Kajian Empirik Pranata Pendidikan dalam latar Budaya dan Organisasi

Kajian Empirik Pranata Pendidikan dalam latar Budaya dan Organisasi
oleh: Much. Rifqy, Sy., SE

BAB II
PEMBAHASAN


2.1.Pengertian Pranata Pendidikan
Pranata Pendidikan terletak pada upaya sosialisasi, sehingga masyarakat memiliki kemampuan dan ciri-ciri pribadi. Pendidikan adalah suatu proses yang terjadi karena interaksi berbagai faktor, yang menghasilkan penyadaran diri dan lingkungan. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa pendidikan dilakukan agar mendapatkan tujuan yang diharapkan bersama, yaitu:


Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka  mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasarkan Tap MPR No. II/MPR/1988 bahwa pendidikan itu berdasarkan atas Pancasila dasar dan falsafah negara. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis. Sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh dan terpadu. Semesta dalam arti terbuka bagi seluruh rakyat. Menyeluruh dalam arti mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.
Pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Undang-undang ini mengungkapkan satu sistem yang :
a.      Berakar pada kebudayaan nasional dan berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945
b.      Merupakan satu keseluruhan dan dikembangkan untuk ikut berusaha mencapai tujuan nasional
c.       Mencakup, baik jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah
d.      Mengatur, bahwa jalur pendidikan sekolah terdiri atas 3 (tiga) jenjang utama
e.      Mengatur, bahwa kurikulum, peserta didik dan tenaga kependidikan, terutama guru, dosen atau tenaga pengajar, merupakan tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan
f.        Mengatur secara terpusat (sentralisasi), namun penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan dilaksanakan secara tidak terpusat (desentralisasi)
g.      Menyelenggarakan satuan dan kegiatan pendidikan sebagai tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan Pemerintah
h.      Mengatur, bahwa satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan masyarakat diperlakukan dengan penggunaan ukuran yang sama
i.        Mengatur, bahwa satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memiliki kebebasan untuk menyelenggarakannya sesuai dengan ciri atau kekhususan masing-masing sepanjang ciri itu tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara
j.        memudahkan peserta didik memperoleh pendidikan yang sesuai dengan bakat, minat dan tujuan yang hendak dicapai.

2.2.Ruang Lingkup Pendidikan
a.      Pendidikan dalam keluarga (informal)
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
b.       Pendidikan di sekolah (formal)
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
c.       Pendidikan dalam masyarakat (nonformal)
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Selanjutnya dalam Undang-undang Sisdiknas dijelaskan bahwa, pendidikan nonformal diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap pendidikan formal. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan.
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan dan pelatihan kerja, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. 

2.3.Fungsi Pranata Pendidikan
1.       Fungsi konservasi (pengawetan)
2.       Fungsi evaluatif (penilaian)
3.      Fungsi kreatif
a.      Fungsi Pranata Pendidikan Menurut Para Ahli 
1.       Menurut BRUCE J COHEN
Fungsi pranata pendidikan antara lain :
-          Memberikan persiapan bagi peran-peran pekerjaan
-          Sebagai perantara perpindahan warisan kebudayaan
-          Memperkenalkan peranan dalam masyarakat
-          Mempersiapkan individu dengan berbagai peranan sosial
-          Memberi landasan penilaian dan pemahaman
2.         Menurut BOGARDUS
Fungsi pranata pendidikan antara lain :
-          Memberantas kebodohan yaitu mengusahakan agar anak mampu menulis dan membaca serta mengembangkan kemampuan intelektualnya
-          Menghilangkan salah pengertian yaitu mengembangkan pengertian yang luas tentang manusia lain yang berbeda kebudayaan dan kepentingannya


3.      Menurut DAVID POPONOE
Fungsi pendidikan antara lain :
-          Sebagai transmisi kebudayaan masyarakat yaitu selalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat
-          Menjamin adanya integrasi sosial di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk
-          Sumber inovasi sosial
4.      Menurut HORTON dan HUNT
Fungsi nyata (manifest) pendidikan antara lain :
-          Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah
-          Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan kepentingan masyarakat melestarikan kebudayaan.
Fungsi tersembunyi / laten pendidikan antara lain :
-          Mengurangi pengawasan orang tua kepada anak
-          Menyediakan sarana pembangkangan terhadap nilai-nilai yang berlaku di masyarakat mempertahankan sistem kelas sosial
-          Memperpanjang masa remaja
b.      Fungsi Tersembunyi Pranata Pendidikan
1.      Menunda masa kedewasaan anak
2.      Menjadi saluran bagi mobilitas sosial
3.      Memelihara integrasi masyarakat
c.       Fungsi Nyata Pendidikan
1.      Menolong orang untuk sanggup mencari nafkah bagi kehidupannya kelak
2.      Meningkatkan citra rasa kehidupan
3.      Meningkatkan taraf kesehatan dengan olahraga
d.      Manfaat Pendidikan
1.      Wawasan dan pandangan seseorang dalam berinteraksi menjadi lebih baik
2.      Seseorang dapat mengikuti perkembangan zaman
3.      Seseorang menjadi lebih kritis dan analitis dalam berpikir.

2.4.Pengertian Budaya 
Arti Kata Budaya Secara Etimologis Menurut kamus Bahasa Indonesia kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta Bodhya yang berarti akal budi, sinonimnya adalah kultur yang berasal dari bahasa Inggris Culture atau Cultuur dalam Bahasa Belanda. Kata Culture sendiri berasal dari bahasa Latin Colere (dengan akar kata “Calo” yang berarti mengerjakan tanah, mengolah tanah atau memelihara ladang dan memelihara hewan ternak.
Arti kata budaya secara terminologis budaya adalah suatu hasil dari budi dan atau daya, cipta, karya, karsa, pikiran dan adat istiadat manusia yang secara sadar maupun tidak, dapat diterima sebagai suatu perilaku yang beradab. Dikatakan membudaya bila kontinu, konvergen.
Budaya adalah sebuah warisan sosial juga adalah segala sesuatu yang tercipta atau dilakukan oleh sekumpulan individu disuatu tempat tertentu di masa lalu dan kemudian melalui waktu hingga sampai di masa selanjutnya. Pemberian itu kemudian diulang sebagai sebuah tradisi yang sebagian berasal dari warisan masa lalu oleh generasi sekarang.
Menurut Takahashi ( 1989 ) kebudayaan merupakan  sub kategori  peradaban, jadi berbicara tentang  keunikan-keunikannya atau model- model bangunan yang berdiri di atasnya fondasi kemanusiaan  atau perdaban. Menurut Ruth Benedict, kebudayaan menunjukkan pola-pola pemikiran serta tindakan tertent yang terungkap dalam aktivitas. Sehingga pada hakekatnya kebudayaan itu sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Ashley Montagu ialah “ way of life “ yaitu cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu pula dari suatu bangsa ( Hans J. Daeng, 1993 ).
Kebudayaan juga dapat berubah karena adanya beberapa aspek lingkungan yang mempengaruhi, dengan derajat adaptasi tertentu (Moertjipto, 1995). Akan tetapi pada perkembangannya tidaklah semua kebudayaan yang di ciptakan oleh manusia itu dapat terus bertahan hidup. Oleh karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan masyarakat sebagai pemangku kebudayaan itu, maka nilai-nilai yang ada didalamnya pun bisa mengalami pergeseran-pergeseran. Apabila suatu kebudayaan dianggap baik oleh masyarakat pemangkunya dan mampu beradaptasi dengan perkembangan social, maka akan tetap di pertahankan.
Kebudayaan sebagai suatu proses tentunya tidak akan mengenal titik henti, namun selalu berproses sepanjang masa sejauh dinamika potensis kodrati yang berwujud cipta, rasa, dan karsa masih melekat pada diri manusia ( Suratman, 1993 ). Pendapat yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Kartodirdjo, bahwa bila suatu kebudayaan ingin tetap bisa bertahan, maka harus dapat mengikuti atau menyesuaikan dengan perkembangan social masyarakat pemangkunya harus dinamis. Kebudayaan tersebut harus berani berkompetisi dengan kebudayaan lain. Dengan demikian, walaupun kebudayaan itu sudah dapat dikatakan sebagai puncak, bukan berarti berhenti berkembang. Oleh karena kebudayaan itu harus selalu berkembang seirama dengan perkembangan atau kemajuan social ekonomi masyarakat penduduknya ( Moertjipto, 1995 ).
Kebudayaan dapat dibedakan dengan dua hal, yaitu kebudayaan ditinjau dari sudut individu dan kebudyaan ditinjau dari sudut masyarakat. Kebudayaan ditinjau dari sudut individu maka individu berperan :
a.       Mempelajari hasil-hasil yang telah diperoleh oleh generasi terdahulu, agar individu dapat menyadari posisi kedudukannya dan mengetahui perjuangan yang dilakukan generasi terdahulu
b.      Mengembangkan hasil, yang diperoleh generasi terdahulu, apa-apa yang telah dianggapnya sebagai asumsi untuk lebih menyempurnakan perkembangan yang telah dihasilkan itu
c.       Menghubungkan nilai yang dipelajari dan dikembangkan kepada genarasi yang akan timbul . maka pengaruh dari individu harus giat mempelajari mengembangkan hasil yang telah diperoleh generasi sebelumnya dan menghubungkannya kepada generasi yang sedang tumbuh.

Kebudayaan ditinjau dari sudut masyarakat, maka wujudnya berbentuk hasil pikiran (logik), norma (etika), dan perasaan (estetika). Masyarakat perlu mempelajari hasil pikiran yang dikembangkangenerasi  terdahulu, dan hasil pikiran itu menggambarkan bagaimana cara kerja yang dilakukan untuk menuju ke arah hasil pikiran yang sempurna.

2.5.Latar Budaya Masyarakat Indonesia
Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari banyaknya suku-bangsa yang tersebar di wilayah Nusantara ini. Menurut perkiraan terakhir, terdapat kurang lebih 500 suku-bangsa yangmengembangkan kebudayaan masing-masing secara mandiri. Diantara suku-bangsa-suku-bangsa yang tersebar tersebut ada yang memiliki jumlah anggota besar, setiap suku-bangsa Jawa yang paling dominan dari seluruh penduduk Indonesia, dan ada yang jumlah anggotanya hanya beberapa ribu saja ( Poerwanto, 1996 ).
Setiap suku-bangsa mengembangkan kebudayaannya masing-masing sebagai kerangka acuan dalam proses adaptasi terhadap lingkungannya, dan ini dikenal dengan kebudayaan suku-bangsa. Kebudayaan-kebudayaan suku-bangsa itu hingga kini masih berfungsi sebagai kerangka acuan bagi para penduduknya dan di tanamkan pada generasi penerus atau muda lewat pendidikan dalam keluarga. Oleh karena itu, kebudayaan suku-bangsa pada umumnya masih berfungsi dalam terpelihara dalam lingkungan kerabat.
Sementara itu, kebudayaan daerah berasal dari kebudayaan suku-bangsa yang paling dominan. Suku-bangsa yang dikatakan paling dominan ini dapat terbentuk karena : jumlahnya paling banyak, l dapat karena kebudayaan tersebut telah mapan atau dapat karena anggota-anggota dalam suku-bangsa tersebut banyak yang menduduki peran-peran penting baik dalam bidang politik, social maupun ekonomi.
Biasanya kebudayaan daerah itu berkembang sebagai hasil perpanduan kebudayaan-kebudayaan suku-bangsa pada masyarakat majemuk yang menduduki suatu wilayah permukiman bersama. Tidak jarang perkembangan kebudayaan suatu daerah diwarnai atau didominasi oleh salah satu kebudayaan suku-bangsa yang mempunyai jumlah penduduk paling banyak, atau karena kebetulan telah mapan perkembangannya, atau karena telah merupakan kebudayaan dari golongan masyarakat yang menguasai sumber-sumber kekuasaan politik, ekonomi, dan social.

2.6.Budaya dari latar Agama
Sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitem nilai dan simbol agama.
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, bila agama memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqah untuk penebusan (rahinah) anak tersebut, sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendoakan kesalehan anak yang baru lahir agar sesuai dengan harapan ketuhanan dan kemanusiaan. Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik agama maupun budaya lokal dalam tahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi orang yang meninggal.
Oleh karena itu, biasanya terjadi dialektika antara agama dan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Namum terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adat istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyat yang bersifat absolut.
Gagasan pribumisasi Islam, secara geneologis dilontarkan pertama kali oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an. Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat muslim di Timur Tengah. Bukankah Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.
Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.
Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya, dalam wujud ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari ‘Islam Otentik’ atau ‘Islam Murni’ yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. ‘Islam Pribumi’ justru memberi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut.
Sebagai contoh dapat dilihat dari praktek ritual dalam budaya populer di Indonesia, sebagaimana digambarkan oleh Kuntowijoyo, , menunjukkan perkawinan antara Islam dan budaya lokal yang cukup erat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat, sebagai salah satunya, dimaksudkan agar manusia dapat menjadi ‘wiwoho’, yang mulia. Sehingga berangkan dari pemahaman ini, masyarakat harus memuliakan kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluq yang mulia.

2.7.Budaya Lokal
a.      Pengaruh Hindu-Budha
Bidang pendidikan membawa pengaruh bagi munculnya lembaga-lembaga pendidikan. Meskipun lembaga pendidikan tersebut masih sangat sederhana dan mempelajari satu bidang saja, yaitu keagamaan. Akan tetapi lembaga pendidikan yang berkembang pada masa Hindu-Buddha ini menjadi cikal bakal bagi lahirnya lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Bukti bukti yang menunjukkan telah berkembangnya pendidikan pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, antara lain adalah:
a)      Dalam catatan perjalanan I-Tsing, seorang pendeta yang berasal dari Cina, menyebutkan bahwa sebelum dia sampai ke India, dia terlebih dahulu singgah di Sriwijaya. Di Sriwijaya I-Tsing melihat begitu pesatnya pendidikan agama Buddha, sehingga dia memutuskan untuk menetap selama beberapa bulan di Sriwijaya dan menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha bersama pendeta Buddha yang ternama di Sriwijaya, yaitu Satyakirti. Bahkan I-Tsing menganjurkan kepada siapa saja yang akan pergi ke India untuk mempelajari agama Buddha untuk singgah dan mempelajari terlebih dahulu agama Buddha di Sriwijaya. Berita I-Tsing ini menunjukkan bahwa pendidikan agama Buddha di Sriwijaya sudah begitu maju dan tampaknya menjadi yang terbesar di daerah Asia Tenggara pada saat itu.
b)      Prasasti Nalanda yang dibuat pada sekitar pertengahan abad ke-9, dan ditemukan di India. Pada prasasti ini disebutkan bahwa raja Balaputradewa dari Suwarnabhumi (Sriwijaya) meminta pada raja Dewapaladewa agar memberikan sebidang tanah untuk pembangunan asrama yang digunakan sebagai tempat bagi para pelajar agama Buddha yang berasal dari Sriwijaya. Berdasarkan prasasti tersebut,kita bisa melihat begitu besarnya perhatian raja Sriwijaya terhadap pendidikan dan pengajaran agama Buddha di kerajaannya. Hal ini terlihat dengan dikirimkannya beberapa pelajar dari Sriwijaya untuk belajar agama Buddha langsung ke daerah kelahirannya yaitu India. Tidak mustahil bahwa sekembalinya para pelajar ini ke Sriwijaya maka mereka akan menyebarluaskan hasil pendidikannya tersebut kepada masyarakat Sriwijaya dengan jalan membentuk asrama-asrama sebagai pusat pengajaran dan pendidikan agama Buddha.
c)      Catatan perjalanan I-Tsing menyebutkan bahwa pendeta Hui-Ning dari Cina pernah berangkat ke Ho-Ling (salah satu kerajaan Buddha di Jawa). Tujuannya adalah untuk bekerja sama dengan pendeta Ho-Ling yaitu Jnanabhadra untuk menerjemahkan bagian terakhir kitab Nirwanasutra. Dari berita ini menunjukkan bahwa di Jawa pun telah dikenal pendidikan agama Buddha yang kemudian menjadi rujukan bagi pendeta yang berasal dari daerah lain untuk bersamasama mempelajari agama dengan pendeta yang berasal dari Indonesia.
d)     Pada prasasti Turun Hyang, yaitu prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga menyebutkan tentang pembuatan Sriwijaya Asrama oleh Raja Airlangga. Sriwijaya Asrama merupakan suatu tempat yang dibangun sebagai pusat pendidikan dan pengajaran keagamaan. Hal ini menunjukkan besarnya perhatian Raja Airlangga terhadap pendidikan keagamaan bagi rakyatnya dengan memberikan fasilitas berupa pembuatan bangunan yang akan digunakan sebagai sarana pendidikan dan pengajaran.
e)      Istilah surau yang digunakan oleh orang Islam untuk menunjuk lembaga pendidikan Islam tradisional di Minangkabau sebenarnya berasal dari pengaruh Hindu-Buddha. Surau merupakan tempat yang dibangun sebagai tempat beribadah orang Hindu-Buddha pada masa Raja Adityawarman. Pada masa itu, surau digunakan sebagai tempat berkumpul para pemuda untuk belajar ilmu agama. Pada masa Islam kebiasaan ini terus dilajutkan dengan mengganti fokus kajian dari Hindu-Buddha pada ajaran Islam.

b.      Pengaruh Islam
Sejak kehadiran Islam di Indonesia, para ulama telah mencoba mengadobsi kebudayaan lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang pas tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama, walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama. Kalangan ulama Indonesia memang telah berhasil mengintegrasikan antara keIslaman dan keindonesiaan, sehingga apa yang ada di daerah ini telah dianggap sesuai dengan nilai Islam, karena Islam menyangkuit nilai-nilai dan norma, bukan selera atau idiologi apalagi adat. Karena itu, jika nilai Islam dianggap sesuai dengan adat setempat, tidak perlu diubah sesuai dengan selera, adat, atau idiologi Arab, sebab jika itu dilakukan akan menimbulkan kegoncangan budaya, sementara mengisi nilai Islam ke dalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif ketimbang mengganti kebudayaan itu sendiri.
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.
Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).
Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam.
Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam dulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya.

2.8.Budaya Nasional
Pelaksanaan pendidikan nasional berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jalur Pendidikan Jalur pendidikan terdiri atas :
1.      pendidikan formal,
2.      nonformal, dan
3.      informal.
Jalur Pendidikan Formal Jenjang pendidikan formal terdiri atas:
1.      pendidikan dasar,
2.      pendidikan menengah,
3.      dan pendidikan tinggi.

Jenis pendidikan mencakup:
1.      pendidikan umum,
2.      kejuruan,
3.      akademik,
4.      profesi,
5.      vokasi,
6.      keagamaan, dan
7.      khusus.

a.      Tingkatan Pendidikan Formal
1)      Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Pendidikan dasar berbentuk:
1.      Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat;
2.      Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
2)      Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas:
1.      pendidikan menengah umum
2.      pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk:
1.      Sekolah Menengah Atas (SMA),
2.      Madrasah Aliyah (MA),
3.      Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
4.      Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

3)      Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk:
1.      akademi,
2.      politeknik,
3.      sekolah tinggi,
4.      institut, atau
5.      universitas.
Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.

b.      Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Pendidikan nonformal meliputi:
1.      pendidikan kecakapan hidup,
2.      pendidikan anak usia dini,
3.      pendidikan kepemudaan,
4.      pendidikan pemberdayaan perempuan,
5.      pendidikan keaksaraan,
6.      pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
7.      pendidikan kesetaraan, serta
8.      pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas:
1.      lembaga kursus,
2.      lembaga pelatihan,
3.      kelompok belajar,
4.      pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
5.      majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

c.       Pendidikan Informal
Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

d.      Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:
1.      Taman Kanak-kanak (TK),
2.      Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk:
1.      Kelompok Bermain (KB),
2.      Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

e.      Pendidikan Kedinasan
Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.



f.        Pendidikan Keagamaan
Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk:
1.      pendidikan diniyah,
2.      pesantren,
3.      pasraman,
4.      pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

g.      Pendidikan Jarak Jauh
Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.

h.      Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

2.9.            Budaya Internasioanal
Belakangan ini muncul tren di beberapa sekolah yang mengklaim dirinya menerapkan pendidikan internasional. Dengan mengadopsi kurikulum asing dan mendatangkan para pengajar dari negara asal kurikulum, sekolah-sekolah ini berani menyebutkan bahwa kurikulum mereka berkualitas pendidikan internasional
Sebenarnya standar pendidikan internasional bukan sekedar pendidikan yang menggunakan bahasa internasional. Bukan hanya pada kulitnya. Harusnya pendidikan internasional bukan melulu mempromosikan penggunaan bahasa asing. Pendidikan internasional harus dimaknai dengan pendidikan yang menjadikan anak didiknya berpikir secara terbuka dan internasional, open and international minded. International minded dimana di dalamnya para anak didiknya kelak akan menjadi manusia yang ‘berwarga negara internasional’ atau istilahnya sebagai global citizen. Jadi pendidikan internasional bukan sekedar kulit belaka, namun lebih pada esensi yang terletak di dalamnya, dalam pembelajarannya.
Dalam pendidikan internasional, kurikulum yang diterapkan boleh-boleh saja kurikulum nasional, tetapi di dalamnya disisipkan pendidikan untuk ber-internasional. Program yang benar-benar program berstandar internasional dalam arti yang sesungguhnya yakni dalam program ini selain menerapkan pelajaran Bahasa Inggris sebagai satu dari mata pelajarannya, Bahasa Ibu, dalam hal ini Bahasa Indonesia- bila diterapkan di Indonesia, masih harus dipakai. Anak didik harus tetap dikenalkan dengan budaya lokal dan harus tetap diajak berpikir tentang apa yang ada di sekitar lokalnya. Namun pada saat bersamaan, program ini membuat anak didik untuk berpikir secara internasional dengan cara mengajak mereka untuk peduli akan situasi yang ada di dunia luar – Act locally, think globally. Juga dengan cara mengajarkan kepada anak didik adanya perbedaan di antara sesama, dan dengan cara menerapkan profil-profil manusia yang mengarah ke dalam kehidupan yang lebih baik. Artinya, anak didik dijejali dengan pendidikan akan hidup dalam suasana damai di dunia, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, diberikan makna perdamaian internasional, dan arah kehidupan yang lebih baik. Bentuk pendidikan semacam ini bukan dalam tingkat pendidikan teori, namun harus diterapkan secara nyata. Dalam pendidikan internasional, para pendidik harus pandai menyelipkan nilai-nilai kemanusian ke dalam semua mata pelajaran dan dalam semua kegiatan secara berkelanjutan. Kegiatan yang dirancang haruslah sedemikian rupa sehingga anak didik tidak hanya belajar ilmu, namun juga belajar nilai.

1.      Awal Mula Pendidikan Umum
Upaya pertama untuk memajukan pendidikan umum dilakukan pada paruh kedua adab ke-15 oleh para penguasa yang lebih toleran. Lingkup kekuasaan dan masa jabatan mereka berhubungan langsung dengan nasib politik Negara. Demikianlah, pangeran Leopold I dan sejumlah besar penduduk memutuskan bahwa Tuscany tidak akan makmur selama pendidikan masih dikontrol gereja. Mereka mengumumkan suatu agenda yang membuka sekolah-sekolah dasar, baik untuk orang kaya maupun orang miskin yang akan diselenggarakan di kota besar dan kecil dibawah pengawasan public. Beberapa sekolah telah dibuka, namun agenda itu gagal karena tidak ada cukup banyak guru sekuler dan pengajaranpun kembali jatuh ke tangan pastor wilayah. Republik Venesia yang tradisinya lebih sekuler jauh lebih berhasil, namun system pendidikan di Negara itu segera berakhir dengan adanya penaklukan oleh balatentara Napoleon.
Meskipun demikian, penaklukan Napoleon bukannya tidak menguntungkan. Periode pemerintahan Prancis yang singkat telah memperkenalkan pola pemerintahan terpusat dan prinsip pendidikan yang didukung Negara. Yang lebih penting, penaklukan Napoleon telah mempersatukan rakyat Italia dalam perlawanan menentang musuh yang sama. Dari rasa persatuan inilah, akhirnya bangkit gerakan nasional Sementara itu, penguasa Prancis telah mendirikan sekolah-sekolah menengah dan universitas-universitas dibawah pengawasan dan biaya Negara untuk mendirikan pegawai negeri, alih-alih untuk mendidik Gereja dimasa sekarang crri periode dominasi Prancis ini masih terlihat pada liceo Itali, seperti juga ginnasio yang lebih tua umurnya memperlihatkan cirri peninggalan Jerman. Belakangan, keduanya digabungkan secara berurutan menjadi ginnasio liceo klasik. Ginnasio –liceo klasik merupakan bentuk sekolah menengah yang paling popular karena mempersiapkan penerimaan ke universitas dan dunia kerja. Kini, baik ginnasio-liceo maupun universitas telah menjadi institusi Negara.
Pendidikan dasar agak lambat dimulai, sebagian besar karena Napoleon tidak tertarik untuk mengurangi jumlah buta huruf di semua kalangan. Sebenarnya, ketika Republik Cisalpine mengumumkan  “ General Plan for Public Instruction-Perencanaan Umum Bagi Pendidikan Umum “ yang mewajibkan pendidikan  dasar secara bebas, penghapusan pengaruh gereja, dan pemberantasan takhyul memulai pengajaran ilmu pengetahuan alam, Napoleon merasa cemas dengan kemungkinan konsekuensi nya. Lima tahun kemudian ia menghentikan eksperimen ini dan mengalihkan sekolah-sekolah itu kepada pendeta wilayah.
Awal pendidikan umum yang lebih sukses terjadi di kerajaan Savoy. Sejak tahun 1859 sampai tahun 1870, Raja Victor Emmanuel II memimpin rakyatnya untuk melepaskan diri dari dominasi Vatikan maupun luar negeri. Kemudian, satu demi satu ia merebut Lombardi, Parma, Modena, Romagna, Tuscany, kerajaan Naples dan Sisilia, serta Papal states.  Tanggal 13 November 1859, Raja Victor Emmanuel II meresmikan Casati Law yang terkenal-diambil dari nama Menteri Pendidikan Umum-nya. Walaupun semula hanya dimaksudkan bagi rakyat Savory, bentuk pencerdasan Casati  Law dan sambutan rakyat yang hangat menyebabkannya secara bertahap ditiru  dan di adopsi dengan suka rela di Negara-negara taklukan. Casati Law telah menjadi dasar pendidikan umum di Itali sampai sekarang.
2.      Sekolah Pertama
Ada 2 faktor  yang memberi  sumbangsih signifikan pada perkembangan pendidikan umum di Swiss. Factor pertama adalah motif religious atau keagamaan yang muncul pada awal masa reformasi. Faktor kedua muncul kemudian pada abad ke-19 dengan diakuinya kebutuhan untuk mendidik anak-anak agar dapat mandiri secara ekonomi, politik, dan sosial. Faktor kedua ini menghasilkan berbagai reformasi pendidikan, diantaranya ada yang telah di tiru secara luas.
Seperti di belahan Eropa lainnya, sekolah mula-mula di bawa masuk ke Swiss oleh gereja katholik roma. Saat itu hanya ada sedikit pusat populasi yang besar di Swiss sehingga pusat keuskupan yang bisa mensponsori sekolah katedral juga tidak banyak, kecuali keuskupan Basel yang terkenal. Dari keuskupan inilah University of Basle didirikan dan memperoleh koleksi naskah kuno dan catatan catatan berharga. Daerah pedalaman di Swiss lebih cocok untuk tujuan-tujuan golongan biarawan atau biarawati. Sejumlah biara telah di bangun di tepi pegunungan utara lewat panduan dari Itali. Biara-biara tersebut menjadi pelopor misi onaris untuk rakyat yang belum memiliki agama. Beberapa sekolah biara didirikan, terutama untuk mendidik remaja setempat agar tertarik bekerja sebagai ulama gereja. Salah satunya adalah  biara di St. Gall, yang di kenang  terutama karena kekayaan sastra yang tersimpan di sana selama masa kegelapan dan bertahan bertahun tahun kemudian sampai masa Renaisans. Namun, kebanyakan penduduk tetap menderita buta huruf hingga masa reformasi.
Karena sifatnya yang independen, rakyat Swiss tidak pernah mau menerima pengawasan gereja yang otoritor. Sejak awal abad ke-20, pegunungan dan hutan-hutan Swiss telah melindungi para pengikut aliran Waldens. Kemudian, Basel menjadi pusat gerakan untuk mendirikan dewan gereja yang merupakan salahsatu bentuk pengawasan gereja katholik roma. Unsur-unsur lain yang bertentangan dengan gereja katholik roma dibawa masuk oleh para pengungsi dan misionaris. Terinspirasi sebagian oleh ajaran Luther, bangsa Swiss menghasilkan tokoh reformis agamanya sendiri yang terkenal, yaitu  Ulrich Zwingli dan John Calvin. Zwingli, seorang petinggi gereja di Zurich, memimpin gerakan yang menghasilkan terbentuknya gereja reformasi. Gereja reformasi segera di jadikan gereja resmi di beberapa kanton yang berbahasa Jerman dan tetap berlangsung demikian sampai sekarang. Di Jenewa, John Calvin memimpin berdirinya teokrasi gereja berdasarkan prinsip teologisnya sendiri. Pengaruh Calvin jelas terlihat dimasa sekarang, tidak hanya di kanton-kanton yang berbahasa Prancis, tetapi juga di kalangan kaum Huguenot Prancis, kaum Presbyterian dari Skotlandia, Irlandia, dam Inggris  beberapa elemen paham protestan Belanda, kaum Kongregasionalisme, dan pengikut puritan dari Inggris.
Di kelilingi oleh negara-negara bagian berdaulat yang memiliki gereja resmi dan di selenggarakan sebagai cabang pemerintahan yang penting, beberapa kanton Swiss juga mengadopsi prinsip keseragaman agama. Setiap kanton menyatakan diri sebagai pengikut aliran Calvin, reformasi atau katholik roma. Pernyataan keputusan itu selalu diwarnai kebencian dan terkadang terjadi pertumpahan darah. Meskipun demikian, keputusan keputusan itu turut andil dalam mengarahkan jenis pendidikan yang berkembang. Keputusan keputusan itu juga berperan meningkatkan penolakan terhadap interferensi pada pendidikan setempat dari otoritas luar, termasuk dari pemerintahan nasional yang sedang bangkit.

3.      Variasi Pendidikan di Barat
Sistem pendidikan terlengkap dan terluas yang di bawa kaum pembaharu diresmikan di Jenewa oleh kaum Calvinis.  John Calvin tidak tanggung tanggung membaktikan dirinya untuk menganjurkan prinsip dominasi agama dalam hubungan antar manusia. Atas anjurannya , dewan pemerintah teokratis Jenewa di desak untuk mendirikan dan mengelola empat sekolah membaca dalam bahasa setempat atas biaya pubik; satu sekolah untuk seperempat bagian kota. Namun , Calvin paling menaruh minat pada sekolah sekolah yang lebih memberikan sumbangsih langsung pada pelajaran teologi. Maka, didirikanlah sebuah sekolah dasar ( grammar school ) latin yang dalam banyak hal mirip dengan gymnasium yang sudah lebih dulu di kembalikan oleh Sturm di Strassburg. Sekolah ini, dan sekolah sekolah  serupa yang didirikan kaum Calvinis di Negara Negara tetangga, di sebut college. Juga didirikan suatu institusi pendidikan tinggi yang dinamakan akademi. Dari akademi ini dihasilkan University of Geneva. Perkembangan serupa yang terjadi di Lausanne dan Neuchatel menghasilkan perguruan tinggi -perguruan tinggi yang kini berdiri di sana.
Sekolah-sekolah di Jenewa jelas-jelas berada di bawah control langsung dewan pusat, sebuah fakta yang memperjelas mengapa kanton Jenewa saat ini memiliki system  pendidikan kanton terpadu yang dikelola secara terpusat. Berlawanan dengan kanton-kanton lainnya yang pada berbagai tingkat bergantung pada sekolah-sekolah local, system pendidikan kanton masing-masing dikelola secara local secara umum, dua kanton berbahasa Prancis lainnya, Neuchatel dan Valais, juga memperlihatkan kepentingan lebih kuat dalam pengawasan kanton dari pada kanton-kanton berbahasa Jerman. Barangkali hal ini akibat ikatan budaya mereka pascapemerintahan Napoleon yang sangat mendukung prinsif pemerintahan terpusat.
Kanton-kanton lain yang bergabung dengan gerakan  Zwingli dan menjadikan gereja reformasi sebagai gereja resmi, mengikuti praktek kaum Luther yang menyerahkan pengadaan pelajaran membaca dalam bahasa setempat kepada jemaat gereja setempat di Zurich, dua sekolah latin di reorganisasi  dan di modernisasikan menurut aturan-aturan humanistic dengan memasukkan pelajaran latin klasik, Yunani, dan Ibrani. Nama Gymnasium segera di adopsi untuk sekolah-sekolah ini dan sekolah lain yang serupa disamping itu, Zwingli memperkenalkan kuliah “ umum “ regular yang berhubungan dengan katedral untuk mengajar pendeta wilayah dan ulama gereja lainnya sesuai teologi reformasi dan jabatan gereja berbagai porsi kuliah di berikan dalam bahasa Yunani, Ibrani, dan Latin, namun pada jam pelajaran berikutnya, pembahasan topic yang sama diulang kembali dalam bahasa Jerman untuk siapa saja yang ingin mendengarkan.
Zwiling sangat memperhatikan kebutuhan pendidikan bagi rakyat biasa. Sebenarnya dia telah menulis sebuah buklet tentang subjek pengajaran rakyat dan secara umum memperlihatkan minat yang luar biasa untuk ukuran jamannya dengan mengajarkan ilmu pengetahuan alam, teknik, dan bahkan keterampilan serta pendidikan kejuruan kepada rakyat. Sayang sekali dia terbunuh pada masa jayanya sehingga tidak ada kesempatan untuk melaksanakan gagasan-gagasannya bagi pendidikan rakyat. Akibatnya, pelajaran bahasa daerah-kendati di dukung oleh pemimmpin kanton, terutama pejabat  gereja- diserahkan pada kepemimpinan, dukungan, dan inisiatif local. Dengan cara ini, sekolah bahasa daerah berdiri sebagai sekolah local- sekolah rakyat yang sesungguhnya. Maka kebijakan tanggung jawab pendidikan yang ter desentralisasi menjadi sangat kuat dan berakar. Ketergantungan pada pemimpinan dan insiatif local sejak awal ini menyebabkan banyaknya ragam bentuk dan praktek intitusional. Dalam atmosfer kemerdekaan untuk bertindak ini, kemudian terjadi sejumlah ekspansi pendidikan yang berhubungan dengan nama-nama seperti Peestalozzi, Foebel, dan Fellenberg. Meskipun tiap eksperimen tersebut merupakan usaha pribadi, namun masing-masing menerima dukungan dan bantuan dana daru init pemerintahan local.
Beberapa kanton tetap menganut agama katholik, terutama kanton-kanton yang terletak di bagian tengah dan selatan Negara yang sebagian besar berupa pegunungan dan berpenduduk jarang. Masyarakatnya benar-benar patuh-dan tetap demikian- kepada pastor pastornya dan tergantung pada pendidikan yang di selenggarakan gereja katholik. Sampai sekarang, tak satupun diantara kanton kanton itu yang memiliki universitas, kecuali kanton Freiburg dan universitas inipun didirikan oleh kelompok dari luar dan bukan benar-benar institusi kanton. Beberapa kanton tidak punya sekolah menengah, tetapi mengadakan perjanjian dengan satu ordo keagamaan atau lebih untuk menyelenggarakan pendidikan bagi kaum muda di wilayahnya. Terkadang pengaturan yang sama di tetapkan untuk pengajaran murid-murid sekolah dasar dan pelatihan guru.
Faktor sejarah yang telah di paparkan diatas memperlihatkan fakta bahwa saat ini tidak ada pendidikan tunggal di seluruh daerah Swiss. Tidak ada instansi administratif pusat maupun perangkat undangan-undangan yang mengatur pendidikan anak-anak. Keanekaragaman bentuk institusional, muatan kurikulum, bahkan bahasa pengantar dalam pelajaran tidak hanya terdapat di kanton tertentu tetapi bisa pula  dalam satu distrik sekolah local. Meskipun demikian, perbedaan –perbedaan pendidikan ini termasuk salah satu persoalan yang paling banyak mendapat perhatian dari rakyat Swiss dan Negara ini merupakan salah satu Negara dengan tingkat bebas buta huruf tertinggi di dunia. Bangsa Swiss bisa di katakan sebagai bangsa dengan sumberdaya alam termiskin di dunia sumberdaya utama Swiss sebenarnya adalah rakyat ; dan pendidikan adalah satusatunya sarana agar sumberdaya itu dapat di manfaatkan seluas luasnya.

4.      Tradisi Pendidikan di Asia Timur
Pola-pola yang mendominasi tradisi social dan ideology Asia menyebar dari tiga pusat kebudayaan besar di Indonesia, Fertile Crescent, dan Cina. Selama beberapa dasawarsa terakhir, Jepang dulunya adalah murid Cina, mulai mengukir citra tradisinya sendiri di Asia. Sebagian besar penyebabnya adalah kemajuan teknologi serta ke agresifan Jepang dalam militer dan perekonomian. Kultur dan pendidikan di India secara ringkas pada bab berikutnya. Bab ini dan dua bab selanjutnya akan mengkaji kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi pendidikan di Cina dan Jepang.
Cina, Jepang dan Korea disebut dengan istilah “ Asia Timur “. Menurut sejarah, ideology, lembaga-lembaga politik dan pendidikan di seluruh kawasan itu berhasil dari Cina. Meskipun demikian, mulai adab 19 sampai datangnya paham, komunis , peranan Cina sebagai cikal bekal kebudayaan semakin berkurang. Industrialisasai , nasionalisme, demokrasi, dan pemahaman komunis menciptakan perpecahan diantara bangsa-bangsa di Asia Timur yang di masa mendatang mungkin meruntuhkan persatuan banyak wilayah.
5.      Akar tradisi Asia Timur
Sejarah Cina mungkin dapat dikilas balik sekitar 5000 tahun yang lalu. Jadi, Cina adalah saingan India sebagai peradaban maju tertua di dunia. Kendati sejarah Cina awal banyak terselubung dalam mitos, tiga millennium terakhir sejarahnya telah di dokumentasikan dengan baik. Penemuan-penemuan arkeologi telah mengungkapkan kecemerlangan dan kemajuan kebudayaan Cina pada permulaan tahun 1500 S.M. tentu saja masa 1500 tahun sebelum era Kristen itu terbukti sebagai salahsatu periode paling kreatif di Cina dalam bidang seni, kesusastraan, dan filsafat. Diantara kepentingan khusus dalam mempelajari sumbangsih intelektual Cina adalah fakta bahwa antara 6 sampai 3 S.M.telah hidup empat ahli pikir Cina terbesar sepanjang masa- Lao Tze, Konfusius ( nama latin untuk K’ung fu tze ), Mo Tze, dan mensius ( nama latin untuk Meng Tze )  besertaajaran mereka. Pemikiran pemikiran yang berasal dari orang-orang ini khususnya konfusius dan mensius, menjadi terkenal dan sangat berpengaruh pada banyak bangsa di Asia.
Hampir 2000 tahun yang lalu Cina mulai berbagi hasil hasil kemajuan kebudayaannya dengan tetangganya yang belum maju, Korea dan Jepang. Cina berhubungan dengan Korea secara langsung. Hubungan dengan Jepang dibuka dengan menggunakan Korea sebagai jembatan. Cina mewariskan konstribusi yang penting dan kekal bagi kebudayaan Asia Timur. Pertama adalah system etika yang mencakup segala hal.

6.      Pendidikan di Negara-negara belum Berkembang.
Dua perang besar pada abad 20 telah mengakhiri  kolonialisme. Dengan demikian, jutaan orang bebas untuk membuat keputusan ekonomi, politik, dan pendidikan bagi diri mereka sendiri. Jutaan orang lainnya yang tidak tersentuh penjajahan, namun lama terhambat oleh tradisi social yang kaku, miskinnya sumber daya alam, dan pemimpin yang korup atau tidak layak, juga mulai menemukan kebebasan baru dan memperlihatkan keinginan- keinginan baru. Kemajuan pesat di bidang komunikasi dan transportasi telah menyoroti kesenjangan kesejahteraan di dunia dan membawa harapan serta hasrat baru bagi dua per tiga penduduk dunia yang hidup di wilayah Asia, Afrika dan Amerika latin, secara ekonomi belum berkembang. Dimasa sekarang, seluruh dunia terpusat pada apa yang dengan tepat di istilahkan sebagai “ revolusi harapan yang muncul .”
7.      Bentuk permasalahan
Daerah-daerah yang belum berkembang memiliki sumberdaya alam, iklim, populasi, geografi, dan tradisi bahasa dan kebudayaan yang sangat beragam. Keanekaragaman itu menyulitkan generalisasi kebutuhan fisik, social, pendidikan, dan kebutuhan lainnya. Sebagian besar Negara belum berkembang merupakan wilayah desa pertanian. ( sebenarnya, salah satu pakar dalam pembuatan model Negara yang sudah maju dan Negara belum berkembang mempergunakan istilah “  Agraria “ dan “ Industria “). Banyak diantaranya terletak di daerah yang beriklim panas dan akibat yang melemahkan dari iklim tropis ini sering di sebut-sebut sebagai penyebab rendahnya produktivitas dan kemelaratan. Negara-negara belum berkembang cenderung berpenduduk padat, meskipun ada pula yang berpenduduk jarang. Apa yang hanya sedikit atau sama sekali tidak memiliki warisan budaya asli dalam kasus kesusastraan, filosofi, dan sejarah ; yang lain memiliki tradisi budaya kaya yang berasal dari masa awal peradaban.
Kendati berbeda-beda, kebanyakan Negara belum berkembang memiliki keyakinan yang tak kunjung padam bahwa pendidikan adalah kunci utama menuju kebahagiaan dan perlindungan ekonomi dimasa yang akan datang. Negara yang sedang berkembang sangat bangga akan program-programnya untuk pemberantasan buta huruf, pendidikan kejuruan, dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan umum. Terinspirasi dengan impian akan masa depan yang lebih baik, rakyat yang hidupnya pas-pasan telah mengadakan upaya-upaya pendidikan yang sungguh-sungguh mengagumkan, sebuah kenyataan yang dapat mudah di buktikan kebenarannya dengan memeriksa anggaran tahunan atau kehidupan pribadi orang-orang di Negara yang belum berkembang.
Untuk memahami peranan pendidikan dalam pembangunan social dan ekonomi, pertama tama orang yang harus mempelajari sebab musabab atau setidaknya factor-faktor yang melestarikan “ kemiskinan“ di Negara-negara ini. Ketika seorang ekonom berbicara tentang factor-faktor yang mempengaruhi tingkat perekonomian suatu Negara, biasanya ia membicarakan ketersediaan lahan, tenaga kerja, dan modal. Ekonom modern yang memusatkan perhatiannya pada Negara belum berkembang cenderung memodifikasi daftar klasik ini. Sebagai contoh, Brand mengemukakan bahwa kemelaratan suatu Negara disebabkan oleh ( 1 ) rendahnya produktivitas lahan, ( 2 ) kurangnya modal, ( 3 ) rendahnya tingkat pendidikan, dan ( 4 ) kurangnya kepemimpinan untuk memulai pembangunan ekonomi. Mahasiswa mahasiswi lain dari Negara yang belum berkembang menyatakan bahwa tekanan penduduk (angka kelahiran yang tinggi cenderung melebihi angka kematian di daerah-daerah yang belum berkembang) dan orientasi yang berlebihan terhadap perdagangan asing, jika bukan penyebab, merupakan ciri-ciri khusus Negara-negara miskin. Bisa segera dimengerti bahwa unsur-unsur keterbelakangan ekonomi ini dapat dikaitkan dalam hubungan sebab-akibat untuk menghasilkan serangkaian lingkaran setan yang memperlihatkan bagaimana Negara yang belum berkembang melestarikan hubungan itu. Salah satu lingkaran setan itu, seperti yang dilihat oleh para ekonom.
Dengan demikian, kumpulan unsur seperti  ketidak sempurnaan pasar, kualitas tenaga kerja, dan lain-lain dapat menyebabkan rendahnya produktivitas yang akhirnya mengakibatkan kekurangan modal-suatu keadaan yang menghalangi pembangunan ekonomi dan pada tingkat yang lebih tinggi, juga menghambat pembangunan social dan pendidikan.
Demikian pula halnya, lingkaran setan lain tentang persoalan yang lebih langsung bagi mahasiswa yang mempelajari pendidikan konparatif bisa diuraikan secara ringkas. Sebagai contoh, rendahnya tingkat pendidikan seringkali menyebabkan produktivitas yang rendah. Akibatnya, pendapatan rendah,kemajuan pendidikan dan lain-lain pun terhambat. Jelas bahwa tak peduli lingkaran setan apa yang diperoleh, disini terlibat suatu factor pendidikan, kendati signifikasi dan dimensinya yang tepat masih di perdebatkan.
Tetapi, gambarannya tidaklah sedemikian pesimis seperti yang terlihat sepintas. Tak pelak lagi, harus ada cara untuk memutuskan lingkaran kemelaratan itu, atau Negara akan tenggelam dalam keterbelakangan yang tak kunjung usai. Pemaksaan penghematan, cara-cara baru untuk berproduksi, modal asing, dan bantuan teknik tidak hanya menghancurkan lingkaran setan tersebut, tetapi juga menciptakan lingkaran lain yang lebih baik. Dengan demikian, dapat dihasilkan produktivitas yang lebih tinggi dengan lebih banyak pendapatan, peningkatan penghematan, dan perekonomian yang bergerak kedepan.
Variabel-variabel sosial dan psikologis dalam proses pembangunan barangkali merupakan factor-faktor yang sama pentingnya dengan factor ekonomi. Sebagai contoh, Levy menyimpulkan barangkali tidak ada masyarakat yang sama sekali memiliki factor-faktor industry. Dalam menganalisa factor-faktor strategis “internal“  dan “eksternal“ untuk perubahan, levy menekankan variabel-variabel seperti ( 1 ) pola-pola peraturan keluarga, ( 2 ) pola-pola produksi, dan ( 3 ) pola-pola wewenang dan tanggung jawab.
Dalam hal ini, interfretasi dari penulis-penulis akan mendukung Levy . Hoselitz, sebagian besar mengambil dari tulisan-tulisan dari Talcott parsone, menemukan beberapa pola perilaku social yang langsung berhubungan dengan perilaku yang relevan secara ekonomi (didefinisikan sebagai produksi dan distribusi barang dan jasa). Hoselitz menjelaskan, “ascription“ dan “partikularisme“ cenderung mengatur peran kemasyarakatan Negara-negara yang belum berkembang. Status, jabatan, hak istimewa, dan larangan lebih merupakan akibat dari keluarga, kelas atau kasta dari pada prestasi, yang merupakan sesuatu yang lebih umum di Negara-negara yang sudah maju. Selain itu, golongan elite dari masyarakat yang belum berkembang cenderung lebih berorientasi pada diri sendiri dari pada golongan elite di Negara-negara maju- golongan elite yang disebut terakhir ini merupakan pola yang di gambarkan sebagai “orientasi-kolektifitas“.
Dalam manual UNESCO untuk melaksanakan reset sosial di lapangan, termuat daftar yang lebih rinci mengenai perubahan individu dan social yang diperlukan untuk merubah bentuk masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang mampu membangun dirinya sendiri secara berkesinambungan. Jenis-jenis perubahan strategis tersebut dikelompokan dalam tiga bagian: perubahan pada masing-masing individu ( pengetahuan, keahlian, perilaku ).
1.        Meningkatkannya tingkat melek huruf, pengetahuan ilmiah, pelatihan ilmiah dan teknologi, serta pendekatan atau teknik terhadap berbagai masalah.
2.        Bertambahnya ketidak puasan terhadap kualitas kehidupan, hubungan status, dan aktivitas ekonomi yang bersifat tradisional.
3.        Meningkatkannya keyakinan bahwa kemajuan ekonomi dan social dapat diperoleh melalui teknik dan aktivitas ekonomi yang baru.
4.        Meningkatkannya keyakinan bahwa kemajuan ekonomi dan social dapat diperoleh melalui upaya dan kompetensi individu ( dari pada melalui pilihan yang berdasarkan pada penyuapan, kepentingan politik, hubungan kekeluargaan, kasta atau status social, kebangsaan, ras, agama atau jenis kelamin ).
5.        Definisi yang kian spesifik tentang hak-hak istimewa ekonomi yang diharapkan dari masyarakat, dan kewajiban ekonomi pada masyarakat ( dari pada jaminan yang lunak dan tidak jelas yang sering diharapkan dari desa atau keluarga, dan kewajiban ekonomi yang luas namun tidak tentu yang sering dirasakan pada desa atau keluarga )
6.        Bertambahnya respek pada kejujuran dalam bisnis dan pemerintahan, serta penggunaan perjanjian ( kontrak ) dalam hubungan ekonomi.
Perubahan dalam institusi dan hubungan social
1.        Meningkatkannya komunikasi interpersonal (melalui pemakaian bahasa yang umum, bertambahnya tingkat melek huruf, perbanyakan media komunikasi, mobilitas social, perjalanan, dan lain-lain.
2.        Meningkatkannya kesempatan  ekonomi (melalui pengurangan monopoli, adanya kredit, dan peningkatan mobilitas jabatan ).
3.        Meningkatkannya upah untuk aktivitas ekonomi ( melalui land reform, perubahan perpajakan berbagai jenis bantuan pemerintah).
4.        Menigkatkannya kekuatan golongan yang berpartisipasi dalam perubahan-perubahan ini, dan kekurangannya kekuatan golongan yang menentang perubahan.
5.        Meningkatkannya aktivitas pemerintah dalam pelayanan public dan pembangunan social dan ekonomi.
Perubahan pada modal pengeluaran social
1.        Meningkatnya investasi pada pendidikan, sanitasi dan kesehatan masyarakat, penyediaan air bersih.
2.        Meningkatkannya investasi untuk transportasi, komunikasi, daya, dan irigasi.
Meningkatkan kompetensi (kemungkinan termasuk investasi) dalam administrasi publik, ketertiban masyarakat, dan penegakan militer.

2.11.        Pengertian Organisasi
Arti kata organisasi secara etimologis tubuh atau alat tubuh, aturan, susunan, perkumpulan dari kelompok tertentu dengan dasar ideologi yang sama.
Arti kata organisasi secara terminologis organisasi adalah kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasikan, yang bekerja atas dasar yang relatif terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan.

2.12.        Pendidikan Keluarga
a.      Konsep Keluarga
Di dalam pendidikan hal yang paling utama adalah proses pendidikan. Natawijaya (Elih, 2012:21) mengemukakan bahwa ‘proses pendidikan merupakan interaksi sosial-budaya antara orang dewasa yang berperan sebagai pendidik dan orang yang belum dewasa’. Kelahiran lembaga pendidikan modern, seperti sekolah atau lembaga pendidikan lainnya, secara historis memang merupakan akibat dari keterbatasan keluarga untuk memenuhi kebutuhan belajar yang terus berkembang pada setiap individu anak sesuai dengan perkembangannya. Namun demikin bukan berarti bahwa dengan anak-anak memasuki lembaga pendidikan modern tersebut fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan menjadi hilang.
Dalam awal siklus perkembangan kehidupan seorang individu, secara nyata keluarga merupakan lembaga pertama yang dikenalinya. Keluarga merupakan suatu lembaga atau unit sosial terkecil di masyarakat yang terbentuk melalui perkawinan yang sah biasanya terdiri atas ayah, ibu dan anak yang hidup disuatu tempat. Menurut Ki hajar Dewantara (Elih, 2012:23):
“...keluarga itulah tempat pendidikan yang lebih sempurna sifat dan wujudnya daripada pusat-pusat lainnya, untuk melangsungkan pendidikan ke arah kecerdasan budi pekerti (pembentukan watak individu) dan sebagai persediaan hidup kemasyarakatan. ...orang tua dalam keluarga, dengan kesucian yang semurni-murninya, kecintaan yang sebesar-besarnya, keikhlasan yang sesuci-sucinya dan sebagimana berhadapan dengan anak-anaknya sendiri, maka teranglah mereka itu sukar disamakan dengan kaum guru lainnya, yang teristimewa hanya terkait formil, dan hanya organis mereka wajib melakukan pendidikan terhadap anak-anak yang bukan anaknya sendiri”.

Keluarga adalah salah satu mata rantai kehidupan yang paling esensial dalam sejarah perjalanan hidup anak manusia. Sekaligus ia juga membuat mozaik khilafah yang membutuhkan bingkai ajaran sebagai pelindung dan penghias lukisan kehidupan yang memberikan kenyamanan dan keteduhan kalbu. Tentunya lukisan kehidupan keluarga yang begitu indah ini tidak lepas dari spektrum dasar, yaitu sakinah, mawadah, dan warrohmah.
“Baitii jannati”i, rumahku adalah taman sorgaku. Sebuah ungkapan paling tepat tentang bangunan keluarga ideal, karena keluarga merupakan sumber pertama dan utama bagi kehidupan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Keluarga sebagai sumber pertama dan utama memberikan sumbangan yang sangat besar bagi perkembangan dan pertumbuhan mental maupun fisik anak dalam kehidupannya. Selain itu, keluarga bagi anak merupakan suatu tempat yang paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang dibutuhkan oleh anak yang tengah mencari makna kehidupan.
Keberhasilan pendidikan anak dalam keluarga ketika anak berada dalam usia dini, akan sangat berpengaruh pada keberhasilan pendidikan pada periode berikutnya. Berkaitan dengan tanggungjawab orang tua dalam pendidikan anak, khususnya anak usia dini, ibu memegang peranan penting. Hal ini dikarenakan sejak sentuhan awal dalam kehidupan seorang bayi, frekuensi kehadiran ibu lebih dominan. Menurt Freud seperti yang dikutip oleh Dagun  “perkembangan sosial seseorang sangat ditentukan oleh pengalaman pada awal masa kanak-kanaknya...hubungan sang anak dengan ibunya sangat berpengaruh dalam pembentukan pribadi dan sikap-sikap sosial si anak di kemudian hari” . Secara umum ayah kurang menunjukan minat dan merasa tidak tahu tentang pengasuhan anak. Menurut hadits Rasululloh saw bersabda (Elih, 2012:24)  : “Engkau (ibu) lebih berhak terhadap anak-anak”. Namun demikian peran seorang ayah dalam keluarga bukan berarti tidak ada sama sekali. Dalam ajaran agama islam walaupun mengutamakan ibu, tetapi peran ayah mendapat penegasan, misalnya dalam salah satu hadist Rasululloh saw. Sebagimana diriwayatkan Ibnu Majah, (Elih, 2012:25) mengungkapkan : “Sebagian kewajiban bapak atas anak-anaknya ialah memberikan nama yang baik, mengajarkan menulis dan mencarikan jodohnya apabila telah dewasa”. Selain itu juga peran seorang ayah begitu penting sejalan dengan yang diungkapkan oleh  al-Qurthubi sebagaimana dikutip oleh Takariawan (Elih, 2012:26) menegaskan bahwa keluarga hendaknya memiliki hubungan yang akrab dan intim satu dengan yang lain, karena akan memudahkan dalam proses penyerapan nilai-nilai.
Jadi betapa pentingnya pendidikan yang dilaksanakan dalam keluarga. Perhatian mengenai pendidikan keluarga tidak hanya ditujukan oleh anggota-angota keluarga yang bersangkutan, melainkan oleh segenap lapisan masyarakat. Hal ini mengisyaratkan betapa keluarga itu merupakan bagian dalam kehidupan bermasyarakat.

b.      Pola Asuh dalam keluarga
Persoalan yang mendapat banyak kajian dalam pendidikan di keluarga ada;ah mengenai pola asuh. Menurut Kohn sebagaimana dikutip Indriana dan Haditono (Elih, 2012:27) bahwa pola asuh menyangkut sikap orang tua memberikan peraturan serta disiplin, hadiah dan hukuman, cara orang tua menunjukan kekuasaannya tanggapan terhadap keinginan-keinginan anak. Menurut Jones dan Wilkins (Elih, 2012:21) strategi pola asuh terdiri dari :
1.      Kompetensi instrumental, yaitu perilaku independen, oriental berprestasi, dominan purposif, kooperatif, dan tanggungjawab secara sosial.
2.      Kompetensi ekspresif, meliputi perilaku keekspresifan emosional, spontanitas, dan keintiman hubungan.
Pola asuh yang bersifat mendorong akan meningkatakan kemandirian karena percaya diri merupakan salah satu ciri kemandirian. Sedangkan keluarga dengan pola asuh yang menekan atau otoriter mengakibatkan anak kurang diberi kesempatan untuk mengembangkan kemandiriannyasehingga ia mengalami hambatan di dalam mencapai kemandirian.
Dalam pendidikan di keluarga disiplin sangat perlu diterapkan. Untuk menanamkan disiplin pada anak, Shochib (Elih, 2012:29) mengungkapkan bahwa pola asuh harus merupakan upaya orang tua yang diaktualisasikan terhadap penataan :
1.      Lingkungan fisik
2.      Lingkungan sosial internal dan eksternal
3.      Pendidikan internal dan eksternal
4.      Dialog dengan anak-anak
5.      Suasana psikologis
6.      Sosiobudaya
7.      Perilaku yang ditampilkan pada saat terjadinya pertemuan dengan anak-anak
8.      kontrol terhadap perilaku anak-anak
9.      Menentukan nilai-nilai moral sebagai dasar berperilaku dan yang diupayakan kepada anak-anak.
Untuk memberikan pendidikan dalam keluarga Abdullah Nasih Uwan sebagaimana dikutip Takariawan(Elih, 2012:30)  dalam keluarga , yaitu :
1.      Pendidikan iman
2.      Pendidikan moral
3.      Pendidikan fisik
4.      Pendidikan intelektual
5.      Pendidikan psikis
6.      Pendidikan sosial
7.      Pendidikan seksual
Selain dari itu Abdul halim mengemukakan bahwa mendidik anak pada hakikatnya merupakan serangkian dari usaha orang tua dalam rangka :
1.      Menyelamatkan fitrah islamiah anak
2.      Mengembangkan potensi pikir anak
3.      Mengembangkan potensi rasa anak
4.      Mengembangkan potensi karsa anak
5.      Mengembangkan potensi kerja anak
6.      Mengembangkan potensi sehat anak
Selain itu ada metode-metode dalam mendidik anak menurut Abdullah Nashih di dalam keluarga yang banyak berpengaruh pada nanak, diantaranya adalah :
1.      Pendidikan dalam keteladanan
2.      Pendidikan dengan adat kebiasaan
3.      Pendidikan dengan nasihat
4.      Pendidikan dengan pengawasan
5.      Pendidikan dengan hukuman

c.       Model Kehidupan Keluarga Edukatif
Model kehidupan keluarga edukatif dalam hal ini secara khusus berkenaan dengan :
1.      Model konstruk kehidupan edukatif, yaitu suatu konstruk yang menggambarkan sejumlah dimensi, variabel dan indikator kehidupan keluarga yang kondusif terhadap keberhasilan pendidikan anak.
Konstruk kehidupan keluarga edukatif dapat terlihat pada gambar dibawah ini :
 














2.      Model pengukuran dan istrumen pengukuran kehidupan kelurga edukatif, yaitu model instrumen untuk mengukur kehidupan keluarga edukatif, yang memiliki reliabilital dan validitas bermakna. Model ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

d.      Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga adalah bertanggung jawab dalam rangka menjaga dan menumbuhkembangkan anggota-anggotanya. Dalam hal ini keluarga berfungsi untuk membekali setiap anggota keluarganya agar dapat hidup sesuai dengan tuntutan nilai-nilai religius pribadi dan lingkungan. Demi perkembangan dan pendidikan anak, keluarga harus melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik dan seimbang.
Peranan orang tua dalam melaksanakan fungsi-fungsi keluarga harus disertai dengan penampilan serta tindakan-tindakan yang telah disesuaikan dengan berbagai situasi.
Berdasarkan pendekatan budaya, keluarga sekurang-kurangnya harus mempunyai 7 fungsi yaitu :
1.      Fungsi Biologis -Fungsi ini diarahkan untuk mendorong keluarga sebagai wahana menyalurkan kebutuhan reproduksi sehat bagi semua anggota keluarganya, sehingga melahirkan generasi yang lebih baik di masa yang akan datang. Keluarga disini juga berfungsi sebagai tampat untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti kebutuhan akan keterlindungan fisik seperti kesehatan, sandang, pangan dan papan.
2.      Fungsi Edukatif - Keluarga merupakan lingkungan yang pertama bagi anak. Pendidikan merupakan tanggungjawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang merupakan figur sentral dalam pendidikan. Fungsi pendidikan mengharuskan setiap orang tua untuk mengkondisikan kehidupan keluarga menjadi situasi pendidikan.
3.      Fungsi Religius - Fungsi religius berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan melibatkan anak-anak serta anggota keluarga lainnya mengenai kaidah-kaidah agama dan perilaku keagamaan. Fungsi ini mengharuskan orang tua sebagai seorang tokoh inti dan panutan dalam keluarga, untuk menciptakan iklim keagamaan dalam kehidupan keluarganya.
4.      Fungsi Protektif (perlindungan) - Fungsi protektif dalam keluarga ialah untuk menjaga dan memelihara anak serta anggota lainnya dari tindakan negatif yang mungkin timbul, baik dari dalam maupun dari luar kehidupan keluarga. Fungsi ini pun adalah untuk menangkal pengaruh kehidupan yang sesat sekarang dan pada masa yang akan datang.
5.      Fungsi Sosialisasi Anak - Fungsi sosialisasi berkaitan dengan mempersiapkan anak untuk menjadi anggota masyarakat yang baik. Dalam melaksanakan fungsi ini, keluarga berperan sebagai penghubung antara kehidupan anak dengan kehidupan sosial dan norma sosial sehingga kehidupan disekitarnya dapat dimengerti oleh anak.
6.      Fungsi Rekreatif - Fungsi ini tidak harus selalu dalam membentuk kemewahan ataupun pesta pora melainkan melalui penciptaan suasana kehidupan yang tenang dan harmonis di dalam keluarga. Keadaan ini dapat dibangun melalui kerjasama diantara anggota keluarga yang diwarnai oleh hubungan insani yang didasari oleh adanya saling mempercayai, saling menghormati dan saling mengerti.
7.      Fungsi Ekonomis - Fungsi ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan kesatuan ekonomis. Aktifitas dalam fungsi ekonomis berkaitan dengan pencarian nafkah, pembinaan usaha dan perencanaan anggaran pengeluaran biaya keluarga.

2.13.        Konsep Dasar dan Pengertian Budaya Sekolah
1.      Konsep Dasar Budaya Sekolah
Sistem pendidikan mengembangkan pola kelakuan tertentu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dari murid-murid. Kehidupan di sekolah serta norma-norma yang berlaku di situ dapat disebut kebudayaan sekolah. Walaupun kebudayaan sekolah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat luas, namun mempunyai ciri-ciri yang khas sebagai “sub-culture”. Sekolah bertugas untuk menyampaikan kebudayaan kepada generasi baru dan karena itu harus selalu memperhatikan masyarakat dan kebudayaan umum. Timbulnya sub-kebudayaan sekolah terjadi oleh sebab sebagian yang cukup besar dari waktu murid terpisah dari kehidupan orang dewasa. Dalam situasi seperti ini dapat berkembang pola kelakuan yang khas bagi anak muda yang tampak pada pakaian, bahasa, kebiasaan kegiatan-kegiatan serta upacara-upacara. Sebab lain timbulnya kebudayaan sekolah ialah tugas sekolah yang khas yakni mendidik anak dengan menyampaikan sejumlah pengetahuan, sikap, keterampilan yang sesuai dengan kurikulum dengan metode dan teknik kontrol tertentu yang berlaku di sekolah itu.
Salah satu keunikan dan keunggulan sebuah sekolah adalah memiliki budaya sekolah (school culter) yang kokoh dan tetap eksis. Sebuah sekolah harus mempunyai misi menciptakan budaya sekolah yang menantang dan menyenangkan, adil, kreatif, terintegratif, dan dedikatif terhadap pencapaian visi, menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi dalam perkembangan intelektualnya dan mempunyai karakter takwa, jujur, kreatif, mampu menjadi teladan, bekerja keras, toleran dan cakap dalam memimpin, serta menjawab tantangan akan kebutuhan pengembangan sumber daya manusia yang dapat berperan dalam perkembangan IPTEK dan berlandaskan IMTAQ.
Budaya sekolah (school culter) merupakan kata kunci (keyword) yang perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh dari para pengelola pendidikan. Budaya sekolah perlu dibangun berdasarkan kekuatan karakteristik budaya lokal masyarakat tempat sekolah itu berada. Budaya sekolah adalah detak jantung sekolah itu sendiri, perumusannya harus dilakukan dengan sebuah komitmen yang jelas dan terukur oleh komunitas sekolah yakni guru, siswa, manajemen sekolah, dan masyarakat.
Untuk membangun atmosfer budaya sekolah yang kondusif, maka ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan budaya sekolah, bagaimana penciptaannya, bagaimana peran kepala sekolah selaku leader dalam mendesain budaya sekolahnya, bagaimana hasil dari budaya sekolah kontribusinya terhadap keberhasilan sekolah baik dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia maupun prestasi sekolahnya.
Menurut Zamroni (Zamroni, 2011) budaya sekolah ( kultur sekolah ) sangat mempengaruhi prestasi dan perilaku peserta didik dari sekolah tersebut. Budaya sekolah merupakan jiwa dan kekuatan sekolah yang memungkinkan sekolah dapat tumbuh berkembang dan melakukan adaptasi dengan berbagai lingkungan yang ada.
Selanjutnya, dalam analisis tentang budaya sekolah dikemukakan bahwa untuk mewujudkan budaya sekolah yang akrab-dinamis, dan positif-aktif perlu ada rekayasa social. Dalam mengembangkan budaya baru sekolah perlu diperhatikan dua level kehidupan sekolah: yaitu level individu dan level organisasi atau level sekolah. Level individu, merupakan perilaku siswa selaku individu yang tidak lepas dari budaya sekolah yang ada. Perubahan budaya sekolah memerlukan perubahan perilaku individu. Perilaku individu siswa sangat terkait dengan prilaku pemimpin sekolah.

2.      Pengertian Budaya Sekolah
Secara etimologis, budaya berasal dari bahasa Inggris yaitu dari kata culture. Marvin Harris (1987) mendefinisikan culture atau budaya sebagai serangkaian aturan yang dibuat oleh masyarakat sehingga menjadi milik bersama, dapat diterima oleh masyarakat, dan bertingkah laku sesuai dengan aturan. Dalam istilah lain, Denis Lawton (1975) mendefinisikan bahwa culture is everything that exists in a society. Culture includes every thing that is man made : technological artifacts, skills, attitudes, and values.
Secara implisit, kesimpulan dari kedua definisi di atas menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai yang telah diterapkan di suatu sekolah merupakan budaya sekolah. Secara eksplisit, Deal dan Peterson (1999) mendefinisikan budaya sekolah sebagai sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas.
Budaya sekolah adalah keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai warga suatu masyarakat. Jika definisi ini diterapkan di sekolah, sekolah dapat saja memiliki sejumlah kultur dengan satu kultur dominan dan kultur lain sebagai subordinasi. (Kennedy, 1991)
Pendapat lain tentang budaya sekolah juga dikemukakan oleh Schein, bahwa budaya sekolah adalah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta dianggap valid, dan akhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam memandang, memikirkan, dan merasakan masalah-masalah tersebut. ( Schein , 2010 )
Pandangan lain tentang budaya sekolah dikemukakan oleh Zamroni ( 2011 ) bahwa budaya sekolah adalah merupakan suatu pola asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama oleh seluruh warga sekolah, yang diyakini dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan melakukan integrasi internal, sehingga pola nilai dan asumsi tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan dan bertindak menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada ( Zamroni, 2011: 297 ).
3.      Karakteristik Budaya Sekolah
Kehidupan selalu berubah, dalam pertumbuhan dan perkembangan anak mengalami perubahan. Perubahan-perubahan itu dapat terjadi karena pengaruh lingkungan dan pendidikan. Pengaruh lingkungan yang kuat adalah di sekolah karena besar waktunya di sekolah. Sekolah memegang peranan penting dan strategis dalam mengubah, memodifikasi, dan mentransformasikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan yang berhubungan dengan kebutuhan anak untuk hidup di masyarakat sesuai dengan tuntutan jamannya.
Studi terhadap sekolah-sekolah yang berhasil atau efektif dapat diperoleh gambaran bahwa mereka mempunyai lima karakteristik umum seperti yang diungkapkan oleh Steven dan Keyle (editor, 1985) sebagai berikut :
a.      Sekolah memiliki budaya sekolah yang kondusif
b.      Adanya harapan antara para guru bahwa semua siswa dapat sukses
c.       Menekankan pengajaran pada penguasaan ketrampilan
d.      Sistem tujuan pengajaran yang jelas bagi pelaksanaan monitoring dan penilaian keberhasilan kelas
e.      Prinsip-prinsip sekolah yang kuat sehingga dapat memelihara kedisiplinan siswa.
Penciptaan budaya sekolah dapat dilakukan melalui :
a.      Pemahaman tentang budaya sekolah
b.      Pembiasaan pelaksanaan budaya sekolah
c.       Reward and punishment
Menurut Robbins (1994) karakteristik umum budaya sekolah adalah sebagai berikut: (1) inisiatif individual, (2) toleransi terhadap tindakan beresiko, (3) arah, (4) integrasi, (5) dukungan dari manajemen, (6) kontrol, (7) identitas, (8) sistem imbalan, (9) toleransi terhadap konflik dan (10) pola-pola komunikasi.
Dalam lingkup tatanan dan pola yang menjadi karakteristik sebuah sekolah, kebudayaan memiliki dimensi yang dapat di ukur yang menjadi ciri budaya sekolah seperti:
1.         Tingkat tanggung jawab, kebebasan dan independensi warga atau personil sekolah, komite sekolah dan lainnya dalam berinisiatif.
2.         Sejauh mana para personil sekolah dianjurkan dalam bertindak progresif, inovatif dan berani mengambil resiko.
3.         Sejauh mana sekolah menciptakan dengan jelas visi, misi, tujuan, sasaran sekolah, dan upaya mewujudkannya.
4.         Sejauh mana unit-unit dalam sekolah didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi.
5.         Tingkat sejauh mana kepala sekolah memberi informasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap personil sekolah.
6.         Jumlah pengaturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku personil sekolah.
7.         Sejauh mana para personil sekolah mengidentifkasi dirinya secara keseluruhan dengan sekolah ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau bidang keahlian profesional.
8.         Sejauh mana alokasi imbalan diberikan didasarkan atas kriteria prestasi.
9.         Sejauh mana personil sekolah didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka.
10.     Sejauh mana komunikasi antar personil sekolah dibatasi oleh hierarki yang formal (diadopsi dari karakteristik umum seperti yang dikemukakan oleh Stephen P. Robbins).
Dari sekian karakteristik yang ada, dapat dikatakan bahwa budaya sekolah bukan hanya refleksi dari sikap para personil sekolah, namun juga merupakan cerminan kepribadian sekolah yang ditunjukan oleh perilaku individu dan kelompok dalam sebuah komunitas sekolah.

4.      Unsur-unsur Budaya Sekolah
Bentuk budaya sekolah secara intrinsik muncul sebagai suatu fenomena yang unik dan menarik, karena pandangan sikap, perilaku yang hidup dan berkembang dalam sekolah pada dasarnya mencerminkan kepercayaan dan keyakinan yang mendalam dan khas dari warga sekolah.
Hedley Beare mendeskripsikan unsur-unsur budaya sekolah dalam dua kategori:
1.      Unsur yang tidak kasat mata
Unsur yang tidak kasat mata adalah filsafat atau pandangan dasar sekolah mengenai kenyataan yang luas, makna hidup atau yang di anggap penting dan harus diperjuangkan oleh sekolah. Dan itu harus dinyatakan secara konseptual dalam rumusan visi, misi, tujuan dan sasaran yang lebih kongkrit yang akan di capai oleh sekolah.
2.      Unsur yang kasat mata dapat termenifestasi secara konseptual meliputi :
a)      visi,misi, tujuan dan sasaran,
b)      kurikulum,
c)      bahasa komunikasi,
d)      narasi sekolah, dan narasi tokoh-tokoh,
e)      struktur organisasi,
f)       ritual, dan upacara,
g)      prosedur belajar mengajar,
h)      peraturan sistem ganjaran/ hukuman,
i)        layanan psikologi sosial,
j)        pola interaksi sekolah dengan orang tua, masyarakat dan yang meteriil dapat berupa : fasilitas dan peralatan, artifiak dan tanda kenangan serta pakaian seragam.
Djemari Mardapi (2003) membagi unsur-unsur budaya sekolah jika ditinjau dari usaha peningkatan kualitas pendidikan sebagai berikut :
b)      Kultur sekolah yang positif
Kultur sekolah yang positif adalah kegiatan-kegiatan yang mendukung peningkatan kualitas pendidikan, misalnya kerjasama dalam mencapai prestasi, penghargaan terhadap prestasi, dan komitmen terhadap belajar.
c)      Kultur sekolah yang negatif
Kultur sekolah yang negatif adalah kultur yang kontra terhadap peningkatan mutu pendidikan. Artinya resisten terhadap perubahan, misalnya dapat berupa: siswa takut salah, siswa takut bertanya, dan siswa jarang melakukan kerja sama dalam memecahkan masalah.
d)      Kultur sekolah yang netral
Yaitu kultur yang tidak berfokus pada satu sisi namun dapat memberikan konstribusi positif tehadap perkembangan peningkatan mutu pendidikan. Hal ini bisa berupa arisan keluarga sekolah, seragam guru, seragam siswa dan lain-lain.

5.      Peran Budaya Sekolah
Dalam terminologi kebudayaan, pendidikan yang berwujud dalam bentuk lembaga atau instansi sekolah dapat dianggap sebagai pranata sosial yang di dalamnya berlangsung interaksi antara pendidik dan peserta didik sehingga mewujudkan suatu sistem nilai atau keyakinan,dan juga norma maupun kebiasaan yang di pegang bersama. Pendidikan sendiri adalah suatu proses budaya. Masalah yang terjadi saat ini adalah nilai-nilai yang mana yang seharusnya dikembangkan atau dibudayakan dalam proses pendidikan yang berbasis mutu itu. Dengan demikian sekolah menjadi tempat dalam mensosialisasikan nilai-nilai budaya yang tidak hanya terbatas pada nilai-nilai keilmuan saja, melainkan semua nilai-nilai kehidupan yang memungkinkan mampu mewujudkan manusia yang berbudaya.
Djemari (2003) membagi karekteristik peran kultur sekolah berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi tiga yakni :
1)      Bernilai Strategis
Budaya yang dapat berimbas dalam kehidupan sekolah secara dinamis. Misalnya memberi peluang pada warga sekolah untuk bekerja secara efisien, disiplin dan tertib. Kultur sekolah merupakan milik kolektif bukan milik perorangan, sehingga sekolah dapat dikembangkan dan dilakukan oleh semua warga sekolah.
2)      Memiliki Daya Ungkit
Budaya yang memliki daya gerak akan mendorong semua warga sekolah untuk berprestasi, sehingga kerja guru dan semangat belajar siswa akan tumbuh karena dipacu dan di dorong, dengan dukungan budaya yang memiliki daya ungkit yang tinggi. Misalnya kinerja sekolah dapat meningkat jika disertai dengan imbalan yang pantas, penghargaan yang cukup, dan proporsi tugas yang seimbang. Begitu juga dengan siswa akan meningkat semangat belajranya, bila mereka diberi penghargaan yang memadai, pelayanan yang prima, serta didukung dengan sarana yang memadai.
3)      Berpeluang Sukses
Budaya yang berpeluang sukses adalah budaya yang memiliki daya ungkit dan memiliki daya gerak yang tinggi. Hal ini sangat penting untuk menumbuhkan rasa keberhasilan dan rasa mampu untuk melaksanakan tugas dengan baik. Misalnya budaya gemar membaca. Budaya membaca di kalangan siswa akan dapat mendorong mereka untuk banyak tahui tentang berbagai macam persoalan yang mereka pelajari di lingkungan sekolah. Demikian juga bagi guru mereka semakin banyak pengetahuan yang diperolah, tingkat pemahaman semakin luas, semua ini dapat berlangsung jika disertai dengan kesadaran, bahwa mutu/ kualitas yang akan menentukan keberhasilan seseorang.

6.      Hal-hal Yang Perlu Dikembangkan Dalam Menciptakan Budaya Sekolah Yang Unggul
Keberadaan budaya sekolah di dalam sebuah sekolah merupakan urat nadi dari segala aktivitas yang dijalankan warga sekolah mulai dari guru, karyawan, siswa dan orang tua. Budaya sekolah yang didesain secara terstruktur, sistematis, dan tepat sesuai dengan kondisi sosial sekolahnya, pada gilirannya bisa memberikan kontribusi yang positif bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia sekolah dalam menuju sekolah yang berkualitas.Ada tiga hal yang perlu dikembangkan dalam menciptakan budaya sekolah yang berkualitas, yaitu:
1.      Budaya keagamaan (religi) :
Menanamkan perilaku atau tatakrama yang tersistematis dalam pengamalan agamanya masing-masing sehingga terbentuk kepribadian dan sikap yang baik (akhlaqul Karimah)
2.      Bentuk Kegiatan :
Budaya Salam, Doa sebelum/sesudah belajar, Doa bersama, Sholat Berjamaah (bagi yang beragama islam), peringatan hari besar keagamaan, dan kegiatan keagamaan lainnya.
3.      Budaya kerjasama (team work) :
Menanamkan rasa kebersamaan dan rasa sosial terhadap sesama melalui kegiatan yang dilakukan bersama. Bentuk Kegiatan: MOS, Kunjungan Industri, Parents Day, Baksos, Teman Asuh, Sport And Art, Kunjungan Museum, Pentas Seni, Studi banding, Ekskul, Pelepasan Siswa, Seragam Sekolah, Majalah Sekolah, Potency Mapping, Buku Tahunan, PHBN, (Peringatan hari Besar Nasional), dan PORSENI.

4.      Budaya kepemimpinan (leadhership) :
Menanamkan jiwa kepemimpinan dan keteladanan dari sejak dinikepada anak-anak. Bentuk Kegiatan : Budaya kerja keras, cerdas dan ikhlas, budaya Kreatif; Mandiri & bertanggung jawab, Budaya disiplin, Ceramah Umum, upacara bendera, Olah Raga Jumat Pagi, Studi Kepemimpinan Siswa, LKMS (Latihan Keterampilan manajemen siswa), Disiplin siswa, dan OSIS.


2.14.        Pendidikan Masyarakat
a.      Peranan Pendidikan Dalam Masyarakat
Sebagian besar masyarakat modern memandang lembaga-lembaga pendidikan sebagai peranan kunci dalam mencapai tujuan sosial Pemerintah bersama orang tua telah menyediakan anggaran pendidikan yang diperlukan sceara besar-besaran untuk kemajuan sosial dan pembangunan bangsa, untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional yang berupa nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan seperti rasa hormat kepada orang tua, kepada pemimpin kewajiban untuk mematuhi hukum-hukum dan norma-norma yang berlaku, jiwa patriotisme dan sebagainya. Pendidikan juga diharapkan untuk memupuk rasa takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan kemajuan-kemajuan dan pembangunan politik, ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan. Pendek kata pendidikan dapat diharapkan untuk mengembangkan wawasan anak terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan secara tepat dan benar, sehingga membawa kemajuan pada individu masyarakat dan negara untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
Berbicara tentang fungsi dan peranan pendidikan dalam masyarakat ada bermacam-macam pendapat, di bawah ada tiga pendapat tentang fungsi pendidikan dalam masyarakat.
1.      Wuradji (1988) menyatakan bahwa pendidikan sebagai lembaga konservatif mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Fungsi sosialisasi, (2) Fungsi kontrol sosial, (3) Fungsi pelestarian budaya Masyarakat, (4) Fungsi latihan dan pengembangan tenaga kerja, (5) Fungsi seleksi dan alokasi, (6) Fungsi pendidikan dan perubahan sosial, (7) Fungsi reproduksi budaya, (8) Fungsi difusi kultural, (9) Fungsi peningkatan sosial, dan (10) Fungsi modifikasi sosial. ( Wuradji, 1988, p. 31-42).
2.      Jeane H. Ballantine (1983) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) fungsi sosialisasi, (2) fungsi seleksi, latihan dan alokasi, (3) fungsi inovasi dan perubahan sosial, (4) fungsi pengembangan pribadi dan sosial (Jeanne H. Ballantine, 1983, p. 5-7).
3.      Meta Spencer dan Alec Inkeles (1982) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) memindahkan nilai-nilai budaya, (2) nilai-nilai pengajaran, (3) peningkatan mobilitas sosial, (4) fungsi stratifikasi, (5) latihan jabatan, (6) mengembangkan dan memantapkan hubungan hubungan sosial (7) membentuk semangat kebangsaan, (8) pengasuh bayi.
Dari tiga pendapat tersebut di atas, tidak ada perbedaan tetapi saling melengkapi antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain.
1)      Fungsi Sosialisasi.
Di dalam masyarakat pra industri, generasi baru belajar mengikuti pola perilaku generasi sebelumnya tidak melalui lembaga-lembaga sekolah seperti sekarang ini. Pada masyarakat pra industri tersebut anak belajar dengan jalan mengikuti atau melibatkan diri dalam aktivitas orang-orang yang telah lebih dewasa. Anak-anak mengamati apa yang mereka lakukan, kemudian menirunya dan anak-anak belajar dengan berbuat atau melakukan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa. Untuk keperluan tersebut anak-anak belajar bahasa atau simbol-simbol yang berlaku pada generasi tua, menyesuai kan diri dengan nilai-nilai yang berlaku, mengikuti pandangannya dan memperoleh keterampilan-keterampilan tertentu yang semuanya diperoleh lewat budaya masyarakatnya. Di dalam situasi seperti itu semua orang dewasa adalah guru, tempat di mana anak-anak meniru, mengikuti dan berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih dewasa. Mulai dari permulaan, anak-anak telah dibiasakan berbuat sebagaimana dilakukan oleh generasi yang lebih tua. Hal itu merupakan bagian dari perjuangan hidupnya. Segala sesuatu yang dipelajari adalah berguna dan berefek langsung bagi kehidupannya sehari-hari. Hal ini semua bisa terjadi oleh karena budaya yang berlaku di dalam masyarakat, di mana anak menjadi anggotanya, adalah bersifat stabil, tidak berubah dan waktu ke waktu, dan statis.
Dengan semakin majunya masyarakat, pola budaya menjadi lebih kompleks dan memiliki diferensiasi antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, antara yang dianut oleh individu yang satu dengan individu yang lain. Dengan perkataan lain masyarakat tersebut telah mengalami perubahan-perubahan sosial. Ketentuan-ketentuan untuk berubah ini sebagaimana telah disinggung di halaman-halaman situs web ini sebelumnya, mengakibatkan terjadinya setiap transmisi budaya dan satu generasi ke generasi berikutnya selalu menjumpai permasalahan-permasalahan. Di dalam suatu masyarakat sekolah telah melembaga demikian kuat, maka sekolah menjadi sangat diperlukan bagi upaya menciptakan/melahirkan nilai-nilai budaya baru (cultural reproduction).
Dengan berdasarkan pada proses reproduksi budaya tersebut, upaya mendidik anak-anak untuk mencintai dan menghormati tatanan lembaga sosial dan tradisi yang sudah mapan adalah menjadi tugas dari sekolah. Termasuk di dalam lembaga-lembaga sosial tersebut diantaranya adalah keluarga, lembaga keagamaan, lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga ekonomi. Di dalam permulaan masa-masa pendidikannya, merupakan masa yang sangat penting bagi pembentukan dan pengembangan pengadopsian nilai-nilai ini. Masa-rnasa pembentukan dan pembangunan upaya pengadopsian ini dilakukan sebelum anak-anak mampu memiliki kemampuan kritik dan evaluasi secara rasional.
Sekolah-sekolah menjanjikan kepada anak-anak gambaran tentang apa yang dicita-citakan oleh lembaga-lembaga sosialnya. Anak-anak didorong, dibimbing dan diarahkan untuk mengikuti pola-pola prilaku orang-orang dewasa melalui cara-cara ritual tertentu, melalui drama, tarian, nyanyian dan sebagainya, yang semuanya itu merupakan ujud nyata dari budaya masyarakat yang berlaku. Melalui cara-cara seperti itu anak. anak dibiasakan untuk berlaku sopan terhadap orang tua, hormat dan patuh terhadap norma-norma yang berlaku. Lembaga-lembaga agama mengajarkan bagaimana penganutnya berbakti kepada Tuhannya berdasarkan tata cara tertentu.
Lembaga-lembaga pemerintahan mengajarkan bagaimana anak kelak apabila telah menjadi warga negara penuh, memenuhi kewajiban-kewajiban negara, memiliki jiwa patriotik dan memiliki kesadaran berwarga negara. Semua ajaran dan pembiasaan tersebut pada permulaannya berlangsung melalui proses emosional, bukan proses kognitif.
Dalam proses belajar untuk mengikuti pola acuan bagi tatanan masyarakat yang telah mapan dan melembaga, anak-anak belajar untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai tradisional di mana institusi tradisional tersebut dibangun. Keseluruhan proses di mana anak-anak belajar mengikuti pola-pola dan nilai-nilai budaya yang berlaku tersebut dinamakan proses sosialisasi. Proses sosialisasi tersebut harus beijalan dengan wajar dan mulus oleh karena kita semua mengetahui betapa pentingnya masa-masa permulaan proses sosialisasi. Orang tua dan keluarga berharap sekolah dapat melaksanakan proses sosialisasi tersebut dengan baik. Dalam lembaga-lembaga ini guru-guru di sekolah dipandang sebagai model dan dianggap dapat mengemban amanat orang tua (keluarga dan masyarakat) agar anak-anak- memahami dan kemudian mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakatnya. Willard Waller dalam hubungan ini menganggap sekolah, terutama di daerah-daerah pedesaan sebagai museum yang menyimpan tentang nilai-nilai kebajikan (mnuseum of virture) (Pardius and Parelius, 1978; p. 24). Dengan anggapan tersebut, masyarakat menginginkan sekolah beserta staf pengajarnya harus mampu mengajarkan nilai-nilai kebajikan dari masyarakatnya (the old viture), atau keseluruhan nilai-nilai yang diyakini dan menjadi anutan dan pandangan masyarakatnya. Untuk memberikan pendidikan mengenai kedisiplinan, rasa hormat dan patuh kepada pemimpin, kemauan kerja keras, kehidupan bernegara dan kehidupan demokrasi, menghormati, nilai-nilai perjuangan bangsa, rasa keadilan dan persamaan, aturan-aturan hukum dan perundang-undangan dan sebagainya, kiranya lembaga utama yang paling berkompeten adalah lembaga pendidikan.
2)      Fungsi kontrol sosial
Sekolah dalam menanamkan nilai-nilai dan loyalitas terhadap tatanan tradisional masyarakat harus juga berfungsi sebagai lembaga pelayanan sekolah untuk melakukan mekanisme kontrol sosial. Durheim menjelaskan bahwa pendidikan moral dapat dipergunakan untuk menahan atau mengurangi sifat-sifat egoisme pada anak-anak menjadi pribadi yang merupakan bagian masyarakat yang integral di mana anak harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial. (Jeane H. Bellatine, 1983, p.8). Melalui pendidikan semacam ini individu mengadopsi nilai-nilai sosial dan melakukan interaksi nilai-niiai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Selanjutnya sebagai individu sebagai anggota masyarakat ia juga dituntut untuk memberi dukungan dan berusaha untuk mempertahankan tatanan sosial yang berlaku.
Sekolah sebagai lembaga yang berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan tatanan-tatanan sosial serta kontrol sosial mempergunakan program-program asimilasi dan nilai-nilai subgrup beraneka ragam, ke dalam nilai-nilai yang dominan yang memiliki dan menjadi pola anutan bagi sebagiai masyarakat.
3)      Fungsi pelestarian budaya masyarakat.
Sekolah di samping mempunyai tugas untuk mempersatu budaya-budaya etnik yang beraneka ragam juga harus melestanikan nilai-nilai budaya daerah yang masih layak dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekerti dan suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah dan sebagainya.
4)      Fungsi seleksi, latihan dan pengembangan tenaga kerja.
Jika kita amati apa yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka menyiapkan tenaga kerja untuk suatu jabatan tertentu, maka di sana akan terjadi tiga kegiatan yaitu kegiatan, latihan untuk suatu jabatan dan pengembangan tenaga kerja tertentu.
Proses seleksi ini terjadi di segala bidang baik mau masuk sekolah maupun mau masuk pada jabatan tertentu. Untuk masuk sekolah tertentu harus mengikuti ujian tertentu, untuk masuk suatu jabatan tertentu harus mengikuti testing kecakapan tertentu.
5)      Fungsi pendidikan dan perubahan sosial.
Pendidikan mempunyai fungsi untuk mengadakan perubahan sosial mempunyai fungsi (1) melakukan reproduksi budaya, (2) difusi budaya, (3) mengembangkan analisis kultural terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional, (4) melakukan perubahan-perubahan atau modifikasi tingkat ekonomi sosial tradisional, dan (5) melakukan perubahan-perubahan yang lebih mendasar terhadap institusi-institusi tradisional yang telah ketinggalan.
Sekolah berfungsi sebagai reproduksi budaya menempatkan sekolah sebagai pusat penelitian dan pengembangan. Fungsi semacam ini merupakan fungsi pada perguruan tinggi. Pada sekolah-sekolah yang lebih rendah, fungsi ini tidak setinggi pada tingkat pendidikan tinggi.
Pada masa-masa proses industrialisasi dan modernisasi pendidikan telah mengajarkan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan baru, seperti orientasi ekonomi, orientasi kemandirian, mekanisme kompetisi sehat, sikap kerja keras, kesadaran akan kehidupan keluarga kecil, di mana nilai-nilai tersebut semuanya sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi sosial suatu bangsa. Usaha-usaha sekolah untuk mengajarkan sistem nilai dan perspektif ilmiah dan rasional sebagai lawan dan nilai-nilai dan pandangan hidup lama, pasrah dan menyerah pada nasib, ketiadaan keberanian menanggung resiko, semua itu telah diajarkan oleh sekolah sekolah sejak proses modernisasi dari perubahan sosial Dengan menggunakan cara-cara berpikir ilmiah, cara-cara analisis dan pertimbangan-pertimbangan rasional serta kemampuan evaluasi yang kritis orang akan cenderung berpikir objektif dan lebih berhasil dalam menguasai alam sekitarnya.
Lembaga-lembaga pendidikan disamping berfungsi sebagai penghasil nilai-nilai budaya baru juga berfungsi penghasil nilai-nilai budaya baru juga berfungsi sebagai difusi budaya (cultural diffission). Kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial yang kemudian diambil tentu berdasarkan pada hasil budaya dan difusi budaya. Sekolah-sekolah tersebut bukan hanya menyebarkan penemuan-penemuan dan informasi-informasi baru tetapi juga menanamkan sikap-sikap, nilai-nilai dan pandangan hidup baru yang semuanya itu dapat memberikan kemudahan-kemudahan serta memberikan dorongan bagi terjadinya perubahan sosial yang berkelanjutan.
Fungsi pendidikan dalam perubahan sosial dalam rangka meningkatkan kemampuan analisis kritis berperan untuk menanamkan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai baru tentang cara berpikir manusia. Pendidikan dalam era abad modern telah berhasil menciptakan generasi baru dengan daya kreasi dan kemampuan berpikir kritis, sikap tidak mudah menyerah pada situasi yang ada dan diganti dengan sikap yang tanggap terhadap perubahan. Cara-cara berpikir dan sikap-sikap tersebut akan melepaskan diri dari ketergantungan dan kebiasaan berlindung pada orang lain, terutama pada mereka yang berkuasa. Pendidikan ini terutama diarahkan untuk mempenoleh kemerdekaan politik, sosial dan ekonomi, seperti yang diajukan oleh Paulo Friere. Dalam banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju, pendidikan orang dewasa telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga masalah kemampuan kritis ini telah berlangsung dengan sangat intensif. Pendidikan semacam itu telah berhasil membuka mata masyarakat terutama didaerah pedesaan dalam penerapan teknologi maju dan penyebaran penemuan baru lainnya.
Pengaruh dan upaya pengembangan berpikir kritis dapat memberikan modifikasi (perubahan) hierarki sosial ekonomi. Oleh karena itu pengembangan berpikir knitis bukan saja efektif dalam pengembangan pnibadi seperti sikap berpikir kritis, juga berpengaruh terhadap penghargaan masyarakat akan nilai-nilai manusiawi, perjuangan ke arah persamaan hak-hak baik politik, sosial maupun ekonomi. Bila dalam masyarakat tradisional lembaga-lembaga ekonomi dan sosial didominasi oleh kaum bangsawan dan golongan elite yang berkuasa, maka dengan semakin pesatnya proses modernisasi tatanan-tatanan sosial ekonomi dan politik tersebut diatur dengan pertimbangan dan penalaran-penalaran yang rasional. Oleh karena itu timbullah lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik yang berasaskan keadilan, pemerataan dan persamaan. Adanya strata sosial dapat terjadi sepanjang diperoleh melalui cara-cara objektif dan keterbukaan, misalnya dalam bentuk mobilitas vertikal yang kompetitif.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dari lahir sampai mati manusia hidup sebagai anggota masyarakat. Hidup dalam masyarakat berarti adanya interaksi sosial dengan orang-orang di sekitar dan dengan demikian mengalami pengaruh dan mempengaruhi orang lain. Interaksi sosial sangat utama dalam tiap masyarakat.
Manusia adalah makhluk sosial. Ia hidup dalam hubungannya dengan orang lain dan hidupnya bergantung pada orang lain. Karena itu manusia tak mungkin hidup layak di luar masyarakat.
Masyarakat sangat luas dan dapat meliputi seluruh umat manusia. Masyarakat terdiri atas berbagai kelompok, yang besar maupun kecil tergantung dari jumlah anggota kelompoknya. Masayarakt secara umum merupakan suatu kelompok organisasi yang luas atau yang paling besar yang terdiri sub-sub kelompok lain.
Interaksi masyarakat tidak terlepas dari kebudayaan. Berkat kebudayaan kita berbahasa Indonesia, bukan berbahasa Inggris, menghormati sang Saka Merah Putih, kima makan nasi menggunakan sendok-garpu bukan menggunakan sumpit. Demikian juga seorang yang berbahasa Sunda, Batak, Minahasa, menghargai gamelan, tortor dan lainnya. Itu semua merupakan interaksi individu dengan kebudayaan masyarakat. Latihan yang diterima oleh anggota baru tentang cara-cara hidup suatu masyarakat berkat interaksi dengan lingkungannya disebut pengaruh kebudayaan atas individu.
Hubungan antara individu itu bukan sepihak melainkan timbal balik. Kebudayaan mempengaruhi individu dengan berbagai cara akan tetapi individu juga mempengaruhi kebudayaan sehingga terjadi perubahan sosial. Kebudayaan dapat dipandang sebagai cara-cara mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Namun tiap masyarakat memilih cara yang dianggap paling sesuai sehingga tidak ada dua masyarakat yang sama kebudayaannya.
Kebudayan dipengaruhi oleh lingkungan fisik seperti iklim, topografi, kekayaan alam, dan sebagainya. Kebudayaan daerah tropis akan berbeda dengan kebudayaan di daerah dingin, kebudayaan di daerah gurun berbeda dengan kebudayaan daerah yang berhutan.
Kebudayaan juga dipengaruhi oleh kontak dengan kebudayaan lain yang dipercepat oleh perkembangan komunikasi dan transportasi. Yang dipinjam biasanya hal-hal yang berguna untuk memcahkan masalah-masalah atau sebagi alat untuk mencapai tujuan masyarakat.
Dalam kebudayaan di masyarakat dapat dibedakan dengan kebudayaan eksplisit ang dapat diamati secara langsung dalam kelakuan verbal maupun non verbal pada anggota-anggota masyarakat. Kelakuan eksplisit misalnya dapat kita lihat pada kelakuan dua orang atau lebih dalam situasi normal menurut peranan masing-masing misalnya interaksi antara suami-istri, orang tua-anak, guru-murid, atasn-bawahan, dan sebaginya. Kebudayaan implisist dalam masyarakat terdiri atas kepercayaan, nilai-nilai dan norma-norma yang dapat di tafsirkan ahli antropologi untuk menjelaskan berbagai kelakuan anggota masyarakat.
Dengan nilai kebudayaan anggota masyarakat mengetahui apakah yang layak, pantas, baik, atau seharusnya. Nilai-nilai dapat bersifat positif yakni apa yang diinginkan dan negatif yankni apa yang tidak diinginkan, misalnya soal kebersihan dan kesopanan, atau soal penipuan dan kekerasan.
Dengan norma-norma dimaksud aturan-aturan kelakuan yang diterima oleh masyarakat. Diantaranya ada kebiasaan-kebiasaan seperti soal pakaian, adat perkawinan, dan sebagainya.
Dalam tiap kelompok, keluarga, sekolah, masyarakat terdapat cara-cara berpikir dan berbuat yang diterima dan diharapkan oleh setiap anggota kelompok atau masyarakat. Pola kelakuan yang secara umum terdapat dalam suatu masyarakat disebut kebudayaan. Kebudayaan meliputi keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, keterampilan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan manusia sebagai anggota masyarakat.
Aturan-aturan pendidikan dalam masyarakat merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya, yang akan membentuk manusia sesuai dengan kebudayaan yang dipakai dalam masyarakat tersebut. Pendidikan setiap kelompok masyarakat akan berbeda. Pendidikan akan tercermin pada perbuatan-perbuatan atau tingkah laku individu.



BAB III
PENUTUP

3.1.            Kesimpulan
Pranata Pendidikan terletak pada upaya sosialisasi, sehingga masyarakat memiliki kemampuan dan ciri-ciri pribadi. Pendidikan adalah suatu proses yang terjadi karena interaksi berbagai faktor, yang menghasilkan penyadaran diri dan lingkungan. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Undang-undang ini mengungkapkan satu sistem yang :
a.      Berakar pada kebudayaan nasional dan berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945
b.      Merupakan satu keseluruhan dan dikembangkan untuk ikut berusaha mencapai tujuan nasional
c.       Mencakup, baik jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah
d.      Mengatur, bahwa jalur pendidikan sekolah terdiri atas 3 (tiga) jenjang utama
e.      Mengatur, bahwa kurikulum, peserta didik dan tenaga kependidikan, terutama guru, dosen atau tenaga pengajar, merupakan tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan
f.        Mengatur secara terpusat (sentralisasi), namun penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan dilaksanakan secara tidak terpusat (desentralisasi)
g.      Menyelenggarakan satuan dan kegiatan pendidikan sebagai tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan Pemerintah
h.      Mengatur, bahwa satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan masyarakat diperlakukan dengan penggunaan ukuran yang sama
i.        Mengatur, bahwa satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memiliki kebebasan untuk menyelenggarakannya sesuai dengan ciri atau kekhususan masing-masing sepanjang ciri itu tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara
j.        memudahkan peserta didik memperoleh pendidikan yang sesuai dengan bakat, minat dan tujuan yang hendak dicapai.
Budaya adalah suatu hasil dari budi dan atau daya, cipta, karya, karsa, pikiran dan adat istiadat manusia yang secara sadar maupun tidak, dapat diterima sebagai suatu perilaku yang beradab.
Budaya lokal terdiri dari budaya hindu-budha, dan islam. Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan; pertama agama memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitem nilai dan simbol agama.
Pendidikan dalam latar budaya nasional yaitu Indonesia, berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Pendidikan budaya nasional terdiri dari jenjang-jenjang pendidikan baik formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan internasional di Indonesia bukan sekedar pendidikan yang menggunakan bahasa internasional. Pendidikan internasional harus dimaknai dengan pendidikan yang menjadikan anak didiknya berpikir secara terbuka dan internasional, open and international minded. International minded dimana di dalamnya para anak didiknya kelak akan menjadi manusia yang ‘berwarga negara internasional’ atau istilahnya sebagai global citizen.
Pola pendidikan pada negara-negara kontemporer berawal dari agama, yaitu pendidikan gereja, semua aturan-aturan pendidikan berdasarkan nilai dan norma agama katolik, dan diserahkan pada pastor atau pendeta. 
Organisasi secara etimologis tubuh atau alat tubuh, aturan, susunan, perkumpulan dari kelompok tertentu dengan dasar ideologi yang sama.
Organisasi secara terminologis organisasi adalah kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasikan, yang bekerja atas dasar yang relatif terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan.
Pranata pendidikan dalam organisasi dilihat dari 3 bagian yaitu :
1.      Budaya Keluarga
Dalam awal siklus perkembangan kehidupan seorang individu, secara nyata keluarga merupakan lembaga pertama yang dikenalinya. Keluarga merupakan suatu lembaga atau unit sosial terkecil di masyarakat yang terbentuk melalui perkawinan yang sah biasanya terdiri atas ayah, ibu dan anak yang hidup disuatu tempat.
2.      Budaya Sekolah
Budaya sekolah sebagai sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas.
3.      Budaya Organisasi
Masyarakat sangat luas dan dapat meliputi seluruh umat manusi. Masyarakat terdiri atas berbagai kelompok, yang besar maupun kecil tergantung dari jumlah anggota kelompoknya. Masayarakt secara umum merupakan suatu kelompok organisasi yang luas atau yang paling besar yang terdiri sub-sub kelompok lain.
Dalam tiap kelompok, keluarga, sekolah, masyarakat terdapat cara-cara berpikir dan berbuat yang diterima dan diharapkan oleh setiap anggota kelompok atau masyarakat. Pola kelakuan yang secara umum terdapat dalam suatu masyarakat disebut kebudayaan. Kebudayaan meliputi keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, keterampilan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan manusia sebagai anggota masyarakat.
Aturan-aturan pendidikan dalam masyarakat merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya, yang akan membentuk manusia sesuai dengan kebudayaan yang dipakai dalam masyarakat tersebut. Pendidikan setiap kelompok masyarakat akan berbeda. Pendidikan akan tercermin pada perbuatan-perbuatan atau tingkah laku individu.

3.2.            Saran
1.      Dalam mendidik anak, organisasi keluarga harus lebih di perhatikan oleh para orang tu, karena pendidikan dalam keluarga merupakan pondasi untuk menjadikan anak sebagai generasi penerus bangsa.
2.      Sekolah-sekolah di Indonesia yang bertaraf internasional bukan merupakan sekolah yang mementingkan budaya asing, namun tujuannya adalah untuk membuka wawasan anak mengenai kehidupan luar, namun dengan tidak mengesampingan budaya lokal sendiri, yaitu budaya Indonesia.
3.      Pendidikan agama merupakan pendidikan yang penting bagi anak, terutama untuk anak pada usia dini.
4.      Untuk para guru dalam proses pembelajaran diharapkan untuk tidak lupa memasukan nilai dan norma-norma agama, dan kebudayaan lokal, karena itu merupakan karakteristik pendidikan di Indonesia.



0 comments:

Copyright © 2013. BloggerSpice.com - All Rights Reserved
Customized by: MohammadFazle Rabbi | Powered by: BS
Designed by: Endang Munawar