“MANUSIA DAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF YUNANI”

“MANUSIA DAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF YUNANI”
(Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islami yang Dibimbing Oleh DR. H. Dindin Jamaludin, M.Ag.)

MAKALAH



Disusun Oleh:
Fathimah Madaniyyah
NIM. 2.213.3.040
Frida Firdiani
NIM. 2.213.3.043

PAI-K (A)

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
 PASCASARJANA UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014 M/1435 H

PENDAHULUAN

Konsep Dasar Pendidikan
            Selama 5000 tahun sejarah yang tercatat, pendidikan di rumah, gereja, atau sekolah telah merupakan cara penting untuk menyebarkan tradisi-tradisi dan pengetahuan praktis kepada generasi-generasi yang berikutnya. Hal ini dapat dicontohkan oleh binatang yang mengajarkan kebiasaan-kebiasaan dan ketrampilan-ketrampilan kepada anak-anak mereka melalui peniruan dan disiplin karena belajar adalah perlu bagi kelangsungan hidup dalam satu lingkungan yang bermusuhan. Akan tetapi hanya manusia yang telah menemukan berbagai sistem pendidikan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang sangat penting dan mencapai tujuan pribadi maupun tujuan sosial.
Perkembangan bahasa telah memungkinkan manusia dalam masyarat yang paling primitif sekalipun untuk menambah peniruan dan disiplin dengan pelajaran-pelajaran lisan tentang keselamatan dan tugas-tugas ekonomi. Akan tetapi bagi para penguasa yang terdorong oleh ambisi politik mereka menggunakan program-program pendidikan untuk memajukan kepentingan-kepentingan kebangsaan mereka. Para pemimpin agama dan para ahli filsafat yang megabdi kepada cita-cita moral telah berusaha untuk menuntun masyarakat mereka ke arah standar-standar hidup dan kebudayaan yang tinggi melalui pendidikan.
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan (Ngalim Purwanto, 2002:11). Berbicara masalah pendidikan meliputi cakupan yang cukup luas, bahkan dalam mendefinisikan pengertian pendidikan juga bervariasi. Ada yang mengartikan pendidikan sebagai proses yang di dalamnya seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di lingkungan masyarakat dimana ia berada. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses sosial, di mana seseorang dihadapkan pada kondisi dan pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (contoh paling nyata sekolah) sehingga yang bersangkutan mengalami perkembangan secara optimal (Dictionary of Education dalam T. Sulistyono, 2003).
Pendidikan adalah usaha manusia untuk kepentingan manusia. Jadi pada saat manusia itu ada dan masih ada, pendidikan itu telah dan masih ada pula. Pada kenyataannya dapat kita telaah bahwa praktek pendidikan dari zaman ke zaman mempunyai garis persamaan. Garis persamaan atau benang merah pendidikan itu ialah:
a.  Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan.
b.  Pendidikan merupakan kegiatan yang bersifar universal.
c. Praktek pelaksanaan pendidikan memiliki segi-segi yang umum sekaligus memiliki keunikan (ke-khasan) berkaitan dengan pandangan hidup masing-masing bangsa.
Dari beberapa definisi tersebut menunjukkan melihat pendidikan dari sudut pandang yang berbeda. Yang pertama, melihat dari sudut pandang psikologis, dan yang kedua dari sudut pandang sosiologis. Banyak sudut pandang untuk dapat merumuskan pengertian pendidikan sehingga banyak juga definisi tentang pendidikan. Namun demikian, yang jelas bahwa pendidikan adalah proses untuk membina diri seseorang dan masyarakat agar dapat survive dalam menjalani hidupnya. Dan yang tidak kalah pentingnya, kita dapat menggali makna pendidikan dari rentetan sejarah yang menyorot urgensi ilmu pengetahuan, termasuk di Zaman Kuno yang di dalamnya terdapat eksistensi Yunani dalam mengemban pendidikan itu sendiri.
Aliran-Aliran dalam Pendidikan
Makna pendidikan sangat luas, dan setiap orang dengan pandangan tertentu merumuskan arti pendidikan berbeda dari rumusan pendidikan yang dirumuskan seseorang ahli dengan pandangan yang lain. Begitu pun kalau secara khusus kita kuatkan dengan proses pendidikan sebagai proses pembinaan peserta didik sebagai subjek didik. Dalam hal ini memang ada beberapa aliran dalam pendidikan:
            Aliran Nativisme, tokoh aliran ini adalah Schopenhauer (Jerman: 1788-1860). Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir; pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Potensi yang dibawa sejak lahir atau pembawaan inilah yang sepenuhnya mempengaruhi perkembangan anak, yang baik akan menjadi baik, dan yang jelek akan menjadi jelek. Menurut kaum nativisme tersebut, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan, sehingga percuma saja kita mendidik, atau dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan. Dalam ilmu pendidikan hal ini disebut pesimisme pedagogis.
            Aliran Empirisme, tokoh dari aliran ini adalah John Locke (Inggris: 1932-1704). Pandangan aliran ini berlawanan dengan kaum nativisme, karena berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa itu ditentukan oleh lingkungannya, atau oleh pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil. Menurut aliran ini, manusia dilahirkan putih bersih seperti kertas putih, tidak membawa potensi apa-apa. Perkembangan selanjutnya tergantung dari pendidikan dan atau lingkungannya. Dalam artian, bahwa manusia dapat dididik menjadi apa saja (ke arah yang baik maupun sebaliknya), menurut kehendak lingkungan atau pendidiknya. Dalam pendidikan, pendapat kaum empiris ini terkenal dengan nama optimisme pedagogis. Dalam hal ini pendidik memegang peranan yang sangat penting dengan menyediakan lingkungan pendidikan dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman (empiri: pengalaman).
Aliran Naturalisme, tokoh aliran ini adalah JJ. Rousseau (Prancis: 1712-1778). Nature artinya adalah alam atau apa yang dibawa sejak lahir. Hampir senada dengan aliran nativisme, maka aliran ini berpendapat bahwa pada hakikatnya semua anak (manusia) sejak dilahirkan adalah baik. Perkembangannya kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika pengaruh/pendidikan itu baik, akan menjadi baik, tapi jika pengaruh itu jelek, akan jelek pula hasilnya. Seperti dikatakan oleh tokoh aliran ini JJ. Rousseau: “…semua anak adalah baik pada waktu baru datang dari tangan Sang Pendipta, tetapi semua menjadi rusak di tangan manusia”. Artinya, anak hendaknya dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia atau masyarakat jangan banyak mencampurinya.
Aliran Konvergensi, tokoh dari aliran ini adalah William Stern (Jerman: 1871-1939), yang berpendapat bahwa anak sejak lahir telah membawa pembawaan atau potensi- potensi, namun dalam perkembangan selanjutnya ditentukan bersama baik oleh pembawaan maupun lingkungan atau pendidikan. Pembawaan tidak akan berkembang dengan baik jika tidak ada dukungan pendidikan dan atau lingkungan. Sebaliknya pendidikan dan atau lingkungan tidak akan berhasil baik manakala pada diri anak tidak ada pembawaan yang mendukungnya.
Menurut Stern, pendidikan tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seakan ada dua garis lurus yang menuju ke suatu titik temu (convergen : menuju ke suatu titik). Aliran konvergensi pada umumnya dapat diterima secara luas, walaupun masih ada juga beberapa kritik terhadapnya. Aliran konvergensi dikritik sebagai aliran yang cocok untuk hewan dan tumbuh-tumbuhan, kalau bibitnya baik dan lingkungannya baik maka hasilnya pasti baik. Padahal bagi manusia hal itu belum tentu, karena masih ada faktor lain yang mempengaruhi yaitu pilihan atau seleksi dari yang bersangkutan.




















PEMBAHASAN
“MANUSIA DAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF YUNANI”

A.    Perkembangan Pendidikan Yunani
            Manusia berada dan diciptakan dalam sejarah. Di satu sisi, manusia menentukan perjalanan sejarah tetapi di sini lain, dalam arti khusus, manusia juga diciptakan oleh sejarah. Manusia tidak bisa berada di luar dari sejarah, sebaliknya, ia selalu berada bersama dengan perjalanan sejarah. Selain itu, ia juga menemukan dirinya sebagai “yang bereksistensi” dalam sejarah dan bukan di luar sejarah. Agar perjalanan sejarah dapat bernilai maka, pertama-tama ia harus membuat dirinya bernilai di dalam dan di hadapan sejarah.
Demi pencapaian tujuan inilah maka banyak orang dalam perjalanan sejarah telah terlibat dalam memikirkan, bagaimana membuat diri manusia bernilai, bermoral dan baik sehingga mengakibatkan dunia yang bernilai, bermoral dan baik. Munculah para ahli filsafat. Pertanyaan tentang filsafat dari masa ke masa menimbulkan perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat, sampai menimbulkan muculnya ilmu-ilmu baru; mulai dari teologi dan sampai kepada teknologi.
Salah satu ilmu yang cukup berkembang yaitu pedagogi atau yang sering disebut juga dengan edukasi atau pendidikan. Perkembangan ilmu ini juga sebenarnya telah ada sejak manusia memikirkan tentang dirinya di hadapan dirinyaa, alam, lingkungan dan bahkan Tuhan. Tetapi secara perlahan, menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri, otonom. Secara umum dapat kita kelompokkan perkembangan pedagogi menjadi lima zaman: Zaman Kuno atau Tua (antik), Zaman Kekristenan Awal, Zaman Pertengahan, Zaman Modern dan Zaman Kontemporer. Di sini kita akan melihat sedikit perkembangan serta tokoh-tokoh yang telah menyumbangkan pemikiran pedadoginya kepada dunia pendidikan, termasuk peran serta Yunani (Zaman Kuno atau Tua).
Yunani Kuno memang tidak lepas dari eksistensinya di ranah pendidikan. Yunani Tua alias Kuno ini terbagi menjadi dua, Sparta dan Athena. Penduduk Sparta disebut bangsa Doria, sedangkan penduduk Athena disebut bangsa Lonia. Kedua negara tersebut merupakan Polis atau negara kota. Sparta dengan ahli negaranya Lycurgus, sedang Athena dengan ahli negaranya Solon. Pada kedua negara tersebut terdapat perbedaan-perbedaan dalam dasar, tujuan, pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Orang-orang Sparta mementingkan pembentukan jiwa patriotik yang kuat dan gagah berani (Djumhur, 1976:24).
1. Sparta
Sparta adalah negara Aristokrasi-militeristis. Dasarnya Undang-undang Lycurgus (± 900 SM). Ciri pendidikannya yaitu pendidikan diselenggarakan oleh negara dan hanya untuk warga negara merdeka. Pendidikan di Sparta didasarkan atas dua asas:
a.  Anak adalah milik negara;
b. Tujuan pendidikan adalah membentuk serdadu-serdadu pembela negara serta warga negara.
Tujuan pendidikan Sparta adalah membentuk warga negara yang siap membela negara (membentuk tentara yang gagah berani). Ciri-ciri pendidikannya adalah :
a.  Pendidikan diperuntukkan hanya bagi warga negara yang merdeka (bukan budak);
b.  Lebih mengutamakan pendidikan jasmani.
c.  Anak-anak yang telah mencapai umur 7 tahun diasramakan.
Pelaksanaan pendidikannya yaitu anak-anak dibiasakan menahan lapar, tidur di atas bantal rumput, dan pada musim dingin hanya memakai mantel biasa saja. Sifat-sifat yang harus dimiliki tentara, seperti keberanian, ketangkasan, kekuatan, cinta tanah air, dan tunduk pada disiplin selalu mendapat perhatian. Sebaliknya, pelajaran seperti kesenian dianggap tidak terlalu penting dan diabaikan. Musik dan nyanyian hanya dijadikan alat untuk mempengaruhi jiwa dalam melaksanakan dinas ketentaraan (A. Ahmadi, 1987:162).
2. Athena
Athena adalah negara demokrasi. Dasar yang dipakai adalah: Undang-undang Solon (± 594 SM). Berbeda dengan Sparta, tujuan pendidikan Athena adalah membentuk warganegara dengan jalan pembentukan jasmani dan rohani yang harmonis (selaras). Ciri-ciri pendidikan di Athena adalah:
a.   Pendidikan diselenggarakan oleh keluarga dan sekolah;
b.   Sekolah diperuntukkan bagi seluruh warga negara (bebas).
Materi atau bahan pelajaran terbagi atas dua bagian: gymnastis dan muzis. Gymnastis untuk pembentukan jasmani, sedangkan muzis untuk pembentukan rohani. Pendidikan jasmani diberikan di Palestra, tempat bergulat, lempar cakram, melompat, lempar lembing (pentathlon atau pancalomba). Pembentukan muzis meliputi: membaca, menulis, berhitung, nyanyian, dan musik. Dalam perkembangannya dalam pembentukan muzis akan dipelajari artes liberales atau “seni bebas”, yang terdiri dari:
a)  Trivium (tiga ajaran), yaitu: grammatica; rhetorica (pidato); dan dialektika yaitu ilmu mengenai cara berpikir secara logis dan bertukar pikiran secara ilmiah;
b)  Quadrivium (empat ajaran), yang terdiri dari: arithmetica (berhitung); astronomia (ilmu bintang); geometria (ilmu bumi alam dan falak); musica.
Dalam membaca, diberikan dengan metode mengeja (sintetis murni); dan menulis dilakukan pada batu tulis yang dibuat dari lilin (Djumhur: 1976). Pendidikan warganegara sangat diutamakan di Yunani, terutama di Sparta. Segala kepentingan negara diletakkan di atas kepentingan individu (perseorangan). Dalam perkembangannya muncul keinginan untuk mendapat kebebasan pribadi, terutama dari kaum sofist.
Kaum sofist adalah kelompok orang yang tidak mengakui kebenaran mutlak dan berlaku umum. Mereka berpendapat, bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (anthroposentris, anthropos: manusia; sentris: pusat). Sesuatu dianggap benar kalau itu menimbulkan keuntungan atau kemenangan. Kebenaran bersifat relatif (tergantung kapan dan siapa yang melihat).
Akibat dari ajaran sofisme tersebut adalah, turunnya nilai-nilai kebudayaan, merosotnya nilai-nilai kejiwaan, pembentukan harmonis antara jiwa dan raga dikesampingkan dan sebagainya. Orang mencari pengetahuan dengan tujuan untuk mencapai keظزوة  bendaan semata (intelektual-materialistis). Kepentingan negara harus tunduk kepada kepentingan perseorangan. Pendidikan kecerdasan lebih penting daripada pendidikan agama dan kesusilaan.
B. Filusuf-filusuf Pendidik Yunani
1.    Pythagoras (580-500 SM) 
Tujuan pendidikan: membentuk manusia susila dan beragama. Beberapa cita-cita yang menjadi dasar pendidikannya:
a. Hanya jiwa yang berharga, bukan badan;
b.  Jiwa berasal dari dewa-dewa dan hidup terus jika badan telah mati;
c. Sejak kecil manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat jahat, pendidikan harus membawa manusia ke arah kesempurnaan;
d. Kesempurnaan adalah kebajikan, yaitu keselarasan antara jiwa dan raga, harmoni dalam hubungan antara manusia, harmoni pula dalam negara.
Untuk melaksanakan cita-cita tersebut, ia mendirikan sebuah lembaga dengan nama “Lembaga Pythagoras”. Anggotanya hidup bersama-sama dan patuh pada aturan-aturan tertentu. Lembaga tersebut terdiri dari Tiga bagian:
Bagian 1: terdiri dari calon-calon anggota dalam masa percobaan 3 tahun. Selama itu ia harus dapat mengatasi penderitaan-penderitaan dan harus membuktikan kesanggupan dalam menempuh jalan hidup yang saleh;
Bagian 2: merupakan lanjutan dari bagian 1, tetapi masih diasingkan dari anggota-anggota penuh, dan mendapat ajaran dari Pythagoras sendiri;
Bagian 3: terdiri dari anggota-anggota yang dianggap sudah cukup memenuhi syarat, mendapat hak dan kepercayaan yang penuh, mereka mendapat ajaran dari Pythagoras sendiri.
2.  Socrates (469-399 SM)
Merupakan tokoh yang melawan ajaran sofisme. Ia berpendapat bahwa yang menjadi ukuran segala-galanya bukan manusia melainkan ke-Tuhanan (theosentris, theo: Tuhan). Berlawanan dengan Pythagoras, Socrates percaya bahwa manusia mempunyai pembawaan untuk berbuat baik. Socrates berpendapat bahwa ilmu adalah sumber dari kebajikan, oleh karena itu ia dianggap perintis kaum Philantropin: cinta pada sesama manusia.
Dalam pelaksanaan pengajarannya, dia melakukan dialog, percakapan, dan tanya jawab dengan masyarakat di jalan-jalan, di taman, dan pasar. Socrates selalu mengajarkan bahwa manusia itu berpengetahuan hanya dalam sangkaannya saja, padahal yang sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa, dan mereka akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa mereka hanya mengetahui satu hal, yaitu bahwa mereka tidak tahu apa-apa. Dengan begitu maka pada diri manusia itu tumbuh keinginan untuk mengetahui yang sebenarnya. Dengan jalan induksi, mereka dibawa kepada ilmu yang sebenarnya (menarik kesimpulan sendiri). Beberapa jasa Socrates:
a. Pelopor dari ilmu kesusilaan. Ia berpendapat bahwa filsafat merupakan alat untuk mencapai kebajikan;
b. Pelopor dari ilmu mengenai pengertian-pengertian. Ia berusaha selalu mencari hakikat dari benda-benda, yakni pengertian-pengertian;
c.  Pythagoras dan Socrates adalah peletak dasar paedagogik moral.
Pada akhir hidupnya, Socrates dijatuhi hukuman minum racun oleh hakim, apabila ia tidak bersedia menarik kembali ajarannya. Socrates dianggap telah merusak akhlak pemuda, dan difitnah oleh kaum sofis telah mengajarkan dewa-dewa baru dan membelakangi dewa-dewa resmi.
3.  Plato (427-347 SM)
Plato adalah murid Socrates. Ia adalah seorang bangsawan. Saat Socrates dijatuhi hukuman minum racun Plato melarikan diri dan mendapat perlindungan dari keluarganya. Sistem pendidikan yang lengkap dan merupakan bagian dari ajaran ketatanegaraan pertama disusun oleh Plato, ia adalah seorang pengarang pertama di Yunani. Tujuan pendidikan menurut Plato adalah: membentuk warga negara secara teoritis dan praktis. Setiap manusia bertugas untuk mengabdikan kepentingannya kepada kepentingan negara. Oleh sebab itu pendidikan harus diselenggarakan oleh negara dan untuk negara.
Dengan prinsip tersebut Plato disebut sebagai pencipta Pendidikan Sosial. Ia berpendapat bahwa kesulitan-kesulitan politis dapat diatasi apabila ada keadilan. Keadilan akan terwujud bila setiap orang melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Dengan demikian tujuan pendidikan itu selanjutnya adalah untuk membentuk negara susila yang berdasarkan keadilan (Lebih lanjut dapat dibaca dalam Achmadi, 1987).
Dalam pendidikan moral, Plato berpendapat bahwa anak-anak telah dapat melakukan suatu perbuatan meskipun mereka belum sanggup menyadari atau memahaminya. Sehingga pendidikan harus dimulai sejak kecil, yaitu dengan pembiasaan dan kemudian pengajarannya. Pengaruh Plato sangat besar, misalnya dalam pemerintahan gereja Abad Pertengahan. Meskipun dipengaruhi oleh bangsa Yahudi, namun pemerintahan gereja sangat Platonis.
4.  Aristoteles (384-322 SM)
Ia adalah murid dari Plato dan telah berguru selama 20 tahun. Bukunya yang terkenal mengenai cita-cita pendidikan adalah: Politica dan Anima. Seperti halnya dengan Plato, maka Aristoteles pun menghendaki pendidikan negara. Cita-cita pendidikannya: kebajikan itu diperoleh dengan jalan aman, melalui pengalaman, pembiasaan-pembiasaan, akal budi, dan pengertian. Pendidik harus mempelajari dan memimpin pembawaan dan kecenderungan anak-anak. Dengan latihan dan pembiasaan mereka diajar melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Menurutnya sumber pengetahuan adalah pengalaman, pengamatan, yang menghasilkan bahan untuk berpikir. Dalam satu hal ia sefaham dengan J. Locke, bahwa jiwa seseorang pada waktu dilahirkan tidak berisi apa-apa (tabula rasa). Pendidikan formal menurutnya berakhir pada usia 21 tahun, dan periode ini terbagi menjadi empat bagian:
a.  Pendidikan sampai dengan usia 5 tahun;
b.  Pendidikan sampai dengan usia 7 tahun;
c.  Pendidikan sampai dengan usia pubertas;
d.  Pendidikan sampai dengan usia 21 tahun.
Dalam prinsipnya, sebelum usia lima tahun, hendaknya pendidikan bersifat sewajarnya, disesuaikan dengan keadaan anak. Membaca, menulis, ilmu hitung, gymnastic, dan musik dianggap sebagai mata pelajaran untuk latihan kejiwaan. Gymnastic dan musik adalah yang paling penting, sebab mempunyai akibat pembersihan jiwa, dan nafsu-nafsu yang tidak baik dan mengembangkan perbuatan baik sesuai dengan tuntunan moral. Menurut Aristoteles, karena pendidikan adalah soal universal, maka pendidikan dilakukan oleh negara.





PENUTUP

Kesimpulan
Perkembangan pedagogi atau pendidikan dikelompokkan menjadi lima zaman: Zaman Kuno atau Tua (antik), Zaman Kekristenan Awal, Zaman Pertengahan, Zaman Modern dan Zaman Kontemporer. Di sini kita akan melihat sedikit perkembangan serta tokoh-tokoh yang telah menyumbangkan pemikiran pedadoginya kepada dunia pendidikan, termasuk peran serta Yunani (Zaman Kuno atau Tua).
Yunani Kuno ini terbagi menjadi dua, Sparta dan Athena. Pada kedua negara tersebut terdapat perbedaan-perbedaan dalam dasar, tujuan, pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Tujuan pendidikan Sparta adalah membentuk warga negara yang siap membela negara (membentuk tentara yang gagah berani). 
Sedangkan tujuan pendidikan Athena adalah membentuk warganegara dengan jalan pembentukan jasmani dan rohani yang harmonis (selaras). Dan perkembangan filsafat pun turut mewarnai sejarah pendidikan di Yunani. Filusuf-filusuf Pendidik Yunani di antaranya  Pythagoras, Socrates, Plato dan Aristoteles.










DAFTAR PUSTAKA

Lavine, T.Z., 2002. Petualangan Filsafat: Dari Socrates ke Sarte, Penerbit Jendela, Yogyakarta.
Materi kuliah Studia Humanika oleh Bambang Sugiharto, guru besar Filsafat Universitas Parahyangan Bandung di Masjid Salman ITB
Paudfip.wordpress.com
Peterson, Charles H., 1970. Western Philosophy, Volume 1: 600 B.C. to 1600 A.D., Clift's Note, Nebraska.



0 comments:

Copyright © 2013. BloggerSpice.com - All Rights Reserved
Customized by: MohammadFazle Rabbi | Powered by: BS
Designed by: Endang Munawar