perubahan-perubahan
sebagai hasil belajar bukan disebabkan oleh keadaan sementara, bukan pula oleh
pertumbuhan atau kematangan melainkan pertumbuhan tersebut disebabkan oleh
latihan dan pengalaman.
Ngalim Purwanto (1990:84) mengatakan
bahwa belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri
sebagai suatu pola baru dari pada reaksi yang berupa kecakapan, sikap,
kebiasaan, kepandaian, atau suatu perintah.
Menurut Dirjen Bimbaga Islam, (1997
: 80) proses belajar adalah bukanlah semata-mata lahirnya prilaku yang
disebabkan oleh adanya rangsangan yang diperkuat atau diperlemah oleh
penguatan, akan tetapi merupakan proses akhir dimana seseorang menyimpulkan
prinsip-prinsip dan hukum dan kemudian mengetesnya.
Dari beberapa definisi di atas,
jelaslah ada keterkaitan antara proses guru atau kiyai memberikan pengajaran
dengan proses murid atau santri dalam menerima pelajaran. Sehingga timbul tiga
istilah yang menjadi satu yaitu “proses belajar mengajar”.
Proses pembelajaran di pesantren
pada dasarnya hampir sama dengan proses pembelajaran di lembaga pendidikan
formal. Namun ada beberapa hal yang membedakan dan menjadikan pesantren lebih
unik dan memiliki ciri khas tersendiri. Sebagaimana Zamakhsyari Dhofier (2011:53)
mencoba melukiskan bagaimana proses pembelajaran di pesantren sebagai berikut :
“Pengajian dasar di rumah, langgar dan masjid diberikan
secara individual. Seorang murid mendatangi seorang guru yang membacakan
beberapa baris al-Qur’an atau kitab-kitab bahasa Arab dan menerjemahkannya ke
dalam bahasa daerah masing-masing di seluruh wilayah Indonesia. Pada
gilirannya, murid mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata persis seperti
yang dilakukan oleh gurunya. Sistem penerjemahan dibuat sedemikian rupa
sehingga para murid diharapkan mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam
suatu kalimat bahasa Arab. Dengan demikian, para murid dapat belajar tata
bahasa Arab langsung dari kitab-kitab tersebut”.
Dengan demikian, proses
pembelajaran di pesantren biasa disebut dengan “ngaji”. Nurcholish Madjid (tt:23)
menjelaskan bahwa “ngaji adalah memang merupkan kegiatan belajar yang dianggap
suci atau aji oleh seorang santri yang menyerahkan dan menitipkan hidupnya
kepada seorang kiyai yang selain sangat dihormati juga biasanya sudah setia dan
sudah menunaikan haji karena kemampuan ekonominya”.
Dalam pengajian, biasanya
kiyai duduk di tempat yang sedikit lebih tinggi dari pada santri. Kiyai
tersebut duduk di atas kursi yang dilandasi bantal dan pada santri duduk
mengelilinginya. Dari sini terlihat bahwa para santri diharapkan bersikap
hormat dan sopan ketika mendengarkan uraian-uraian yang disampaikan kiyainya.
Para santri mengikuti
dengan cermat terjemahan kiyai itu dan mereka mencatatnya pada kitabnya, yaitu
di bawah kata-kata yang diterjemahkan. Kegiatan mencatat terjemahan ini
dinamakan maknani (memberi arti) juga disebut ngasahi (mengesahkan, maksudnya
mengesahkan pengertian, sekaligus pembacaan kalimat Arab yang bersangkutan
menurut gramatikanya). Kadang-kadang juga disebut njenggoti (memberi janggut),
sebab catatan mereka itu menggantung seperti janggut pada kata-kata yang
diterjemahkannya. (Nurcholish Madjid, tt:24).
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembelajaran
di Pesantren
Di dalam setiap kegiatan proses
belajar mengajar ada beberapa faktor yang mempengaruhi, diantaranya menurut
Muhibbin Syah (1995:247) yaitu :
1. Karakteristik
murid
2. karakteristik
guru
3. Interaksi
dan metode
4. Karakteristik
kelompok
5. Fasilitas
fisik
6. Mata
pelajaran
7. Lingkungan
alam sekitar
Jadi, dapat disimpulkan dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut di
atas, proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik diantaranya ada
keterpaduan antara ranah karsa guru, serta ranah karsa murid.
Lain lagi menurut Nana Sudjana
(1989:33), dalam proses belajar mengajar, faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan dalam menentukan komunikasi yang efektif yaitu :
1. Tujuan
yang ingin dicapai.
2. Sifat
bahan pelajaran
3. Sumber
belajar yang tersedia.
4. Karakteristik
kelas.
5. Kemampuan
guru.
Dengan demikian, guru atau kiyai memiliki peran penting dalam menentukan
kualitas dan kuantitas pengajaran. Dengan memperlihatkan faktor-faktor yang
dikemukakan para ahli di atas, seorang guru yang bijak akan berusaha semaksimal
mungkin menciptakan proses pengajaran yang efektif dengan memperhatikan pula
keselarasan dengan lingkungan. Karena pengajaran juga sifatnya adalah
situasional.
Selain itu salah satu
faktor yang dominan dalam proses pembelajaran di pesantren adalah adanya
kharismatik dari seorang guru atau kiyai. Dengan kharisma yang melekat pada
figur seperti itu, menyebabkan timbulnya keyakinan yang begitu besar pada diri
jama’ah atau santri akan kemapuan intelektual yang dimiliki oleh pengasuh,
khususnya penguasaan materi kitab tafsir. Dengan demikian, kemampuan seorang
guru atau kiyai dalam mengolah kata (retorika) juga sangat mempengaruhi
terlaksananya proses pembelajaran dengan baik.
Faktor pendukung yang
lebih bersifat teknis adalah penataan forum pengajian yang sudah cukup baik dan
penggunaan pengeras suara selama dalam proses pembelajaran berlangsung. Dengan
penataan forum pengajian yang menyerupai huruf U, memungkinkan semua jama’ah
atau santri dalam melihat pengasuh atau guru atau kiyai, sehingga kalau seorang
guru atau kiyai sedang menggunakan metode apapun, semua jamaah atau santri
dapat menyimak dengan jelas dan tanpa kendala apapun. (Nurcholish Madjid, tt:25)
3. Tujuan Pembelajaran di Pesantren
Setiap kegiatan belajar mengajar
apapun materinya, memiliki sasaran atau target yang lazimnya disebut tujuan.
Dalam pendidikan dan pengajaran, tujuan dapat diartikan sebagai suatu usaha
untuk memberikan rumusan hasil dan diharapkan dari murid/subjek belajar,
setelah menyelesaikan atau memperoleh pengamalan belajar.
Tujuan pembelajaran di pesantren,
sebagaimana menurut Nurcholish Madjid (tt:19) adalah “membentuk manusia yang
memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang bersifat
menyeluruh. Selain itu produk pesantren ini diharapkan memiliki kemampuan
tinggi untuk mengadapan responsi terhadap tantangan-tantangan dan
tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada”.
Sementara itu Zakiah Daradjat, (1983
: 72) mengemukakan bahwa “tujuan pendidikan agama Islam ialah kepribadian
muslim, yaitu suatu keperibadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran
Islam. Orang yang berkeperibadian muslim dalam al-Qur’an disebut muttaqin.
Adapun prinsip dan ciri tujuan
pengajaran agama Islam di Pondok pesantren khususnya adalah mengamalkan rumusan
dari tujuan-tujuan syari’at atau biasa disebut maqasihid as syar’iyah,
yaitu sebagai berikut :
1) Memelihara
kebutuhan pokok hidup yang dharuri (vital), yaitu suatu yang mesti ada dalam
kehidupan yang normal; dengan arti bahwa bila semua atau salah satunya saja
tidak ada atau rusak, akan rusaklah kehidupan. Sesuatu yang harus ada itu adalah: agama,
jiwa dan raga, keturunan, harta, akal dan kehormatan.
2) Menyempurnakan
dan melengkapi kebutuhan hidup, sehingga yang diperlukan mudh didapat,
kesulitan dapat diatasi dan dihilangkan. Istilah yang digunakan dalam
penyempurnaan ini disebut haji (haji, hajat = dibutuhkan)
3) Mewujudkan
keindahan, kesempurnaan dalam suatu kebutuhan. Untuk ini digunakan istilah
tahsini (tahsini = membuat lebih baik, lebih indah) (Zakiyah Daradjat, 1983:72).
Demikianlah prinsip pokok ajaran
Islam yang juga menjadi prinsip tujuan pendidikan dan pengajaran Islam
khususnya di Pondok Pesantren. Ini berarti bahwa dalam tujuan pengajaran Agama
Islam harus berisi pemeliharaan yang dharuri (vital), mewujudkan yang haji
maupun yang tahsini. Tujuan harus berisi sesuatu yang menumbuhkan, menyuburkan
dan mengembangkan keyakinan beragama, mengamalkan ajarannya, memelihara rohani
dan jasmani, membina dan menjaga kesejahteraan jiwa dan raga menurut
norma-norma yang digariskan oleh ajaran Islam. Dalam tujuan yang hendaknya ada
yang bersifat pembinaan dan penjagaan kemurnian keturunan; ada yang bersifat petunjuk
mendapatkanharta dan penggunaannya; ada pula yang bersifat menjaga dan
menyalurkan pertumbuhan akal dan perkembangannya, dan ada juga yang bersifat
menempatkan dan menjaga harga diri dan kehormatan.
C. Metode
Pembelajaran di Pesantren
1. Pengertian metode Pembelajaran
Sebelum
penulis mengemukakan pengertian tentang metode pembelajaran, terlebih dahulu
akan mengemukakan pengertian metode dan pembelajaran. Metode berasal dari dua perkataan, yaitu meta dan hodos.
Meta berarti melalui dan hodos berarti jalan atau cara
(Abudin Nata, 1997:97). Sedangkan menurut Muhibbin Syah (1995:202) mengemukakan
bahwa metode secara harfiah berarti "cara". Dengan demikian metode
adalah cara atau jalan untuk mencapau sesuatu.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia metode adalah "cara yang
telah teratur dan berfikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud (dalam ilmu
pengetahuan dan sebagainya)". (Jhon Echols dan Hasan Shadily, 1992:105).
Sedangkan Suryosubroto, yang dikutip oleh Zakiyah Daradjat (1995:1) bahwa
"metode adalah cara yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai
tujuan".
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
metode adalah suatu cara yang sistematis dalam menyampaikan pengetahuan dan
funagsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan.
Sedangkan Penggunaan istilah pembelajaran dalam konteks pendidikan di
Indonesia tergolong baru, setelah istilah pengajaran atau belajar mengajar
dipandang kurang tepat karena memberi kesan teacher
centered. Pembelajaran merupakan terjemah dari bahasa Inggris “instruction”, maknanya lebih luas dari
mengajar, bahkan mengajar masuk dalam aktivitas pembelajaran. Pembelajaran atau
instruction berpusat kepada tujuan
yang hendak dicapai berdasarkan perencanaan. Dalam hal ini Arief S. Sadiman
menyatakan sebagai berikut.
Kata pembelajaran sengaja dipakai sebagai padanan kata
dari bahasa Inggris intruction. Kata Instruction mempunyai pengertian yang
lebih luas daripada pengajaran. Jika kata pengajaran ada dalam konteks
guru-murid di kelas (ruang) formal, pembelajaran atau instruction mencakup pula kegiatan belajar mengajar yang tak
dihadiri guru secara fisik. Oleh karena dalam instruction yang ditekankan adalah proses belajar maka usaha-usaha
yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses
belajar dalam diri siswa kita sebut pembelajaran. (Arief S. Sadiman, dkk.,
1993: 7)
Perubahan ini tidak sekedar perubahan istilah semata, tetapi mengandung
perubahan lain secara lebih operasional, dimana istilah pembelajaran memberi
makna dan tuntutan adanya keseimbangan aktivitas maupun partisipasi pendidik
dengan peserta didik. Tidak didominasi oleh pendidik, tidak pula lebih menitik
beratkan pada partisipasi peserta didik (student
centered), dalam prosesnya terdapat keseimbangan aktivitas serta
partisipasi, juga keseimbangan dalam pengembangan aspek kognitif, afektif dan
psikomotor.
Namun demikian, ada beberapa pandangan para ahli pendidikan yang
menyatakan bahwa istilah pembelajaran lebih menitik beratkan kepada aktivitas
dan partisipasi peserta didik. Aminuddin Rasyad (2003:14) menyatakan bahwa
“pembelajaran adalah proses yang terjadi yang membuat seseorang atau sejumlah
orang, yaitu peserta didik melakukan proses belajar sesuai dengan rencana
pengajaran yang telah diprogramkan”.
Dengan demikian, dari beberapa pendapat para ahli tentang metode dan
pembelajaran di atas, dapat kita simpulan bahwa metode pembelajaran adalah cara
yang digunakan dalam proses belajar mengajar untuk menyampaikan materi
pembelajaran dari seorang guru kepada siswa dalam rangka pencapaian tujuan yang
diharapkan. Dalam definisi tersebut terkandung makna bahwa dalam penerapannya ada
kegiatan memilih, menetapkan, menggunakan dan mengembangkan metode yang optimal
untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Sementara itu Nana Sudjana (2005:76) mengemukakan bahwa
metode pembelajaran adalah, “Cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan
hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran”. Sedangkan M. Sobri
Sutikno (2009:88) menyatakan, “Metode pembelajaran adalah cara-cara menyajikan
materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses pembelajaran
pada diri siswa dalam upaya untuk mencapai tujuan”.
Sebagai lembaga pendidikan, pondok
peantren walaupun dikategorikan sebagai lembaga pendidikan tradisional
mempunyai metode pembelajaran tersendiri dan ini menjadi ciri khas sistem
pengajaran atau metodik-didaktik yang lain dari sistem-sistem pengajaran yang
dilakukan di lembaga formal. Pengembangan KBM di pondok pesantren dalam bidang
pendidikan pada dasarnya terdiri atas dua poros, yaitu pengembangan ke dalam
(internal) dan keluar (eksternal). Pengembangan internal terpusat pada
upaya-upaya menjadikan kegiatan belajar mengajar lebih efektif terutama dengan
mengembangkan metode-metode pembelajaran.
2. Jenis-Jenis Metode Pembelajaran
Adapun beberapa pembelajaran yang dilakukan di pesantren-pesantren
diantaranya :
a. Metode Sorogan
1) Pengertian
Metode Sorogan
Sorogan
berasal dari bahasa Jawa yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan
kitabnya di hadapan kiyai atau pembantunya. Sistem sorogan ini termasuk sistem
pembelajaran secara individul, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang
guru. Dalam pelaksanaannya santri menyimak dan mengesahkan, dengan memberi
catatan pada kitabnya untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh
kiyai.
Metode sorogan ini dalam dunia
modern dapat dipersamakan dengan istilah tutorship atau mebthorship.
Methodik pengajaran seperti ini diakui paling intensif, karena dilakukan demi
seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab secara langsung.
Inti dari metode sorogan adalah
proses berlangsungnya pembelajaran secara face to face antara guru atau
kiyai dan murid atau santri. (http://mahesakujenar.blogspot.com/2011/12/metode-pembelajaran-kitab-kuning-klasik.html)
Metode ini sudah dipakai sejak zaman
Rasulullah SAW dan para sahabat. Setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu yang
berupa ayat-ayat Al-Qur'an, beliau membacanya di depan para sahabat, kemudian
para sahabat menghafalkan ayat-ayat tersebut sampai hafal di luar kepala.
Metode yang digunakan Nabi mengajar para sahabat tersebut, dikenal dengan
metode belajar kuttab. Disamping menyuruh menghafalkan, Nabi juga
menyuruh kuttab (penulis wahyu) untuk menuliskan ayat-ayat yang baru
diterimanya itu. (Amanah, 1991:104).
Metode Sorogan didasari atas
peristiwa yang terjadi ketika Rasulullah SAW ataupun Nabi-nabi yang lainnya
menerima wahyu dari Allah SWT. Melalui malaikat Jibril mereka langsung bertemu
satu persatu, yaitu antara Malaikat Jibril dengan para Nabi tersebut. Sehingga
pantaslah Rasulullah SAW bersabda :
اَدَّبَنِيْ رَبَيْ فَاَحْسَنَ
تَأْدِيْبِيْ
Artinya: "Tuhanku telah mendidikku (akhlak budi
pekerti), maka menjadi baguslah akhlak dan budi pekertiku". (Amanah,
1991 : 104).
Berdasarkan Hadits di atas bahwa Rasulullah SAW, secara langsung telah
mendapat bimbingan dari Allah SWT dan kemudian praktek pendidikan seperti ini
dilakukan oleh beliau bersama para sahabatnya dalam menyampaikan wahyu kepada
mereka.
2) Kelebihan
dan Kekurangan Metode Sorogan
Sebagaimana metode-metode lainnya, metode
sorogan juga memiliki kelebihan-kelebihan. Adapun kelebihan metode sorogan
diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Terjadi
hubungan yang erat dan harmonis antara guru/kiyai dan murid/santri.
b) Memungkinkan
bagi seorang guru/kiyai untuk mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal
kemampuan seorang murid.
c) Murid
mendapatkan penjelasan yang pasti tanpa harus mereka-reka tentang interpretasi
suatu kitab karena berhadapan dengan guru secara langsung yang memungkinkan
terjadinya tanya jawab.
d) Guru
dapat mengetahui secara pasti kualitas yang telah dicapai muridnya.
e) Santri
yang IQ nya tinggi akan cepat menyelesaikan pelajaran (kitab) sedang yang IQ
nya rendah membutuhkan waktu yang cukup lama.
Selain kelebihan, kelemahan metode
sorogan diantaranya :
a) Tidak
efisein karena hanya berhadapan dengan beberapa murid, sehingga kalo menghadapi
murid yang lumayan banyak, metode ini dirasa kurang tepat.
b) Membuat
murid atau santri cepat bosan, karena ini menuntut kesabaran, ketaatan, dan
disiplin pribadi.
c) Murid
kadang hanya menangkap verbalisme semata terutama bagi mereka yang tidak
mengerti terjemah dari bahasa tertentu.
b. Metode Bandongan
1). Pengertian Metode Bandongan atau Wetonan
Metode bandongan ini didasarkan kepada pristiwa yang dialami Nabi Saw
ketika menerima wahyu melalui Malaikat Jibril, mereka langsung bertemu satu
persatu, yaitu antara Malaikat Jibril dan Nabi Saw Dan ketika Nabi Saw setelah menerima wahyu
kemudian menyampaikan kepada para sahabatnya serta membimbing bacaannnya,
kemudian di antara para sahabat juga ada yang mencatat bacaan-bacaan yang
disampaikan Nabi.
Metode bandongan ini merupakan metode pembelajaran dalam Pendidikan Islam
dimana siswa/santri tidak menghadap guru/kiyai satu demi satu, tetapi semua
peserta didik menghadap guru dengan membawa buku atau kitab masing-masing.
Kemudian guru membacakan, menterjemahkan, menerangkan kalimat demi kalimat dari
kitab yang dipelajari, sementara santri secara cermat mengikuti penjelasan yang
diberikan oleh kyai dengan memberikan catatan-catatan tertentu. Cara belajar
seperti ini paling banyak dilakukan di pesantren-pesantren tradisional.
Metode bandongan disebut juga metode kuliah, dimana para santri mengikuti
pelajaran dengan duduk di sekeliling kiyai yang menerangkan pelajaran secara
kuliah. Santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya.
Istilah bandongan ini diberikan pada waktu (Jawa) yang berarti waktu sebab
pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelumnya dan
atau sesudah melakukan shalat fardhu. Di Jawa Barat metode ini disebut dengan
bandongan.
2). Kekurangan dan Kelebihan Metode Bandongan
Sebagaimana metode-metode lainnya, metode bandongan juga
memiliki kelebihan-kelebihan. Adapun kelebihan metode bandongan diantaranya
adalah sebagai berikut :
a) Lebih
cepat dan praktis untuk mengajar santri yang jumlahnya banyak.
b) Lebih
efektif bagi murid yang telah mengikuti sistem sorogan secara intensif.
c) Materi
yang diajarkan sering di ulang-ulang sehingga memudahkan anak untuk
memahaminya.
Selain kelebihan, kelemahan metode bandongan diantaranya :
a) Metode
ini dianggap lamban dan tradisional, karena dalam meeneyampaikan materi sering
berulang-ulang.
b) Guru
lebih kreatif daripada siswa karena proses belajarnya berlangsung satu jalur.
c) Dialog
anatara guru dan murid tidak banyak terjadi sehingga murid cepat bosan.
d) Kurang
efektif bagi murid yang pintar karena materi yang disampaikan sering
diulang-ulang sehingga terhalang kemajuannya.
c. Metode Mudzakarah
1. Pengertian Metode Mudzakarah
Secara umum, mudzakarah berarti suatu pertemuan ilmiah yang secara khusus
membahas masalah diniyah seperti ibadah (ritual) dan Aqidah (teologi)
sertamasalah agama pada umumnya. Metode mudzakarah ialah suatu cara yang
dipergunakandalam menyampaikan bahan pelajaran dengan jalan mengadakan suatu
pertemuan ilmiah yang secara khusus membahas persoalan-persoalan yang bersifat
keagamaan. Metode ini biasanya digunakan untuk memecahkan
masalah-masalahkemasyarakatan yang berhubungan dengan konteks masa sekarang
ditinjau dari analisa kitab-kiatab islam klasik. Tujuan penggunaan metode mudzakarah adalah untuk melatih
santri agar lebih terlatih dalam memecahkan masalah dengan menggunakan
kitab-kitab klasik yang yang ada.
2). Kekurangan dan Kelebihan Metode Mudzakarah
Sebagaimana metode-metode lainnya, metode mudzakarah juga memiliki
kelebihan-kelebihan. Adapun kelebihan metode mudzakarah diantaranya adalah
sebagai berikut :
a) Santri
lebih terdorong untuk mempelajari kitab-kitab islam klasik secara lebih
mendalam.
b) Santri
lebih terlatih dalam memecahkan masalah-masalah dengan menggunakan kitab-kitab
yang tersedia.
c) Kemampuan
santri dapat di ukur dan dinilai oleh seorang kiyai.
d) Pemahaman
santri terhadap kitab-kitab islam klasik dapat dievaluasi.
e) Kyai
dapat mengetahui santri-santrinya yang dianggap kompeten sehingga santri
tersebut dapat di angkat menjadi pengajar kitab-kitab islam klasik.
Selain kelebihan, kelemahan metode mudzakarah diantaranya :
a) Pelaksanaan
metode ini waktunya tidak tetap,disamping memang ada waktu-waktu tertentu yang
telah ditetapkan.
b) Bahan-bahan
yang dijadikan acuan sangat terbatas pada kitab-kitab islam klasik.
c) Sempitnya
ruang lingkup yang dibahas ,hanya terbatas pada masalah-masalah keagamaan
keagamaan saja.
d) Adanya
kecemburuan diantara santri-santri sebab hanya santri yang berkompeten saja
yang diberikan keempatan untuk menjadi juru bicara. (http://indonesia-admin.blogspot.com/2010/02/metode-pembelajaran-dalam-pendidikan.html).
d. Metode Ceramah
1) Pengertian
Metode Ceramah
Menurut Muhibbin
Syah (1995:204) metode ceramah adalah sebuah cara melaksanakan pengajaran yang
dilakukan guru secrara monolog dengan hubungan satu arah.
Zuhairini dkk (1993:83) mengartikan
metode ceramah "sebagai suatu metode di dalam pendidikan dimana cara
penyampaian pengartian. Pengartian materi kepada anak didik dengan jalan
penerangan dan penuturan secara lisan".
Sementara
Winarno Surahmad (1990:89) menyatakan bahwa metode ceramah adalah sebuah bentuk
interaksi melalui penerpaan dan penuturan secara lisan oleh seseorang terhadap
pendengar.
Kemudian Sudirman N., dkk (1991:1)
mengemukakan tentang pengertian metide ceramah yaitu cara penyampaian pelajaran
yang dilakukan guru dengan penuturan atau penjelasan lisan secara langsung
kepada siswa.
Dari pengertian di atas, dapat
disimpulkan bahwa metode ceramah adalah cara memberikan bahan pelajaran dalam
proses belajar mengajar oleh seorang guru kepada siswa secara lisan.
2). Kelebihan dan Kekurangan Metode Ceramah
Penggunaan metode ceramah sangat
menunjang proses interaksi belajar di kelas. Adapun kelebihan yang diperoleh
dari metode ceramah adalah sebagai berikut :
a) Metode
ini murah dan mudah dilakukan, guru hanya bermodalkan dengan suara yang ada.
b) Materi
yang banyak dapat dirangkum atau dijelaskan pokok-pokoknya oleh guru dalam
waktu singkat sedang materi yang sedikit dapat disampaikan guru dalam waktu
agak panjang dengan berbagai contoh.
c) Guru
dapat menjelaskan dengan menonjolkan bagian-bagian materi yang penting.
d) Melalui
metode ini guru mudah menguasai kelas.
e) Organisasi
kelas dapat diatur menjadi lebih sederhana (Sardiman N., dkk, 1991:11).
Sementara menurut Zuhairini dkk
(1991 : 84) bahwa kelebihan metode ceramah adalah sebagai berikut :
a) Dalam waktu
relatif singkat dapat disampaikan bahan pelajaran sebanyak-banyaknya.
b) Organisasi
kelas lebih sederhana, tidak perlu mengadakan pengelompokkan murid.
c) Guru
dapat dengan mudah menguasai kelas, walaupun jumlah murid cukup banyak.
d) Apabila
penceramah berhasil, dapat menimbulkan semangat, kreatif yang konstruksi
merangsang murid-mueid untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan.
e) Metode
ini lebih fleksibel dalam arti bahwa jika suatu waktu terbatas bahan dapat
dipersingkat diambil yang penting-pentingnya saja, dan sebaliknya apabila
waktunya memungkinkan (banyak) dapat disampaikan lebih komprehenshif.
Adapun Kekurangan Metode Ceramah adalah sebagai berikut :
a) Terlalu
sering menggunakan metode ini dpaat membuat kebiasaanyang kurang baik, yaitu
siswa selalu ingin diceramahi.
b) Informasi
yang diceramahkan mudah usang/ketinggalan sehubungan dengan abad kemajuan zaman
yang sangat pesat.
c) Apakah
yang diceramahlan gutu adalah apa yang diingiat guru atau mungkin guru tidak
mungkin dijelaskan. Sardiman N., dkk (1991:114).
Secara sederhana, Zakiyah Darajat,
sebagaimana yang dikutip oleh Muhibbin Syah (1995:2005) menyatakan bahwa
kelemahan dari metode ceramah tersebut adalah :
a) Membuat
siswa pasif
b) Mengandung
unsur paksaan kepada siswa
c) Menghambat
daya kritis siswa
Dari beberapa pendapat di atas maka
dapat diambil kesimpilan bahwa di dalam menggunakan metode ceramah memiliki
kekurangan dan kelebihan. Adapun kelebihan dari metode ini adalah menghemat
biaya dan hemat waktu, dapat menyampaikan materi yang pokoknya saja. Sedangkan
kekurangan metode ini adalah membuat siswa pasif kurang kreatif, mengandung
unsur paksaan dan menghambat daya kritis siswa.
D. Kitab Tafsir
1. Pengertian Kitab
Kitab berarti sebuah “teks” atau “tulisan” yang
dijilid menjadi satu. Biasanya kitab merujuk kepada jenis tulisan yang mempunyai implikasi hukum, atau dengan
kata lain merupakan undang-undang yang mengatur. Istilah kitab biasanya
digunakan untuk menyebut karya sastra para pujangga pada masa lampau yang dapat
dijadikan sebagai bukti sejarah untuk mengungkapkan suatu peristiwa masa
lampau. (http
://id.wikipedia.org/wiki/Kitab)
2. Pengertian Tafsir
Dalam
kitab at-Tafsir wal Mufassirun, Tafsir menurut bahasa adalah الايضاح و التبيين yang artinya penjelasan atau
keterangan, seperti yang bisa dipahami dari al-Qur’an Surat Al-Furqan ayat 33, ucapan
yang telah ditafsirkan berarti ucapan yang tegas dan jelas.
wur y7tRqè?ù't @@sVyJÎ/ wÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·Å¡øÿs? ÇÌÌÈ
Artinya : “Tidaklah orang-orang kafir
itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan
kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”. (Q.S. Al-Furqon : 33). (Muhmmad Husain Ad-Dzahabi, 1976 : 13).
Menurut
istilah, pengertian tafsir adalah “ilmu yang mempelajari
kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW., berikut penjelasan
maknanya serta hikmah-hikmahnya. Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir
adalah ilmu yang membahas tentang al-Quran al-Karim dari segi pengertiannya
terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Secara lebih sederhana,
tafsir dinyatakan sebagai penjelasan sesuatu yang diinginkan oleh kata”.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir).
2. Pengertian Kitab Tafsir
Kitab Tafsir adalah sebuah teks atau tulisan Arab yang
dijilid menjadi satu atau beberapa jilid yang menjelaskan tentang kandungan
kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW., berikut penjelasan maknanya serta
hikmah-hikmahnya. Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu
yang membahas tentang al-Quran al-Karim dari segi pengertiannya terhadap maksud
Allah sesuai dengan kemampuan manusia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir).
Dari sejumlah buku tafsir yang banyak jenisnya, beberapa
diantaranya beredar dan populer di kalangan umat Islam dan dipergunakan sebagai
rujukan umum. Setidaknya, ada 24 karya tafsir yang masuk dalam kategori kitab
tafsir utama. Karya tafsir populer tersebut sebagai berikut :
1. Tafsir
Alquran al-Azim disusun oleh Ibnu Kasir. Kitab ini merupakan kitab tafsir
riwayat yang sangat populer dan dipandang sebagai kitab tafsir terbaik kedua
setelah kitab tafsir at-Tabari. Ibnu Kasir menafsirkan ayat Alquran berdasarkan
hadis Nabi SAW yang dilengkapi dengan sanad dan sedikit penilaian terhadap
rangkaian sanad hadis.
2. Tafsir
Jalalain disusun
oleh Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti. Kitab tafsir ini terdiri
atas dua jilid. (http://ltqstidnatsir.com/index.php?option=com_content&view=article&id=106:kitab-kitab-tafsir-populer&catid=37:tafsir&Itemid=73)
0 comments: