‘Ilm al-Lughah, al-Lisaniyat, al-Alsuniyah, al-Lughawiyat, dan Fiqh al-Lughah.




‘Ilm al-Lughah, al-Lisaniyat, al-Alsuniyah, al-Lughawiyat, dan Fiqh al-Lughah.
Frase ‘ilmu al-lughah (علم اللغة), terdiri dari dua kata; ‘ilm (علم) dan lughah (اللغة). Secara etimologis, ‘ilm (علم) berarti ‘ilmu’, dan lughah (لغة) berarti ‘bahasa’. Jadi secara etimologis ‘ ilmu al-lughah (علم اللغة) = ilmu bahasa = linguistik = linguistics = linguistique = linguistiek.
Istilah lisaniyat (اللسانيات)dan alsuniyah (الألسنية)masing-masing diderivasi dari nomina lisan (لسان) ‘lidah’ atau ‘bahasa’. Sedangkan istilah ‘lughawiyat(اللغويات) , diderivasi dari nomina lughah (لغة) ‘bahasa’. Morfem (sufiks) –yat (يات) yang melekat pada akhir kata-kata itu bermakna ‘mengenai/tentang’ dan menunjukkan makna ‘ilmu’ (keilmuan) sebagai akibat dari penisbatan. Ketiga istilah terakhir (lisaniyat, alsuniyah, dan lughawiyat) merupakan istilah lain yang maknanya dan pemakaiannya sepadan dengan istilah ilm al-lughah.
Secara terminologis, term ilmu al-lugah, oleh linguis Arab didefinisikan sebagai berikut.
1….   هو العلم الذي يبحث في اللغة, و يتخذها موضوعا له, فيدرسها من ناحية وصفية وتاريخية و مقارنة
)hua al-ilmu al-ladzi yabhatsu fi al-lughah. wa yattakhidzuha maudu’an lahu fayadrusuha min naahiyat wasfiyyah wa tarikhiyah wa muqaranah….(Tawab 1982: 7)
Ilmu al-lughah adalah ilmu yang mengkaji bahasa untuk bahasa, baik secara sinkronis, diakronis, maupun komparatif”.
2. ,,,,
العلم الذي يدرس اللغة  الإنسانية دراسة علمية تقوم على الوصف و معاينة الوقائع, بعيدا عن النزعة التعليمية  و الأحكام  المعيارية.
(Al-‘ilmu al-ladzi yadrusu al-lughah al-insaniyyah dirasatan ilmiyyatan taqumu ‘ala al-washfi wa mu’aayanati al-waqa’i, ba’iidan ‘an al-naz’ah al-ta’limiyyah wa al-ahkam al-mi’yaariyyah)” (Qadur (1996: 11)
” …… adalah ilmu yang mengkaji bahasa secara ilmiyah dan berdasar pada metode deskriptif guna mengungkap fakta kebahasaan secara apa adanya tanpa melibatkan unsur preskriptif.”
  1. b. Ilmu al-lughah (علم اللغة)dan Fiqh al-Lughah (فقه اللغة)
Polemik panjang telah terjadi sekitar istilah fiqh al-lughah dan ilm al-lughah. Apakah ilmu al-lughah identik dengan fiqh al-lughah atau tidak? Ada yang menyamakan ada pula yang membedakan antara keduanya. Hingga saat ini perdebatan mengenai kedua istilah itu masih berlanjut. Polemik ini muncul karena di Barat selain istilah linguistics, terdapat juga istilah philology yang diserap oleh sebagian ahli ke dalam bahasa Arab menjadi al-filulujiya. Lalu apakah ilmu al-lughah sama dengan linguistik, dan fiqh al-lughah sama dengan al-filulujia?
Polemik ini terjadi karena ketika term linguistik -yang secara harfiyah dapat diterjemahkan menjadi ilm al-lughah- dikenal oleh para linguis Arab, mereka sudah terlebih dahulu mengenal term fiqh lughah. Fiqh lughah sebagai sebuah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, telah muncul di dunia Arab sejak abad ke-4 H. atau sekitar abad ke 10 M. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat mengenai identik atau tidaknya antara ilmu lughah dengan fiqh lughah.
Kamal Basyar membedakan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah. Sedangkan  Subhi Shalih menyamakan kedua istilah itu. Sementara Abduh al-Rajihi, yang juga termasuk linguis Arab modern, membedakan antara kedua istilah itu. Al-Rajihi  menukil apa yang dikatakan Juwaidi (Guidi), bahwa kata filologi sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Dengan demikian secara dikotomis ada dua kubu mengenai masalah ini. Kubu pertama mengidentikkan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah, sedangkan kubu kedua membedakan kedua istilah itu. Alasan kelompok pertama sebagaimana dikemukakan oleh Ya’qub (1982: 28-36) adalah sebagai berikut.
  1. Secara etimologis kedua istilah itu sama. Dalam kamus Arab ditemukan bahwa
الفقه = العلم بالشيء و الفهم له. الفقه في الأصل الفهم له. الفقه = الفهم و الفتنة و العلم.
Al-fiqh = al-‘ilmu bi al-syai wa al-fahmu lah; Al-fiqhu fi al-ashli al-fahmu lahu; Al-fiqhu = al-fahmu wa al-fithnatu wa al-‘ilmu.
Singkatnya kata al-fiqh (الفقه) = al-’ilm (العلم) dan kata  faquha (فقه) = ‘alima (علم). Hanya saja pada penggunaannya kemudian, kata al-fiqh lebih didominasi oleh bidang hukum. Dengan demikian frase ilm lughah sama dengan frase fiqh lughah.
Secara terminologis, ilmu al-lughah (علم اللغة)  adalah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau telaah ilmiah mengenai bahasa seperti yang telah dikemukaan di atas. Sedangkan filologi “hubbub al-kalam li ta’miq fi dirasatihi min haistu qawaidihi wa usulihi wa tarikhihi. (Subhi Shalih) “manhajun li al-bahsti istiqraiyun washfiyun yu’rafu bihi ashlu al-lughah allati yurodu darsuha wa mauthinuha al-awal wa fashilatuha wa ‘alaqotuha bi al-luughat al-mujawirah au al-baidah, al-saqiqah au al-ajnabiyyah, wa khasaisuha wa uyubuha wa lahjatuha wa ashwatiha wa tathawwuru dilalatiha wa madaa namaaiha qiraatan wa kitaabatan.
  1. Objek kajian kedua ilmu itu sama, yaitu bahasa.
Kesamaan objek kajian kedua istilah di atas terbukti dengan adanya beberapa buku yang menggunakan judul fiqh lughah yang isinya membahas masalah bahasa. Di antara buku dimaksud adalah ‘Asshaiby fi fiqh al-lughah wa sunani al-Arab fi kalamiha karya Ahmad Ibnu Faris (395 H),  ‘fiqh al-lughah wa sirru al-Arabiyyah karya Assa’alaby (340 H), fiqh al-lughah karya Ali Abdul Wahid Wafi (1945), buku ‘Dirasaat fi Fiqh al-Lughah’ karya Muhammad Almubarak (1960) dll.
3. Alasan lain bagi mereka yang mengidentikkan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah adalah:
3.1        Ibnu Faris, Tsa’alabi, dan Ibnu Jinni walaupun nampaknya mereka mempelajari bahasa sebagai alat, tetapi pada akhirnya studi mereka diarahkan untuk mengkaji bahasa Alqur’an.
3.2         Dalam fiqh al-Lughah, orang Arab tidak membahas masalah asal-usul bahasa. Lain halnya dengan para filolog Barat dalam filologinya.
3.3         Filologi lebih cenderung bersifat komparatif, sedangkan orang Arab dengan fiqh al-lughahnya, tidak pernah melakukan pembandingan bahasa.
3.4         Filologi lebih cenderung membahas bahasa yang sudah mati, sedangkan fiqh al-lughah tidak pernah membahas bahasa demikian.
3.5         Para filolog mengkaji dialek-dialek Indo-Eropa, sedangkan orang Arab mengkaji bahasa Alqur’an.
Dari beberapa alasan di atas, jelaslah bahwa fiqh al-lughah sama dengan ilmu al-lughah, dan tidak sama dengan filologi yang dipelajari di Barat. Dan bila para linguis mengumandangkan bahwa karakter linguistik adalah (1) menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, (2) menggunakan metode deskriptif, (3) menganalisis bahasa dari empat tataran, dan (4)  bersifat ilmiah, maka semua kriteria itu  terdapat pada studi bahasa Arab yang dilabeli fiqh al-lughah itu. Oleh sebab itu, bagi penganut pendapat di atas, fiqh lughah sama dengan ilmu lughah.
Adapun alasan kelompok yang membedakan antara fiqh al-lughah dengan ilmu al-lughah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ya’qub (1982: 33-36) adalah sebagai berikut.
  1. Cara pandang ilm al-lughah terhadap bahasa berbeda dengan cara pandang fiqh al-lughah. Yang pertama memandang/mengkaji bahasa untuk bahasa, sedangkan yang kedua mengkaji bahasa sebagai sarana untuk mengungkap budaya.
  2. Ruang lingkup kajian fiqh al-lughah lebih luas dibanding ilmu al-lughah. Fiqh luggah ditujukan untuk mengungkap aspek budaya dan sastra. Para sarjananya melalukan komparasi antara satu bahasa dengan bahasa lain. Bahkan membuat rekonstruksi teks-teks klasiknya guna mengungkap nilai-nilai budaya yang dikandungnya. Sedangkan ilmu al-lughah hanya memusatkan diri pada kajian struktur internal bahasa saja.
  3. Secara historis, istilah fiqh al-lughah sudah lebih lama digunakan dibanding istilah ilmu al-lughah.
  4. Sejak dicetuskannya, ilmu al-lughah sudah dilabeli kata ilmiah secara konsisten, sedangkan fiqh al-lughah masih diragukan keilmiahannya.
  5. Mayoritas kajian fiqh al-lughah bersifat historis komparatif, sedangkan ilmu al-lughah lebih bersifat deskriptif sinkronis.
Atas dasar pertimbangan itu, dalam beberapa kamus bahasa Arab, kedua istilah itu penggunaanya dibedakan. Penulis melihat, bahwa kelompok yang membedakan kedua term di atas, dipengaruhi oleh anggapan bahwa fiqh lughah sam dengan filologi.
Ada linguis yang mengatakan bahwa ilmu al-lughah mengakaji bukan saja bahasa Arab, tetapi juga bahasa lain (ini yang disebut linguistik umum). Sedangkan fiqh al-lughah hanya mengakaji bahasa Arab. Oleh sebab itu, di antara para linguis Arab ada yang mengatakan bahwa fiqh lugah adalah ilmu al-lughah al-arabiyyah (linguistik bahasa Arab). Term terakhir ini digunakan sebagai judul buku oleh Mahmud Fahmi Hijazy.
Ramdlan Abdut Tawab dalam Fushul fi Fiqh al-Arabiyyah (1994) mengatakan “Term Fiqh al-Lughah sekarang ini digunakan untuk menamakan sebuah ilmu yang berusaha untuk mengungkap karakteristik bahasa Arab, mengetahui kaidah-kaidahnya, perkembangannya, serta berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa ini baik secara diakronis maupun sinkronis.”
Akhirnya saya perlu mengemukakan istilah filologi. Istilah ini, berasal dari kata philologie (Prancis) atau philology (Inggris). Secara etimologis kata ini terdiri atas dua morfem: philo ‘pencinta’, dan loghos ‘ilmu’ atau ‘ucapan’. Dengan demikian secara etimologis filologi berarti pencinta ilmu atau pencinta ucapan.
Secara terminologis, menurut Verhaar (1988: 5): “Filologi adalah ilmu yang menyelidiki masa kuno dari suatu bahasa berdasarkan dokumen-dokumen tertulis.” Pernyataan Verhaar ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Tamam Hasan. Menurut Hasan, filologi adalah ilmu yang mengkaji serta mengkritisi teks-teks klasik dari berbagai aspeknya. Menurutnya, ciri khas filologi adalah berorentasi pada bahasa kuno.
Pada perkembangan berikutnya, selain berorientasi pada bahasa kuno, filologi juga bersifat komparatif. Hal ini terjadi ketika para filolog Eropa menemukan adanya beberapa persamaan antara bahasa Eropa dengan bahasa Sansekerta. Sampai pase ini, filologi mendapat label baru yaitu komparatif.
Pada akhir masa renaisan, para filolog mulai menjamah bahasa Arab, mereka mengadakan perbandingan antara bahasa Arab dngan bahasa Ibrani. Lambat laun, filologi tidak lagi mengkaji bahasa=bahasa kuno, melainkan mengakaji bahasa yang masih hidup.
Bahan Bacaan
  1. Ahmad Muhammad Qadur, Madkhal ila Fiqh al-Lughah al-Arabiyah, dar El-Fikr, Beirut, 1993
  2. Ahmad Muhammad Qadur, Mabadi al-Lisaniyat, Dar al-Fikr al-Mu’ashir, Libanon, 1996
  3. Chaer, Abdul   Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
  4. Ibrahim al-Samiraiy, Fiqh al-Lugahah al-Muqaran, Dar al-Tsaqafah l-Arabiyah, tt
  5. Imil Badi’ Ya’qub. 1982. Fiqh Lughah al-Arabiyyah wa Khashaisuha. Daruttsaqafah
  6. Mahmud Fahmy Hijazy, Ilm al-Lughah al-Arabiyah, Wakalat al-Mathbu’at, Kuwait, 1973
  7. Mubaraok. Muhammad. 1964. Fiqh Lughah wa khashaisu al-Arabiyah. Darulfikri
  8. Mugly, Sami’ Abu. 1987.  Fi Fiqhi al-Lughah, wa Qadlaaya al-Arabiyyah Ardan:  Majid Lawi.
  9. Pateda, Mansur  1988.  Linguistik (Sebuah Pengantar). Bandung: Angkasa.
  10. Ramdhan Abduttawab, Fushul fi fiqh Al Arabiyah. Maktabah Al-kahnji, Kairo, 1994
  11. Tamam Hasan, 2000, Al-Ushul, ‘Alimu al-kutub, Kairo
Sejarah Fiqh al-Lughah
Posted by chekie on 13 Juni 2010 · Tinggalkan sebuah Komentar 
  1. a. Lahirnya Fiqh Al-Lughah
Nama fiqhu al-lughah sudah ada pada zaman dahulu, pembahasannya belum sempurna sebagaimana yang ada sekarang ini. Penamaan fiqhu al-lughah di mulai atas penamaan kitabnya abu mansur abdul malik bin muhammad ats-tsa’aalaby yang wafat pada tahun 429 H, yang bernama fiqhu al-lughah. Namun nama ini tidaklah sesuai dengan isinya dimana kesemuanya itu membahas tentang bahasa serta yang berkaitan dengannya. Namun, hanya sebuah pembahasan saja didalamnya yang berkaitan dengan judul bukunya yaitu hanya terdapat pada bab terahir yang berjudul sirrul a’rabiyah.
Kitab Ibnu Faris dan  Tsa’labi dalam analisisnya sesuai dengan masalah kata-kata Arab. Maka objek fiqhullughah menurut mereka berdua adalah identifikasi kata-kata Arab dan makna-maknanya, klasifikasi katakata ini dalam topik-topik, dan kajian-kajian yang berkaitan dengan hal itu. Di samping itu, kitab Ibnu Faris mencakup seperangkat masalah teoretis sekitar bahasa. Di antara masalah yang paling menonjol adalah masalah lahirnya bahasa. Apabila para ulama telah berbeda pendapat tentang hal itu, lalu sebagian mereka melihatnya sebagai suatu istilah atau konvensi sosial, maka Ibnu Faris menolak pendapat ini dan ia menganggapnya sebagai tauqif, yaitu sebagai wahyu yang diturunkan dari langit. Objek bahasa dan objek keterkaitan bahasa dengan wahyu tidak termasuk dalam kerangka masalah-masalah linguistik modern karena tidak mungkin dikaji dua objek dengan kriteria-kriteria ilmiah yang akurat. Juga, kitab Tsa’labi mencakup bagian kedua, yaitu sirrul ‘Arabiyyah. Dalam bagian kedua Tsa’labi telah mengkaji sejumlah topik yang berkaitan dengan bangun kalimat bahasa Arab. Akan tetapi kedua pengarang itu bersepakat bahwa fiqhullughah adalah mengkaji makna kata-kata dan mengklasifikasikannya ke dalam topik-topik.
Ahmad bin Faris membatasi maksud fiqhullufhah dalam mukaddimah bukunya yang tersebut tadi. Lalu dia mengatakan bahwa ilmu bahasa Arab terbagi atas dua bagian: asal (pokok) dan far’i (cabang). Adapun Far’i adalah pengetahuan tentang isim dan sifat. Dan inilah yang dimulai ketika belajar. Adapun asal (pokok) adalah pembicaraan tentang topik, prioritas, dan sumber bahasa kemudian tentang tulisan Arab dalam dialog dan variasi seninya, baik secara hakiki maupun majazi.
  1. b. Fiqh lughah klasik dan modern
Para ahli bahasa membatasi kajian fiqh lughah pada kajian bahasa yang tidak bergantung pada kaidah. Setelah islam muncul, barulah sempurna semua ilmu bahasa di kalangan bangsa arab. Fiqh al-lughah sendiri belum seperti penamaannya sekarang ini, dahulu fiqh-lughah di sebut dengan “Sunan al-Arabiy fi Kalamiha”.
Dengan alasan di atas kita bisa berkata bahwa fiqh al-lughah klasik itu baru berbentuk wacana dan belum mendapatkan kejelasan, sebab orang –orang pada zaman lalu mendapatkan pengetahuan hanya berupa berita yang dibicarakan dari telinga ke telinga. Dalam buku yang lain dijelaskan, Fiqh lughah klasik masih membicarakan persoalan asal mula bahasa, apakah ia pemberian tuhan atau adalah sebuah proses. Menurut ibnu Faris (wafat 385 H), berkata bahwa bahasa arab itu adalah pemberian langsung dari tuhan, berdasarkan pada dalil surah al-Baqarah ayat 31 yang berbunyi:
zN¯=tæur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä ’n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ’ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJó™r’Î/
ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%ω»|¹
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”.
Sedangkan pada sekarang ini (fiqh al-lughah modern) meneliti agar dapat mengetahui sumber bahasa, sejarah yang menyangkut aspek budaya, kajian bahasa dan hal inilah yang mencegah orang melakukan penyimpangan suatu ilmu dalam bahasa arab dan suatu makna dengan makna aslinya. Ada yang mengatakan fiqh al-lughah itu matan atau ensiklopedi sebab didalamnya membicarakan atau membahas tentang bahasa-bahasa serumpun (samiyah) dengan bahasa arab. Perbedaan – perbedaan dialek mereka, bunyi – bunyi pengucapan bahasa. Objek kajian fiqh al-Lughah seperti ini disebut dengan fiqh al-lughah (muqarran) komparatif atau sederhananya adalah metode perbandingan bahasa.
Adanya perbedaan penelitian dalam fiqh al-lughah disebabkan oleh pengetahuan tentang mufradat bahasa arab. Jumlahnya, cara bacanya, penulisan dan penyebutannya. Hal ini menimbulkan 3 pecahan pembahasan fiqh al-lughah:
-          Pertama yang meneliti tentang sejarah: memfokuskan atau menggali asal – usul bahasa yang pertama. Perbedaan satu bahasa dengan bahasa yang lain.
-          Yang kedua ilmu south (bunyi) menggali serta mencari informasi dialek serta bahasa dan pengucapannya, serta perkembangan dan perubahan bunyi bahasa.
-          Yang ketiga ilmu dalalah memfokuskan kajiannya pada perkembangan lafadz-lafadaz bahasa, manfaatnya serta kandungan yang terdapat di balik sebuah makna.
  1. c. Fiqh Al-Lughah dan Ilmu Lughah
Polemik panjang telah terjadi sekitar istilah fiqh al-lughah dan ilm al-lughah. Apakah ilmu al-lughah identik dengan fiqh al-lughah atau tidak? Ada yang menyamakan ada pula yang membedakan antara keduanya. Hingga saat ini perdebatan mengenai kedua istilah itu masih berlanjut. Polemik ini muncul karena di Barat selain istilah linguistics, terdapat juga istilah philology yang diserap oleh sebagian ahli ke dalam bahasa Arab menjadi al-filulujiya. Lalu apakah ilmu al-lughah sama dengan linguistik, dan fiqh al-lughah sama dengan al-filulujia?
Polemik ini terjadi karena ketika term linguistik yang secara harfiyah dapat diterjemahkan menjadi ilm al-lughah dikenal oleh para pakar linguistik Arab, mereka sudah terlebih dahulu mengenal term fiqh lughah. Fiqh lughah sebagai sebuah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, telah muncul di dunia Arab sejak abad ke-4 H. atau sekitar abad ke 10 M. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat mengenai identik atau tidaknya antara ilmu lughah dengan fiqh lughah.
Kamal Basyar membedakan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah. Sedangkan  Subhi Shalih menyamakan kedua istilah itu. Sementara Abduh al-Rajihi, yang juga termasuk linguis Arab modern, membedakan antara kedua istilah itu. Al-Rajihi  menukil apa yang dikatakan Juwaidi (Guidi), bahwa kata filologi sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Dengan demikian secara dikotomis ada dua kubu mengenai masalah ini. Kubu pertama mengidentikkan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah, sedangkan kubu kedua membedakan kedua istilah itu. Alasan kelompok pertama sebagaimana dikemukakan oleh Ya’qub adalah sebagai berikut.
  1. Secara etimologis kedua istilah itu sama. Dalam kamus Arab (al-bisri) ditemukan bahwa:
الفقه = Pengetahuan, memahami, pengertian,
العلم = Mengerti, memahami, pengetahuan, mengerti
Singkatnya kata al-fiqh (الفقه) = al-’ilm (العلم) dan kata  faquha (فقه) = ‘alima (علم) adalah identik. Hanya saja pada penggunaannya kemudian, kata al-fiqh lebih didominasi oleh bidang hukum. Dengan demikian bentuk kata ilm lughah sama dengan frase fiqh lughah.
Secara terminologis, ilmu al-lughah (علم اللغة)  adalah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau telaah ilmiah mengenai bahasa seperti yang telah dikemukaan di atas.
  1. Objek kajian kedua ilmu itu sama, yaitu bahasa.
Kesamaan objek kajian kedua istilah di atas terbukti dengan adanya beberapa buku yang menggunakan judul fiqh lughah yang isinya membahas masalah bahasa. Di antara buku dimaksud adalah ‘Asshaiby fi fiqh al-lughah wa sunani al-Arab fi kalamiha karya Ahmad Ibnu Faris (395 H),  ‘fiqh al-lughah wa sirru al-Arabiyyah karya Assa’alaby (340 H), fiqh al-lughah karya Ali Abdul Wahid Wafi (1945), buku ‘Dirasaat fi Fiqh al-Lughah’ karya Muhammad Almubarak (1960) dll.
Alasan lain bagi mereka yang mengidentikkan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah adalah:
  • Ibnu Faris, Tsa’alabi, dan Ibnu Jinni walaupun nampaknya mereka mempelajari bahasa sebagai alat, tetapi pada akhirnya studi mereka diarahkan untuk mengkaji bahasa Alqur’an
  • Dalam fiqh al-Lughah, orang Arab tidak membahas masalah asal-usul bahasa. Lain halnya dengan para filolog Barat dalam filologinya.
  • Filologi lebih cenderung bersifat komparatif, sedangkan orang Arab dengan fiqh al-lughahnya, tidak pernah melakukan pembandingan bahasa
  • Filologi lebih cenderung membahas bahasa yang sudah mati, sedangkan fiqh al-lughah tidak pernah membahas bahasa demikian.
  • Para filolog mengkaji dialek-dialek Indo-Eropa, sedangkan orang Arab mengkaji bahasa Alqur’an.
Dari beberapa alasan di atas, jelaslah bahwa fiqh al-lughah lebih cenderung dengan ilmu al-lughah, dan tidak sama dengan filologi yang dipelajari di Barat. Dan bila para linguis mengumandangkan bahwa karakter linguistik adalah (1) menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, (2) menggunakan metode deskriptif, (3) menganalisis bahasa dari empat tataran, dan (4)  bersifat ilmiah, maka semua kriteria itu  terdapat pada studi bahasa Arab yang dilabeli fiqh al-lughah itu. Oleh sebab itu, bagi penganut pendapat di atas, fiqh lughah sama dengan ilmu lughah.
Adapun alasan kelompok yang membedakan antara fiqh al-lughah dengan ilmu al-lughah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ya’qub (1982: 33-36) adalah sebagai berikut.
  1. Cara pandang ilm al-lughah terhadap bahasa berbeda dengan cara pandang fiqh al-lughah. Ilmu Lughah memandang/mengkaji bahasa untuk bahasa, sedangkan fiqh al-Lughah mengkaji bahasa sebagai sarana untuk mengungkap budaya.
  2. Ruang lingkup kajian fiqh al-lughah lebih luas dibanding ilmu al-lughah. fiqh al-lughah ditujukan untuk mengungkap aspek budaya dan sastra. Para sarjananya melalukan komparasi antara satu bahasa dengan bahasa lain. Bahkan membuat rekonstruksi teks-teks klasiknya guna mengungkap nilai-nilai budaya yang dikandungnya. Sedangkan ilmu al-lughah hanya memusatkan diri pada kajian struktur internal bahasa saja.
  3. Secara historis, istilah fiqh al-lughah sudah lebih lama digunakan dibanding istilah ilmu al-lughah.
  4. Sejak dicetuskannya, ilmu al-lughah sudah dilabeli kata ilmiah secara konsisten, sedangkan fiqh al-lughah masih diragukan keilmiahannya.
  5. Mayoritas kajian fiqh al-lughah bersifat historis komparatif, sedangkan ilmu al-lughah lebih bersifat deskriptif sinkronis.
Atas dasar pertimbangan itu, dalam beberapa kamus bahasa Arab, kedua istilah itu penggunaanya dibedakan. Penulis melihat, bahwa kelompok yang membedakan kedua term di atas, dipengaruhi oleh anggapan bahwa fiqh lughah sama dengan filologi.
Ada pakar linguistik yang mengatakan bahwa ilmu al-lughah itu mengakaji bukan saja bahasa Arab, tetapi juga bahasa lain (ini yang disebut linguistik umum). Sedangkan fiqh al-lughah hanya mengakaji bahasa Arab. Oleh sebab itu, di antara para linguis Arab ada yang mengatakan bahwa fiqh lugah adalah ilmu al-lughah al-arabiyyah (linguistik bahasa Arab). Term terakhir ini digunakan sebagai judul buku oleh Mahmud Fahmi Hijazy.
Ramdhan Abdu at-Tawab dalam Fushul fi Fiqh al-Arabiyyah (1994) mengatakan “Term Fiqh al-Lughah sekarang ini digunakan untuk menamakan sebuah ilmu yang berusaha untuk mengungkap karakteristik bahasa Arab, mengetahui kaidah-kaidahnya, perkembangannya, serta berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa ini baik secara diakronis maupun sinkronis.”


Pendahuluan Bahasa adalah lafadz-lafadz yang diungkapkan suatu kaum untuk menunjukkan maksud mereka. Inilah definisi bahasa yang sering kita dengar dalam buku-buku Arab yang menjelaskan arti dari bahasa, yaitu sebuah ungkapan yang menunjukkan maksud yang dikehendaki oleh seseorang. Diantara bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan lain sebagainya. Dalam kesempatan kali ini penulis akan mencoba membahas sedikit tentang bahasa Arab. Perlu kita ketahui bahwa banyak sekali ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bahasa Arab, diantaranya adalah ilmu nahwu dan sorf yang kajiannya adalah struktur-struktur penulisan dan pengucapan akhir kata dalam bahasa Arab baik berdasarkan I’rab dan bina’nya ataupun tidak didasarkan pada keduanya. Ada juga ilmu bahasa yang lebih menekankan pada kosakata atau bias disebut juga sebagai study kosakata atau kamus. Selain dari itu semua ada kajian bahasa yang tujuannya lebih luas dari hanya sekedar mempelajari bahasa itu sendiri, yaitu Fiqh Al-lughah. Ketika berbicara tentang fiqh al-lughah maka kita tidak bisa hanya mengaitkannya hanya pada bahasa itu sendiri, karena kajian fiqh al-lughah sesungguhnya lebih pada mempelajari bahasa untuk mengetahui kebudayaan suatu kaum tertentu. Kalau dibagi lagi, sebenarnya ilmu-ilmu yang tersebut diatas bisa kita bagi lagi secara global menjadi dua disiplin keilmuan, yaitu ilmu al-lughah dan fiqh al-lughah. Para ulama klasik banyak yang menyamakan antara kedua istilah tersebut, beda dengan para ilmuan bahasa modern yang membedakan antara keduanya. Untuk pembahasan penulis kali ini adalah fiqh al-lughah menurut Ali Abdul Wahid Wafi. Pembahasan Secara bahasa ilmu berarti pemahaman mendalam, pengetahuan, pengalaman akan sesuatu yang nampak pengaruhnya secara indrawi, sedangkan fiqh adalah pemahaman dan pengetahuan, atau lebih jelasnya pengetahuan akan sesuatu dan pemahaman akannya. Dari definisi ini bisa dilihat jelas bahwa fiqh al-lughah memiliki kajian yang lebih luas dari ilmu al-lughah itu sendiri karena cakupan fiqh al-lughah bisa menyentuh ilmu al-lughah itu sendiri. Perlu kita ketahui terlebih dahulu, bahwa DR. Ali Abdul Wahid Wafi adalah ulama bahasa modern, maka sewajarnyalah jika beliau membedakan antara fiqh al-lughah dengan ilmu al-lughah. Dan perlu diketahui juga bahwa antara kajian fiqh al-lughoh pada masa klasik dan modern memiliki beberapa ciri yang berbeda yaitu: kalau fiqh al-lughah pada masa klasik selalu membicarakan bahasa dari aslul-lughah, maka tidak demikian dengan bahasan yang ada dalam fiqh al-lughah di masa modern. Pembahasan fiqh al-lughah di masa modern mencakup bahasan tentang ilmu al-lughah dan fiqh al-lughah itu sendiri, suku bangsa bahasa semit(seperti yang ada dalam buku fiqh al-lughah karangan beliau) selain itu juga fiqh al-lughah masa modern juga membahas tentang pengertian bahasa dan juga problematika-problematika yang ada dalam bahasa Arab itu sendiri. Ada beberapa ilmuwan yang membedakan antara fiqh al-lughah dengan disiplin ilmu barat yang sering diidentikkan dengan fiqh al-lughah yaitu filologi. Adapun alasan para ilmuwan ini membedakan antara fiqh al-lughah dengan filologi adalah: 1. Dalam fiqh al-Lughah, orang Arab tidak membahas masalah asal-usul bahasa. Lain halnya dengan para filolog Barat dalam filologinya. 2. Filologi lebih cenderung bersifat komparatif, sedangkan orang Arab dengan fiqh al-lughahnya, tidak pernah melakukan pembandingan bahasa. 3. Filologi lebih cenderung membahas bahasa yang sudah mati, sedangkan fiqh al-lughah tidak pernah membahas bahasa demikian. 4. Para filolog mengkaji dialek-dialek Indo-Eropa, sedangkan orang Arab mengkaji bahasa Alqur’an. Mereka yang membedakan antara fiqh al-lughah dengan filologi beranggapan bahwa fiqh al-lughah sama dengan ilmu al-lughah. Selain dari pendapat di atas, ada juga beberapa ilmuwan yang membedakan antara fiqh al-lughah dengan ilmu al-lughah. Adapun perbedaan-perbedaan antara dua disiplin ilmu tersebut adalah: 1. Cara pandang ilm al-lughah terhadap bahasa berbeda dengan cara pandang fiqh al-lughah. Yang pertama memandang/mengkaji bahasa untuk bahasa, sedangkan yang kedua mengkaji bahasa sebagai sarana untuk mengungkap budaya. 2. Ruang lingkup kajian fiqh al-lughah lebih luas dibanding ilmu al-lughah. Fiqh luggah ditujukan untuk mengungkap aspek budaya dan sastra. Para sarjananya melalukan komparasi antara satu bahasa dengan bahasa lain. Bahkan membuat rekonstruksi teks-teks klasiknya guna mengungkap nilai-nilai budaya yang dikandungnya. Sedangkan ilmu al-lughah hanya memusatkan diri pada kajian struktur internal bahasa saja. 3. Secara historis, istilah fiqh al-lughah sudah lebih lama digunakan dibanding istilah ilmu al-lughah. 4. Sejak dicetuskannya, ilmu al-lughah sudah dilabeli kata ilmiah secara konsisten, sedangkan fiqh al-lughah masih diragukan keilmiahannya. 5. Mayoritas kajian fiqh al-lughah bersifat historis komparatif, sedangkan ilmu al-lughah lebih bersifat deskriptif sinkronis. Di sini maka Nampak jelas perbedaan antara kedua disiplin ilmu tersebut. Bahkan DR. Ali Abdul Wahid Wafi sendiri membedakan antara kedua disiplin ilmu tersebut, hal itu nampak dengan adanya dua buku berbeda yang dikarang oleh beliau, yaitu Ilmu Al-lughah yang di dalamnya membahas tentang bahasa itu sendiri, dan Fiqh Al-lughah yang di dalamnya membahas bahasa untuk mengetahui budaya. Dalam buku fiqh al-lughah karangannya(DR. Ali Abdul Wahid Wafi) tidak ada pengertian secara langsung apa yang dimaksud dengan fiqh al-lughah, tetapi bahan ajar yang ada di dalamnya langsung menunjukkan kajian dari fiqh al-lughah. Di dalam bukunya tersebut langsung membahas tentang suku bangsa semit baik dari pengertian dari semit itu sendiri, awal mula muncul bahasa-bahasa semit, dan perkembangan-perkembangannya. Dalam bukunya terdapat enam bab dengan tujuh pasal. Ke enam bab tersebut semuanya membahas tentang bahasa-bahasa yang termasuk dalam rumpun bahasa semit yaitu: bahasa Akkadiyah, bahasa Kan’aniyah, bahasa ‘ibriyyah, bahasa Aramiyah, bahasa Yaman kuno, bahasa Ethiopia semit, dan bahasa Arab. Diantara bahasa-bahasa di atas maka bahasa yang paling banyak penjelasannya dalam buku tersebut adalah bahasa Arab. Karena dalam buku tersebut bahasa Arab tidak hanya dilihat dari sisi kemunculan sampai perkembangannya saja, tetapi bahasa Arab juga dibahas dari berbagai sisi, baik pengaruh Al-qur’an terhadap bahasa Arab, dialektika-dialektika bahasa Arab, keutamaannya dibanding bahasa lain dan sebagainya. Selain membahas bahasa-bahasa semit, dalam bukunya juga terdapat pembahasan tentang kosakata, juga tentang susunan-susunan kata. Sebenarnya hampir semua buku tentang fiqh al-lughah tidak menjelaskan dengan pasti apa arti dari fiqh al-lughah itu sendiri, contohnya pembahasan fiqh al-lughah yang terdapat dalam buku as-shohabi karangan ibnu faris yang hanya mengatakan bahwa fiqh al-lughah dibagi dua yaitu pada aslun dan far’un, aslun adalah asal usul bahasa, perkebangannya dan lain sebagainya, sedangkan far’un adalah study tentang kosakata dan sebagainya. Tetapi iya menambahkan lagi bahwa bagi orang yang ingin mengetahui aslun maka orang tersebut harus mendalami fiqh al-lughah. Kesimpulan Jadi menurut DR. Ali Abdul Wahid Wafi tentang fiqh al-lughah berdasarkan bukunya adalah ilmu yang memplajari tentang bahasa-bahasa semit mulai dari munculnya hingga perkembangannya, dan juga ilmu tentang kosakata dan susunan bahasa Arab serta problematika-problematika yang ada dalam bahasa Arab.
Daftar Puataka 
Syaikh Al-iskandari dan Syaikh Musthofa ‘anafi, Al-wasith, mesir, darul-ma’arif http://daysubangkit.wordpress.com/2010/04/27/fiqh-lughah-versus-ilmu-lughah/ Ali Abdul wahid Wafi, fiqh Al-lughah, lajnatu lisan al-‘arabi, 1962.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioOs52qOKaxWLkKbgQo7zuOuUVELGFO6mF1aZPcppctO9uvs1ZYkCg2OE5uyFbNjE6SP5Y9wRQUjnKF6Ib2eDDVlZ735ZhdQ-q37fd_FUGFFIB6qAHYGAds4tdjjrklKQeO2q8MPQa-XM/s200/28416_126488657365122_100000119657429_347295_7672442_n.jpgTerdapat beberapa nama yang biasa digunakan oleh para ahli  bahasa untuk menamai ilmu yang berurusan dengan bahasa.  Banyaknya nama itu disebabkan oleh banyaknya ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Menurut Sudaryanto (1996) minimalnya ada lima macam ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, yaitu:
  1. ilmu tentang bahasa atau ilmu-ilmu tentang aspek-aspek bahasa. Dalam hal ini bahasa digunakan dalam arti harfiah;
  2. ilmu atau ilmu-ilmu tentang bahasa. Dalam hal ini bahasa digunakan dalam arti metaforis;
  3. ilmu atau ilmu-ilmu yang salah satu dasarnya bahasa. Kadang dalam hal ini bahasa menjadi dasar utama;
  4. ilmu atau ilmu-ilmu tentang pendapat mengenai bahasa, dan
  5. ilmu atau ilmu-ilmu tentang ilmu bahasa atau ilmu-ilmu mengenai ilmu bahasa.
Dari kelima macam ilmu yang disebutkan di atas, nampaknya hanya nomor (1) yang dapat dikatakan sebagai ilmu yang benar-benar menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, yaitu ilmu tentang bahasa atau ilmu-ilmu tentang aspek-aspek bahasa. Ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya ini –di Indonesia dan juga di dunia Arab-  dikenal dengan berbagai nama.
Diantara nama-nama yang biasa digunakan adalah, ilmu bahasa, tata bahasa, grammar, dan linguistik, dll (lihat Chaer, 1994). Sedangkan di dunia Arab digunakan istilah ilmu al-lughah (علم اللغة) , al-Lisaniyat(اللسانيات) , al-Lughawiyat(اللسانيات) , al-Alsuniyah (الألسنية) , fiqh al-lughah(فقه اللغة) , al-Filulujia(الفلولوجيا) , dll untuk menyebut ilmu yang membahas bahasa ini (lihat Qodur, 1993 dan 1996; Abdu Tawab, 1996; Abu Alfaraj, 1966; Imil Badi, 1982; Tamam Hasan, 1982; Fahmi Hijazy, 1973; Abdu Shabur Sahin, tt; dll). Di bawah ini akan dikemukakan apa yang dimaksud dengan istilah-istilah itu.
  1. 1. Ilmu Bahasa atau  Linguistik
Ilmu dapat diartikan sebagai hasil tahu manusia terhadap sesuatu; atau segala perbuatan manusia untuk memahami sesuatu objek yang dihadapinya; atau hasil usaha manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Dalam kamus Oxford (1974: 760) disebutkan bahwa Science; knowledge arranged in an ordely manner, especially knowledge obtaind by observation and testing of facts. Sedangkan bahasa -salah satunya- biasa dipahami sebagai sistem dari pada lambang yang dipakai orang untuk melahirkan pikiran dan perasaan (Poerwadarminta, 1985: 75). Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa ilmu bahasa adalah ilmu pengetahuan yang digunakan oleh manusia untuk memahami sistem dari pada lambang yang dipakai orang untuk berkomunikasi. Secara singkat, bisa dikatakan, bahwa ilmu bahasa adalah ilmu yang membicarakan tentang bahasa; atau ilmu yang digunakan untuk mengkaji bahasa; atau ilmu yang objek kajiannya adalah bahasa; atau ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa (Sudaryanto, 1996: 5).
Menurut Chaer (1994: 2) ilmu bahasa ini di Indonesia -saat ini- dikenal juga dengan nama linguistik. Istilah linguistik sepadan dengan istilah linguistics (Inggris), linguistiek (Belanda), linguistica (Italia), Linfvistika (Rusia), dan linguistique (Prancis). Kata linguistik berasal dari bahasa Latin lingua yang berarti ‘bahasa’. Kata Arab yang mirip dengan kata lingua adalah kata lughah (لغة) ‘bahasa’.
Istilah ilmu bahasa sudah lebih dahulu dikenal oleh masyarakat Indonesia. Sedangkan istilah linguistik dikenal kemudian. Namun walaupun istilah ilmu bahasa sudah lama dikenal, masih saja terdapat perbedaan pemahaman dan penggunaannya yang disebabkan oleh banyaknya ilmu yang menjadikan bahasa  sebagai objek kajiannya sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Bagi sebagian orang, ilmu bahasa masih identik dengan gramatika atau tata bahasa yang biasanya berbicara sekitar masalah morfologi dan sintaksis. Sedangkan bagi sebagian yang lain, terutama yang pernah mempelajari ilmu bahasa modern, pengertian ilmu bahasa identik dengan linguistik.
Dalam bahasa Inggris, istilah linguistik, selain berarti ilmu yang mengkaji bahasa (linguistics), juga berati ‘bahasa’ (linguistic). Kedua arti ini digunakan juga dalam bahasa Indonesia. Pada frase ‘linguistik pengantar’ kata linguistik berarti ilmu bahasa. Sedangkan dalam frase ‘masyarakat linguistik’ kata linguistik berarti ‘bahasa’.
Akhir-akhir ini, penggunaan istilah linguistik sudah lebih populer, hanya saja, kepopuleran itu tidak mampu mengeluarkan linguistik dari kesamaran/kekaburan pengertian. Menurut Sudaryanto ada empat hal yang mengaburkan pengertian linguistik:
  1. banyak ilmu yang berhubungan dengan bahasa;
  2. adanya pengertian bahasa yang bersifat ganda;
  3. adanya istilah linguistik yang bukan untuk linguistics; dan
  4. adanya linguis yang berperan ganda.
Sebagai telah dipaparkan di atas, istilah linguistik secara etimologis diambil dari kata  Latin lingua ‘bahasa’. Menurut sebagian pakar bahasa, istilah linguitik terdiri atas dua morfem: lingua dan etik. Lingua berarti ‘bahasa’ dan etik berarti ‘melihat’. Dengan pendekatan etik, pola-pola fisik bahasa digambarkan tanpa menghubungkannya dengan fungsinya dalam sistem bahasa (Kridalaksana, 1993; 52). Sedangkan menurut Sudaryanto (1996: 10), akhiran -ik, -ics,  dan -ique sepadan dengan -logi yang berarti ‘ilmu’. Dengan akhiran –ik yang berari ‘ilmu’, kata linguistik bisa diartikan ilmu bahasa.
Secara terminologis, linguistik didefinisikan dengan berbagai redaksi. Berikut beberapa pendapat pakar bahasa mengenai definisi linguistik:
  1. Hornby (ed. III: 494) linguistics: “(1) The scientific study of languages, (2) the science of language, e.g. of it structure, acquisition, relationship to other forms of communication.”
  2. Kridalaksana (1993; 128): “Ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah.”
  3. Lyons (1995: 1): “Linguistik mungkin bisa didefinisikan sebagai pengkajian bahasa secara ilmiah.”
  4. Martinet (1987: 19): “Linguistik adalah telaah ilmiah mengenai bahasa manusia.”
  5. Chaer (1994: 1): “Ilmu tentang bahasa; atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya.”
Istilah linguistik dikenal juga oleh orang Arab, namun mereka tidak menggunakan istilah ini sebagai nama ilmu yang mengkaji bahasa mereka. Alih-alih penggunaan istilah linguistik, linguis Arab menggunakan istilah  ‘ilmu al-lughah, fiqh al-lughah, lisaniyat, alsuniyah, atau lughawiyat. Banyaknya istilah yang mereka gunakan telah menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tentang istilah mana  yang tepat untuk menamai ilmu yang di Barat dan juga di Indonesia disebut dengan linguistik ini.  Berikut beberapa pendapat linguis Arab mengenai istilah-istilah di atas.
a. ‘Ilm al-Lughah, al-Lisaniyat, al-Alsuniyah, al-Lughawiyat, dan Fiqh al-Lughah.
Frase ‘ilmu al-lughah (علم اللغة), terdiri dari dua kata; ‘ilm (علم) dan lughah (اللغة). Secara etimologis, ‘ilm (علم) berarti ‘ilmu’, dan lughah (لغة) berarti ‘bahasa’. Jadi secara etimologis ‘ ilmu al-lughah (علم اللغة) = ilmu bahasa = linguistik = linguistics = linguistique = linguistiek.
Istilah lisaniyat (اللسانيات)dan alsuniyah (الألسنية)masing-masing diderivasi dari nomina lisan (لسان) ‘lidah’ atau ‘bahasa’. Sedangkan istilah ‘lughawiyat(اللغويات) , diderivasi dari nomina lughah (لغة) ‘bahasa’. Morfem (sufiks) –yat (يات) yang melekat pada akhir kata-kata itu bermakna ‘mengenai/tentang’ dan menunjukkan makna ‘ilmu’ (keilmuan) sebagai akibat dari penisbatan. Ketiga istilah terakhir (lisaniyat, alsuniyah, dan lughawiyat) merupakan istilah lain yang maknanya dan pemakaiannya sepadan dengan istilah ilm al-lughah.
Secara terminologis, term ilmu al-lugah, oleh linguis Arab didefinisikan sebagai berikut.
1….   هو العلم الذي يبحث في اللغة, و يتخذها موضوعا له, فيدرسها من ناحية وصفية وتاريخية و مقارنة
)hua al-ilmu al-ladzi yabhatsu fi al-lughah. wa yattakhidzuha maudu’an lahu fayadrusuha min naahiyat wasfiyyah wa tarikhiyah wa muqaranah….(Tawab 1982: 7)
Ilmu al-lughah adalah ilmu yang mengkaji bahasa untuk bahasa, baik secara sinkronis, diakronis, maupun komparatif”.
2. ,,,,
العلم الذي يدرس اللغة  الإنسانية دراسة علمية تقوم على الوصف و معاينة الوقائع, بعيدا عن النزعة التعليمية  و الأحكام  المعيارية.
(Al-‘ilmu al-ladzi yadrusu al-lughah al-insaniyyah dirasatan ilmiyyatan taqumu ‘ala al-washfi wa mu’aayanati al-waqa’i, ba’iidan ‘an al-naz’ah al-ta’limiyyah wa al-ahkam al-mi’yaariyyah)” (Qadur (1996: 11)
” …… adalah ilmu yang mengkaji bahasa secara ilmiyah dan berdasar pada metode deskriptif guna mengungkap fakta kebahasaan secara apa adanya tanpa melibatkan unsur preskriptif.”
  1. b. Ilmu al-lughah (علم اللغة)dan Fiqh al-Lughah (فقه اللغة)
Polemik panjang telah terjadi sekitar istilah fiqh al-lughah dan ilm al-lughah. Apakah ilmu al-lughah identik dengan fiqh al-lughah atau tidak? Ada yang menyamakan ada pula yang membedakan antara keduanya. Hingga saat ini perdebatan mengenai kedua istilah itu masih berlanjut. Polemik ini muncul karena di Barat selain istilah linguistics, terdapat juga istilah philology yang diserap oleh sebagian ahli ke dalam bahasa Arab menjadi al-filulujiya. Lalu apakah ilmu al-lughah sama dengan linguistik, dan fiqh al-lughah sama dengan al-filulujia?
Polemik ini terjadi karena ketika term linguistik -yang secara harfiyah dapat diterjemahkan menjadi ilm al-lughah- dikenal oleh para linguis Arab, mereka sudah terlebih dahulu mengenal term fiqh lughah. Fiqh lughah sebagai sebuah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, telah muncul di dunia Arab sejak abad ke-4 H. atau sekitar abad ke 10 M. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat mengenai identik atau tidaknya antara ilmu lughah dengan fiqh lughah.
Kamal Basyar membedakan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah. Sedangkan  Subhi Shalih menyamakan kedua istilah itu. Sementara Abduh al-Rajihi, yang juga termasuk linguis Arab modern, membedakan antara kedua istilah itu. Al-Rajihi  menukil apa yang dikatakan Juwaidi (Guidi), bahwa kata filologi sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Dengan demikian secara dikotomis ada dua kubu mengenai masalah ini. Kubu pertama mengidentikkan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah, sedangkan kubu kedua membedakan kedua istilah itu. Alasan kelompok pertama sebagaimana dikemukakan oleh Ya’qub (1982: 28-36) adalah sebagai berikut.
  1. Secara etimologis kedua istilah itu sama. Dalam kamus Arab ditemukan bahwa
الفقه = العلم بالشيء و الفهم له. الفقه في الأصل الفهم له. الفقه = الفهم و الفتنة و العلم.
Al-fiqh = al-‘ilmu bi al-syai wa al-fahmu lah; Al-fiqhu fi al-ashli al-fahmu lahu; Al-fiqhu = al-fahmu wa al-fithnatu wa al-‘ilmu.
Singkatnya kata al-fiqh (الفقه) = al-’ilm (العلم) dan kata  faquha (فقه) = ‘alima (علم). Hanya saja pada penggunaannya kemudian, kata al-fiqh lebih didominasi oleh bidang hukum. Dengan demikian frase ilm lughah sama dengan frase fiqh lughah.
Secara terminologis, ilmu al-lughah (علم اللغة)  adalah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau telaah ilmiah mengenai bahasa seperti yang telah dikemukaan di atas. Sedangkan filologi “hubbub al-kalam li ta’miq fi dirasatihi min haistu qawaidihi wa usulihi wa tarikhihi. (Subhi Shalih) “manhajun li al-bahsti istiqraiyun washfiyun yu’rafu bihi ashlu al-lughah allati yurodu darsuha wa mauthinuha al-awal wa fashilatuha wa ‘alaqotuha bi al-luughat al-mujawirah au al-baidah, al-saqiqah au al-ajnabiyyah, wa khasaisuha wa uyubuha wa lahjatuha wa ashwatiha wa tathawwuru dilalatiha wa madaa namaaiha qiraatan wa kitaabatan.
  1. Objek kajian kedua ilmu itu sama, yaitu bahasa.
Kesamaan objek kajian kedua istilah di atas terbukti dengan adanya beberapa buku yang menggunakan judul fiqh lughah yang isinya membahas masalah bahasa. Di antara buku dimaksud adalah ‘Asshaiby fi fiqh al-lughah wa sunani al-Arab fi kalamiha karya Ahmad Ibnu Faris (395 H),  ‘fiqh al-lughah wa sirru al-Arabiyyah karya Assa’alaby (340 H), fiqh al-lughah karya Ali Abdul Wahid Wafi (1945), buku ‘Dirasaat fi Fiqh al-Lughah’ karya Muhammad Almubarak (1960) dll.
3. Alasan lain bagi mereka yang mengidentikkan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah adalah:
3.1        Ibnu Faris, Tsa’alabi, dan Ibnu Jinni walaupun nampaknya mereka mempelajari bahasa sebagai alat, tetapi pada akhirnya studi mereka diarahkan untuk mengkaji bahasa Alqur’an.
3.2         Dalam fiqh al-Lughah, orang Arab tidak membahas masalah asal-usul bahasa. Lain halnya dengan para filolog Barat dalam filologinya.
3.3         Filologi lebih cenderung bersifat komparatif, sedangkan orang Arab dengan fiqh al-lughahnya, tidak pernah melakukan pembandingan bahasa.
3.4         Filologi lebih cenderung membahas bahasa yang sudah mati, sedangkan fiqh al-lughah tidak pernah membahas bahasa demikian.
3.5         Para filolog mengkaji dialek-dialek Indo-Eropa, sedangkan orang Arab mengkaji bahasa Alqur’an.
Dari beberapa alasan di atas, jelaslah bahwa fiqh al-lughah sama dengan ilmu al-lughah, dan tidak sama dengan filologi yang dipelajari di Barat. Dan bila para linguis mengumandangkan bahwa karakter linguistik adalah (1) menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, (2) menggunakan metode deskriptif, (3) menganalisis bahasa dari empat tataran, dan (4)  bersifat ilmiah, maka semua kriteria itu  terdapat pada studi bahasa Arab yang dilabeli fiqh al-lughah itu. Oleh sebab itu, bagi penganut pendapat di atas, fiqh lughah sama dengan ilmu lughah.
Adapun alasan kelompok yang membedakan antara fiqh al-lughah dengan ilmu al-lughah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ya’qub (1982: 33-36) adalah sebagai berikut.
  1. Cara pandang ilm al-lughah terhadap bahasa berbeda dengan cara pandang fiqh al-lughah. Yang pertama memandang/mengkaji bahasa untuk bahasa, sedangkan yang kedua mengkaji bahasa sebagai sarana untuk mengungkap budaya.
  2. Ruang lingkup kajian fiqh al-lughah lebih luas dibanding ilmu al-lughah. Fiqh luggah ditujukan untuk mengungkap aspek budaya dan sastra. Para sarjananya melalukan komparasi antara satu bahasa dengan bahasa lain. Bahkan membuat rekonstruksi teks-teks klasiknya guna mengungkap nilai-nilai budaya yang dikandungnya. Sedangkan ilmu al-lughah hanya memusatkan diri pada kajian struktur internal bahasa saja.
  3. Secara historis, istilah fiqh al-lughah sudah lebih lama digunakan dibanding istilah ilmu al-lughah.
  4. Sejak dicetuskannya, ilmu al-lughah sudah dilabeli kata ilmiah secara konsisten, sedangkan fiqh al-lughah masih diragukan keilmiahannya.
  5. Mayoritas kajian fiqh al-lughah bersifat historis komparatif, sedangkan ilmu al-lughah lebih bersifat deskriptif sinkronis.
Atas dasar pertimbangan itu, dalam beberapa kamus bahasa Arab, kedua istilah itu penggunaanya dibedakan. Penulis melihat, bahwa kelompok yang membedakan kedua term di atas, dipengaruhi oleh anggapan bahwa fiqh lughah sam dengan filologi.
Ada linguis yang mengatakan bahwa ilmu al-lughah mengakaji bukan saja bahasa Arab, tetapi juga bahasa lain (ini yang disebut linguistik umum). Sedangkan fiqh al-lughah hanya mengakaji bahasa Arab. Oleh sebab itu, di antara para linguis Arab ada yang mengatakan bahwa fiqh lugah adalah ilmu al-lughah al-arabiyyah (linguistik bahasa Arab). Term terakhir ini digunakan sebagai judul buku oleh Mahmud Fahmi Hijazy.
Ramdlan Abdut Tawab dalam Fushul fi Fiqh al-Arabiyyah (1994) mengatakan “Term Fiqh al-Lughah sekarang ini digunakan untuk menamakan sebuah ilmu yang berusaha untuk mengungkap karakteristik bahasa Arab, mengetahui kaidah-kaidahnya, perkembangannya, serta berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa ini baik secara diakronis maupun sinkronis.”
Akhirnya saya perlu mengemukakan istilah filologi. Istilah ini, berasal dari kata philologie (Prancis) atau philology (Inggris). Secara etimologis kata ini terdiri atas dua morfem: philo ‘pencinta’, dan loghos ‘ilmu’ atau ‘ucapan’. Dengan demikian secara etimologis filologi berarti pencinta ilmu atau pencinta ucapan.
Secara terminologis, menurut Verhaar (1988: 5): “Filologi adalah ilmu yang menyelidiki masa kuno dari suatu bahasa berdasarkan dokumen-dokumen tertulis.” Pernyataan Verhaar ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Tamam Hasan. Menurut Hasan, filologi adalah ilmu yang mengkaji serta mengkritisi teks-teks klasik dari berbagai aspeknya. Menurutnya, ciri khas filologi adalah berorentasi pada bahasa kuno.
Pada perkembangan berikutnya, selain berorientasi pada bahasa kuno, filologi juga bersifat komparatif. Hal ini terjadi ketika para filolog Eropa menemukan adanya beberapa persamaan antara bahasa Eropa dengan bahasa Sansekerta. Sampai pase ini, filologi mendapat label baru yaitu komparatif.
Pada akhir masa renaisan, para filolog mulai menjamah bahasa Arab, mereka mengadakan perbandingan antara bahasa Arab dngan bahasa Ibrani. Lambat laun, filologi tidak lagi mengkaji bahasa=bahasa kuno, melainkan mengakaji bahasa yang masih hidup.



Disebalik Bahasa : Fiqh Lughah

Posted by taqeyyabella on June 15th, 2009
Fiqh lughah adalah sebuah mata pelajaran yang skop kajiannya adalah apa-apa yang ada disebalik bahasa. Mungkin agak pelik bunyinya akan tetapi inilah ketelitian dan kesungguhan yang tunjukkan oleh para ilmuan islam suatu ketika dulu.
Bahasa Arab merupakan sebuah bahasa dari keluarga besar Bahasa Samiah. Sam adalah anak kepada Nabi Nuh AS. Ia berkembang seiring dengan perubahan zaman. Ketika zaman kerasulan terakhir mula mendekat, masyarakat Arab adalah masyarakat yang bahasa merupakan harta kebanggaan mereka. Tidak ada yang tidak disibukkan dengan bahasa. Setiap individu dan kelompok bersungguh-sungguh meningkatkan kemampuan bahasa masing-masing demi meraih hormat, penghormatan dan tempat di dalam masyarakat. Harta-benda, waktu dan peluang diperuntukkan dengan sewenang-wenangnya demi mempertajam pedang kefasihan.
Dalam keadaan persaingan berbahasa yang sangat sengit, hadirlah sang Rasul utusan yang kepakaran bahasanya melebihi semua yang ada – dan mendapatkan pendidikan khusus dari tangan yang Maha Pencipta-. Kemudian Allah SWT turunkan pula Al-Quran yang mengancam credibility kesemua manusia yang ada dalam bidang ketajaman, keindahan dan kebenaran Al-Quran. Suatu yang mencengangkan dan menjadikan mereka lumpuh tidak dapat menandingi Kalam Allah. Semua mengakui kemukjizatan Al-Quran samaada menyatakannya dengan lidah atau memendam sambil mendustakan.
Kehadiran Al-Quran yang menguja membuatkan mereka mahu tidak mahu menjadikan Al-Quran sebagai silabus baru dalam pendidikan bahasa. Mereka yang hidup di saat ini dari para sahabat disibukkan untuk mengkaji dan menghayati lalu menikmati keindahan Al-Quran.
Islam kemudian disebarkan ke seluruh penjuru alam. Bangsa Arab mula bercampur dengan mereka yang Ajam. Bahasa Arab pula menjadi bahasa antarabangsa yang tentunya ditambah garam dan gula. Kesan dan perubahan menuntut ilmuan ketika itu meletakkan cabang-cabang ilmu yang menjadi panduan agar ketulenan bahasa terjaga dan sentiasa dapat dipelajari dan dirujuk. Maka lahirlah ilmu-ilmu bahasa yang kaedahnya bersumber dari Al-Quran dan apa benar yang syai’ (tersebar) dikalangan masyarakat seperti Nahu, Soraf, Ma’ani, Badi’, Bayan, Dilalah, Tafsir, Ma’ajim dan sebagainya.
Bahasa Arab ketika itu sudah pun mencapai satu tahap yang boleh dianggap masak atau matang dari segi penentuan skop kajian dan cabang ilmu. Namun, para ilmuan ketika itu belum berpuas hati. Masih ada perkara yang lebih mendasar dan bersifat fundamental yang perlu dijadikan bahan kajian. Tampillah tokoh filsafat bahasa Abul Fath Uthman yang lebih dikenali sebagai Ibnu Jinni dengan kajian yang dikemas dalam sebuah buku berjudul Al-Khashaish, Ibnu Faris dengan bukunya Ashhabiy dan Suyuti dengan bukunya Mazhar. Mereka inilah yang mula membuka ruang kajian akan perkara-perkara penting disebalik bahasa itu sendiri. Ibnu Faris di dalam muqaddimah bukunya “Ashohibiy” menyatakan bahawa Ilmu bahasa Arab terbahagi kepada dua jenis. Pertama  : furu’ (cabang) iaitu yang mengkaji akan nama, sifat dan kata kerja seperti kita berkata, pemuda, kuda, panjang, pendek. Semua ini merupkan bahan yang dipelajari pada permulaan. Kedua : Aslu (asal) iaitu perbahasan akan bahan-bahan bahasa, permulaan bahasa, kemunculan bahasa dan seterusnya..
Maka cabang ilmu bahasa ini membahas kajian tentang beberapa isu pokok :
1. Falsafah Bahasa, meliputi kajian tentang asal bahasa manusia pertama dan kemunculannya, pencabangan bahasa dan pencabangan bahasa kepada lahjat.
2. Undang-undang bahasa, undang-undang bahasa umum bahasa seperti qias, ithtiradh, syuzuz dan seterusnya.
3. Matan bahasa, kajian yang berkesinambungan pada kajian kosakata bahasa dari pelbagai sudut seperti isytiqaq, kefasihan, mu’rab, ibdal, qalb dan seterusnya.
4. Lain-lain, pembahasan sekitar bahasa dan anasir-anasirnya, zowahirnya (ciri-cirinya), dari kedua sudut bunyi dan kosakata, semua yang berkait dan membantu pengkajian teori-teori bahasa.
Ramai para pengkaji ilmu ini hanyut di dalam kajian akan asalmuasal bahasa manusia. Namun pengkajian permasalahan bahasa terawal manusia tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Mungkin secara ringkasnya, penyebab gagalnya kajian mengenai asalmuasal bahasa manusia adalah kerana ketidakmampuan manusia memikirkan akan perihal tersebut. Ilmuan terdahulu yang cuba membahas permasalahan ini terbahagi kepada beberapa golongan. Golonan pertama mengatakan bahawa bahasa manusia merupakan suatu yang tauqifi. Iaitu telah ditetapkan oleh Allah SWT.  Golongan ini menyandarkan pendapat mereka kepada beberapa nas dari Al-Quran dan Talmud. Namun, pendapat golongan ini tidak sepenuhnya dapat diterima kerana mereka gagal menjelaskan akan istilah-istilah yang semakin berkembang dari masa ke masa. Ia menutup ruang bagi manusia meletakkan istilah, nama dan bahasa bagi suatu yang baru.
Golongan kedua pula berpendapat bahawa bahasa merupakan ishtilahiy iaitu merupakan penamaan dari manusia. Manusialah yang meletakkan bagi setiap sesuatu istilah dan nama. Persoalan yang timbul bagi pendapat ini adalah, bagaimanakah caranya manusia melakukan tugas menamakan sesuatu yang begitu banyak itu. Adakah manusia berkumpul dan membuat kesepakatan bahawa benda yang bentuknya seperti fulan warna seperti fulan bernama fulan. Bukankah bumi ini mengandung jutaan benda lalu bagaimana manusia mengingatinya dan mengurusinya.
Masih banyak lagi golongan yang memiliki pendapat mereka masing-masing. Ada yang berpendapat ia berasal dari bunyi sesuatu itu. Dari bunyi itu ia berkembang menjadi istilah. Ada pula yang berpendapat bahawa ia merupakan dorongan perasaan manusia terhadap sesuatu lalu menamakan sesuatu itu sesuai dengan perasaan.
Setelah usaha yang diluahkan dalam kajian-kajian ini namun kita gagal mencapai kesimpulan yang memuaskan. Kegagalan ini disebabkan beberapa faktor antaranya adalah kesalahan metode dalam mengkaji asalmuasal bahasa itu sendiri. Para pengkaji seringkali meletakkan garis panduan kajian sepertimana mereka mengkaji suatu bidang atau cabang pemikiran. Atau mungkin juga mereka mengkaji seperti mana mereka mengkaji suatu barang atau benda. Bahkan dapat kita katakan bahawa ia merupakan sebuah kesalahan untuk mengkaji bahasa sebagai sebuah kajian ilmiah. Bahasa bukanlah sebuah benda yang dapat diletakkan di dalam makmal dan dikaji atau dijalankan ujikaji ke atasnya.
Bahasa merupakan manusia ketika ia menjalankan tugasnya. Lalu kesemua yang menyerap ke dalam manusia dari warisan bahasa tidak dapat kita letak di dalam tabung ujikaji kerana sesungguhnya manusia merupakan suara, fikiran, struktur ayat, lingkungan bahasa dan kemanusiaan itu sendiri.
Keterbatasan ini membuatkan usaha kita mengkaji akan asalmuasal bahasa itu menjadi sia-sia dan adalah lebih baik jika kajian ini dialihkan kepada kajian akan ilmu-ilmu mengenai bahasa itu sendiri.
Perkara lain yang menyebabkan kegagalan dalam mengkaji asalmuasal bahasa adalah kerana kajian yang telah dijalankan lebih condong untuk mengkaji asal dari suatu kata yang diwakili oleh sejumlah kata. Kajian mereka bukan pada gambaran asal bahasa. Maka kita mendapati mereka tertanya-tanya, adakah asal kepada bahasa adalah ketetapan dari Allah atau asal bahasa merupakan menamaan dari manusia atau mungkin qudrat yang memang telah dimiliki manusia atau ia ternyata adalah hukum semulajadi alam.
Jelas kekeliruan mereka ketika gagal membezakan antara perbincangan akan asal suatu bahasa (kelompok kata-kata) dan perbincangan akan bahasa itu sendiri.
Para pengkaji akan asalmuasal bahasa juga keliru ketika memfokuskan kajian mereka hanya kepada nama dan benda yang dinamai, istilah dan apa yang diistilahi, dalil dan apa yang didalili. Kita perlu menyedari bahawa bahasa bukan sekadar nama, istilah dan dalil. Bahasa mempunyai ruang lingkup yang lebih luas. Ia mengandung pelbagai aturan dan tahapan. Bermula dari idea, suara, tatabahasa, aturan huruf dalam kata, pembentukan ayat, pemilihan kata dan maksud, kesesuaian keadaan dan lain-lain lagi. Maka kajian mereka itu tidak lain dari mengkaji salah satu dari sudut bahasa dan bukan mengkaji akan bahasa itu sendiri.
Walau demikian, usaha mereka perlu mendapat penghargaan. Bahkan kesan dan pengaruh dari kajian mereka amat besar. Merekalah yang telah mendorong perkembangan kajian. Sebagai contoh, kita dapat menemukan pembahagian bahasa manusia secara keseluruhan. Kajian ini telah bermula dari melihat keserasian – keserasian yang terkandung dalam membentukkan kalimat, membentukkan ayat, jenis suara yang digunakan. Kita dapat melihat ada beberapa bahasa yang seakan-akan merupakan asal dan bahasa lain sebagai cabang. Maka, kajian ini memberi hasil yang besar dalam mengungkap rahsia disebalik suatu bahasa.
Pembahagian terdahulu adalah kepada 3 bahagian iaitu Kumpulan bahasa Yafitsiyyah atau Ariyyah. Iaitu kumbulan bahasa yang dinasabkan kepada Yafist Bin Nuh AS. Kumpulan kedua kepada kumpulan bahasa-bahasa samiah iaitu kumpulan bahasa yang dinasabkan kepada Sam Bin Nuh AS. Kumpulan yang ketiga pula adalah kumpulan bahasa Hamiah iaitu kumpulan bahasa yang dinasabkan kepada Ham Bin Nuh AS.
Pembahagian bahasa dunia (era silam) kepada tiga ini ternyata lebih condong kepada pembahagian berdasarkan letak geografis dan kekuatan politik suatu kaum. Maka, pengkaji di zaman moden seperti Max Muler membuat pembahagian ulang yang lebih terperinci berdasarkan keserasian bahasa. Maka dibahagikanlah kepada 3 kumpulan. 1. Kumpulan Ariyah (Hindudan eropa) [Greek, Latin, Perancis, Spain, Portugal, Roman, Ireland, German, Holland, Rusia, Parsi, Senskret]
2. Kumpulan Samiah dan Hamiah [Babiliah, Aramiah, Finiqiah, Arabiah, Siryaniah, Habsyiah]
3. Kumpulan Tauraniah iaitu bahasa-bahasa lain yang tidak termasuk ke dalam dua pembahagian di atas. Tauraniah hanyalah merupakan istilah bagi memudahkan pembahagian.
Pembahagian ini telah banyak membantu para pengkaji untuk meneliti lebih mendalam akan pelbagai permasalahan bahasa. Ia membantu kita mengenal ciri-ciri asal bahasa seperti bahasa Arab. Kita mula mengenal istilah-istilah yang berkembang dan berpindah. Kita juga mula mengetahui penyebab-penyebab hancurnya suatu bahasa dan kukuhnya suatu bahasa.
Mengenali keluarga besar bahasa Samiah, lalu mengenali keluarga besar bahasa Arab dan akhirnya mengenal bahasa Arab Fushhah memperlihatkan sebuah perjalanan panjang bahasa Arab. Bahasa Fushhah yang akhirnya didominan dengan lahjah Quraisy pada waktu penurunan Al-Quran tidak lain merupakan sebuah bahasa yang telah benar-benar ‘masak’ setelah proses pendewasaan panjang yang telah dilaluinya. Ia dikukuhkan lagi dengan usaha para ulama meletakkan garis panduan yang hari ini kita kenal dengan cabang ilmu seperti nahu, soraf, balaghah, dilalah dan sebagainya.
Contoh mudah yang dapat saya berikan adalah istilah ustaz. Ia bukan asli bahasa Arab akan tetapi ia berasal dari bahasa Farisiah (Parsi) seperti yang terkandung di dalam Kamus Stingash. Ia merupakan sebuah istilah yang diberikan kepada mereka yang pandai mencipta sesuatu. Istilah ini tidak dapat ditemui di dalam syair-syair jahili (era sebelum Islam) yang menjadi bukti bahawa ia bukanlah berasal dari bahasa Arab. Para pengkaji mempercayai bahawa penduduk Iraq adalah mereka yang pertama menggunakan istilah ini memandangkan hubungan erat mereka dengan bangsa Parsi. Penggunaan istilah ini kemudian berkembang sedikit demi sedikit menuju ke Jazirah dan akhirnya sampai pada daratan Syam. Dari Syam ia tersebar ke seluruh penjuru alam yang penduduknya menggunakan bahasa Arab. Tidak hanya perkembangan terjadi dari sudut penggunaan bahasa akan tetapi juga perkembangan dari sudut makna. Jika dulu ustaz ditujukan kepada mereka yang mahir mencipta sesuatu, maka kini ustaz dinaik taraf menjadi anugerah bagi mereka yang mengemban amanah terberat iaitu mencipta manusia.
Memandangkan ia merupakan istilah dari Parsi maka adalah sepatutnya ia berasal dari sin-ta’-zal kerana bahasa Parsi tidak memiliki huruf furu’ seperti alif wau atau ya’.
Berdasarkan dari kata asal Parsi yang diarabkan ini maka Ustaz adalah kata ‘alam (kata khas untuk sesuatu yang telah diketahui). Jika demikian adalah salah jika kita meletakkan tanda ta’nis untuk perempuan seperti ustazah. Bentuk yang betul adalah menetapkannya dalam bentuk asal walaupun ia ditujukan kepada perempuan. Namun, Ibnu Jinni membolehkan seperti kata ini untuk dimasukkan ke dalam kata sifat. Maka diperlakukan seperti kata lain yang mendapat tanda ta’nis ketika dikaitkan dengan perempuan.
Demikianlah bagaimana contoh kajian ini memberi kesan positif agar kita mengenal bahasa kita dan mengembangkannya mengikut dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan sehingga perkembangan dalam bahasa tidak merosakkan struktur asas bahasa. Menguasai bidang ini membuatkan kita mampu mewarisi bahasa tanpa ada perselisihan paham antara golongan yang terdahulu dan golongan yang terkemudian. Inilah diantara rahsia mengapa bahasa Arab 1400 tahun yang lalu masih tidak berubah dengan bentuknya yang asas dari bahasa Arab yang digunakan pada saat ini. Mempelajari asas-asas bahasa akan menyebabkan seseorang mampu memahami setiap teks bahasa tanpa mengira usianya dan zaman ia ditulis.
BUAH UTAMA KAJIAN INI?
Buah utama yang dapat dipetik dari kajian ini adalah mengenal pasti perkara-perkara yang menjadi tulang belakang dan otak suatu bahasa. Menghancurkan fungsi tulang belakang dan otak dapat melumpuhkan suatu makhluk hidup maka begitu juga pada suatu bahasa. Memupuskan bahasa hanya akan terjadi dengan menghancurkan tulang belakang dan otak suatu bahasa. Menghancurkan tulang belakang membuatkan suatu bahasa rapuh tanpa asas-asas yang menjaga jadi rosak sedangkan menghancurkan otak adalah menutup kreativiti yang mendorong perkembangan suatu bahasa sehingga timbul isu kemiskinan istilah dan kekurangan kata. Padahal ia hanyalah berpunca dari gagalnya pemilik bahasa itu mengembangkan bahasa mereka atas asas-asas bahasa mereka sendiri.
Hal ini sangat-sangat dimanfaatkan oleh golongan yang miliki masalah hati. Usaha kajian mereka yang bukan berdasarkan konsep penghambaan kepada Allah yang Maha Esa membuatkan mereka gigih menjauhkan bahasa Arab dari bangsa Arab dari umat Islam.
Itulah sebabnya kita menemukan bagaimana mereka berusaha gigih memperalat bahasa Ammiah sebagai serigala berbulu domba yang dapat memisahkan suatu bangsa dengan bahasa mereka. Saat ini kita dapat melihat bagaimana bangsa Arab kehilangan identiti dengan jahilnya mereka terhadap khazanah agung berupa bahasa Arab. Mereka sentiasa merasa bahasa mereka tidak cukup dan keperluan untuk bergantung kepada bahasa lain. Kita tidak menafikan keperluan untuk mampu berbahasa dengan bahasa peneraju ketamadunan semasa namun adalah sebuah kesalahan apabila meninggalkan bahasa ibunda sendiri. Apalagi jika seandainya bahasa itu mengandung lebih dari sekadar bahasa. Mengandung khasiat keagamaan, kebudayaan dan sopan-santun.


0 comments:

Copyright © 2013. BloggerSpice.com - All Rights Reserved
Customized by: MohammadFazle Rabbi | Powered by: BS
Designed by: Endang Munawar