MODEL PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL PADA MASYARAKAT ADAT (Studi atas Kearifan Lokal Masyarakat Kampung Pulu Garut)

MODEL PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
BERBASIS KEARIFAN LOKAL PADA MASYARAKAT ADAT
(Studi atas Kearifan Lokal Masyarakat Kampung Pulu Garut)
 Oleh : Endang Munawar

A.      Latar Belakang Masalah
Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter inipun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuanuntuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Selanjutnya  pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal  dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya.Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang. Jika di lingkungan seputar menginplementasikan karakter yang baik, maka akan terbentuklah karakter penduduk yang baik, dan jika lingkungan seputar terdapat karakter-karakter yang kurang baik, maka akan terbentuk karakter penduduk yang kurang baik.
Kemunculan berbagai fenomena sosial di Indonesia akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan, berbagai degradasi kehidupan etika moral yang terjadi dalam lingkup yang bervariasi.Doni Koesuema misalnya menyebut beberapa fenomena, di antaranya kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian.[1]Dalam sepuluh tahun terahir kasus kekerasan dan kerusahan meningkat tajam.baik dari sisi kuantitas jumlah kasus maupun kualitas intensitas kasus yang terjadi. Kasus kekerasan terjadi dalam berbagai dimensi, ada yang bermatras politik, ekonomi, agama dan lain-lain.Kasus kekerasaan yang menonjol dalam tahun-tahun terahir diantaranya kasus kekerasan pada anak dan perempuan, kasus kekerasan social serta kasus kekerasan bermatras agama.
Melihat penomena di atas, bangsa Indonesia seolah telah kehilangan karakter sebagai bangsa yang santun dalam berperilaku, musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah. Kearifan lokal  ataulocal wisdom yang kaya dengan pluralitas, toleransi dan gotong royong, seolah-olah telah berubah wujud menjadi hegemoni kelompok-kelompok baru yang saling mengalahkan.[2]Dari sini, muncul berbagai pemikiran tentang pentingnya penumbuhkembangan pendidikan karakter yang berbasis kearifan lokal.[3]
Kenyataan di atas merupakan tantangan terbesar bagi dunia pendidikan saat ini. Proses pendidikan sebagai upaya mewariskan nilai-nilai luhur suatu bangsa yang bertujuan melahirkan generasi unggul secara intelektual dengan tetap memelihara kepribadian dan identitasnya sebagai bangsa. Disinilah letak esensial pendidikan yang memiliki dua misi utama yaitu “transfer of values”  danjuga “transfer of knowledge”. Pendidikan hari ini dihadapkan pada situasi dimana proses pendidikan sebagai upaya pewarisan nilai-nilai lokal di satu sisi menghadapi derasnya nilai global. Kondisi demikian menurut Tilaar[4] membuat pendidikan hari ini telah tercabik dari keberadaannya sebagai bagian yang terintegrasi dengan kebudayaannya.
Gejala pemisahan pendidikan dari kebudayaan dapat dilihat dari gejala-gejala sebagai berikut, yaitu[5] :
1.      kebudayaan telah dibatasi pada hal-hal yang berkenaan dengan kesenian, tarian tradisional, kepurbakalaan termasuk urusan candi-candi dan bangunan-bangunan kuno, makam-makam dan sastra tradisional,
2.      nilai-nilai kebudayaan dalam pendidikan telah dibatasi pada nilai-nilai intelektual belaka,
3.      hal lain, nilai-nilai agama bukanlah urusan pendidikan tetapi lebih merupakan urusan lembaga-lembaga agama”.
Gambaran tersebut menginterupsi kita untuk kembali memperhatikan pentingnya pembangunan karakater (Character building) manusia indonesia yang berpijak kepada khazanah nilai-nilai kebudayaan yang kita miliki. Lebih lanjut Koentjaraningrat memberikan jalan bagaimana agar gejala pemisahan pendidikan dari kebudayaan ini dapat segera teratasi, ia menyarankan pentingnya kembali merumuskan kembali tujuh unsur universal dari kebudayaan, antara lain: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, keseniaan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan. 
Ki Hajar Dewantoro, mengatakan bahwa “kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar pendidikan. Rumusan ini menjangkau jauh ke depan, sebab dikatakan bukan hanya pendidikan itu dialaskan kepada suatu aspek kebudayaan yaitu aspek intelektual, tetapi kebudayaan sebagai keseluruhan. Kebudyaan yang menjadi alas pendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan.Dengan demikian kebudayaan yang dimaksud adalah kebudyaan yang riil yaitu budaya yang hidup di dalam masyarakat kebangsaan Indonesia. Sedangkan pendidikan mempunyai arah  untuk mewujudkan keperluan perikehidupan dari seluruh aspek kehidupan manusia dan arah tujuan pendidikan  untuk mengangkat derajat dan harkat manusia[6].
Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesame manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dengan demikian, pendidikan karakter adalah upaya sistematis untuk mengembangkan seluruh potensi lahiriah, batiniah dan ‘aqliyah guna membangun perilaku yang sesuai dengan nilai yang berkembang di masyarakat dan yang bersumber dari nilai-nilai agama.
Nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada beberapa kelompok/masyarakat kecil di Indonesia banyak mengandung nilai luhur budaya bangsa, yang masih kuat menjadi identitas karakter warga masyarakatnya. Namun di sisi lain, nilai kearifan lokal sering kali dinegasikan atau diabaikan, karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zamannya. Padahal dari kearifan lokal tersebut dapat dipromosikan nilai-nilai luhur yang bisa dijadikan model dalam pengembangan budaya bangsa Indonesia.
Dalam konteks ini, masyarakat adat yang masih tetap eksis dan memelihara local wisdom-nya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengembangan pendidikan karakter. Menurut Alwasilah[7], ada banyak masyarakat adat di Indonesia yang sampai saat ini masih memelihara kearifan lokalnya dan terbukti ampuh dalam menyelenggarakan pendidikan yang disebut sebagai pendidikan tradisi, termasuk pendidikan budi pekerti atau karakter secara baik. Salah satu masyarakat adat dimaksud adalah masyarakat adat Kampung Pulo Kabupaten Garut.
Penelitian  ini bermaksud untuk menggali, menemukan, dan merekonstruksi nilai-nilai luhur yang terdapat dalam masyarakat adat kampong puloyang nantinya dapat diterapkan dalampengembangan pendidikan karakter di Indonesia. Dengan judul :Pengembangan Pendidikan KarakterBerbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Adat (Studi atas Kearifan Lokal Masyarakat Kampung Pulu Garut)

B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diajukan adalah:
1.      Nilai-nilai luhur apa sajayang terdapat di masyarakat adat kampung Pulo dalam kontekspengembangan pendidikan karakter di Indonesia?
2.      Bagaimana nilai-nilai tersebut bekerja secara fungsional dalam membentukkarakter bangsa?
C.      Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui nilai-nilai luhur yang terdapat di masyarakat adat kampung Pulo dalam konteks pengembangan pendidikan karakter di Indonesia?
2.      Untuk mengetahui bagaimana nilai-nilai tersebut bekerja secara fungsional dalam membentuk karakter bangsa?
D.      Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif.Tujuan metode ini untuk mendeskripsikan keadaan sesungguhnya yang berlaku di Kampung Pulo Kabupaten Garut, terutama terkait dengan kearifan local yang membentuk masyarakat tersebut.
E.       Lokasi dan Sabjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di masyarakat adat Kampung Pulo Kabupaten Garut. Sabjek penelitian ini yaitu  Kepala Adat masyarakat Kampung Pulodan penduduk yang ada di Kampung Pulo Kabupaten Garut.
F.       Instumen Penelitian
Dalam penelitian ini, intrumen yang digunakan adalah:
  1. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk memperdalam informasi tentang berbagai informasi yang belum terkaver dalam dokumentasi atau profil masyarakat Kampung Pulo tentang kearifan lokal yang dikembangkan. Kepala Adat masyarakat Kampung Pulo dan penduduk yang ada di Kampung Pulo Kabupaten Garut.
  1. Instrumen Observasi
Dalam penelitian ini peneliti ikut melibatkan diri berpartisipasi aktif dalam situasi yang sedang diobservasi/ diamati selama proses terjadi dalam situasi yang sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam tentang proses-proses yang terjadi terutama dalam penerapan nilai-nilai kearifan lokal secara fungsional dalam membentuk karakter masyarakat adat.



[1]Doni Koesoema., “Pendidikan Karakter”, Kompas Cyber Media,(Diakses tanggal 15Agustus 2011).
[2] Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal, berupa tradisi, petatah-petitih, dan semboyan hidup. Pengertian kearifan lokal jika dilihat dari segi bahasa Inggris, terdiri dari 2 kata, yaitu local dan wisdom. Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain, kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Retno Susanti, “Membangun Pendidikan Karakter di Sekolah Melalui Kearifan Lokal”, Makalah pada Persidangan Dwitahunan FSUA-PPIK pada tanggal 26 s/d 27 Oktober 2011 di Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang.
[3] Aan Hasanah, “Pendidikan Berbasis Karakter”,  Media Indonesia,  14 Desember 2009
[4] Tilaar, H.A.R., 1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional,17
[5] Cece Rahmat, Makalah: Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Dalam Menghadapi Tantangan Modernitas.
[6] Tilaar, H.A.R., 1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, 68
[7]Chaidar Alwasilah dkk, 2009, Etnopedagogi: Landasan Praktek Pendidikan dan Pendidikan Guru, Bandung: Kiblat, 50.

0 comments:

Copyright © 2013. BloggerSpice.com - All Rights Reserved
Customized by: MohammadFazle Rabbi | Powered by: BS
Designed by: Endang Munawar