“MANUSIA DAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF YUNANI”
“MANUSIA DAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF YUNANI”
(Diajukan Guna
Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah Filsafat Pendidikan
Islami yang Dibimbing Oleh DR. H. Dindin Jamaludin, M.Ag.)
MAKALAH
Disusun Oleh:
Fathimah Madaniyyah
NIM. 2.213.3.040
Frida Firdiani
NIM. 2.213.3.043
PAI-K (A)
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
PASCASARJANA UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014 M/1435 H
PENDAHULUAN
Konsep Dasar Pendidikan
Selama 5000 tahun
sejarah yang tercatat, pendidikan di rumah, gereja, atau sekolah telah
merupakan cara penting untuk menyebarkan tradisi-tradisi dan pengetahuan
praktis kepada generasi-generasi yang berikutnya. Hal ini dapat dicontohkan
oleh binatang yang mengajarkan kebiasaan-kebiasaan dan ketrampilan-ketrampilan
kepada anak-anak mereka melalui peniruan dan disiplin karena belajar adalah
perlu bagi kelangsungan hidup dalam satu lingkungan yang bermusuhan. Akan
tetapi hanya manusia yang telah menemukan berbagai sistem pendidikan dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang sangat penting dan mencapai tujuan pribadi
maupun tujuan sosial.
Perkembangan bahasa
telah memungkinkan manusia dalam masyarat yang paling primitif sekalipun untuk
menambah peniruan dan disiplin dengan pelajaran-pelajaran lisan tentang
keselamatan dan tugas-tugas ekonomi. Akan tetapi bagi para penguasa yang
terdorong oleh ambisi politik mereka menggunakan program-program pendidikan
untuk memajukan kepentingan-kepentingan kebangsaan mereka. Para pemimpin agama
dan para ahli filsafat yang megabdi kepada cita-cita moral telah berusaha untuk
menuntun masyarakat mereka ke arah standar-standar hidup dan kebudayaan yang
tinggi melalui pendidikan.
Pendidikan adalah
segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan (Ngalim Purwanto,
2002:11). Berbicara masalah pendidikan meliputi cakupan yang cukup luas, bahkan
dalam mendefinisikan pengertian pendidikan juga bervariasi. Ada yang
mengartikan pendidikan sebagai proses yang di dalamnya seseorang mengembangkan
kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di lingkungan
masyarakat dimana ia berada. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses
sosial, di mana seseorang dihadapkan pada kondisi dan pengaruh lingkungan yang
terpilih dan terkontrol (contoh paling nyata sekolah) sehingga yang
bersangkutan mengalami perkembangan secara optimal (Dictionary of Education dalam T. Sulistyono, 2003).
Pendidikan adalah
usaha manusia untuk kepentingan manusia. Jadi pada saat manusia itu ada dan
masih ada, pendidikan itu telah dan masih ada pula. Pada kenyataannya dapat
kita telaah bahwa praktek pendidikan dari zaman ke zaman mempunyai garis
persamaan. Garis persamaan atau benang merah pendidikan itu ialah:
a. Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan yang
tidak dapat dipisahkan.
b. Pendidikan merupakan kegiatan yang bersifar
universal.
c. Praktek
pelaksanaan pendidikan memiliki segi-segi yang umum sekaligus memiliki keunikan
(ke-khasan) berkaitan dengan pandangan hidup masing-masing bangsa.
Dari beberapa
definisi tersebut menunjukkan melihat pendidikan dari sudut pandang yang
berbeda. Yang pertama, melihat dari sudut pandang psikologis, dan yang kedua dari
sudut pandang sosiologis. Banyak sudut pandang untuk dapat merumuskan
pengertian pendidikan sehingga banyak juga definisi tentang pendidikan. Namun
demikian, yang jelas bahwa pendidikan adalah proses untuk membina diri
seseorang dan masyarakat agar dapat survive
dalam menjalani hidupnya. Dan yang tidak kalah pentingnya, kita dapat
menggali makna pendidikan dari rentetan sejarah yang menyorot urgensi ilmu
pengetahuan, termasuk di Zaman Kuno yang di dalamnya terdapat eksistensi Yunani
dalam mengemban pendidikan itu sendiri.
Aliran-Aliran dalam Pendidikan
Makna pendidikan
sangat luas, dan setiap orang dengan pandangan tertentu merumuskan arti
pendidikan berbeda dari rumusan pendidikan yang dirumuskan seseorang ahli
dengan pandangan yang lain. Begitu pun kalau secara khusus kita kuatkan dengan
proses pendidikan sebagai proses pembinaan peserta didik sebagai subjek didik.
Dalam hal ini memang ada beberapa aliran dalam pendidikan:
Aliran
Nativisme, tokoh aliran ini adalah Schopenhauer (Jerman: 1788-1860).
Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh
faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir; pembawaan yang telah terdapat
pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Potensi
yang dibawa sejak lahir atau pembawaan inilah yang sepenuhnya mempengaruhi
perkembangan anak, yang baik akan menjadi baik, dan yang jelek akan menjadi
jelek. Menurut kaum nativisme tersebut, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat
pembawaan, sehingga percuma saja kita mendidik, atau dengan kata lain
pendidikan tidak diperlukan. Dalam ilmu pendidikan hal ini disebut pesimisme
pedagogis.
Aliran Empirisme, tokoh dari aliran ini
adalah John Locke (Inggris: 1932-1704). Pandangan aliran ini berlawanan dengan
kaum nativisme, karena berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi
manusia dewasa itu ditentukan oleh lingkungannya, atau oleh pendidikan dan
pengalaman yang diterimanya sejak kecil. Menurut aliran ini, manusia dilahirkan
putih bersih seperti kertas putih, tidak membawa potensi apa-apa. Perkembangan
selanjutnya tergantung dari pendidikan dan atau lingkungannya. Dalam artian,
bahwa manusia dapat dididik menjadi apa saja (ke arah yang baik maupun
sebaliknya), menurut kehendak lingkungan atau pendidiknya. Dalam pendidikan,
pendapat kaum empiris ini terkenal dengan nama optimisme pedagogis. Dalam hal
ini pendidik memegang peranan yang sangat penting dengan menyediakan lingkungan
pendidikan dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman (empiri:
pengalaman).
Aliran Naturalisme, tokoh aliran ini
adalah JJ. Rousseau (Prancis: 1712-1778). Nature
artinya adalah alam atau apa yang dibawa sejak lahir. Hampir senada dengan
aliran nativisme, maka aliran ini berpendapat bahwa pada hakikatnya semua anak
(manusia) sejak dilahirkan adalah baik. Perkembangannya kemudian sangat
ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika
pengaruh/pendidikan itu baik, akan menjadi baik, tapi jika pengaruh itu jelek,
akan jelek pula hasilnya. Seperti dikatakan oleh tokoh aliran ini JJ. Rousseau:
“…semua anak adalah baik pada waktu baru datang dari tangan Sang Pendipta,
tetapi semua menjadi rusak di tangan manusia”. Artinya, anak hendaknya
dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia atau
masyarakat jangan banyak mencampurinya.
Aliran Konvergensi, tokoh dari aliran
ini adalah William Stern (Jerman: 1871-1939), yang berpendapat bahwa anak sejak
lahir telah membawa pembawaan atau potensi- potensi, namun dalam perkembangan
selanjutnya ditentukan bersama baik oleh pembawaan maupun lingkungan atau
pendidikan. Pembawaan tidak akan berkembang dengan baik jika tidak ada dukungan
pendidikan dan atau lingkungan. Sebaliknya pendidikan dan atau lingkungan tidak
akan berhasil baik manakala pada diri anak tidak ada pembawaan yang
mendukungnya.
Menurut Stern,
pendidikan tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seakan ada dua garis lurus
yang menuju ke suatu titik temu (convergen : menuju ke suatu titik). Aliran
konvergensi pada umumnya dapat diterima secara luas, walaupun masih ada juga
beberapa kritik terhadapnya. Aliran konvergensi dikritik sebagai aliran yang
cocok untuk hewan dan tumbuh-tumbuhan, kalau bibitnya baik dan lingkungannya
baik maka hasilnya pasti baik. Padahal bagi manusia hal itu belum tentu, karena
masih ada faktor lain yang mempengaruhi yaitu pilihan atau seleksi dari yang
bersangkutan.
PEMBAHASAN
“MANUSIA DAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF YUNANI”
A. Perkembangan Pendidikan Yunani
Manusia berada dan
diciptakan dalam sejarah. Di satu sisi, manusia menentukan perjalanan sejarah
tetapi di sini lain, dalam arti khusus, manusia juga diciptakan oleh sejarah.
Manusia tidak bisa berada di luar dari sejarah, sebaliknya, ia selalu berada
bersama dengan perjalanan sejarah. Selain itu, ia juga menemukan dirinya
sebagai “yang bereksistensi” dalam sejarah dan bukan di luar sejarah. Agar
perjalanan sejarah dapat bernilai maka, pertama-tama ia harus membuat dirinya
bernilai di dalam dan di hadapan sejarah.
Demi pencapaian
tujuan inilah maka banyak orang dalam perjalanan sejarah telah terlibat dalam
memikirkan, bagaimana membuat diri manusia bernilai, bermoral dan baik sehingga
mengakibatkan dunia yang bernilai, bermoral dan baik. Munculah para ahli
filsafat. Pertanyaan tentang filsafat dari masa ke masa menimbulkan
perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat, sampai menimbulkan muculnya
ilmu-ilmu baru; mulai dari teologi dan sampai kepada teknologi.
Salah satu ilmu
yang cukup berkembang yaitu pedagogi atau
yang sering disebut juga dengan edukasi atau pendidikan. Perkembangan ilmu ini
juga sebenarnya telah ada sejak manusia memikirkan tentang dirinya di hadapan
dirinyaa, alam, lingkungan dan bahkan Tuhan. Tetapi secara perlahan, menjadi
suatu ilmu yang berdiri sendiri, otonom. Secara umum dapat kita kelompokkan
perkembangan pedagogi menjadi lima zaman: Zaman Kuno atau Tua (antik), Zaman
Kekristenan Awal, Zaman Pertengahan, Zaman Modern dan Zaman Kontemporer. Di sini
kita akan melihat sedikit perkembangan serta tokoh-tokoh yang telah
menyumbangkan pemikiran pedadoginya kepada dunia pendidikan, termasuk peran
serta Yunani (Zaman Kuno atau Tua).
Yunani Kuno memang
tidak lepas dari eksistensinya di ranah pendidikan. Yunani Tua alias Kuno ini terbagi
menjadi dua, Sparta dan Athena. Penduduk Sparta disebut bangsa Doria, sedangkan
penduduk Athena disebut bangsa Lonia. Kedua negara tersebut merupakan Polis
atau negara kota. Sparta dengan ahli negaranya Lycurgus, sedang Athena dengan
ahli negaranya Solon. Pada kedua negara tersebut terdapat perbedaan-perbedaan
dalam dasar, tujuan, pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Orang-orang Sparta
mementingkan pembentukan jiwa patriotik yang kuat dan gagah berani (Djumhur,
1976:24).
1. Sparta
Sparta adalah
negara Aristokrasi-militeristis. Dasarnya Undang-undang Lycurgus (± 900 SM).
Ciri pendidikannya yaitu pendidikan diselenggarakan oleh negara dan hanya untuk
warga negara merdeka. Pendidikan di Sparta didasarkan atas dua asas:
a. Anak adalah milik negara;
b. Tujuan
pendidikan adalah membentuk serdadu-serdadu pembela negara serta warga negara.
Tujuan pendidikan
Sparta adalah membentuk warga negara yang siap membela negara (membentuk
tentara yang gagah berani). Ciri-ciri pendidikannya adalah :
a. Pendidikan diperuntukkan hanya bagi warga
negara yang merdeka (bukan budak);
b. Lebih mengutamakan pendidikan jasmani.
c. Anak-anak yang telah mencapai umur 7 tahun
diasramakan.
Pelaksanaan
pendidikannya yaitu anak-anak dibiasakan menahan lapar, tidur di atas bantal
rumput, dan pada musim dingin hanya memakai mantel biasa saja. Sifat-sifat yang
harus dimiliki tentara, seperti keberanian, ketangkasan, kekuatan, cinta tanah
air, dan tunduk pada disiplin selalu mendapat perhatian. Sebaliknya, pelajaran
seperti kesenian dianggap tidak terlalu penting dan diabaikan. Musik dan
nyanyian hanya dijadikan alat untuk mempengaruhi jiwa dalam melaksanakan dinas
ketentaraan (A. Ahmadi, 1987:162).
2. Athena
Athena adalah
negara demokrasi. Dasar yang dipakai adalah: Undang-undang Solon (± 594 SM).
Berbeda dengan Sparta, tujuan pendidikan Athena adalah membentuk warganegara
dengan jalan pembentukan jasmani dan rohani yang harmonis (selaras). Ciri-ciri
pendidikan di Athena adalah:
a. Pendidikan diselenggarakan oleh keluarga dan
sekolah;
b. Sekolah diperuntukkan bagi seluruh warga
negara (bebas).
Materi atau bahan
pelajaran terbagi atas dua bagian: gymnastis dan muzis. Gymnastis untuk
pembentukan jasmani, sedangkan muzis untuk pembentukan rohani. Pendidikan
jasmani diberikan di Palestra, tempat bergulat, lempar cakram, melompat, lempar
lembing (pentathlon atau pancalomba). Pembentukan muzis meliputi: membaca,
menulis, berhitung, nyanyian, dan musik. Dalam perkembangannya dalam
pembentukan muzis akan dipelajari artes liberales atau “seni bebas”, yang
terdiri dari:
a) Trivium (tiga ajaran), yaitu: grammatica;
rhetorica (pidato); dan dialektika yaitu ilmu mengenai cara berpikir secara
logis dan bertukar pikiran secara ilmiah;
b) Quadrivium (empat ajaran), yang terdiri dari:
arithmetica (berhitung); astronomia (ilmu bintang); geometria (ilmu bumi alam
dan falak); musica.
Dalam membaca,
diberikan dengan metode mengeja (sintetis murni); dan menulis dilakukan pada
batu tulis yang dibuat dari lilin (Djumhur: 1976). Pendidikan warganegara
sangat diutamakan di Yunani, terutama di Sparta. Segala kepentingan negara
diletakkan di atas kepentingan individu (perseorangan). Dalam perkembangannya
muncul keinginan untuk mendapat kebebasan pribadi, terutama dari kaum sofist.
Kaum sofist adalah
kelompok orang yang tidak mengakui kebenaran mutlak dan berlaku umum. Mereka
berpendapat, bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (anthroposentris,
anthropos: manusia; sentris: pusat). Sesuatu dianggap benar kalau itu menimbulkan
keuntungan atau kemenangan. Kebenaran bersifat relatif (tergantung kapan dan
siapa yang melihat).
Akibat dari ajaran
sofisme tersebut adalah, turunnya nilai-nilai kebudayaan, merosotnya
nilai-nilai kejiwaan, pembentukan harmonis antara jiwa dan raga dikesampingkan
dan sebagainya. Orang mencari pengetahuan dengan tujuan untuk mencapai keظزوة bendaan semata
(intelektual-materialistis). Kepentingan negara harus tunduk kepada kepentingan
perseorangan. Pendidikan kecerdasan lebih penting daripada pendidikan agama dan
kesusilaan.
B. Filusuf-filusuf Pendidik
Yunani
1. Pythagoras (580-500 SM)
Tujuan pendidikan:
membentuk manusia susila dan beragama. Beberapa cita-cita yang menjadi dasar
pendidikannya:
a. Hanya jiwa yang
berharga, bukan badan;
b. Jiwa berasal dari dewa-dewa dan hidup terus
jika badan telah mati;
c. Sejak kecil
manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat jahat, pendidikan harus membawa
manusia ke arah kesempurnaan;
d. Kesempurnaan adalah
kebajikan, yaitu keselarasan antara jiwa dan raga, harmoni dalam hubungan
antara manusia, harmoni pula dalam negara.
Untuk melaksanakan
cita-cita tersebut, ia mendirikan sebuah lembaga dengan nama “Lembaga
Pythagoras”. Anggotanya hidup bersama-sama dan patuh pada aturan-aturan
tertentu. Lembaga tersebut terdiri dari Tiga
bagian:
Bagian 1: terdiri dari
calon-calon anggota dalam masa percobaan 3 tahun. Selama itu ia harus dapat
mengatasi penderitaan-penderitaan dan harus membuktikan kesanggupan dalam
menempuh jalan hidup yang saleh;
Bagian 2: merupakan
lanjutan dari bagian 1, tetapi masih diasingkan dari anggota-anggota penuh, dan
mendapat ajaran dari Pythagoras sendiri;
Bagian 3: terdiri dari
anggota-anggota yang dianggap sudah cukup memenuhi syarat, mendapat hak dan
kepercayaan yang penuh, mereka mendapat ajaran dari Pythagoras sendiri.
2. Socrates (469-399 SM)
Merupakan tokoh
yang melawan ajaran sofisme. Ia berpendapat bahwa yang menjadi ukuran
segala-galanya bukan manusia melainkan ke-Tuhanan (theosentris, theo: Tuhan).
Berlawanan dengan Pythagoras, Socrates percaya bahwa manusia mempunyai
pembawaan untuk berbuat baik. Socrates berpendapat bahwa ilmu adalah sumber
dari kebajikan, oleh karena itu ia dianggap perintis kaum Philantropin: cinta
pada sesama manusia.
Dalam pelaksanaan
pengajarannya, dia melakukan dialog, percakapan, dan tanya jawab dengan
masyarakat di jalan-jalan, di taman, dan pasar. Socrates selalu mengajarkan
bahwa manusia itu berpengetahuan hanya dalam sangkaannya saja, padahal yang
sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa, dan mereka akhirnya sampai pada
kesimpulan bahwa mereka hanya mengetahui satu hal, yaitu bahwa mereka tidak
tahu apa-apa. Dengan begitu maka pada diri manusia itu tumbuh keinginan untuk
mengetahui yang sebenarnya. Dengan jalan induksi, mereka dibawa kepada ilmu
yang sebenarnya (menarik kesimpulan sendiri). Beberapa jasa Socrates:
a. Pelopor dari
ilmu kesusilaan. Ia berpendapat bahwa filsafat merupakan alat untuk mencapai
kebajikan;
b. Pelopor dari
ilmu mengenai pengertian-pengertian. Ia berusaha selalu mencari hakikat dari
benda-benda, yakni pengertian-pengertian;
c. Pythagoras dan Socrates adalah peletak dasar
paedagogik moral.
Pada akhir
hidupnya, Socrates dijatuhi hukuman minum racun oleh hakim, apabila ia tidak
bersedia menarik kembali ajarannya. Socrates dianggap telah merusak akhlak
pemuda, dan difitnah oleh kaum sofis telah mengajarkan dewa-dewa baru dan
membelakangi dewa-dewa resmi.
3. Plato (427-347 SM)
Plato adalah murid
Socrates. Ia adalah seorang bangsawan. Saat Socrates dijatuhi hukuman minum
racun Plato melarikan diri dan mendapat perlindungan dari keluarganya. Sistem
pendidikan yang lengkap dan merupakan bagian dari ajaran ketatanegaraan pertama
disusun oleh Plato, ia adalah seorang pengarang pertama di Yunani. Tujuan
pendidikan menurut Plato adalah: membentuk warga negara secara teoritis dan
praktis. Setiap manusia bertugas untuk mengabdikan kepentingannya kepada
kepentingan negara. Oleh sebab itu pendidikan harus diselenggarakan oleh negara
dan untuk negara.
Dengan prinsip
tersebut Plato disebut sebagai pencipta Pendidikan Sosial. Ia berpendapat bahwa
kesulitan-kesulitan politis dapat diatasi apabila ada keadilan. Keadilan akan
terwujud bila setiap orang melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Dengan demikian
tujuan pendidikan itu selanjutnya adalah untuk membentuk negara susila yang
berdasarkan keadilan (Lebih lanjut dapat dibaca dalam Achmadi, 1987).
Dalam pendidikan
moral, Plato berpendapat bahwa anak-anak telah dapat melakukan suatu perbuatan
meskipun mereka belum sanggup menyadari atau memahaminya. Sehingga pendidikan
harus dimulai sejak kecil, yaitu dengan pembiasaan dan kemudian pengajarannya.
Pengaruh Plato sangat besar, misalnya dalam pemerintahan gereja Abad
Pertengahan. Meskipun dipengaruhi oleh bangsa Yahudi, namun pemerintahan gereja
sangat Platonis.
4. Aristoteles (384-322 SM)
Ia adalah murid
dari Plato dan telah berguru selama 20 tahun. Bukunya yang terkenal mengenai
cita-cita pendidikan adalah: Politica dan Anima. Seperti halnya dengan Plato,
maka Aristoteles pun menghendaki pendidikan negara. Cita-cita pendidikannya:
kebajikan itu diperoleh dengan jalan aman, melalui pengalaman,
pembiasaan-pembiasaan, akal budi, dan pengertian. Pendidik harus mempelajari
dan memimpin pembawaan dan kecenderungan anak-anak. Dengan latihan dan
pembiasaan mereka diajar melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang
buruk.
Menurutnya sumber
pengetahuan adalah pengalaman, pengamatan, yang menghasilkan bahan untuk
berpikir. Dalam satu hal ia sefaham dengan J. Locke, bahwa jiwa seseorang pada
waktu dilahirkan tidak berisi apa-apa (tabula rasa). Pendidikan formal
menurutnya berakhir pada usia 21 tahun, dan periode ini terbagi menjadi empat
bagian:
a. Pendidikan sampai dengan usia 5 tahun;
b. Pendidikan sampai dengan usia 7 tahun;
c. Pendidikan sampai dengan usia pubertas;
d. Pendidikan sampai dengan usia 21 tahun.
Dalam prinsipnya,
sebelum usia lima tahun, hendaknya pendidikan bersifat sewajarnya, disesuaikan
dengan keadaan anak. Membaca, menulis, ilmu hitung, gymnastic, dan musik
dianggap sebagai mata pelajaran untuk latihan kejiwaan. Gymnastic dan musik
adalah yang paling penting, sebab mempunyai akibat pembersihan jiwa, dan
nafsu-nafsu yang tidak baik dan mengembangkan perbuatan baik sesuai dengan
tuntunan moral. Menurut Aristoteles, karena pendidikan adalah soal universal,
maka pendidikan dilakukan oleh negara.
PENUTUP
Kesimpulan
Perkembangan
pedagogi atau pendidikan dikelompokkan menjadi lima zaman: Zaman Kuno atau Tua
(antik), Zaman Kekristenan Awal, Zaman Pertengahan, Zaman Modern dan Zaman
Kontemporer. Di sini kita akan melihat sedikit perkembangan serta tokoh-tokoh
yang telah menyumbangkan pemikiran pedadoginya kepada dunia pendidikan,
termasuk peran serta Yunani (Zaman Kuno atau Tua).
Yunani Kuno ini
terbagi menjadi dua, Sparta dan Athena. Pada kedua negara tersebut terdapat perbedaan-perbedaan
dalam dasar, tujuan, pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Tujuan pendidikan
Sparta adalah membentuk warga negara yang siap membela negara (membentuk
tentara yang gagah berani).
Sedangkan tujuan
pendidikan Athena adalah membentuk warganegara dengan jalan pembentukan jasmani
dan rohani yang harmonis (selaras). Dan perkembangan filsafat pun turut
mewarnai sejarah pendidikan di Yunani. Filusuf-filusuf Pendidik Yunani di
antaranya Pythagoras, Socrates, Plato
dan Aristoteles.
DAFTAR PUSTAKA
Lavine, T.Z., 2002.
Petualangan Filsafat: Dari Socrates ke
Sarte, Penerbit Jendela, Yogyakarta.
Materi kuliah
Studia Humanika oleh Bambang Sugiharto, guru besar Filsafat Universitas
Parahyangan Bandung di Masjid Salman ITB
Paudfip.wordpress.com
Peterson, Charles
H., 1970. Western Philosophy, Volume
1: 600 B.C. to 1600 A.D., Clift's Note, Nebraska.
0 comments: