ADAKAH MUKJIZAT DALAM AL-QUR’AN ? Prof. Dr. H. Saeful Anwar, MA.



ADAKAH MUKJIZAT DALAM AL-QUR’AN ?
Prof. Dr. H. Saeful Anwar, MA.


I.                   Pendahuluan

Mukjizat (mu’jizat) merupakan masalah fundamental yang menjadi obyek kajian ilmu Kalam. Struktur ilmu yang diciptakan kaum Mu’tazilah dan dimodivikasi kaum Asy’ariyah-Maturidiyah ini tersusun dari empat studium. Pertama, studium ‘aqidah Rububiyyah (Ketuhanan) yang dengan teori kebaruan alam menetapkan secara akademik Pencipta ( al-Shani’ ) dengan segala sifat, nama dan perbuatan-Nya. Kalam Khalaf  memang terfokus pada tauhid Dzat, Sifat dan Af’al Allah,[1] yang oleh Ibn Taimiyyah dari kalangan Salafi disebut tauhid Rububiyyah atau Asma’ dan Shifat atau ‘Ilmi yang hanya bersifat teoretis dan karena itu dilengkapinya dengan tauhid Uluhiyyah yang mengandung aspek praktis (ifrad al-‘ibadah lillah),[2] dan sejak abad ke-20 disempurnakan dengan tauhid Hakimiyyah oleh para pemikir muslim seperti Sayyid Qutb dan Abu al-A’la al-Maududi.[3] Esensi dan tujuan studium ini, baik versi khalafi dan salafi maupun ‘ashri adalah menetapkan secara akademik tauhid Uluhiyyah yang menjadi isi Syahadat pertama (Asyhadu an laa ilaha illa Allah). Kedua, studium aqidah Nabawiyyah (Kenabian) yang menetapkan secara akademik kenabian-kerasulan para nabi dan rasul khususnya Nabi Muhammad S.aw terutama berdasarkan mukjizat baik hissiyyah (fisis) pada semua nabi, maupun ma’nawiyyah (non-fisis) berupa al-Qur’an pada Nabi Muhammad S.aw. Inti studium ini adalah menetapkan secara akademik kenabian Nabi Muhammad S.a.w. yang menjadi isi Syahadat kedua, “wa Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”. Ketiga, studium aqidah Sam’iyyat (yang diperoleh berdasarkan informasi dari Nabi S.a.w), yaitu masalah gaibiyyat terutama malaikat, kitab-kitab Allah, kenabian, hari akhir dan qadla-qadar Allah. Keempat, studium Imamah (Kepemimpian) dunia Islam, baik sebagai qadliyyah diniyyah seperti menurut kaum Syi’i, maupun sebagai qadliyyah mashlahiyyah seperti menurut kaum Sunni.
Urgensi studium pertama dan kedua terlihat antara lain dari fakta bahwa Syahadatain merupakan kalimah thayyibah, kalimah munjiyah, intisari din al-Islam dan kunci memasuki Islam, sedangkan dua studium berikutnya merupakan  implikasi dan konsekuensi dari keduanya. Urgensi mukjizat terlihat dari fakta bahwa ia menjadi bukti dan dasar legitimasi ilmiah Syahadat kedua. Hal ini menunjukkan bahwa mukjizat merupakan masalah fundamental yang menjadi obyek kajian ilmu Kalam yang berada dalam studium kedua. Tetapi tema seminar ini, “Adakah mukjizat dalam al-Qur’an ?” bukan hanya menyangkut ilmu Kalam, tapi juga ilmu Tafsir dalam studium  manahij al-tafsir, dalam hal ini “tafsir ’ilmi” (tafsir ilmiah), yang bertujuan menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an pada aspek isi  kandungannya yang berupa ilmu. Upaya pembuktian kenabian Nabi Muhammad S.a.w. seperti dengan mukjizatnya, dan upaya penunjukan kemukjizatan al-Qur’an seperti pada isi atau kandungan ilmiahnya itu, merupakan metode dan proses dakwah untuk membuat kafir menjadi mukmin dan mukmin menjadi mujahid. Karena itu, baik dilihat dari jurusan Akidah-Filsafat, maupun dari jurusan Tafsir-Hadits dan jurusan Dakwah-Komunikasi, cukup tepat dan profesional bila Fakultas atau Gubernur Ushuluddin menyelenggarakan seminar nasional dengan tema di atas, dalam rangka pemantapan iman, pengembangan  ilmu yang bermanfaat dan perealisasian amal saleh. Obyek, tujuan dan perspektif  ini pula yang menenetukan metode kajian yang ditempuh penyaji dalam seminar ini.

II.                Arti, Fungsi dan Macam Mukjizat

Secara etimologis, mu’jizat adalah bentuk isim fa’il (pelaku) dari a’jaza. A’jazahu berarti shayyarahu ‘ajizan au wajadahu ‘ajizan,[4] (menjadikannya lemah/tidak mampu, atau mendapatkannya lemah/tidak mampu). Jadi, “al-mu’jiz huwa man yu’jizu al-ghaira”,[5] (mu’jiz adalah seseorang yang menjadikan orang lain lemah atau tidak mampu), atau “al-mu’jiz ‘ala al-tahqiq khaliq al-‘ajzi” (al-mu’jiz. dalam arti yang sebenarnya adalah pencipta kelemahan). Kata mu’jizat dipakai secara terminologis dalam arti majazi (metaforik), seperti bahwa ayat adalah mu’jizat, yakni menisbatkan i’jaz (pelemahan) kepadanya, karena fungsinya sebagai sebab yang mencegah munculnya tandingan dari makhluk.[6] ‘Abd al-Jabbar mendefinisikannya dengan “al-fi’l al-ladzi yadullu ‘ala shidq al-mudda’i li al-nubuwwah”,[7] (perbuatan yang menunjukkan benarnya orang yang mengaku nabi). Al-Juwaini mendefinisikannya dengan “af’al Allah Ta’ala al-khariqah li al-‘adah al-mustamirrah”,[8] (perbuatan Allah S.w.t. yang menyalahi kebiasaan yang kontinyu). Al-Razi mendefinisikannya dengan “amrun khariqun li al-‘adah maqrunun bi al-tahaddi ma’a ‘adam al-mu’aradlah”,[9] (perkara yang menyalahi kebiasaan yang dibarengi tantangan serta tidak adanya penandingan). Al-Sayuthi mendefinisikannya dengan “al-mu’jizah amrun khariqun li al-‘adah maqrunun bi al-tahaddi salimun ‘an al-mu’aradah,[10] (mukjizat adalah perkara yang menyalahi kebiasaan yang disertai tantangan dan selamat dari penandingan).
Mutakallimin biasa mengajukan persyaratan atau kriteria mukjizat sesuai arti mukjizat sendiri, yang dapat disarikan sebagai berikut : (a) datang dari Allah sebagai tindakan-Nya untuk membenarkan pengakuan nabi atau utusan-Nya, yang fungsinya sama dengan penegasan-Nya “benar kamu”, (b) menyalahi kebiasaan atau sunnatullah kauniyyah  (khariq li al-‘adah) sebagai sesuatu yang transenden,  (c) berkaitan dengan tashdiq (pembenaran) terhadap nabi, seperti bahwa nabi mengklaim dirinya sebagai nabi (unsur di’ayah) dengan bukti mukjizatnya dan menantang untuk menandingi atau melawan mukjizatnya (unsur tahaddi),  mukjizat tersebut sesuai dengan klaimnya dan dengan konteks ruang dan waktu yang diperlukan, serta ada faktor pendorong dan tidak ada faktor penghalang bagi munculnya tandingan atau perlawanan tersebut. [11] Sesuatu yang tidak memenuhi semua kriteria mukjizat tersebut bukan mukjizat, seperti hal yang biasa saja,  irhash, karamah, ma’unat, istidraj, dan sebagainya.
Mukjizat berfungsi sebagai bukti,  indikator dan kriteria kenabian seorang nabi, yang memungkinkan pihak lain untuk mempercayai dan meyakini kebenaran pengakuannya sebagai nabi Allah yang berfungsi sebagai muballig (penyampai) dan  mubayyin (penjelas) bagi ajaran yang diwahyukan Alllah kepadanya. Dengan demikian mukjizat merupakan sarana verifikasi bagi nabi  sekaligus sarana falsifikasi terhadap mutanabbi (“nabi” palsu). Tetapi mukjizat bukan satu-satunya bukti atau indikator kenabian. Ada bukti–bukti lain, yaitu sifat syakhsiyyah (sifat-sifat pribadi) yang wajib dimiliki seorang nabi, yaitu shidiq, amanah, tablig dan fathanah, (yang lawannya kadzib, khiyanat, kitman dan baladah), basyarat (informasi dari nabi atau kitab terdahulu bahwa akan ada nabi yang dimaksud sesudahnya), nabu’at (informasi nabi tentang hal-hal yang akan terjadi di kemudian hari baik ketika nabi masih hidup maupun sesudah wafat dan terjadi sebagaimana dikatakannya), dan tsamarat (buah atau hasil luar biasa dari dakwah dan perjuangan nabi).[12] Meskipun basyarat, nabu’at dan tsamarat bukan syarat mutlak kenabian, tetapi kelima perkara itu ada pada Nabi Besar Muhammad S..a.w. Karena itu, bila kita mempersoalkan mukjizat sebagai sarana dakwah, maka ia bukan satu-satunya sarana yang bisa dikemukakan, tapi bisa pula mengemukakan sarana lain seperti sifat syakhsiyyah, basyarat, nabu’at dan tsamarat dari Nabi Besar Muhammad S.a.w.
Para ulama biasanya mengklasifikasikan mukjizat ke dalam dua kategori. Pertama, mu’jizat hissiyyah (fisis-sensual), yaitu mukjizat yang merupakan penyimpangan dari tradisi atau hukum alam fisis, yang bersifat lokal dan temporer serta muncul pada semua nabi  sesuai kebutuhan. Kedua,  mu’jizat ma’nawiyyah atau ‘aqliyyah (non-fisis atau rasional), yaitu mukjizat yang khusus diberikan kepada Nabi Muhammad S.a.w.  berupa al-Qur’an yang bersifat universal dan eternal sesuai misi dan karakter risalah-nya sebagai nabi universal dan terakhir sampai akhir zaman. Mengenai ini al-Sayuthi mengatakan yang artinya :
Ketahuilah bahwa mukjizat adalah perkara yang menyalahi ‘adat (kebiasaan) yang disertai tahaddi (tantangan) dan selamat dari mu’aradlah (penandingan). Ia adakala bersifat hissiyyah (fisis-sensual) dan adakala ‘aqliyyah (rasional). Mayoritas mukjizat Bani Israil adalah hissiyyah karena kebodohan dan keminiman penalarannya, sedangkan mayoritas mukjizat umat ini ‘aqliyyah karena ketinggian kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya, dan karena syari’at ini bersifat eternal sepanjang masa sampai hari kiamat sehingga dikhususkan dengan mukjizat rasional yang eternal, agar dilihat oleh orang-orang yang memilki penalaran, sebagaimana sabda Nabi S.a.w. : “Tidak ada seorang nabi pun kecuali diberi sesuatu yang di atasnya manusia beriman, tetapi yang diberikan kepadaku hanyalah wahyu yang diwahyukan Allah kepadaku. Karena itu aku berharap agar menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya”. (H.R. Bukhari). Dikatakan bahwa maknanya adalah bahwa mukjizat para nabi terdahulu berakhir dengan berakhir masanya sehingga tidak disaksikan kecuali oleh orang yang menghadirinya, sedangkan mukjizat al-Qur’an berkelanjutan sampai hari kiamat, dan khariq li al-‘adah-nya terletak pada uslub, balagah dan beritanya mengenai hal-hal gaib...[13]


III.             Mukjizat dalam al-Qur’an

Jawaban komprehensif terhadap pertanyaan “adakah mukjizat dalam al-Qur’an ?”, yang menjadi tema seminar ini, dapat dirumuskan sebagai berikut : al-Qur’an merupakan mukjizat yang mengandung mukjizat dan tidak  menapikan atau kontradiksi dengan mukjizat lain. Masalah pertama, yaitu bahwa al-Qur’an merupakan mukjizat menunjuk kepada substansinya sendiri sebagai kalam Allah yang diwahyukan melalui malaikat Jibril kepada nabi Muhammad S.a.w. dalam bahasa Arab yang terang. Masalah kedua, yaitu mengandung  mukjizat,  menunjuk kepada isi kandungannya terutama yang berupa din al-Islam dan ilmu-illmu yang dikandung, dilahirkan atau diisyaratkannya. Masalah ketiga, yaitu tidak menapikan atau kontradiksi dengan mukjizat lain, menunjuk kepada semua mukjizat selain al-Qur’an, terutama mukjizat fisis, baik yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sendiri maupun kepada para nabi sebelumnya.
Bahwa al-Qur’an itu mukjizat,  dikarenakan ia memenuhi arti mukjizat dan semua persyaratannya, seperti datang dari Allah, bersifat khariq li al-‘adah,  menantang untuk ditandingi (tahaddi),  dan adanya pendorong serta tidak adanya penghalang untuk menandinginya (mu’aradlah).
Bahwa ia khariq li al-‘adah terlihat dari fakta bahwa ia yang keluar dari mulut Muhammad  ibn ‘Abdillah yang ummi dan hidup dalam masyarakat Arab yang ummi dan dalam kultur jahili sekitar lima belas abad yang lalu itu, dengan gaya bahasa dan isi kandungan yang di luar jangkauan  seorang ummi dan masyarakat ummi seperti itu, dan sejak dulu sampai dengan zaman canggih seperti sekarang ini belum ada yang mampu menciptakan kitab serupa, merupakan sesuatu yang luar biasa dan menyalahi hukum alam. Fakta ini diakui semua orang yang mengetahuinya baik kawan maupun lawan.
Al-Qur’an juga telah menantang seluruh manusia, bila perlu bergabung dengan seluruh jin,  untuk mendatangkan kitab serupa, baik keseluruhan maupun hanya sepuluh atau satu surat saja.[14] Tantangan ini berlaku universal dan eternal sampai akhir zaman, sebab al-Qur’an menyatakan dirinya berlaku secara universal dan eternal sampai akhir zaman. Bahkan al-Qur’an menantang dengan “melecehkan” bahwa manusia tidak akan mampu menciptakan yang serupa sekalipun untuk itu mereka bergabung dengan jin,[15] satu tantangan dan “pelecehan” yang memancing dan  mendorong keras untuk maju menandinginya.
Selain “pelecehan” tersebut, banyak faktor pendorong lain yang mestinya mendorong manusia untuk menandinginya, baik masyarakat Arab pada zaman Nabi, maupun masyarakat global pada masa kontemporer. Al-Qur’an menghujat “tuhan-tuhan” sembahan Arab yang mereka puja dan puji, dan menuntut agar mereka melepaskan agama watsaniyah yang mereka peluk sejak berabad-abad dan sudah menjadi warisan keperibadian asli bangsanya, meninggalkan kedudukan dan perbuatan kotor yang mereka sukai, mewajibkan kepada mereka sesuatu yang melelahkan badan, mengurangi harta, dan memusuhi kawan serta mencintai lawan karena agama. Ia juga amat sering mengecam keras umat Yahudi dan Nasrani mengenai berbagai hal. Tuntutan-tuntutan seperti ini cukup menjadi sebab dan faktor pendorong untuk membuat tandingan dan perlawanan, dalam keadaan tidak ada penghalang yang menghambat untuk membuat tandingan ini, baik fisis maupun psikhis andaikan mereka mampu menandinginya. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dengan lafaz-lafaz yang tersusun dari huruf-huruf  hija’iyah yang mereka kenal dan mereka pakai dalam menyusun kata dan kalimat mereka, baik bahasa biasa maupun bahasa sastera, dan di kalangan mereka ada sasterawan-sasterawan ulung dalam aneka cabang sastera Arab. Tantangan ini berlangsung terus sejak diturunkanya al-Qur’an sampai akhir zaman karena al-Qur’an merupakan mukjizat sepanjang masa sampai akhir zaman.[16] Tentu saja tuduhan dan stigma tidak ilmiah seperti dari Gibb yang menyatakan bahwa al-Qur’an buatan Muhammad karena isinya merupakan hasil transformasi dari Taurat dan Injil yang dipelajari Muhammad, dan dari Thaha Husain yang menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan refleksi dari sosio-kultural Arab pada zaman Nabi Muhammad,[17] bukanlah tandingan yang ilmiah dan jauh di bawah harga tandingan yang dikemukakan seorang Arab primitif seperti al-Hadlar ibn al-Harits yang sengaja mempelajari kisah raja-raja dan pahlawan-pahlawan Persi untuk menandingi kisah al-Qur’an secara profesional.[18]   
Para ulama Islam sudah cukup luas memaparkan segi-segi kemukjizatan al-Qur’an terutama dalam berbagai kitab ‘ulum al-Qur’an dan tafsir khususnya mengenai i’jaz al-Qur’an. [19] Hanya saja sebagian orang menganggap bahwa kemukjizatan al-Qur’an pada aspek substansial menyangkut aspek kebahasaan  saja tidak cukup, sebab ia hanya berkaitan dengan bangsa Arab terutama para ahli bahasa dan sasteranya, yakni bersifat lokal, yang tidak memadai sifat universalitas Islam sendiri sebagai syari’at yang universal dan eternal sampai akhir zaman. Ini keliru, sebab daya sentuh dan daya tarik lafaz al-Qur’an sebagai mukjizat bukan hanya dirasakan oleh pendengar yang memahami artinya saja, seperti ‘Umar ibn al-Khatthab, al-Walid ibn al-Mugirah, ‘Utbah ibn Rabi’ah, Abu Jahal, Abu Sufyan dan Akhnas,[20] tapi juga tembus ke dalam hati dan fitrah semua manusia yang tidak mengerti maknanya. Ini terbukti misalnya dari fakta banyaknya umat kafir non-Arab yang masuk Islam dan anak-anak yang cepat tidur hanya karena dan sesudah mendengar alunan suara al-Qur’an. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa semua ulama sepakat bahwa kemukjizatan al-Qur’an terdapat pada berbagai segi, baik lafaz dan maknanya maupun spiritualitasnya, yang membuat manusia tak berdaya menandinginya. Juga mereka sepakat bahwa akal manusia sampai sekarang belum mampu menangkap semua segi kemukjizatan al-Qur’an tersebut.[21]
Mengenai masalah kedua, yaitu bahwa al-Qur’an mengandung mukjizat, terlihat dari fakta bahwa al-Qur’an mengandung din al-Islam berikut ilmu-ilmu yang dilahirkannya berupa ilmu-ilmu keislaman (al-‘ulum al-naqliyyah/al-syar’iyyah), dan ilmu-ilmu lain yng diisyaratkan dan berkembang daripadanya yang terkategori al-‘ulum al-kauniyyah (al-‘ulum al-‘aqliyyah/al-hikmiyyah/al-thabi’iyyah/al-ghair al-syar’iyyah).
Din al-Islam sebagai sebuah sistem yang menata kehidupan manusia sebagai makhluk kreatif yang sesuai dengan fitrah manusia yang mencakup hakekat diri manusia sebagai makhluk turunan Adam dan isterinya, yang terdiri dari jasad dan roh yang berakal dengan segala potensi dan nalurinya, yang berujud sebagai identitas ketunggalan dalam mutlaknya kebersamaan dan berfungsi sebagai abdi sekaligus khalifah Allah di bumi, yang selain sifat fitri itu Islam juga komprehensif sebagai sistem hidup universal dan eternal, merupakan sebuah mukjizat yang tak tertandingi dari berbagai aspeknya, dan hingga saat ini belum ada manusia baik individual maupun komunal yang mampu menciptakan sistem hidup sehebat din al-Islam, padahal pendorong untuk menandinginya cukup banyak dan penghalangnya tidak ada. Efektivitasnya dalam membangun peradaban muslim sebagai peradaban dunia baru yang maju, berperikemanusiaan dan berkeadilan, termasuk peradaban intelektualnya, terlihat dalam sejarah kejayaannya ketika umat Islam berpegang teguh padanya sejak zaman Rasul sampai dengan zaman kejayaan khilafat ‘Abbasiyah.  Mengenai daya ikat dan kepatuhan pemeluk terhadapnya yang mampu membuat penganutnya mengorbankan harta dan nyawa untuk membela dan mempertahankannya, daya tahan dalam menghadang nafsu jahat dan intervensi pihak luar, dan daya sebar yang begitu cepat ke berbagai pelosok dunia dan dapat merontokkan berbagai agama dan sistem hidup lain di dunia, terlihat misalnya dari statemen-statemen pihak non-muslim yang dihimpun Jalal al-‘Alim dalam buku Qadat al-Gharb Yaqulun : Dammir al-Islam Abidu Ahlah.
Al-Qur’an juga mengandung dasar-dasar keilmuan  yang kemudian digali, dikembangkan dan diformulasikan oleh para ulama Islam menjadi disiplin-disiplin ilmu keislaman, seperti ilmu kalam, ‘ulum al-Qur’an, ‘ulum al-hadits, ushul fiqh, fiqh, dan tasawuf, berikut ilmu-ilmu alat seperti ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu pelengkapnya seperti ilmu sejarah. Satuan konsep atau teori dalam ilmu-ilmu keislaman itu sendiri sebagai ciptaan manusia bukan mukjizat, tetapi substansi disiplin-disiplin ilmu itu secara keseluruhan dan kemunculannya dari al-Qur’an merupkan mukjizat, sebab merupakan khariq li al-‘adah  di mana tidak ada satu kitab pun di dunia ini selain al-Qur’an yang mampu melahirkan aneka disiplin ilmu seperti yang dilahirkan al-Qur’an, dan al-Qur’an  menantang untuk mendatangkan kitab yang sepertinya, padahal banyak faktor pendorong dan tidak ada faktor penghalang untuk menciptakan disiplin-disiplin ilmu tandingan. Unsur tahaddi dari aspek ini masih terjangkau oleh tahaddi dalam kemukjizatan al-Qur’an secara umum.
Mengenai kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek kandungan ilmiah ini, terutama ilmu-ilmu kealaman, sosial dan humaniora di luar ilmu-ilmu keislaman, para pemikir muslim berbeda persepsi. Abu Hajr telah memetakan pandangan mereka dengan baik yang dapat dikemukakan di sini. Sebagian ulama, baik klasik maupun modern, melihat bahwa al-Qur’an mengandung ilmu yang tidak dikenal musyrikin Arab, ahli kitab dan kitab lain mana pun di dunia ini. Bahkan, menurut al-Ghazali, semua ilmu manusia bersumber dari perbuatan Allah yang telah menciptakan alam semesta dan dasar-dasarnya terkandung dalam al-Qur’an sebagai kalam-Nya.[22] Hal ini, seperti kata Musthafa al-Maragi, tidak berarti bahwa al-Qur’an mengandung semua ilmu secara global dan mendetail, melainkan bahwa ia mengemukakan dasar-dasar umum mengenai segala sesuatu yang harus diketahui manusia untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi serta kesempurnaan fisis dan non-fisisnya, dan menyerahkan kepada para ahli dalam berbagai disiplin ilmu untuk mendeskripsikan rinciannya kepada manusia.[23]
Mereka mengajukan beberapa alasan. Pertama, kemukjizatan ilmiah al-Qur’an merupakan bukti yang paling nyata untuk zaman kontemporer bahwa ia datang dari Allah, terutama sesudah ketinggian rasa bahasa Arab rusak dan standard balaghah sudah kehilangan nilai yang dimiliki bangsa Arab ketika al-Qur’an turun. Kedua, al-Qur’an membawa risalah yang eternal dan universal kepada seluruh manusia di semua ruang dan waktu. Karena itu, agar ia membuktikan kebenaran pembawanya dan sesuai dengan kehujjahannya yang universal, harus menunjukkan kemukjizatannya secara universal kepada seluruh manusia yang mencakup Arab dan non-Arab, yaitu dengan ilmu yang dikandungnya. Ketiga, i’jaz (penaklukan) dengan ilmu, itulah yang dapat menundukkan musuh-musuh Islam dan membungkam ocehan-ocehannya ketika terbukti tidak mampu menandinginya. Inilah arti statemen para ulama bahwa al-Qur’an merupakan mukjizat universal dan permanen sepanjang masa. Memang i’jaz macam ini hanya terwujud dari totalitas al-Qur’an, sebab tidak semua ayat dan surat mengandung i’jaz macam ini. Karena itu ia merupakan kemukjizatan al-Qur’an yang tidak mengandung tahaddi (tantangan) kecuali secara isyarat seperti dalam firman Allah yang artinya : “Seandainya dia (al-Qur’an) datang dari selain Allah pastilah mereka menemukan di dalamnya perbedaan yang banyak” (Q.S. 4 : 82). Keempat, al-Qur’an mengandung banyak pengetahuan mengenai alam dan sosial, di mana zaman terus berjalan dan pengetahuan manusia banyak berkembang dan berubah, sedangkan al-Qur’an tidak menampakkan kesalahan apa pun mengenai hal ini. Keselamatan dari kesalahan ini merupakan salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur’an. Sekalipun hal ini tidak termasuk tantangan Nabi terhadap kaumnya, karena belum muncul, tetapi ia tertabungkan untuk pada waktunya menjdi hujjah atas ahlinya.[24] Menurut mereka, upaya seperti inilah yang membuka orientasi orisinal mengenai masalah mukjizat, yang beralih dari orientasi partikularistik ke orientasi universal yang sesuai dengan perkembangan zaman dan dengan risalah universal yang penyampaiannya diamanahkan kepada para pengembannya.
Di seberang lain ada ulama yang menganggap bahwa kandungan ilmiah al-Qur’an tidak dapat dijadikan segi kemukjizatan al-Qur’an sekalipun dapat menunjukkan bahwa ia datang dari Allah. Alasan mereka antara lain sebagai berikut. Pertama, menjadikan keterkaitan al-Qur’an dengan aneka macam fakta ilmiah sebagai salah satu segi kemukjizatan al-Qur’an mengacaukan antara ilmu tafsir dan ilmu ‘i’jaz al-Qur’an. Mahmud Syakir mengatakan bahwa tujuan tafsir hanyalah menjelaskan makna lafaz-lafaz baik sebagai mufrad maupun sebagai jumlah, dan penunjukan lafaz-lafaz mufrad dan jumlah ini kepada struktur-struktur, baik ayat-ayat khabar dan qashsh maupun ayat-ayat adab, hukum dan lainnya. Ini semua terpisah dari i’jaz al-Qur’an. Tetapi masalah yang terkait dengan syi’ir dan uslub jahili serta uslub bahasa Arab dan lainnya, dan membandingkannya dengan uslub al-Qur’an, jelas termasuk ilmu i’jaz al-Qur’an dan kemudian ilmu balagah. Syakir membedakan secara tegas antara dua hal. Pertama, bahwa i’jaz al-Qur’an adalah dalil (bukti) yang menunjukkan kebenaran kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad S.a.w. yang kepadanya a-Qur’an diwahyukan, bahwa Nabi Sa.w. memperkenalkan i’jaz al-Qur’an dari segi yang daripadanya semua orang yang beriman dari kaumnya yang bangsa Arab mengetahui kemukjizatannya, dan bahwa tahaddi (tantangan) yang terkandung dalam ayat-ayat tahaddi hanyalah tahaddi dengan lafaz, nazam dan bayan al-Qur’an, bukan dengan sesuatu yang di luar itu, seperti dengan informasi tentang sesuatu yang gaib mutlak dan gaib nisbi yang dapat dibenarkan sesudah masa turunnya al-Qur’an, bukan dengan ilmu mengenai sesuatu yang tak tertangkap oleh ilmu orang-orang yang diajak bicara oleh al-Qur’an dari bangsa Arab, dan bukan dengan makna-makna yang tidak terkait dengan nazam dan bayan lafaz al-Qur’an. Kedua, bahwa penetapan dalil kenabian dan pembenaran dalil wahyu, dan bahwa al-Qur’an diturunkan dari Allah seperti halnya Taurat, Injil, Zabur dan lainnya, tidak menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an. Al-Qur’an yang mu’jizat adalah bukti yang pasti atas sahnya kenabian, tetapi sahnya kenabian bukanlah bukti kemukjizatan al-Qur’an. Pembauran antara kedua masalah ini tanpa membedakan satu sama lain telah mengakibatkan pencampurbauran yang parah dalam studi i’jaz al-Qur’an baik klasik maupun modern.[25]
Kedua, apabila kita tidak menemukan kontradiksi antara ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an dengan fakta yang diungkapkan oleh ilmu baik kini maupun di masa depan, bahkan kita temukan kecocokan dan kesesuaian, hal ini bukanlah dalil yang menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an yang berkaitan dengan tahaddi, tapi dalil yang menunjukkan bahwa ia datang dari Allah, sedangkan tidak semua yang datang dari Allah itu mukjizat, sebab Taurat, Injil dan kitab-kitab samawi lain pun datang dari Allah tetapi tidak disebut mukjizat seperti al-Qur’an, dan tidak mengandung tahaddi seperti al-Qur’an.
Ketiga, bahwa ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an tidak mencakup semua surat dan ayat al-Qur’an, tapi hanya pada sebagian surat dan sebagian ayat saja, sedangkan tahaddi terjadi dengan satu surat mana saja dari al-Qur’an sehingga setiap surat dalam al-Qur’an adalah mukjizat yang tidak mungkin dapat dicapai dan ditandingi oleh siapa pun. Seandainya al-Qur’an itu mukjizat karena isyarat-isyarat ilmiah yang tercecer dalam sebagian ayat-ayatnya, tentu banyak surat al-Qur’an yang tidak mengandung isyarat seperti ini bukan mukjizat, padahal tidak ada yang mengatakan demikian termasuk dari kalangan yang mengakui mukjizat ilmiah. Dengan demikian, apa yang ada dalam al-Qur’an berupa berita tentang umat terdahulu dan alam gaib, rahasia-rahasia syarai’at, dan keajaiban-keajaiban alam yang baru diketahui manusia sesudah sekian abad dari waktu turunnya al-Qur’an, yang tidak ada kaitannya dengan tantangan yang diarahkan kepada bangsa Arab, yaitu utuk menandingi segi bahasanya, bukanlah mukjizat.
Keempat,segi kemukjizatan ilmiah ini hanya dapat dipahami dan dikuasai oleh ahli ilmu yang menangkap fakta-fakta ilmiah itu dan meyakini kebenarannya, sehingga semua orang selain mereka tidak mengetahui kemukjizatan tersebut.
Kelima, dalam kemukjizatan segi ini terdapat titik rawan,  di mana sebagian orang yang mengaku memiliki ilmu memaksakan ayat-ayat al-Qur’an untuk mengandung sesuatu yang tidak dikandungnya, dan kadang menisbahkan kepada ilmu sesuatu yang sebenarnya bukan ilmu karena ingin menetapkan kemukjizatan al-Qur’an secara baru.
Sesudah memaparkan kedua pemikiran di atas, Abu Hajr menyimpulkan sebagai berikut. Pertama, bahwa i’jaz dalam arti yang harus disertai tahaddi tidak terwujud secara sempurna kecuali dalam i’jaz bayani, sebab dialah yang terwujud dalam semua surat al-Qur’an. Sedangkan i’jaz ‘ilmi dan segi-segi lainnya yang dikemukakan ulama bukanlah perkara umum yang ada dalam semua surat. Padahal Allah telah menjadikan semua surat sebagai mukjizat yang berdiri sendiri di mana tidak ada seorang makluk pun yang mampu mendatangkan yang sepertinya, seperti dinyatakan dalam Q.S. 2 : 23-24  dan 17 : 88. Kedua, bahwa kedalaman penyampaian al-Qur’an yang cocok dengan realitas yang sudah dan akan tersingkap oleh ilmu di mana tidak terdapat kontradiksi antara keduanya, adalah metode yang ditempuh al-Qur’an dalam mengungkapkannya, yang hal ini kembali kepada i’jaz balagi yang ditantangkan al-Qur’an kepada bangsa Arab dahulu dan seterusnya. Tentu saja bangsa non-Arab ketika mendapatkan kecocokan dan keserasian antara ta’bir Qur’ani dengan hasil singkapan ilmu dapat mengetahui i’jaz al-Qur’an dalam balagah-nya, yaitu yang mendorong orang untuk mengatakan adanya i’jaz ‘ilmi.[26]
Dari fakta di atas terlihat bahwa penolakan mukjizat ilmiah al-Qur’an disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu keharusan adanya unsur tahaddi dalam mukjizat dan pembatasan kemukjizatan al-Qur’an hanya pada segi bahasanya. Unsur tahaddi pada semua mukjizat selain aspek kebahasaan al-Qur’an sebenarnya tidak perlu karena sudah terwakili oleh unsur di’ayah dari Nabi,[27] dan sudah tercakup dalam tahaddi kemukjizatan al-Qur’an yang sebenarnya bersifat umum mencakup aspek bahasa dan isinya termasuk yang berupa ilmu, sebab al-Qur’an adalah haq (kebenaran) yang tidak mengandung kebatilan, dan kebenarannya akan tampak pada ayat kauniyyah yaitu realitas alam semesta dan manusia.[28] Pembatasan kemukjizatan al-Qur’an hanya pada aspek bahasanya tidak mempunyai dasar yang kuat, bahkan ia merupakan penyempitan kemukjizatan al-Qur’an tanpa dasar ilmiah dan kontradiksi dengan sifat universalitas-eternalitas al-Qur’an dan din al-Islam sendiri. Namun demikian, perlu diwaspadai masuknya bias seperti dari intervensi hawa nafsu, semangat apologi, justifikasi, taqlid dan unsur-unsur non-ilmiah lain agar ilmu dimaksud, seperti ilmu-ilmu kealaman, sosial dan humaniora, betul-betul digali umat Islam dari al-Qur’an secara proaktif dan orisinal sehingga menyingkap fakta ilmiah secara meyakinkan, setidak-tidaknya satuan tesis atau teorinya mencapai derajat zann sebagai hasil ijtihad murni seperti dalam ilmu-ilmu keislaman, bukan “memaksa” al-Qur’an untuk melegitimasi sains orang lain secara reaktif. Dasar-dasar ilmiah dan stimulasi ijtihad ilmiah dari al-Qur’an itulah yang lebih merupakan kemukjizatannya, dan dalam kerangka inilah sebenarnya tafsir ilmiah bisa berkembang sehat dan subur seperti dikehendaki al-Ghazali dan yang searah, dan kewaspadaan terhadap masuknya bias itulah latarbelakang utama penolakan para penolaknya.
Abu Hajr memasukkan ke dalam kelompok pendukung tafsir ilmiah dari ulama klasik misalnya al-Ghazali, al-Marisi, al-Zarkasyi dan al-Sayuthi; dari ulama modern yang berlebihan misalnya Muhammad ‘Abduh, Thanthawi Jauhari, ‘Abd al-Rahman al-Kawakibi, ‘Abd al-‘Aziz Isma’il, Hanafi Ahmad, dan ‘Abd al-Razzaq Naufal; dan ulama modern yang moderat misalnya Muhammad Bakhit al-Muthi’i, ‘Abd al-Hamid ibn Badis, Muhammad Musthafa al-Maraghy, Muhammad ‘Abdullah Darraz, Wahid al-Din Khan, Musthafa Shadiq al-Rifa’i, Muhammad Ahmad al-Ghamrawi, Muhammad Jamal al-Din al-Fandy dan Muhammad Thahir ibn ‘Asyur. Para penolak tafsir ilmiah dari zaman klasik misalnya al-Syatibi; dari zaman modern misalnya Muhammad Rasyid Ridla, Mahmud Syaltout, Amin al-Khuli, ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad, Muhammad ‘Izzah Daruzah, Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Sayyid Qutb, ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi dan Isma’il Mazhar.[29] Kategorisasi Abu Hajr ini tidak sepenuhnya tepat, dan dalam operasi penafsiran satuan ayat al-Qur’an sebagian pemikir kadang tidak konsisten pada posisi dalam kategori tersebut.
Mengenai masalah ketiga, berbagai ayat qashash dalam al-Qur’an yang mengisahkan para rasul dan umatnya secara agak panjang, terutama para rasul  Ulu al-‘Azm,  biasanya menampilkan mukjizat pada rasul bersangkutan yang pada umumnya bersifat fisis-sensual.Tetapi nilai kemukjizatannya sebagai sesuatu yang supranatural atau transendental bersifat universal dan eternal, dalam arti berlaku bagi semua orang yag mengetahuinya, baik secara langsung yaitu yang menyaksikannya, maupun secara tidak langsung, yaitu melalui informasi pihak lain, baik orang yang menyaksikan langsung, maupun periwayatan turun-temurun yang meyakinkan atau melalui kitab wahyu yang mengabadikannya seperti al-Qur’an. Apabila mukjizat seorang nabi diberitakan oleh al-Qur’an dan/atau hadits mutawatir dengan dalalah yang qath’i-sharih, maka penolakannya berarti penyangkalan terhadap realitas dan pendustaan terhadap al-Qur’an dan Nabi. Hal ini perlu ditegaskan, sebab penolakan terhadap mukjizat fisis merupakan fenomena sosio-intelektual yang terjadi sepanjang zaman terutama di zaman modern. Jika dahulu ia dianggap sebagai hal yang mungkin terjadi yang berujung pada pengakuan terhadap kenabian nabi atau penolakannya dengan memasukkan mukjizat ke dalam kategori sihir, kini ia oleh sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang mustahil terjadi yang berujung pada penolakan kenabian nabi, atau, bagi yang mengakui nabi, menolak semua nash yang periwayatannya tidak mutawatir (semua hadits Ahad dan Masyhur), atau penakwilan semua nash yang periwayatannya mutawatir (semua hadits Mutawatir dan ayat al-Qur’an) dengan menempatkannya dalam kategori “mutasyabihat”.
Pemustahilan sesuatu yang tidak mustahil, seperti kenabian dan mukjizat, yang merupkan fenomena supranatural-transendental yang hakekatnya termasuk alam gaib dan menjadi obyek keimanan, bertolak dari filsafat realisme ekstrim, yaitu materialisme-naturalisme dalam tataran metafisika, dan empirisme dalam tataran epistemologi, yang menganggap hanya ada satu realitas fundamental yaitu materi dan segala sesuatu yang bersifat material. Filsafat model ini, yang menurut al-Afgani merupakan bahaya laten yang merusak peradaban kemanusiaan sepanjang sejarah,[30]  berkembang sepanjang masa sejak zaman Namrud, Fir’aun dan Yunani kuno seperti pada Aristoteles dan kaum Stoa, kaum mulhid dan zindiq pada masa kejayaan Islam, kaum naturalis-humanis pada masa renessans dan aufklaruung Eropa, sampai dengan kaum Marxis (atheis-komunis) dan Comtis (positivis) yang melanda Eropa sejak paruh kedua abad ke-19 dan masuk ke dunia Islam pada waktu yang sama dan merajalela sejak paruh pertama abad ke-20, serta mendominasi kultur sosio-intelektual dunia dewasa ini. Tetapi di sisi lain ada kaum idealis ekstrim atau akosmik yang mengakui Tuhan tetapi menolak kenabian seperti Brahmanisme dari India, dan ada kaum skeptik absolut atau agnostik yang meragukan segala sesuatu seperti kaum sofis dari Yunani. Kaum mulhid dan sofistha’i ala Yunani, kaum Shabi’i ala Bizantium-Harrani, zindiq ala Persi dan Barahimah ala India, inilah yang dihadapi Mu’tazilah pertama kali dengan filsafat “Panca Sila”-nya (al-Ushul al-Khamsah), termasuk di dalamnya konsep nubuwwah dan mukjizat. Kemudian kaum Asy’ariyah-Maturidiyah tampil meluruskan unsur keterpelesetan (zaig) Mu’tazilah dan berhadapan dengan kaum filosof muslim seperti al-Farabi dan Ibn Sina yang oleh De Boer disebut  the Neo-Platonic Aristotelians of the East”.[31] Dalam menahan arus naturalisme dengan konsep kausalisme absolutnya ini Hujjat al-Islam al-Ghazali tampil dengan mendekonstruksi filsafat naturalisme berikut kausalisme absolutnya terutama dengan Tahafut al-Falasifah dan Fadla’ih al-Bathiniyyah-nya, sekaligus merekonstruksi ilmu Agama Islam dan filsafat ilmu islami seperti dengan Ihya’ ‘Ulum al-Din dan al-Munqidz min al-Dlalal-nya.
Sejak paruh kedua abad ke-19, sebagai efek dari imperialisme Eropa terhadap dunia Islam, di dunia Islam muncul dua trend pemikiran yang oleh al-Bahy disebut kelompok “tajdid” yang berwatak mula’amah dan mukayafah terhadap Barat di satu pihak, yang dipelopori Ahmad Khan, dengan paham naturalismenya, dan Mirza Ghulam Ahmad dengan paham nabi baru, khilafat spiritual dan penghapusan  jihad-nya, dan kelompok “ishlah” yang berwatak “muqawamah” di pihak lain, yang  dipelopori Jamal al-Din al-Afgani dan Muhammad ‘Abduh. Pada paruh pertama abad ke-20, kelompok pertama diteruskan oleh para pengikut orientalis seperti Thaha Husain dengan konsep “basyariyyah” al-Qur’an-nya, dan ‘Ali ‘Abd al-Raziq dengan jargon “al-Islam din la daulah”-nya, kaum positivis seperti Zaki Najib Mahmud dengan jargon “al-din khurafah”-nya, dan kaum marxis seperti Husain Ahmad Amin dengan jargon “al-din mukhdir” dan “al-ilhad huwa al-hill al-wahid li ta’ayusy al-adyan”-nya. Kelompok kedua diteruskan oleh Muhammad Iqbal dari Pakistan.[32] Bisa diikutkan ke dalam kelompok marxis Hasan Hanafi dengan jargon “min al-‘aqidah ila al-tsaurah”-nya, meskipun ia sendiri mengaku sebagai penganut “al-yasar al-islamy”,[33] dan ke dalam kelompok “ishlah” kelompok al-Ikhwan al-Muslimun yang dipelopori Hasan al-Banna di Mesir, dan kelompok Jama’at Islami yang dipelopori Abu al-A’la al-Maududi di Pakistan.
Secara umum, reformasi Muhammad ‘Abduh cukup moderat, sebab ia ingin mensintesiskan substansi Islam dengan baju sains Barat modern. Tetapi unsur-unsur rasionalisme dan saintismenya berekses pada penafsiran liberalnya mengenai ayat-ayat mukjizat fisis, seperti thairan ababil dalam surat al-Fil dengan jaratsim al-waba’, terbelahnya laut untuk Nabi Musa dan umatnya ketika dikejar Fir’aun dengan “al-juzur wa al-mudd”, yang mendapat kritik pedas dari Musthafa Shabri,[34] dan dimanfaatkan oleh kaum positivis dan marxis sebagai alat legitimasi. Karena itu pasca ‘Abduh, kelompok ini terpecah menjadi dua sayap : sayap islami, yang meneruskan dan memperbaiki pemikiran ‘Abduh, dengan tokohnya seperti Muhammad Rasyid Ridla, Syakib Arslan, Musthafa kamil, ‘Abd al-‘Aziz Jawisy dan lainnya, dan sayap sekuler dengan tokohnya seperti Qasim Amin, Ahmad Luthfi al-Sayyid (guru Thaha Husain), Sa’ad Zaglul, Fathi Zaglul dan lainnya, yang kemudian melahirkan kaum positivis dan marxis di atas. Tepatlah kata Ibrahim Mabruk, bahwa Muhammad ‘Abduh telah membuat dam untuk membendung banjir sekularisme-atheisme guna melindungi masyarakat Islam, tetapi dam itu telah menjadi danau sekularisme yang mengalir ke seluruh dunia Islam.[35]
Pengaruh positivisme demikian kuat, sehingga bukan saja telah melahirkan kaum positivis ekstrim seperti di atas, tapi juga mempengaruhi pemikiran sayap islami pasca ‘Abduh, khususnya mengenai mukjizat fisis karena dianggap kontradiksi dengan hukum kausalitas yang diajarkan al-Qur’an yang merupakan mukjizat, seperti terlihat pada beberapa tokohnya. Muhammad Rasyid Ridla (penolak tafsir ilmiah), menafsirkan ayat insyiqaq al-qamar dengan “zhahara al-haq”. Musthafa al-Maraghy mendukung buku Hayat Muhammad karya Muhammad Husain Haikal yang menolak semua mukjizat fisis Nabi Muhammad S.a.w., meski sebenarnya buku itu karya orientalis Prancis yang diterjemahkan Haikal ke dalam bahasa Arab dengan sedikit catatan.[36] Mahmud Syaltout (penolak tafsir ilmiah), menolak mukjizat pengangkatan Nabi ‘Isa ke langit kecuali ruhnya, dan menyatakan bahwa ia sudah wafat dan tidak akan turun kembali ke dunia, padahal hadits mengenai akan turunya kembali Nabi ‘Isa ke dunia lebih dari 70 hadits. Ini semua sejalan dengan jargon positivisme yang didengungkan Farid Wajdi, mantan pemimpin redaksi majalah al-Azhar, “Nur al-Islam”, yaitu “ Kullu ma’qulin la yu’ayyiduhu mahsusun fala yu’taddu bihi”.[37] Itu semua, kata Musthafa Shabri, “Wa kullu hadzihi al-ta’wilat allati la yaqbaluha al-‘aql ‘ala annaha mafhumatun min al-nash al-Qur’ani wa la ya’udduha tafsiran bal tagyiran fahisyan innama turtakabu liihsas al-hajati ila tathbiq al-Islam ‘ala raghabat al-mustasyriqin min al-gharbiyyin wa imalatihi nahwa hawahum in lam tumkin imalatuhum nahwahu allati hiya fi’il al-abthal al-dza’idina ‘an karamat al-Islam bima la ya’uzuhum min al-hujaj”.[38] Fenomena ini secara psiko-sosiologis dapat dijelaskan dengan teori Ibn Khaldun, “anna al-maghlub muli’un abadan bi al-iqtida’i bi al-ghalib”,[39] sehingga mereka lupa bahwa al-Qur’an adalah mukjizat yang mengandung mukjizat dan tidak menapikan atau kontradiksi dengan mukjizat lain. Kata Mahmud ‘Abd al-Halim, “Na’am inna al-Qur’an huwa a’zam al-mu’jizat, lakinna hadza la yunfi anna hunaka mu’jizatin ukhra tsabitatan bi shahih al-Sunnah la yajuzu inkaruha wa qad yakunu fi inkariha masasun bi shamimi al-iman”.[40]

IV.             Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mukjizat merupakan masalah fundamental dalam aqidah Islam yang melegitimasi secara akademik syahadat kedua dari Syahadatain, sehingga ia menduduki posisi strategis dalam ilmu kalam/ ushuluddin, ilmu tafsir dan ilmu dakwah, dan al-Qur’an merupakan mukjizat yang mengandung mukjizat dan tidak menapikan atau kontradiksi dengan mukjizat lain. Kekeliruan sebagian orang mengenai masalah ini disebabkan terutama oleh kuatnya pengaruh orientalis dan naturalisme dengan kausalisme absolutnya. Solusi yang tepat untuk mengatasi problem ini adalah dakwah dan pendidikan dengan kembali kepada akidah Islam dan filsafat ilmu islami yang bersumberkan al-Qur’an dan Hadits, di mana solusi alternatif Hujjat al-Islam al-Ghazali secara umum tak dapat diremehkan.
 Wa Allahu A’lam bi al-shawab, wa alhamdu lillahi Rabb al-‘alamin.



            Serang, 28 Rabi’ al-Tsani 1433 H
                                                                         21 Maret 2012

    
                 Penulis,




Daftar Bacaan

‘Abd al-Halim, Mahmud, al-Ikhwan al-Musliun Ahdats Shana’at al-Tarikh, (Iskandariah : Dar al-Da’wah, t.t.), jld. I-III.
 ‘Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (‘Abidin : Maktabah Wahbah, 1384 H/1965 M).
Abu Hajr, Ahmad ‘Umar, al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Qur’an fi al-Mizan, (Beirut : Dar Qutaibah, 1411 H/1991 M).
Abu Zahrah,  al-Mu’jizat al-Kubra al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.).
Asfihani, al, Abu Nu’aim,  Dala’il al-Nubuwwat, (Beirut : Dar al-Nafa’is, cet. III, 1412 H/1991 M).
Bahy, al, Muhammad, al-Fikr al-Islamy al-Hadits wa Shilatuhu bi al-Isti’mar al-Gharby, (Kairo : Maktabah Wahbah, cet. XII, 1411 H/1991 M).
Baqillani, al, I’jaz al-Qur’an, (Mesir : Dar al-Ma’arif, cet. III, t.t.).
Fandi, al, Muhammad Jamal al-Din, Min Rawa’i’ al-I’jaz fi al-Qur’an al-Karim, (Kairo : al-Majlis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyyah, t.t.).
Ghazali, al, Abu Hamid, Tahafut al-Falasifah, Fadla’ih al-Bathiniyyah, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jawahir al-Qur’an, al-Qisthas al-Mustaqim, dan  al-Munqidz min al-Dlalal.
Hasan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila al-Tsaurah, (Kairo : Madbuli, t.t.), jld. I-V.
Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, (Kairo :  Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, cet. II, 1375 H/1955 M).
Ibn Khaldun, ‘Abd al-Rahman, Muqaddimah Ibn Khaldun, (t.tp. : Dar al-Sya’ab, t.t.), hal. 133-134.
Ibn Taimiyyah, Kitab al-Nubuwwat, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir, Bayan Muwafaqat Sharih al-Ma’qul li Shahih al-Manqul, Ma’arij al-Wushul ila Ma’rifati anna Ushul al-Din wa Furu’ahu qad Bayyanahu al-Rasul, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqd Kalam al-Syi’ah wa al-Qadariyyah.
Juwaini, al, Imam al-Haramain, ‘Abd al-Malik, Kitab al-Irsyad ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, (Kairo : al-Khanji, 1369 H/1950 M).
----------, Luma’ al-Adillah fi Qawa’id ‘Aqa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, (Kairo : al-Dar al-Mishriyyah, 1385 H/1965 M).
 Khalaf, ‘Abd al-Wahab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait : al-Dar al-Kuwaitiyyah, cet.VIII, 1388 H/1968)
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut : Dar al-Masyriq, cet. Ke-28, 1986).
Mabruk, Muhammad Ibrahim, Tazyif al-Islam wa Akdzubat al-Mufakkir al-Islamy al-Mustanir, (Kairo : Dar Tsabit, 1411 H/1991 M).
Maududi, al, Abu al-A’la,  Khilafah dan Kerajaan, terjem. Muhammad al-Baqir, (Bandung : Mizan, cet. II, 1409 H/1988 M).
----------,  The Islamic Law and Constitution, (Lahore : Islamic Publications Ltd., 6th ed., 1977).
Musthafa Shabri,  al-Qaul al-Fashl bain al-Ladzina Yu’minuna bi al-Ghaibi wa al-Ladzina la Yu’minun, (al-Zahra’ : Dar al-Salam, 1407 H/1986 M).
Razi, al, Fakhr al-Din, Mahshal Afkar al-Mutaqddimin wa al-Muta’akhkhirin min al-‘Ulama’ wa al-Hukama’ wa al-Mutakallimin, (Beirut : Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1404 H/1984 M).
Sa’id Hawa, al-Rasul S.a.w. (cet. II, 1391 H/1971 M).
Sayuthi, al, Jalal al-Din, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mesir : al-Mathba’ah al-Azhariyyah, cet. II, 1343 H/1925 M).
Sayyid Qutb, Ma’alim fi al-Thariq, (t.tp : al-Ittihad al-Islamy al-‘Alami li al-Munazzamat al-Thullabiyyah, 1398 H/1978 M).
Shubhi al-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut : Dar al-‘Ilm li al-Malayin, cet. IX, 1977).
Syahrastani, al, ‘Abd al-Karim, Nihayat al-Aqdam fi ‘Ilm al-Kalam, (Mesir : Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyyah, t.t.).
Syarqawy, al, ‘Iffat,  Ittijahat al-Tafsir fi Mishra fi al-‘Ashr al-Hadits, (Kairo : al-Kailani, 1972).
Zarqani, al, Muhammad ‘Abd al-‘Azim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Kairo : ‘Isa al-Babi al-Halabi, t.t.).




[1] Lihat kitab-kitab ilmu Kalam seperti Syarh al-Ushul al-Khamsah karya ‘Abd al-Jabbar, al-Syamil fi Ushul al-Din,  al-Irsyad ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad dan Luma’ al-Adillah fi Qawa’id ‘Aqa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah karya Imam al-Haramain al-Juwaini, al-Iqtishad fi al-I’tiqad karya al-Ghazali, Mahshal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhkhirin min al-‘Ulama’ wa al-Hukama’ wa al-Mutakallimin karya Fakhr al-Din al-Razi, Nihayat al-Iqdam fi ‘Ilm al-Kalam karya al-Syahrastani, dan sebagainya.
[2] Lihat kitab-kitab Ibn Taimiyyah seperti al-Risalah al-Tamuriyyah, al-‘Ubudiyyah, dan sebagainya.
[3] Sayyid Qutb dalam Ma’alim fi al-Thariq , (t.tp : al-Ittihad al-Islamy al-‘Alami li al-Munazzamat al-Thullabiyyah, 1398 H/1978 M), dan kitab tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, Abu al-A’la al-Maududi dalam Khilafah dan Kerajaan, terjem. Muhammad al-Baqir, (Bandung : Mizan, cet. II, 1409 H/1988 M), hal. 53-109, dan The Islamic Law and Constitution, (Lahore : Islamic Publications Ltd., 6th ed., 1977), hal. 44-242.
[4] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut : Dar al-Masyriq, cet. Ke-28, 1986), hal. 488.
[5] ‘Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (‘Abidin : Maktabah Wahbah, 1384 H/1965 M), hal. 568.
[6] Imam al-Haramain Al-Juwaini, Kitab al-Irsyad ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, (Kairo : al-Khanji, 1369 H/1950 M), hal. 307-308.
[7] ‘Abd al-Jabbar, op cit, hal. 568.
[8] Al-Juwaini, Imam al-Haramain,  Luma’ al-Adillah fi Qawa’id ‘Aqa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, (Kairo : al-Dar al-Mishriyyah, 1385 H/1965 M), hal. 110.
[9] Fakhr al-Din al-Razi, Mahshal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhkhirin min al-‘Ulama’ wa al-Hukama’ wa al-Mutakallimin, (Beirut : Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1404 H/1984 M), hal. 301.
[10] Jalal al-Din al-Sayuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mesir : al-Mathba’ah al-Azhariyyah, cet. II, 1343 H/1925 M),  juz II, hal. 116.
[11] Disarikan dari ‘Abd al-Jabbar, op cit, hal. 569-571, al-Juwaini, op cit, hall. 308-315, al-Razi, op cit, hal. 301-315, ‘Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait : al-Dar al-Kuwaitiyyah, cet. VIII, 1388 H/1968 M), hal. 25, dan ‘Iffat al-Syarqawi, Ittijahat al-Tafsir fi Mishra fi al-‘Ashr al-Hadits, (Kairo : al-Kailani, 1972), hal. 270.
[12]Mukjizat, sifat syahshiyyah dan basyarat bisa dilihat misalnya dalam Abu Nu’aim al-Asfihani, Dala’il al-Nubuwwat, al-Razi dalam Mahshal, Ibn Taimiyyah dalam Kitab al-Nubuwwat, dan lainnya. Yang terlengkap mencakup kelima aspek (mukjizat, sifat syakhsiyyah, basyarat, nabu’at dan tsamarat) adalah Sa’id Hawa dalam al-Rasul S.a.w. (cet. II, 1391 H/1971 M).
[13] Jalal al-Din al-Sayuthi, op cit,  juz II, hal. 116-117.
[14] Q.S. 17 : 88, 11 : 13, 2 : 23-24.
[15] Q.S. 17 : 88,  2 : 23-24,  
[16] Ahmad Shafar, al-Sayyid, dalam al-Baqillani, I’jaz al-Qur’an, (Mesir : Dar al-Ma’arif, cet. III, t.t.), hal. 8.
[17] H.A.R. Gibb, Mohammedanism, dan  Thaha Husain, al-Syi’r al-Jahili, melalui Muhammad al-Bahy, al-Fikr al-Islamy al-Hadits wa Shilatuhu bi al-Isti’mar al-Gharby, (Kairo : Maktabah Wahbah, cet. XII, 1411 H/1991 M), hal. 177-195.
[18]Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, (Kairo :  Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, cet. II, 1375 H/1955 M),  jld. I, hal.299-300.
[19] Misalnya kitab Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Muhammad al-Zarqani, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Badr al-Din Muhammad al-Zarkasyi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Jalal al-Din al-Sayuthi, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an karya Shubhi al-Shalih, I’jaz al-Qur’an karya al-Baqillani, I’jaz al-Qur’an wa al-Balaghah al-Nabawiyyah karya Musthafa Shadiq al-Rafi’i, al-Mu’jizat al-Kubra al-Qur’an karya Abu Zahrah, Min Rawa’i’ al-I’jaz fi al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Jamal al-Din al-Fandi, dan sebaginya.
[20] ‘Umar masuk Islam sesudah membaca beberapa ayat al-Qur’an, (Ibn Hisyam, op cit, 343-346). Al-Walib ibn al-Mughirah ketika “mati kutu” dan mengakui kemukjizatan al-Qur’an sesudah mendengar bacaan al-Qur’an dari Nabi sebagai jawaban atas diplomasinya sebagai delegasi kafir Quraisy, (Ibn Hisyam, ibid, I, 270-271). Begitu pula ‘Utbah ibn Rabi’ah, (Ibn Hisyam, ibid, I, 293-294). Tiga orang yang disebut terakhir mengintip Nabi membaca al-Qur’an tiga malam berturut-turut secara sembunyi karena menikmati keindahannya, (Ibn Hisyam, ibid, I, hal. 315).
[21] ‘Abd al-Wahhab Khalaf, op cit, hal.27.
[22] Abu Hamid al-Ghazali, Jawahir al-Qur’an, (Mesir : Kurdistan al-Islamiyyah, 1329 H), hal. 31-34.
[23] Al-Maraghi dikutip melalui Ahmad ‘Umar Abu Hajr, al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Qur’an fi al-Mizan, (Beirut : Dar Qutaibah, 1411 H/1991 M), hal. 128.
[24] Muhammad Rasyid Ridla, dalam Abu Hajar, ibid, hal. 130, mengutip al-Manar I, 207.
[25] Mahmud Syakir, pengantar dalam Malik ibn Nabi, al-Zhahirah al-Qur’aniyyah, hal. 16 dst, melalui Abu Hajar, op cit, 130-131.
[26] Ahmad ‘Umar Abu Hajr, al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Qur’an fi al-Mizan, (Beirut : Dar Qutaibah, 1411 H/1991 M), hal. 128-139.
[27] Ini ditegaskan al-Dawani dalam Syarh al-‘Aqidah al-‘Adludiyyah yang didukung Musthafa Shabri. Musthafa Shabri, al-Qaul al-Fashl bain al-Ladzina Yu’minuna bi al-Ghaibi wa al-Ladzina la Yu’minuna, (al-Zahra : Dar al-Salam, 1407 H/1986 M), hal. 106-107.
[28]Q.S. 41 : 42, 53. Al-Kitab tidak melewatkan suatu apa pun (6 : 38). Islam adalah din al-haq (9 : 33,  48 : 28,  61 : 9) dan fitri (30 : 30).  Islam adalah haq dan haq adalah Islam (2 : 91, 109,  3 : 60,  4 : 169,  5 : 30,  6 :66,  11 : 17,  10 : 94, 108,  13 : 1, 19,  17 : 81,  18 : 29,  23 : 70-71,  32 : 3,  34 : 49,  35 : 31, 24,  42 : 17, 18).
[29] Abu Hajr, op cit, hal. 145-336.
[30] Jamal al-Din al-Afgani, al-Radd ‘ala al-Dahriyyin, terjem. Muhammad ‘Abduh, (Mesir : Maktabah al-Khanji, 1956).
[31] De Boer, T.J., The History of Philosophy in Islam, terjem. Edward R. Jones, (New York : B.D. Dover Publication, INC), hal. 97-153.
[32] Muhammad al-Bahy, op cit, hal. 15-503.
[33] Hasan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila al-Tsaurah, (Kairo : Maktabah Madbuli, t.t.), jld. I-V.
[34] Musthafa Shabri,  al-Qaul al-Fashl bain al-Ladzina Yu’minuna bi al-Ghaibi wa al-Ladzina la Yu’minuna, (al-Zahra’ : Dar al-Salam, 1407 H/1986 M), hal. 81 dan 137-138.
[35] Muhammad Ibrahim Mabruk, Tazyif al-Islam wa Akdzubat al-Mufakkir al-Islamy al-Mustanir, (Kairo : Dar Tsabit, 1411 H/1991 M), hal. 23.
[36] Mahmud ‘Abd al-Halim, al-Ikhwan al-Musliun Ahdats Shana’at al-Tarikh, (Iskandariah : Dar al-Dakwah, t.t.), jld I, hal. 302-303.
[37] Mereka sejak Abduh, Rasyid Ridla, al-Maraghy, Syaltout sampai Farid Wajdi dan Haikal menolak mukjizat fisis dengan dalih menyalahi hukum kausalitas yang diajarkan al-Qur’an, Musthafa Shabri, op cit, hal. 99-122.
[38] Ibid,, hal. 82.
[39] Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (t.tp. : Dar al-Sya’ab, t.t.), hal. 133-134.
[40] Mahmud ‘Abd al-Halim, op cit, jld. I, hal. 303.

0 comments:

Copyright © 2013. BloggerSpice.com - All Rights Reserved
Customized by: MohammadFazle Rabbi | Powered by: BS
Designed by: Endang Munawar