Masyarakat Adat

A.      Masyarakat Adat

Istilah masyarakat hukum adat adalah istilah resmi yang tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria (yang selanjutnya disebut UUPA), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai padanan dari rechtgemeenschapt, atau oleh sedikit literatur menyebutnya adatrechtgemenschap. Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik-akademis.
Sedangkan istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim diungkapkan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan non-hukum yang mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional.
Di negara-negara belahan dunia ini, banyak istilah yang digunakan dalam bertujuan mengartikulasikan apa itu masyarakat adat, misalnya first peoples di kalangan antropolog dan pembela, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan orang asli di Malaysia. Sedangkan di tingkat PBB penggunaan indigenous peoples sebagaimana tertuang dalam seluruh dokumen yang membahas salah satu rancangan deklarasi PBB, yaitu draft on the UN declaration on the Rights of the Indigenous Peoples.
1.      Pengertian[1]
Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesiauntuk paling tidak merujuk kepada empat jenismasyarakat asli yang ada di dalamnegara-bangsaIndonesia. Dalam ilmu hukum dan teori secara formal dikenalMasyarakat Hukum Adat, tetapi dalam perkembangan terakhir, masyarakat asli Indonesiamenolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihaladat tidak hanya menyangkuthukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan.Pengertian ini idak merujuk kepada defenisi secara tertutup tetapi lebih kepada kepada kriteria, agar dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang besar kepada komunitas untuk melakukan self identification/ mengidentifikasikan dirinya sendiri[2].
Pengertian MenurutAMAN(Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) pada Kongres I tahun 1999 dan masih dipakai sampai saat ini adalah: "Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelolah keberlangsungan kehidupan masyarakatnya”.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa secara praktis dan untuk kepentingan memahami dan memaknai Deklarasi ini di lapangan, maka kata "masyarakat adat" dan "masyarakat/penduduk pribumi" digunakan silih berganti dan mengandung makna yang sama. Pandangan yang sama dikemukakan dalam merangkum konsep orang-orang suku dan populasi/orang-orang asli dari Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB dengan merujuk kepada Konvensi ILO 107 (1957) dan 169 (1989).
Sem Karoba menyatakan dalam bukunya yang menerjemahkan Deklarasi Masyarakat Hak Asasi Adat (atau Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Masyarakat Adat, atau disebut juga Deklarasi Masyarakat Adat) menyatakan "secara praktis ternyata mereka yang menyebut dirinya sebagai orang asli atau orang suku menyetujui agar kedua istilah ini digunakan secara sinonim:
“many of these peoples refer to themselves as “indigenous” in order to fall under discussions taking place at the United Nations. For practical purposes the terms “indigenous” and “tribal” are used as synonyms in the UN system when the peoples concerned identify themselves under the indigenous agenda".
“kebanyakan dari mereka yang menyebut diri sebagai "bumiputra" agar mereka dapat dimaksukkan ke dalam diskusi-diskusi yang sedang belangsung di tingkat PBB. Untuk tujuan praktis istilah "bumiputra" dan "masyarakat adat" dipakai sebagai sinonim dalam sistem PBB, saat orang-orang yang bersangkutan mengidentifikasi diri mereka di bawah agenda masyarakat asli”.
Masih ada debat panjang tentang makna kedua istilah secara semantik, normatif, kronologis, politis dan sebagainya, tetapi secara praktis masyarakat yang merasa dirinya sedang ditangani dan dilayani lewat Deklarasi ini mengidentifikasi diri mereka sebagai bumiputra (indigenous). Dalam Konvensi ILO dan Deklarasi ini sendiri disebutkan bahwa identifikasi diri sendiri dari masyarakat merupakan kunci dalam menempatkan sebuah entitas sosial sebagai masyarakat adat.Idenfitikasi diri merupakan hak dasar yang dijamin dalam berbagai hukum universal yang sudah berlaku sejak pendirian PBB. Dalam Konvensi ILO No.169 tahun1986 menyatakan bahwa:
Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu sukubangsa, sesuai dengan pola budayalembaga sosial dan sistem hukum mereka.
2.      Perkembangan Masyarakat Adat[3]
Dalam konteks kesejarahan sesungguhnya Indonesia amat beruntung, karena perancang Undang-Undang Dasar 1945 yakni Prof. Mr. Dr. R Soepomo adalah seorang pakar hukum adat, yang benar-benar engetahui posisi masyarakat hukum adat di Indonesia, dan sehubungan dengan itu mencantumkan pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat (‘volksgemeenschappen’) dalam rancangan konstitusi yang sedang disusunnya. Sudah barang tentu sekarang kitadapat menyayangkan bahwa pengakuan tersebut tidak tercantum secara lugas dalam dictum Undang-Undang Dasar 1945, tetapi ‘hanya’ dalam Penjelasan Pasal 18. . Dalam Penjelasan Pasal 18 tersebut diberikan contoh-contoh tentang satuan-satuan masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, dan nagari di Minangkabau, yang dinyatakan mempunyai hak asal usul yang harus dihormati negara.Dalam literatur adat recht yang dikembangkan oleh Universitas Leiden, dengan istilah adat rechtgemeenschappen memang dimaksudkan desa atau satuan masyarakat yang seti ngkat.Seluruh masyarakat hukum adat ini dikelompokkan dalam 18 adat rechtskringen.
Namun, walaupun hanya tercantum dalam Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, sikap para pendiri negara tersebut merupakan original intent yang harus dirujuk dalam melakukan tafsiran historis (historische interpretatie) terhadap norma hukum positif yang terkait dengan eksistensi dan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat ini, paling sedikit selama kita masih mempergunakan Undang-Undang Dasar 1945.
Ada suatu kendala konseptual yang sekarang kita sadari amat menghambat upaya untuk secara sistematik menindaklanjuti original intent para Pendiri Negara tersebut kedalam kebijakan negara dan peraturan perundang-undangan nasional. Kendala konseptual tersebut adalah tidak – atau kurang – berkembangnya  pengetahuan kita terhadap perkembangan masyarakat hukum adat ini. Tidaklah akan berkelebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya pengetahuan kita sekarang ini tidaklah lebih maju dari pengetahuan yang kita warisi dari literatur adat recht yang diwariskan oleh Cornelis van Vollenhoven dan atau B. Ter Haar Bzn. Sementara itu masyarakat hukum adat itu sendiri tumbuh dan berkembang, bahkan tidak mustahil secara teoretikal juga menciut dan menghilang, karena lenyapnya ciri-ciri khasnya sebagai suatu masyarakat hukum adat.
3.      Ciri-Ciri Masyarakat Adat
Dalam Keputusan Presiden No.111 tahun 1999 disebutkan batasan Komunitas Adat Terkecil) KAT.Yakni, kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial ekonomi, maupun politik.
Kepres juga menyebut ciri-ciri KAT, yakni:
(a) berbentuk komunitas kecil tertutup dan homogen;
(b) pranata sosial bertumpu pada lembaga kekerabatan;
(c) pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau;
(d) pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten;
(e) peralatan dan tehnologi sederhana;
(f) ketergantungan kepada lingkungan dan sumber daya alam setempat relatif tinggi;
(g) terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.
Berikutnya, dalam Organisasi buruh internasional, dalam Konvensi 169 (1989), membedakan antara “tribal” dan“indigenous peoples”. Tribal = berhubungan dengan penduduk yang memiliki kondisi sosial, budaya, dan ekonomi yang membedakan mereka dari bagianbagian lain komunitas nasional dan yang memiliki status diatur secara keseluruhan atau khusus oleh adat dan tradisi milik mereka atau hukum-hukum dan peraturanperaturan khusus. Indigenous people = meliputi penduduk yang tinggal di negara-negara merdeka yang dianggap sebagai bangsa pribumi yang penetapannya didasarkan pada keturunan mereka di antara penduduk lain yang mendiami suatu negara, atau suatu wilayah georgrafis di mana suatu negara terletak, pada waktu terjadi penaklukan atau penjajahan atau penetapan batas-batas negara yang baru, tanpa menilik pada status hukum mereka, dan masih tetap memiliki sebagian atau seluruh bentuk kelembagaan sosial, ekonomi, budaya dan politik mereka.




[1]https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat_adat#Definisi
[2]Taqwaddin, “Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat Mukin di Provinsi Aceh”, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010), 36.
[3] Taqwaddin, “Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh”, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010)

0 comments:

Copyright © 2013. BloggerSpice.com - All Rights Reserved
Customized by: MohammadFazle Rabbi | Powered by: BS
Designed by: Endang Munawar