TAFSIR MAUDUI
BAB I
PENDAHULUAN
Tafsir Tematik atau yang juga dikenal dengan Tafsir Maudhu’i
merupakan salah satu dari jenis tafsir yang banyak diminati. Model Penafsiran
ini banyak diminati oleh umat Islam, karena di samping mudah dipahami,
juga sangat sesuai dengan kebutuhan zaman. Hingga kini jenis penafsiran ini
terus mengalami perkembangan, khususnya di kalangan akademisi. Tulisan ini di
samping akan mengkaji secara historis, juga memaparkan aspek
teknis-metodologisnya. Sehingga para pembaca akan memahami urgensinya
dalam memahami kandungan ayat-ayat al-Quran.
Banyak cara yang ditempuh para mufassir al-Quran untuk
menyajikan kandungan dan pesan-pesan firman Allah. Ada yang menyajikannya
sesuai urutan ayat-ayat sebagaimana tertulis dalam mushhaf, misalnya dari ayat pertama
surat al-Fâtihah hingga ayat terakhir, kemudian beralih ke ayat pertama
surat kedua (al-Baqarah) hingga berakhir pula, dan seterusnya. Pesan dan
kandungan al-Quran dihidangkan dengan rinci dan luas mencakup aneka persoalan
yang muncul dalam pikiran sang mufassir, baik yang berhubungan langsung maupun
tidak langsung dengan ayat yang ditafsirkannya. Cara ini dikenal dengan sebutan tafsir tahlîli.
Ada juga yang memilih topik tertentu kemudian menghimpun ayat-ayat
yang berkaitan dengan topik tersebut di manapun ayat ditemukan.
Selanjutnya disajikan kandungan dan pesan-pesan yang berkaitan dengan topik
yang dipilihnya tanpa terikat dengan urutan ayat dan surat sebagaimana tersebut
dalam mushhaf dan tanpa menjelaskan
hal-hal yang tidak berkaitan dengan topik walau hal yang berkaitan itu secara
tegas dikemukakan oleh ayat dibahasnya. Cara ini dikenal dengan sebutan
tafsir tematik.
Tulisan yang sangat sederhana ini tidak akan mengupas dan macam
cara penafsiran ayat-ayat al-Quran sebagaimana dikemukakan di atas, tetapi
hanya memfokuskan pemaparan pada cara penafsiran yang kedua saja, yaitu tafsir
tematik. Tafsir tematik ini dalam referensi berbahasa Arab disebut tafsir maudhû’i.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian
Tafsir Maudhu’i
Kata maudhu’i berasal dari bahasa
arab yaitu maudhu’ yang merupakanisim maf’ul dari fi’il
madhi wadha’a yang berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan dan
membuat-buat. Arti maudhu’i yang
dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul atau topik atau sektor,
sehingga tafsir maudhu’i berarti penjelasan ayat-ayat Alquran
yang mengenai satu judul/topik/sektor pembicaraan tertentu. Dan bukanmaudhu’i yang
berarti yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhu’yang
berarti hadis yang didustakan/dipalsukan/dibuat-buat.[1]
Adapun pengertian tafsir maudhu’i (tematik)
menurut istilah para ulama ialah
“ Mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai
tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul/topik/sektor tertentu dan
menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan
sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan
penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan
ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan.”[2]
Menurut al-Sadr bahwa istilah tematik digunakan untuk
menerangkan ciri pertama bentuk tafsir ini, yaitu ia mulai dari sebuah terma
yang berasal dari kenyataan eksternal dan kembali ke Alquran. la juga disebut
sintesis karena merupakan upaya menyatukan pengalaman manusia dengan alqur’an.[3] Namun
ini bukan berarti metode ini berusaha untuk memaksakan pengalaman ini kepada
Alquran dan menundukkan Alquran kepadanya. Melainkan menyatukan keduanya di
dalam konteks suatu pencarian tunggal yang ditunjukkan untuk sebuah pandangan
Islam mengenai suatu pengalaman manusia tertentu atau suatu gagasan khusus yang
dibawa oleh si mufassir ke dalam konteks pencariannya. Bentuk tafsir ini disebut
tematik atas dasar keduanya, yaitu karena ia memilih sekelompok ayat yang
berhubungan dengan sebuah tema tunggal. Ia disebut sintesis, atas dasar ciri
kedua ini karena ia melakukan sintesa terhadap ayat-ayat berikut artinya ke
dalam sebuah pandangan yang tersusun.
Menurut al Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema,
diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut tema itu. Namun
demikian, bila hal itu sulit dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat
yang mewakili (representatif).[4] Dari
beberapa gambaran di atas dapat dirumuskan bahwa tafsirmaudhu’i ialah
upaya menafsirkan ayat-ayat Alquran mengenai suatu tema tertentu, dengan
mengumpulkam semua ayat atau sejumlah ayat yang dapat mewakili dan
menjelaskannya sebagai suatu kesatuan untuk memperoleh jawaban atau pandangan
Alquran secara utuh tentang terma tertentu, dengan memperhatikan tertib
turunnya masing-masing ayat dan sesuai dengan asbabun nuzul kalau
perlu.
II. Pengertian Metode
Tafsir Maudhu’i
Metode tafsir maudhu’i adalah metode
tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan
ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas
topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya
selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut
dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya
dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Menurut Al-farmawi metode tafsir
maudhu’i ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai
dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan
dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang
terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua
dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari
al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional. Jadi,
dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia mencoba
mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema
doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia
mengkaji dan membahas dotrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di
dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi, dan sebagainya.
M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai
dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an
dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam
dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut,
sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun
ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau
surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya,
kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik
petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu. Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, dalam
perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama
menyajikan kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang
terangkum pada satu surat saja. Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan
oleh nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari
informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun
60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak
hanya pada satu surah saja.
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau
topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga
disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang
ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari
lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan
menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang
termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang
diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak
terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y
al-mahdh]. Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan
kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir.
III. Pembagian Tafsir Maudhu’i
Dalam perkembangannya, metode maudhu’i memiliki
dua bagian:
a. Mengkaji sebuah surat dengan kajian universal (tidak
parsial), yang di dalamnya dikemukakan misi awalnya, lalu misi utamanya, serta
kaitan antara satu bagian surat dan bagian lain, sehingga wajah surat itu mirip
seperti bentuk yang sempurna dan saling melengkapi. Contoh:
“ Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit
dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah
Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam
bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang
naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.
(Q.S Saba [34] :1-2)
Di Al-Qur’an surat saba’: 1-2 ini diawali pujian bagi
Allah dengan menyebutkan kekuasaan-Nya. Setelah itu, mengemukakan
pengetahuan-Nya yang universal, kekuasaan-Nya yang menyeluruh pada kehendak-Nya
yang bijak.
b. Menghimpun seluruh ayat Al-qur’an yang berbicara
tentang tema yang sama. Semuanya diletakkan dibawah satu judul, lalu ditafsirkan
dengan metode maudhu’i.
Contohnya: Allah SWT, berfirman:
“ Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dan
tuhannya , maka Allah menerima tibatnya, sesungguhnya Allah maha penerima tobat
lagi maha penyayang.”
(Q.S Al-Baqarah [2] : 37)
Untuk menjelaskan kata ‘kalimat’ pada firman
Allah Ta’ala di atas ,nabi mengemukakan ayat.
“ Keduanya berkata, : ya Tuhan kami, kami telah
menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni rahmat kepada
kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang merugi.” (Q.S Al-A’raaf [7] : 23)
IV. Sejarah Tafsir Maudhu’i
Dasar-dasar tafsir maudhu’i telah
dimulai oleh Nabi SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang
kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur. Seperti
yang dikemukakan oleh al Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa
dipandang sebagai tafsir maudhu’i dalam bentuk awal.[5] Menurut
Quraish Shihab, tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh
seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar,
Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam
kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir
maudhu‘i berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad
Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud
Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi
ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun
seribu sembilan ratus enam puluhan. Buah dari tafsir
model ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud
al-Aqqad,al-Insân fî al-Qur’ân,al-Mar’ah fî al-Qur’ân, dan karya Abul
A’la al-Maududi, al-Ribâ fî al-Qur’ân.Kemudian
tafsir model ini dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis
oleh Prof. Dr. Abdul Hay al-Farmawi, pada tahun 1977, dalam
kitabnya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu‘i: Dirasah Manhajiyah
Maudu‘iyah. Namun jika, merujuk pada catatan
lain, kelahiran tafsir tematik jauh lebih awal dari apa yang dicatat Quraish
Shihab, baik tematik berdasar surah maupun berdasarkan subjek.
Kaitannya dengan tafsir tematik berdasar surah
al-Qur’an, Zarkashi (745-794/1344-1392), dengan karyanya al-
Burhân, misalnya adalah salah satu contoh yang
paling awal yang menekankan pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surah
demi surah. Demikian juga Suyûtî (w. 911/1505) dalam karyanya al-Itqân. Sementara tematik berdasar subyek, diantaranya adalah
karya Ibn Qayyim al-Jauzîyah (1292- 1350H.), ulama besar dari
mazhab Hanbalî, yang berjudul al-Bayân fî Aqsâm al-Qur`ân; Majâz
al- Qur`ân oleh Abû ‘Ubaid ; Mufradât al-Qur`ân oleh
al-Râghib al-Isfahânî; Asbâb al-Nuzûl oleh Abû al-Hasan
al-Wahîdî al-Naisâbûrî (w. 468/1076), dan sejumlah karya dalam yakni;
1. Naskh al-Qur`ân oleh Abû Bakr Muhammad al-Zuhrî (w. 124/742),
2. Kitâb al-Nâsikh wa
al-Mansûkh fî al-Qur`ân al-Karîm oleh al-Nahhâs (w. 338/949),
3. al-Nâsikh wa
al-Mansûkh oleh Ibn Salamâ
(w. 410/1020),
4. al-Nâsikh wa
al-Mansûkh oleh
Ibn al-‘Atâ`iqi (w.s. 790/1308),
5. Kitâb al-Mujâz fî
al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn Khuzayma al-Fârisî. Sebagai tambahan, tafsir
Ahkâm al-Qur`ân karya al-Jasâs (w. 370 H.), adalah contoh lain dari
tafsir semi tematik yang diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh al-Qur’an.
Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir
tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumusan
konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang di masa kontemporer.
Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di awal abad ke 20, baik tematik
berdasarkan surah al-Qur’an maupun tematik berdasar subyek/topik.
V. Kelebihan Tafsir Maudhu’i
Kelebihan metode tafsir maudhu’i antara
lain:
a. Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam
kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu
sendiri. Maka metodemaudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk
menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
b. Praktis dan
sistematis: Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis dan
sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul.
c. Dinamis:
Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan
zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya
bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini
pada semua lapisan dan starata sosial.
d. Membuat
pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas,
maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam
ini sulit ditemukan dalam metode tafsir yang dikemukakan di muka. Maka metode tematik
ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan
tuntas
VI. Kekurangan
Tafsir Maudhu’i
Kekurangan metode tafsir maudhu’i antara
lain:
a. Memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal
ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih
mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat
dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat.
Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat
tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak
mengganggu pada waktu melakukan analisis.
b. Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul
penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang
dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak
mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan
Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya
memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang
akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.
VII.
Kedudukan Tafsir Maudhu’i
[1] Metode maudhu’i berarti
menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang tersebar pada bagian surat dalam al-Qur’an
yang berbicara tentang suatu tema. Tafsir dengan metode ini termasuk tafsir bi
al-ma’tsur dan metode ini lebih dapat menghindarkan mufassir dari kesalahan.
[2] Dengan menghimpun ayat-ayat tersebut seorang
pengkaji dapat menemukan segi relevansi dan hubungan antara ayat-ayat itu.
[3] Dengan metode maudhu’i seorang
pengkaji mampu memberikan suatu pemikiran dan jawaban yang utuh dan tuntas
tentang suatu tema dengan cara mengetahui, menghubungkan dan menganalisis
secara komprehensif terhadap semua ayat yang berbicara tentang tema tersebut.
[4] Dengan metode ini seorang pengkaji mampu menolak
dan menghindarkan diri dari kesamaran-kesamaran dan kontradiksi-kontradiksi
yang ditemukan dalam ayat.
[5] Metode maudhu’i sesuai dengan
perkembangan zaman modern dimana terjadi diferensiasi pada tiap-tiap persoalan
dan masing-masing masalah tersebut perlu penyelesaian secara tuntas dan
utuh seperti sebuah sistematika buku yang membahas suatu tema tertentu.
[6] Dengan metodemaudhu’i orang dapat
mengetahui dengan sempurna muatan materi dan segala segi dari suatu tema.
[7] Metode maudhu’i memungkinkan
bagi seorang pengkaji untuk sampai pada sasaran dari suatu tema dengan cara
yang mudah tanpa harus bersusah payah dan menemui kesulitan.
[8] Metode maudhu’i mampu
menghantarkan kepada suatu maksud dan hakikat suatu masalah dengan cara yang
paling mudah, terlebih lagi pada saat ini telah banyak bertaburan ”kotoran”
terhadap hakikat agama-agama sehingga tersebar doktrin-doktrin kemanusiaan dan
isme-isme yang lain sehingga sulit untuk dibedakan.
Dari berbagai uraian tentang kelebihan dan kelemahan
dari masing-masing metode yang dikemukakan, menurut Hujair A.H Sanaky kebutuhan
ummat pada zaman modern, metode Maudhu’i mempunyai peran yang
sangat besar dalam penyelesaian suatu tema dengan mendasarkan ayat-ayat
al-Qur’an, walaupun setiap metode memiliki karakteristik sendiri-sendiri yang
tentu tergantung pada kepentingan dan kebutuhan mufassir serta situasi dan
kondisi yang ada. Dengan demikian metode maudhu’i dapat digunakan
untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh ummat dewasa ini, karena
metode maudhu’i mampu menghantarkan ummat [pembaca Tafsir] ke
suatu maksud dan hakekat suatu persoalan dengan cara yang paling mudah, sebab
tanpa harus bersusah payah dan memenuhi kesulitan dalam memahami tafsir. Selain
itu sisi lain yang dilihat adalah dengan metode maudhu’i, mufassir
berusaha berdialog aktif dengan al-Qur’an untuk menjawab tema yang dikehendaki
secara utuh, sementara kalau kita perhatikan penafsiran al-Qur’an dengan
metode tahlili, mufassir justru bersikap pasif sebab hanya
mengikuti urutan ayat dan surat dalam al-Qur’an.
VIII.
Perbedaan metode maudhu’i (tematik)
dengan metode tafsir lainnya
a. Perbedaan metode maudhu’i (tematik)
dengan metode tahlili
Metode Tahlili
|
Metode Maudhu’i (Tematik)
|
mufassir
terikat dengan susunan ayat sebagaimana tercantum dalam mushaf.
Mufassir
berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam satu ayat.
Mufassir
berusaha menjelaskan segala sesuatu yang ditemukan dalam satu ayat.
Sulit
ditemukan tema-tema tertentu yang utuh
Sudah
dikenal sejak dahulu dan banyak digunakan dalam kitab-kitab tafsir yang ada.
|
Mufassir
tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushaf, tetapi lebih terikat dengan
urutan masa turunya ayat, atau kronologi kejadian.
Mufassir
tidak berbicara tema lain selain tema ysng sedang dikaji. Oleh
karena itu, ia dapat mengangkat tema-tema Al-qur’an yang masing-masing
berdiri sendiri dan tidak bercampur aduk dengan tema-tema lain.
Mufassir
tidak membahas segala permasalahan yang dikandung oleh satu ayat. Tetapi
hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan.
Mudah
untuk menyusun tema-tema al-qur’an yang berdiri sendiri.
Walaupun
benihnya ditemukan sejak dahulu, sebagai sebuah metode penafsiran yang jelas
dan utuh baru dikenal belakangan saja.
|
b. Perbedaan metode maudhu’i (tematik)
dengan metode ijmali (global)
Metode Ijmali (Global)
|
Metode Maudhu’i (Tematik)
|
Mufassir
terikat dengan susunan mushaf.
Mufassir
berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam satu ayat.
|
Mufassir
tidak terikat dengan susunan mushaf.
Mufassir
tidak berbicara tema lain selain tema yang sedang dikaji.
|
c. Perbedaan metode maudhu’i dengan
metode muqaran
Metode Muqaran
|
Metode Maudhu’i
|
Mufassir
menjelaskan al-Qur’an dengan apa saja yang ditulis oleh para mufassir.
Mufassir
terikat dengan uraian para mufassir.
|
Mufassir
tidak berbicara tema lain selain tema yang sedang dikaji.
Mufassir
tidak terikat dengan uraian para mufassir.
|
IX. Operasionaliaasi kerja
tafsir maudhu’i
Menurut al-Farmawi bahwa ada tujuh langkah dalam
sistimatika tafsir maudhu’i.[6] Kemudian
tujuh langkah tersebut dikembangkan oleh M. Quraish Shihab yaitu:
1.
menetapkan masalah yang akan dibahas
2.
menghimpun seluruh ayat-ayat At-qur’an yang berkaitan dengan
masalah tersebut
3.
menyusun urut-urutan ayat terpilih sesuai dengan perincian
masalah dan atau masa turunnya, sehingga terpisah antara ayat Makkiy dan
Madaniy. Hal ini untuk memahami unsur pentahapan dalam pelaksanaan
petunjuk-petunjuk Alquran
4.
mempelajari/memahami korelasi (munasabaat) masing-masing
ayat dengan surah-surah di mana ayat tersebut tercantum (setiap ayat berkaitan
dengan terma sentral pada suatu surah)
5.
melengkapi bahan-bahan dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan
masalah yang dibahas
6.
menyusun outline pembahasan dalam kerangka yang sempurna sesuai
dengan hasil studi masa lalu, sehingga tidak diikutkan hal-hal yang tidak
berkaitan dengan pokok masalah
7.
mempelajari semua ayat yang terpilih secara keseluruhan dan atau
mengkompromikan antara yang umum dengan yang khusus, yang mutlak dan yang
relatif, dan lain-lain sehingga kesemuanya bertemu dalam muara tanpa
perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran
8. menyusun kesimpulan penelitian yang dianggap sebagai
jawaban Alquran terhadap masalah yang dibahas.[7]
BAB III
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada
Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta, 1990.
Abdullah, Taufiq dan Karim, Rush (ed), Metodologi
Penelitian Agama, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989.
Al-Suyûtî, Jalâl Al-Din, Al-Itqân Fî ‘Ulûm
Al-Qur`Ân , Kairo: Dâr Al-Turâth, 1405/1985.
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran
Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar. 1988.
Bayumi, al, Mursi Ibrahim, Dirasat fi
al-Tafsiir al-Maudhu’i , Dar al-Taudiwiyah fi al-Tabaah, Kairo, 1970.
Dzahabi, al, Muhammad Husein, Al-Tafsir wa
al-Mufassiruun, Jilid I, Dar al-Kutub al-Haditsah, tt.p. 1978.
Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran
Alquran, Rajawali, Jakarta, 1986.
Farmawi al, Abd al-Hayy, Al-Bidayah fi
al-Tafsir al-Maudhu’i, Matba’ah al-Hadarah al-’Arabiyah, Kairo, 1977
___________, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara
Penerapannya, Terj. Suryan A. Jamrah. Jakarta: Rajawali Pers, 1996.
Hassan, Fuad. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah,
Dalam Koentjaraningrat [Ed], Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia. 1977.
Ibrahim, Muahammad lamail, Mu’jam alAlfaz wa
al-A’lam Alquraniyah, Dar al-`Ulum, Kairo, 1968.
Musa, Muhammad, Qamus Qur’ani, Khazanah
Ibrahim, Iakandariyah, 1966.
Munawwir, Ahmad Warso. 1984. Al-Munawwir
Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah
Keagamaan PP.”Al-Munawwir” Krapyak.
Sadr al, Muhammad Baqir, ” Pendekatan Tematik
Terhadap Tafsir Alquran “, dalam Ulumul Qur’an, Vol I, No. 4, 1990.
Sanaky, Hujair A.H., Metode Tafsir
[Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna Atau Corak Mufassirin], Al-Mawarid
Edisi XVIII Tahun 2008.
[2] Farmawi al, Abd al-Hayy, Mu jam
al-Alfaz wa al-a’lam al-Our’aniyah, Dar al-`ulum, Kairo, 1968, hal.
52.
[3] Sadr al, Muhammad Baqir, “Pendekaian Temalik
Terhadap Tafsir AI-Qur’an “, dalam Ulumul Quan, Vol I, No. 4, 1990,
hal. 34.
[4] Farmawi al, Abd al-Hayy, AI-Bidayah.fi al-Tafsir
al-Maudhu’i, Matba’ah al-Hadarah al`Arabiyah, Kairo, 1977, hal. 62.
[5] Farmawi al, Abd al-Hayy, AI-Bidayah.fi al-Tafsir
al-Maudhu’i, Matba’ah al-Hadarah al`Arabiyah, Kairo, 1977,
hal. 54
[6] Farmawi al, Abd al-Hayy, Al Bidayah fr
al-Tafsir al Maudhu ‘i, Matba’ah al-Hadarah al-Arabiyah, Kairo, 1977,
hal.61-62
[7] Abdullah, Taufiq dan Karim, Rush (ed), Metodologi
Penelitian Agama, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989, hal. 141.
0 comments: