AKSIOLOGI ILMU

AKSIOLOGI ILMU
 Oleh : Endang Munawar
BAB I
PENDAHULUAN
  1. Pendahuluan
Kajian filsafat ilmu tak terlepas dari tiga, yaitu sain, filsafat dan mistik. Jika objeknya empiris, rasional dan diselesaikan dengan metode ilmiah dinamakan sain. Jika objeknya abstrak, rasional dan diselesaikan dengan metode rasional dinamakan filsafat. Dan jika objeknya abstrak-supra-rasional dan diselesaikan dengan rasa, iman, logis, kadang empiris dinamakan mistik.
Dalam pembahasan terdahulu sama-sama kita telah membahas tentang hakekat apa/objek yang dikaji (ontologis), dan bagaimana cara mendapatkan (epistimologis) ilmu, baik ilmu-ilmu sain filsafat dan mistik. Kini sampailah pada tahap pembahasan aksiologi (nilai kegunaan dari ilmu-ilmu tersebut).
Dalam makalah ini akan dibahas secara definitif aksiologi ilmu dengan menjelaskan secara parsial tentang aksiologi sain, filsafat dan mistik tersebut. Dan akan dibahas pula kaidah penerapan ilmu dalam praktis.
  1. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan pendahuluan diatas dapatlah dirumuskan tujuan pembahasan dalam makalah ini:

1.      Mengetahui pengertian aksiologi
2.      Mengetahui aksiologi sain
3.      Mengetahui aksiologi filsafat
4.      Mengetahui kaidah penerapan ilmu dalam praktis





BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Aksiologi
Sebelum pembahasan lebih lanjut, terlebih dahulu perlu penjelasan arti dan defenisi arti aksiologi. Secara harfiah, aksiologi berasal dari dua kata, aksio (yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai” Jujun S.Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh[1]. Sedangkan Aksiologi menurut Bramel, terbagi menjadi tiga bagian[2], yaitu:
1.      pertama, moral conduct. (tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni, etika)
2.      Kedua, esthetik expression. (ungkapan keindahan, bidang ini melahirkan keindahan)
3.      Ketiga, socio-politikal life. (kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio pilotok)
Dalam Ensyclopedia of Philosophi dijelaskan, aksiologi disamakan dengan nilai dan penilaian yang terdiri dari tiga bentuk, yaitu:
1.      Nilai merupakan kata benda abstrak.
2.      Nilai sebagai kata benda kongkret.
3.      Nilai sebagai kata kerja dalam ungkapan menilai, memberi nilai, dan dinilai.
Beberapa definisi aksiologi diatas menunjukkan bahwa masalah utama yang menjadi fokus aksiologi ialah nilai dan penilaian. Nilai yang dimiliki oleh sesorang merupakan karangka untuk melakukan pertimbangan tentang suatu objek yang dinilai.
Berkaitan dengan aksiologi, Drs. Prasetya mengatakan bahwa Aksiologi adalah study tentang nilai, sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan, adapun nilai yang dimaksud, yaitu:
1.      Nilai jasmani (nilai yang terdiri atas nilai hidup, nilai nikmat, dan nilai guna), dan
2.      Nilai rohani (nilai yang terdiri atas nilai intelek, nilai estetika, nilai etika dan nilai religi)
Dari nilai-nilai tersebut, nilai hidup merupakan nilai dasar, yaitu sesuatu yang dikejar manusia bagi kelangsungan hidupnya. Sedangkan nilai religi adalah nilai utama, yaitu sesuatu yang didambakan manusia untuk kemuliaan dirinya.
  1. Aksiologi Sain
Dalam hal ini akan dibahas beberapa kegunaan sain, setidaknya ada tiga kegunaan teori sain[3], yaitu:
1.      Teori Sebagai Alat Ekspalanasi
Berbagai sain yang ada sampai sekarang ini secara umum berfungsi sebagai alat untuk membuat eksplanasi kenyataan. Sain merupakan suatu sistem eksplanasi yang paling dapat diandalkan dibandingkan dengan sistem lainnya dalam memahami masa lampau, sekarang, serta mengubah masa depan.
Kita bisa mengambil contoh yang lumayan hangat terjadi di PILKADA DKI Jakarta. Kenapa pasangan Jokowi-Ahok yang nota-bene nya didukung oleh hanya dua partai mengalahkan Foke-Nara yang didukung oleh mayoritas partai politik, bahkan didukung pula oleh seluruh partai Islam yang mayoriatas warga Jakarta penganut agama Islam?
Nah disinilah peran sain dengan data ilmiahnya mampu menjawab. Misalnya berdasarkan survey yang dilakukan berbagai lembaga survey adalah kecenderungn warga Jakarta dalam memilih pemimpin lebih melihat dari aspek individu calon, atau bisa jadi warga Jakarta ingin mendapatkan perubahan dengan pemimpin baru. Dan lain sebagainya.
Atau terjadinya gunung meletus yang terjadi di Merapi, dengan gamblang sain bisa mengeksplanasikan bahwa endapan magma dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertegangan tinggi sehingga terjadilah letusan.
2.      Teori Sebagai Alat Peramal
Tatkala membuat eksplanasi, biasanya ilmuwan telah mengetahui juga faktor penyebab terjadinya gejala itu. Dengan “mengutak-atik” faktor penyebab itu, ilmuwan dapat membuat ramalan. Dalam bahasa kaum ilmuwan ramalan itu disebut prediksi, untuk membedakannya dari ramalan dukun.
Dalam contoh PILKADA tadi misalnya berbagai lembaga survey yang ada di Indonesia sudah bisa memprediksikan siapa calon yang akan memenangkan pertarungan dengan persentase kesalahan Cuma beberapa persen saja.
Kaitannya dengan Merapi sain sudah bisa memprediksi akan adanya merapi dengan berbagai penelitian yang dilakukan BMKG. Dengan data ilmiah mereka bisa menentukan status aman, awas, waspada, siaga dan seterusnya.
3.      Teori Sebagai Alat Pengontrol
Eksplanasi merupakan bahan untuk membuat ramalan dan kontrol. Ilmuwan, selain mampu membuat ramalan berdasarkan eksplanasi gejala, juga dapat membuat kontrol. Kita ambil lagi contoh tadi.
Ketika secara ilmiah kandidat tertentu akan kalah maka ia akan melakukan upaya efektif agar dia tiadak kalah. Itulah yang di sebut kontrol. Bedanya dengan prediksi adalah, perdiksi lebih bersifat pasif sedangkan kontrol lebih bersifat pasif dengan melakukan tindakan.
Ketika merapi sudah di lamarkan akan meletus maka pihak-pihak terkait bisa melakukan kontrol dengan langkah-langkah efektif guna menggagalkan terjadinya letusan tersebut, atau memperkecil daya ledak atau juga memberikan info yang akurat kepada halayak guna memperkecil ekses negatif dari hasil ledakan tersebut.

C.    Aksiologi Pengetahuan Filsafat

Di sini diuraikan kegunaan filsafat yang penting dalam menjalani kehidupan[4].

1.      Kegunaan Filsafat bagi Akidah

Akidah adalah bagian dari ajaran Islam yang mengatur cara berkeyakinan. Pusatnya ialah keyakinan kepada Tuhan. Posisinya dalam keseluruhan ajaran Islam sangat penting, merupakan fondasi ajaran Islam secara keseluruhan, di atas akidah itulah keseluruhan ajaran Islam berdiri dan didirikan. Keterangan seperti ini berlaku juga bagi agama selain Islam.
Karena kedudukan akidah seperti itu, maka akidah seseorang muslim haruslah kuat, dengan kuat akidah akan kuat pula keislamannya secara keseluruhan. Untuk memperkuat akidah perlu dilakukan sekurang-kurangnya dua hal, pertama mengamalkan keseluruhan ajaran Islam secara sungguh-sungguh, kedua mempertajam pengertian ajaran Islam itu. Jadi, akidah dapat diperkuat dengan pengalaman dan pemahaman (ajaran Islam).
Disinilah kedudukan filsafat (dalam hal ini akal logis) dapat memperkuat keimanan. Dengan bukti-bukti rasional maka akidah kita tak tergoyahkan disamping tetap harus “didampigni” oleh wahyu.
Misalnya dalil tentang wujud Allah secara aqli, yang di taqrir secara sistematis ala pesantren:
العالم من العرش إلى الفرش حادث أي موجود بعد عدم وكا حادث له صانع واجب الوجود فالعالم له صانع ثم كون الصانع هو الله مستفاد من دليل الوحدانية وحيث وجب له تعالى الوجود استحال عليه ضده[5]
“Alam dimulai ‘arasy sampai dasar bumi adalah baru (ada setelah tidak ada), setiap yang baru pasti ada pencipta yang wajib al-wujud, maka alam wajib ada penciptanya, dan sang pencipta adalah Allah berdasarka dalil-dalil keesaannya. Sehingga jika Allah wajib al-wujud mustahil_lah lawan dari wujud itu”
2.      Kegunaan Filsafat bagi Hukum
Istilah hukum islami sering rancu. Kadang-kadang hukum islami itu diartikan syari’ah, kadang-kadang fikih (fiqh). Yang dimaksud di sini ialah fikih.
Dalam perkembangan terakhir fikih dipahami oleh kalangan pakar ushul al-fiqh sebagai hukum praktis hasil ijtihad. Sementara di kalangan pakar fikih, al-fiqh dipahami sebagai kumpulan hukum islami yang mencakup semua aspek syar’iy baik yang tertuang secara tekstual maupun hasil penalaran terhadap sesuatu teks. Itulah sebabnya di kalangan ahli ushul al-fiqh konsep syariah dipahami sebagai teks yar’iy yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah yang tetap dan tidak pernah mengalami perubahan.
Butir-butir aturan dan ketentuan hukum yang ada dalam fikih pada garis besarnya mencakup tiga unsur pokok. Pertama, perintah seperti sholat, zakat, puasa dan sebagainya. Kedua, larangan seperti larangan musyrik, zina dan sebagainya. Ketiga, petunjuk seperti cara sholat, cara puasa, dan sebagainya.
Misalnya untuk menghasilkan kata ”asholatu wajibatun” dalam fiqih misalnya haruslah dipikirkan secara mendalam darimana asal perintah itu di hasilkan, toh dalam al-Qur’an sendiri tidak ada kata seperti itu, yang ada adalah kalimat:
أقيموا الصلاة... dirikanlah shalat!
            Nah untuk menghasilakn kata asholatu wajibatun harusla di taqrir secara logis misalnya dengan gaya pesantren tadi:
أقيموا أمر والأمر ينصرف للوجوب فإقامة الصلاة واجبة
            “lafadz aqimu merupakan fi’il amr, dan fiil amr menujukkan wajib. Maka mendirikan shalat adalah wajib”
Kesimpulannya, memang benar, filsafat, khususnya filsafat sebagai metodologi, berguna bagi pengembangan hukum dalam hal ini hukum islami.

3.      Kegunaan Filsafat bagi Bahasa

Disepakati oleh para ahli bahwa bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran. Terlihat adanya hubungan yang erat antara bahasa dan pikiran.
Tatkala bahasa berfungsi sebagai alat berpikir ilmiah muncul problem yang serius, ini diselesaikan antara lain dengan bantuan filsafat. Begitu juga tatkala pemikiran (filsafat) sampai pada rumusan konsep yang rumit, bahasa juga mengalami persoalan, yaitu bahasa sering kurang mampu menggambarkan isi konsep itu. Bahasa dalam hal ini harus mencari kata dan susunan baru untuk menggambarkan isi konsep itu.
Di antara problem yang dihadapi bahasa ialah dalam pemeliharaannya. Bahasa sering tidak mampu membebaskan diri dari gangguan pemakainya. Orang awam sering merusak bahasa, mereka menggunakan bahasa tanpa mengikuti kaidah yang benar. Kerusakan bahasa tersebut biasanya disebabkan oleh tidak digunakannya kaidah logika. Logika itu filsafat.
Terdapat banyak kekeliruan dalam berbahasa berdampak pada kekeliruan berfikir, misalnya:
إنما يخشى الله من عباده العلماء
“diantara hamba Allah hanya ulamalah yang takut peda_Nya”
Jika terdapat kesalahan dalam berbahasa (dalam hal ini kesalahn membaca) maka maknanya akan berolak belakang.
  1. Aksiologi Pengetahuan Mistik
Mustahil pengetahuan mistik mendapat pengikut yang begitu banyak dan berkembang sedemikian pesat jika tidak ada gunanya[6].
Kegunaan mistik sangat subjektif. Untuk mengetahui kegunaan tashawuf misalnya kita haruslah bertanya pada salik (pengamal tasawuf). Untuk mengetahui perdukunan kita harus bertanya pada dukun yang memang merekalah pemiliknya. Secara kasar kita dapat mengetahui bahwa mistik putih berguna untuk mempertebal keimanan, dan mistik hitam berguna untuk tujuan jahat.
Dikalangan sufi pengetahuan mistik dan pengamalannya dapat menentramkan jiwa berdasarkan ayat “ala bidzikrillahi tathmainnul qulub”. Mereka meyakini banyak persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh sain dan filsafat tetapi dengan mistik.
Misalnya dalam menafsirkan ayat
فاسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
Mereka menfsirkan ahl adzikri adalah yang selalu dzikir (ingat) kepada Allah, bukan ahl ilmi. Seperti terjadinya bencana dimana-mana yang terus menerus terjadi. Lumpur lapindo yang sangat sulit di buktikan secara sain, maka disinilah peran ahl dzikr.
Seperti halnya juga ahli mistik-magis-putih yang mampu mengobati kangker dalam perut fasiennya melalui kurban seekor kambing, yang ahli sain (dalam hal ini dokter) tak mampu mengobatinya,
Atau ada juga yang dinamakan mistik-magis-hitam mereka mampu memikat hati perempuan dengan datang pada dukun tertentu, membunuh orang dengan cara di santet.
Untuk membedakan antara mistik-magis itu apakah hitam atau putih. Kita lihat dari aspek ontologi apistimologi dan aksiologinya. Jika berlawanan dengan aspek-aspek kebaikan dan melenceng dari syariat maka itu dianamakan mistik-magis-hitam.
  1. Kaidah Penerapan Ilmu dalam Praktis
Setidaknya ada enam prinsip dalam penerapan ilmu yang harus terpenuhi[7]
1.      Prinsip objektivitas kontekstualitas
Tidak berarti semua fakta dapat diungkapkan dan semua ilmu faktual dapat diaplikasikan begitu saja, melainkan dalam dimensi aksiologinya harus di pertimbangkan kontek implikasinya harus mempertimbangkan aspek etis yuridis. Misalnya kita dilarang mengungkapkan fakta kecacatan seseorang di muka umum kecuali dalam keadan terpaksa seperti dalam ilm jarh wa ta’dil dan lain-lain.
2.      Prinsip ilmu untuk amal untuk kebahagiaan
Syekh Ruslan menuangkan pemikirannya dalam sebuah bait:
وكل عالم بعلمه لن يعملن معذب من قبل عباد الوثن
“setiap alim yang tidak mengamalkan ilmunya dia disiksa sebelum para penyembah berhala”
Bahkan dalam konteks ilmu-ilmu keagamaan al-Ghazali mengecam keras ulama (ilmuan) yang sikap dan prilakunya tidak sesuai dengan ilmunya sehingga ia membagi ulama dalam dua kategori:
a)      Ulama su’ yaitu ulama yang ilmunya ditunjukkan untuk menikmati dunia dan meraih prestise serta kedudukan
b)      Ulama akhirat dengan ciri-ciri tertentu[8].
3.      Prinsip prioritas
Seperti mendahulukan kewajiban individual dari kewajiban komunal, menempuh yang lebih ringan diantara dua hal yang merugikan, termasuk mengutamakan kepentingan mayoritas ketimbang minoritas di kala kepentingan keduanya kontradiktif dan tak dapat di kompromikan sesuai prinsip maslahat.
4.      Prinsip proporsionalitas
Ilmu haruslah ditemptkan pada proporsi yang sebenarnya, yakni yang pasti pada kepastiannya dan yang tidak pasti dalam ketidakpastiannya. Misalnya rincian theologi yang bertaraf akidah ijtihadi, seorang Asy’ari, Mu’tazili, Hambali, dan yang lainnya tak dapat saling mengkafirkan seenaknya.
5.      Prinsip tanggung jawab moral dan profesional
Imam al-Ghazali misalnya melepaskan semua kedudukan dan jabatannya di Baghdad dalam rangka memecahkan suatu problem ke ilmuan, karena tuntutan tanggung jawab moral dan profesionalnya sebagai hujjat al-islam. Ia juga keluar dari zawiyah  untuk aktip kembali di Nesapur karena tuntutan dan tanggung jawab yang sama[9].
6.      Kerja sama ilmu-politik
Otoritas dan objektivitas ilmiah tak dapat dicampuri oleh otoritas dan kepentingan politik apapun, dan ilmu bukan untuk kekuasaan. Ilmu dan politik saling menunjang. Ilmu yang merupakan asas, sedangkan otoritas polik sebagai penjaga. Sesuatu yang tanpa asas pasti akan roboh, dan sesatu yang tanpa penjaga pasti akan musnah. Dengan demikian otoritas politik merupakan alat untuk melindungi, mengembangkan, dan merealisasikan ilmu.





DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi, Aksiologi Pengetahuan, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009.
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali dimensi ontologi, Epistimologi, aksiologi, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Sumatriasumatri Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1988.
Al-Ghazali, al-Munqiz min al-Dalal, ed. Ahmad Glusy, Mesir: Maktabah wa matba’ah Muhammada Ali, 1952.
................., Ihya Ulum al-Din, Semarang: Thaha Putera, jilid I, tt.


[1] Jujun S. Suriasumantri, 2005, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hlm. 229
[3] Ahmad Tafsir, 2009, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi Epistimologi dan Aksiologi Pengetahuan, Bandung, Remaja Rosda Karya, hlm. 37
[4] Ibid., hlm. 88
[5] Syaikh Muhammad Nawawi, t.t., Syarh Tijan ad-Durori, Semarang, Toha Putra, hlm. 3
[6] Misalnya pengikut ajaran Tarekat Qodiriah Naqsabandiyah Suryalya yang konon memiliki ikhwan lebih dari tujuh juta (berdasarkan wawancara pemakalah dengan KH. Zainal Abidin: sesepuh pesantren).
[7] Saeful Anwar, 2007, Filsafat Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi Epistimologi dan Aksiologi, Bandung, Pustaka Setia, hlm. 329
[8] Ia menyebut 12 ciri ulama akhirat, yaitu: 1. Ilmunya tidak di tujukan untuk mencari dunia; 2. Sikap dan prilakunya sesuai dengan ucapan dan dan ilmunya; 3. Tidak condong pada kemewahan tetapi moderat seperti salaf; 4. Menjauhi para sultan karena berbaur dengan mereka merupakan pintu keburukan; 5. Tidak bergegas mengeluarkan fatwa; 6. Fokus perhatiaannya adalah ilmu akhirat dan pengaplikasiannya; 7. Senantiasa memperkuat keyakinan keagamaannya menurut arti para ahli nalar dan para ahli fiqih dan sufi; 8. Memiliki rasa takut kepada Allah yang tercermin dalam sikap, ucapan dan prilakunya; 9. Mayoritas kajiannya adalah ilmu amali dan faktor-faktor yang merusak amal serta mengganggu kalbu; 10. Referensi ilmunya adalah akal dan tangkapannya sendiri, bukan literatur; 11. Waspada untuk tidak jatuh pada kebid’ahan; 12. Para ulama khusus yang memperoleh kasyf dengan cara tertentu. (al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Semarang, Toha Putra, juz I, hlm. 58-82)
[9] Al-ghazali, t.t., al-Munqidz min al-Dlalal, Mesir, Maktabah wa Matba’ah Muhammad Ali, hlm. 8-50


0 comments:

Copyright © 2013. BloggerSpice.com - All Rights Reserved
Customized by: MohammadFazle Rabbi | Powered by: BS
Designed by: Endang Munawar