LARANGAN MENDIRIKAN MESJID DIRAR ( SURAT AT-TAUBAH: 107 )
Dikutip dari: http://ilmuislam2011.wordpress.com/2012/03/17/larangan-shalat-di-masjid-dhirar-tafsir-surat-at-taubat-107/
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا
وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا
الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُون
"Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada
orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang
Mukmin), untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang Mukmin serta
menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak
dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah,”kami tidak menghendaki selain
kebaikan.”Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta
(dalam sumpahnya)".[at-Taubah/9:107]
A. SEBAB TURUNNYA AYAT
Ibnu Mardawaih rahimahullah meriwayatkan dari
Ibnu Ishâq rahimahullah yang berkata, “Ibnu Syihâb az-Zuhri menyebutkan dari
Ibnu Akîmah al-Laitsi dari anak saudara Abi Rahmi al-Ghifâri Radhiyallahu
‘anhu. Dia mendengar Abi Rahmi al-Ghifâri Radhiyallahu ‘anhu – dia termasuk
yang ikut baiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari
Hudaibiyah – berkata, “Telah datang orang-orang yang membangun masjid dhirâr
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,pada saat beliau bersiap-siap
akan berangkat ke Tabuk. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, kami telah membangun masjid buat orang-orang yang sakit maupun yang
mempunyai keperluan pada malam yang sangat dingin dan hujan. Kami senang jika
engkau mendatangi kami dan shalat di masjid tersebut.” Kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,” Aku sekarang mau berangkat bepergian,
insya Allah Azza wa Jalla setelah kembali nanti aku akan mengunjungi kalian dan
shalat di masjid kalian.” Kemudian dalam perjalanan pulang dari Tabuk, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristirahat di Dzu Awan (jaraknya ke Madinah
sekitar setengah hari perjalanan). Pada waktu itulah Allah Azza wa Jalla
memberi kabar kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masjid tersebut
(dan larangan shalat di dalamnya) dengan menurunkan ayat ini[1].
B. PENJELASAN AYAT
Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam hijrah ke Madinah, di kota suci ini ada seorang laki-laki dari bani
Khazraj berjuluk Abu Amir ar-Râhib. Lelaki ini pada masa jahiliyah beragama
Nasrani dan mempelajari kitabkitabnya, sehingga dia termasuk orang yang tekun
beribadah pada masa itu. Di sisi lain dia juga mempunyai kedudukan dan pengaruh
besar dalam kabilahnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah
ke Madinah, kaum Muslimin bersatu di bawah tampuk kepemimpinan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; sehingga Islam menjadi kuat, apalagi setelah
Allah Azza wa Jalla memenangkannya pada waktu perang Badar.
Melihat keadaan seperti ini Abu Amir tidak
rela, sehingga dia menampakkan permusuhannya terhadap kaum Muslimin;
sampai-sampai dia pergi ke Mekah menemui orang-orang kafir Quraisy untuk
mengajak memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin
di Madinah. Mereka pun setuju dan kemudian menyusun kekuatan; hingga terjadilah
perang Uhud. Dia juga mengajak kaum Anshar untuk bekerja sama dan menyetujui
pemikirannya. Namun ketika mereka mengetahui maksud buruknya, mereka
berkata,”Wahai musuh Allah Azza wa Jalla, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikanmu
sebagai orang yang dibenci setiap orang yang melihatmu”, Mereka mencaci-maki
dan mencelanya; lalu dia pulang dan berkata,”Demi Allah Azza wa Jalla,
kejelekan telah menimpa kaumku”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
telah mengajaknya untuk masuk Islam serta membacakan al-Qur’ân kepadanya
sebelum dia lari ke negeri Romawi. Meskipun demikian, dia tetap menolak masuk
Islam,[2]
bahkan mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku tidak
menemui suatu kaum yang memerangimu kecuali aku bersama mereka”.[3]
Maka beliau mendoakan dia agar mati di tempat yang jauh dalam keadaan terusir. [4]
Lelaki ini memang selalu bersama orang-orang
kafir dalam semua peperangan melawan kaum Muslimin. Kemudian ketika mereka
kalah dalam perang di Hawazun, dia pergi ke negeri Romawi meminta bantuan raja
Romawi untuk memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sana dia
juga menyuruh orang-orang munafik (dari penduduk Madinah) untuk membangun
masjid dhirâr.[5]
Atas dasar perintah tersebut, mereka lalu
mendirikan masjid berdekatan dengan masjid Quba’. Masjid tersebut selesai
didirikan sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke Tabuk.
Lalu mereka mendatangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meminta agar
beliau mengunjungi mereka dan shalat di masjid itu. Sebenarnya mereka bermaksud
(mengelabui kaum Muslimin) menjadikan shalat beliau ini sebagai hujjah bagi
mereka, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyetujui
pembangunan masjid tersebut. Mereka menyebutkan kepada beliau alasan mendirikan
masjid itu; yaitu untuk orang-orang tua maupun yang sakit (yang tidak bisa
hadir shalat berjama’ah di masjid Quba’) pada saat malam musim dingin (akan
tetapi alasan ini tidaklah benar adanya).[6]
Kemudian Allah Azza wa Jalla melarang rasul-Nya
agar tidak melaksanakan shalat di masjid tersebut, dengan menurunkan ayat di
atas. Penjelasannya:
“Mereka yang mendirikan masjid dhirâr adalah
sekawanan orang (munafik) dari penduduk Madinah yang jumlahnya dua belas orang.[7]
Mereka mendirikan masjid dengan tujuan menimbulkan kemadharatan pada orang-orang
Mukmin dan masjid mereka’,[8]
dan untuk menguatkan kekafiran orang-orang munafik,[9]
serta memecah belah jama’ah kaum Mukminin. Pada awalnya mereka semua shalat
berjamaah di satu masjid (masjid Quba’), kemudian terpecah menjadi dua masjid
(di masjid Quba’ dan masjid dhirâr). Mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk
menyebarkan syubhat, menghasut, menfitnah dan memecah belah shaf kaum Mukminin.[10]
Juga untuk menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah Azza wa Jalla
dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dahulu yaitu Abu Amir
ar-Râhib.[11]
Mereka sesungguhnya bersumpah dengan mengatakan,”Kami tidak menghendaki kecuali
kebaikan yaitu menunaikan shalat dan berdzikir di dalamnya serta memberi
kemudahan bagi para jama’ah.” Dan Allah Azza wa Jalla menjadi saksi bahwa
sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).[12]
Larangan Allah Azza wa Jalla tersebut telah di
sebutkan dengan jelas di dalam ayat berikutnya, yaitu:
لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ
أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“Janganlah kamu shalat di dalam masjid itu
selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari
pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang
yang ingin membersihkan diri. Dan Allah Azza wa Jalla menyukai orang-orang yang
bersih”.[at-Taubah/9:108]
Larangan Allah Azza wa Jalla ini tidaklah
khusus bagi Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi kaum
Muslimin juga termasuk dalam larangan tersebut; sebagaimana dijelaskan oleh
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, “Ayat (di atas) merupakan larangan dari Allah
Azza wa Jalla kepada Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm agar tidak
shalat di masjid tersebut selamalamanya, dan umatnya mengikutinya dalam hal
ini.” [13]
Kemudian Allah Azza wa Jalla memerintahkan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan shalat di masjid
Quba’ yang telah didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama. Maksudnya atas
dasar ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dan juga untuk mempersatukan
ukhuwah kaum Muslimin serta sebagai markas mereka.[14]
Dalam ayat di atas juga terdapat pujian Allah
Azza wa Jalla kepada penduduk Quba’.
Syaikh Abu Bakar al-Jazâiri hafidzahullâh
berkata, “(Di dalam ayat ini) terdapat pujian kepada penduduk Quba’ dan kabar
bahwa mereka adalah orang-orang yang menyukai bersuci dari kotoran badan maupun
hati.” Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ تَقْوَىٰ
مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ شَفَا
جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka apakah orang-orang yang mendirikan
masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang lebih
baik, ataukah orangorang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang
runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersamasama dengan dia ke neraka Jahannam?
Dan Allah tidaklah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.
[at-Taubah/9:109]
Istifhâm (pertanyaan) dalam ayat ini adalah
untuk taqrîr (menetapkan),[15]
(maksudnya menetapkan bahwa mereka kaum Mukminin itu lebih baik daripada
orang-orang munafik).
Maka tidaklah sama antara orang yang mendirikan
masjid atas dasar takwa kepada Allah Azza wa Jalla dan mengharap ridha-Nya
dengan orang yang mendirikan masjid atas dasar kemadharatan, kekafiran dan
memecah-belah kaum Mukminin serta untuk menunggu kedatangan orang yang memusuhi
Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dahulu.
Pada hakikatnya mereka mendirikan masjid di tepi jurang yang akan runtuh,[16]
lalu tepi jurang itu menyebabkan bangunannya runtuh bersama-sama mereka ke
neraka Jahannam.[17]
Seperti halnya mereka membangunnya di tepi neraka Jahannam, sehingga bangunan
itu runtuh bersama mereka ke dalamnya. Dan Allah Azza wa Jalla tidaklah memberi
petunjuk kepada orang-orang yang dzalim sehingga mereka merugi di dunia maupun
di akhirat.[18]
Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَا يَزَالُ بُنْيَانُهُمُ الَّذِي بَنَوْا
رِيبَةً فِي قُلُوبِهِمْ إِلَّا أَن تَقَطَّعَ قُلُوبُهُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Bangunan-bangunan mereka itu senantiasa
menjadi keraguan dalam hati mereka, kecuali jika hati mereka telah hancur, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [at-Taubah/9:110]
Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam menafsirkan
ayat ini mengatakan, “(Bangunan tersebut) menyebabkan keraguan itu melekat di
hati mereka, kecuali jika mereka benar-benar menyesali dan bertaubat atas
perbuatan mereka serta takut kepada Allah Azza wa Jalla. Jika demikian, maka
Allah Azza wa Jalla akan mengampuni mereka. Tetapi jika sebaliknya, maka
bangunan tersebut tidak akan menambah pada mereka, kecuali kemunafikan di atas
kemunafikan. Dan Allah Azza wa Jalla Maha Mengetahui atas segala sesuatu, baik
yang ditampakkan oleh hamba-Nya maupun yang disembunyikan. Maha Bijaksana,
tidak melakukan dan menciptakan, memerintahkan dan melarang kecuali di balik
itu semua ada hikmahnya dan bagi-Nya segala pujian.[19]
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengutus Mâlik bin Dukhsyum saudara Bani Salim dan Ma’an bin Adi seraya
berkata kepada mereka berdua,”Pergilah kalian ke masjid yang didirikan oleh
orang-orang dzalim (masjid dhirâr), kemudian hancurkan dan bakarlah.” Maka
keduanya pun berangkat; sesampainya di perkampungan Bani Sâlim, Mâlik berkata
kepada Ma’an, “Tunggu sebentar, aku akan mengambil api dari rumah keluargaku.”
Sesaat kemudian dia keluar dengan membawa pelepah kurma yang dibakar dan
berjalan dengan Ma’an menuju masjid itu; lalu membakar dan menghancurkannya,
sehingga orang yang berada di dalamnya (berlarian) keluar.[20]
SedangkanAbu Amir ar-Râhib; dia mati di kota
Qansarin (wilayah Romawi) akibat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
atasnya.[21]
C.
PELAJARAN
DARI AYAT
1. Setiap
masjid yang dibangun dengan tujuan memberikan madharat dan memecah belah kaum
Muslimin serta untuk memusuhi Allah Azza wa Jalladan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka hukumnya wajib dihancurkan dan haram shalat di
dalamnya.
2. Tidak
boleh mempercayai perkataan orang-orang munafik, karena perkataan mereka bohong
belaka.
3. Keutamaan
membersihkan diri baik dari kotoran badan maupun kotoran hati.
4. Larangan
berbuat dzalim dan berlebih-lebihan dalam kedzaliman; karena perbuatan tersebut
akan menyebabkan pelakunya tidak mendapat hidayah oleh Allah Azza wa Jalla,
sehingga dia mati dalam keadaan dzalim dan merugi di dunia dan di akhirat.
5. Jika
masjid Quba’ didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama, maka masjid Nabawi
yang dibangun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pantas atas
berlandaskan itu.
D. MARAJI’
1. Aisarut-Tafâsir,
Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri, Maktabah Ulum Walhikam, Madinah. Cetakan kelima
th.1424 H/2003M.
2. Taisîrul
Karîmirrahmân Fî Tafsîri Kalâmil Mannân, Abdurrahmân bin Nâshir bin As-Sa’di,
Muassasah ar-Risâlah – Beirut. Cetakan pertama tahun 1420 H- tahun 2000 M.
3. Ma’âlimut
Tanzîl, Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi, Dâr Thaibah – Riyâdl –
KSA. Cetakan keempat th.1417 H/ th.1997 M.
4. Tafsîrul-Qur’ânil-Adzîm,
Al-Hâfidz Abul Fidâ’ Isma’îl bin Umar Bin Katsîr Al-Qurasyi, Dârut-Taibah
Riyâdl-KSA. Cetakan kedua th.1417 H/ th.1997 M.
5. Irsyâdul
Aqlis Salîm Ilâ Mazâyal Qur’ânul Karîm (Tafsîr Abu Su’ûd), Muhammad bin
Muhammad Al-‘Imadi Abu Su’ûd, Dâr Ihya’ Turâts Al-Arabi – Beirut.
6. Al-Jâmi’
li-Ahkâmil Qur’ân, Abu Abdillâh Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farah
Al-Anshâri Al-Qurthubi, Dâr Alamul-kutub – Riyâdl–KSA. Cetakan th.14 23 H/th.2003
M.
7. Jâmi’ul-Bayân
‘an Ta’wîlil Ayil-Qur’ân, Muahammad bin Jarîr Abu Ja’far at-Thabari, Mu’assasah
ar-Risâlah – Lebanon. Cetakan pertama th.1420 H/ th.2000 M.
8. Lubâbun
Nuqûl Fî Asbâbin Nuzûl, Abdurrahmân bin Abu Bakr bin Muhammad As-Suyûthi Abul
Fadhl, Dâr Ihyâ’il Ulûm – Beirut
[1]
Lubâbun-Nuqûl fî Asbâbin-Nuzûl (Hal.115).
[2]
Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.210-211)
[3]
Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.425)
[4]
Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.210-211)
[5]
Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.425).
[6]
Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.211)
[7]
Tafsir Ath-thabary (Juz 14 / Hal.468).
[8]
Tafsir As-Sa’di (Hal.351).
[9]
Tafsir Abu Su’ûd (Juz 4 / Hal.102).
[10]
Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.425)
[11]
Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8 / Hal.257).
[12]
Tafsir Abu Su’ûd (Juz 4 / Hal.102).
[13]
Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.212)
[14]
Ibid.
[15]
Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8 / Hal.263).
[16]
Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.217).
[17]
Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.426).
[18]
Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.426)
[19]
Tafsir As-Sa’di (Hal.351)
[20]
Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.212)
[21]
Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8 / Hal.257)
0 comments: