REFLEKSI HIJRAH 1433 Prof. Dr. H. Saeful Anwar, MA.



REFLEKSI HIJRAH 1433
Prof. Dr. H. Saeful Anwar, MA.[*]
بسم الله الرّحمن الرّحيم
الحمد لله ربّ العالمين، أشهد أن لا اله الا الله الملك الحقّ المبين، وأشهد أنّ محمّدا عبده ورسوله الصّادق  الوعد الأمين، اللّهمّ صلّ وسلّم على سيّدنا محمّد وعلى آله وصحبه والتّابعين له باحسان الى يوم الدّين أجمعين، قال الله تعالى في القرآن الكريم، أعوذ بالله من الشّيطان الرّجيم  (لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجوالله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا)،  رضيت بالله ربّا وبالاسلام دينا وبمحمّد نبيّا ورسولا.
Tepat panda hari Ahad 27 November 2011 M, umat Islam sedunia memasuki tahun baru Islam, 1 Muharram 1433 H. Dalam rangka memasuki tahun baru ini selayaknyalah kita melakukan refleksi terhadap makna, proses dan esensi dari hijrah Rasulullah Saw dan para Sahabat dari Makkah ke Yatsrib (Madinah) yang menjadi dasar perhitungan kalender Islam tersebut, untuk membantu menemukan soluasi yang tepat terhadap problem yang kita hadapi kini dan di masa depan.
Sesuatu yang dijadikan pangkal hitungan tahun kalender oleh setiap komunitas di dunia ini pastilah sesuatu yang dipandang mempunyai arti dan posisi yang strategis dan fundamental bagi komunitas tersebut. Karena itu peristiwa hijrah bagi umat Islam mempunyai makna dan nilai yang sebanding misalnya dengan makna dan nilai kelahiran Yesus bagi umat Nasrani yang menjadikannya sebagai pangkal tahun kalender Masehi. Dalam sejarah tercatat bahwa yang pertama kali menetapkan tahun kalender Islam adalah Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab sehubungan dengan kebutuhan administrasi pemerintahan. Dalam rapat kabinet Khilafat muncul beberapa ide : ada yang mengusulkan kalender Romawi yang dimulai sejak masa Alexander, ada yang mengusulkan kalender Persia yang dimulai setiap kali pergantian rezim, ada yang mengusulkan hari pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi, dan ada yang mengusulkan hari hijrah-nya Nabi dan para Sahabat dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Menanggapi ide-ide ini Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab memutuskan, “Kita tetapkan tahun kalender tersebut berdasarkan hijrah Rasul, sebab hijrah itu merupakan batas pemisah antara haqq (kebenaran) dan kebatilan. Mereka menyepakati hal itu dan sepakat dimulai dari bulan Muharram. (Ibn al-Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1407 H/1987 M, I, 12-13).

Bangsa Arab sendiri  sudah memiliki tahun kalender pra-Islam. Bani Ibrahim memulai tahun kalendernya sejak peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim sampai pembangunan Ka’bah oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il a.s. Kemudin Bani Isma’il memulainya lagi dari masa pembangunan Ka’bah sampai mereka menyebar ke berbagai kawasan, di mana setiap kelompok yang keluar dari Tihamah menjadikan hari keluarnya sebagai pangkal hitungan tahun, sedang yang tetap tinggal di Tihamah menghitungnya sejak keluarnya Sa’ad, Nahd dan Juhainah dari Tihamah sampai wafatnya Ka’ab ibn Lu’ay, kemudian dimulai lagi sejak wafatnya Ka’ab ibn Lu’ay sampai hari Gajah, kemudian dimulai lagi dari hari Gajah sampai ditetapkannya kalender  Islam atau Hijriyah oleh Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab pada tahun 17 atau 18 Hijriyah.
Fakta bahwa Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab dan kabinetnya tidak memilih tahun kalender Romawi, Persi, Arab, kelahiran Nabi atau kebangkitannya menjadi Nabi, melainkan hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah itu, menunjukkan makna seperti ditunjuk Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab sendiri, yaitu bahwa hijrah merupakan tonggak strategis dalam proses kebangkitan Islam dan kehidupan muslim, sebagai pemisah antara era jahili (batil) dan era islami (haqq). Hal ini terlihat lebih jelas dalam sirah Rasul yang memperlihatkan lima fase harakah (gerakan) Islam, yaitu : (1) fase dakwah tertutup dan tanzhim (organisasi) tertutup, (2) fase dakwah terbuka dan tanzhim tertutup, (3) fase pendirian Negara Madinah, (4) fase pengukuhan dan pembangunan Negara Madinah, dan (5) fase fath dan falah (kemenangan dan kesuksesan dengan tersiarnya Islam di bumi).
Di tengah dominasi sistem, struktur dan kultur jahili yang demikian kuat selama berabad-abad, Rasul berdakwah secara rahasia selama 3 tahun sejak turunnya wahyu pertama (Q.S. 96 : 1-5) di Gua Hira sampai turunnya Q.S. 15 : 94 yang menginstruksikan agar Rasul berdakwah secara terbuka. Pada fase ini hanya beriman 9 orang, yaitu Siti Khadijah, Abu Bakar Shiddiq, ‘Ali ibn Abi Thalib dan Zaid ibn Haritsah, kemudian ‘Utsman ibn ‘Affan, Zubair ibn ‘Awwam, ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf, Sa’ad ibn Abi Waqqash dan Thalhah ibn ‘Ubaidillah, baru kemudian para Sahabat lain yang termasuk “kelompok 60” dari berbagai suku, laki-laki-perempuan, tua-muda, kaya-miskin, bangsawan-jelata dan merdeka-hamba sahaya.
Pada fase kedua yang berjalan 7 tahun (4 – 10 Nubuwwah), dakwah terbuka ternyata menimbulkan reaksi keras terutama dari kalangan elite penguasa agama, politik dan ekonomi musyrikin Makkah, di mana minoritas muslim menderita aneka macam teror dan intimidasi sejak cara yang lunak sampai kepada yang paling kejam : bunuh, bui dan buang. Yasir dan anaknya, ‘Abdullah, tewas dipanggang api, sedang isterinya, Samiyyah, sesudah diangkat dari panggang api dan ditelanjangi bulat-bulat, dibawa ke padang pasir, kemudian ditelentangkan dan kemaluannya ditusuk dengan tombak hingga tewas, dan anaknya yang lain, ‘Ammar ibn Yasir, sesudah dilepas dari panggang api harus memakai baju besi di tengah terik matahari setiap hari. Bilal dan Abu Fakihah, masing-masing diikat lehernya dan ditarik ke sana ke mari oleh anak-anak sebagai mainan, kemudian di padang pasir ditelentangkan di atas pasir panas di bawah terik matahari yang menyengat dan dadanya digencet dengan batu besar. Mereka berdua bersama ‘Amir ibn Fuhairah dan saudarinya, Hamamah, Ummu Unais dan puterinya, Nahdiyah dan puterinya, Labibah dan Zunairah, adalah kaum budak yang disiksa setiap hari sampai ditebus dan dimerdekakan oleh Abu Bakar. Abu Bakar sendiri ketika berdakwah di masjid al-Haram dikeroyok, dibanting dan diinjak-injak tubuhnya dengan sepatu berpaku sampai pingsan dan nyaris tewas sehingga digotong ke rumah oleh kerabatnya. Ibn Mas’ud yang membaca ayat al-Qur’an di masjid al-Haram, dan Abu Dzar al-Ghiffari yang membaca Syahadatain di masjid yang sama, dikeroyok sehingga pulang berlumur darah. ‘Utsman ibn ‘Affan, Zubair ibn ‘Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqqash dan Khalid ibn Sa’id adalah sample mereka yang disiksa kemudian diusir oleh keluarganya. Khabbab ibn al-Aritti diikat pada tiang yang dikelilingi kobaran api, kemudian punggung dan kepalanya distrika dengan besi menyala. Mash’ab ibn ‘Umair ditangkap dan dipasung terus-terusan dengan berbagai siksaan. Mereka semua dan banyak Sahabat lain yang menderita hal serupa, merupakan tumbal-tumbal dan saksi-saksi kebenaran yang tidak mungkin dapat dihapus dari lembaran sejarah dunia.
Kegagalan missi ‘Utbah ibn Rabi’ah membawa hasil rapat parlemen Darun Nadwah, baik missi pertma yang menawarkan harta, tahta dan wanita kepada Nabi asalkan Nabi menghentikan dakwahnya, maupun missi kedua yang menawarkan konsep toleransi dalam ibadah, dan missi ketiga yang mengusulkan agar al-Qur’an diganti dengan yang lain yang tidak menyinggung “warisan nenek moyang dan keperibadian asli bangsa” yang musyrik, dengan dalih demi persatuan dan kesatuan nasional Makkah, mendorong mereka untuk tidak saja menghina Nabi, tapi juga meningkatkan teror dan intimidasi terhadap umat Islam, sehingga 15 dari 121 orang berhijrah ke Abessinia (Habsyah) selama 3 bulan. Di Makkah sendiri gerakan dakwah terus berkobar dan kian hari makin banyak yang masuk Islam, sehinga teror dan intimidasi makin menghebat, dan Darun Nadwah memutuskan “Gerakan Tutup Kuping” yang diberlakukan kepada seluruh rakyat untuk tidak mendengarkan al-Qur’an dan memperolokkan Nabi dengan cara menuntut hal-hal yang mustahil. Karena berbagai cara itu pun tidak berhasil membendung arus masuk Islam, apalagi memurtadkan umat Islam dari agamanya, Darun Nadwah memutuskan, “Muhammad harus dibunuh dengan tanggungjawab semua suku”. Tetapi karena Bani Hasyim dan Bani Muthallib selain Abu Lahab dan keluarganya melindungi dan menjaga Nabi setiap hari dan malam di kamp Bani Hasyim, akhirnya Darun Nadwah memutuskan pemboikotan dan isolasi total terhadap Nabi, Bani Hasyim, Bani Muthallib (selain Abu Lahab dan keluarganya), dan seluruh umat Islam dengan undang-undang yang dimulai dengan kalimat “Bismika Allahumma …” dan disakralkan serta disimpan di dalam Ka’bah. Menghadapi situasi gawat seperti ini, Nabi menginstruksikan agar umat Islam segera berhijrah lagi ke Habsyah sehingga mereka berhijrah kedua kali ke Habsyah sebanyak 101 orang (83 laki-laki dan 18 perempuan), sedang Nabi sendiri bersama Bani Hasyim, Bani Muthallib dan 81 muslim lainnya (52 laki-laki dan 29 perempuan) menjalani pemboikotan dan isolasi total selama 3 tahun di kamp Bani Hasyim, di mana mereka harus makan dedaunan dan mengganjal perut dengan batu karena kelaparan. Meskipun mereka dibebaskan pada tahun 10 Nubuwwah, tetapi pada tahun ini pula dua tulang punggung Nabi, Siti Khadijah dan Abu Thalib, meninggal dunia, sehingga intimidasi makin merajalela. Pada “tahun kesedihan” (‘am al-hazn) ini Nabi mencoba mencari jalan keluar ke Tha’if. Tetapi di sini pun dakwah menghadapi jalan buntu, sehingga Nabi yang dilempari batu bersama Zaid ibn Haritsah terpaksa pulang dengan merangkak berlumur darah. Dengan Isra’-Mi’raj memang Rasul terhibur menyaksikan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Tetapi beliau pun harus menyampaikan peristiwa yang tak terjangkau akal ini kepada umatnya, dan mereka sendiri sesudah menderita ujian-ujian keimanan berupa penyiksaan-penyiksaan fisis, diuji secara mental-psikhis apakah masih mau juga membenarkan berita Rasul yang dituduh “majnun” (orang gila) itu mengenai hal yang tak terjangkau akal tersebut ?
Fase ketiga, Hijrah, atau proses pembentukan negara, adalah masa transisi dan puncak kegentingan. Dengan memanfaatkan musim haji, pada tahun 11 Nubuwwah 6 orang dari Yatsrib masuk Islam. Tahun berikutnya masuk Islam lagi 12 haji dari Yatsrib, dan terjadilah “Bai’at ‘Aqabah Pertama”yang sering disebut “Bai’at Wanita”, yaitu untuk : (1) tidak musyrik, (2) tidak mencuri, (3) tidak berzina, (4) tidak membunuh anak, (5) tidak melakukan tuduhan-tuduhan keji dan (6) tidak akan mendurhakai Rasul. Sepulangnya mereka ke Yatsrib, Islam berkembang pesat dan nama Muhammad menjadi populer di Yatsrib. Karena itu tahun berikutnya (13 Nubuwwah) terjadi lagi “Bai’at ‘Aqabah Kedua” yang sering disebut “Bai’at Laki-Laki” atau “Bai’at Perang”. Bai’at yang sangat penting dan menentukan dari 75 orang (73 laki-laki dan 2 perempuan) dari suku Khazraj dan Aus ini dilakukan sangat tertutup, yaitu tengah malam di bukit ‘Aqabah, Mina, yang hanya dihadiri oleh mereka, Nabi, Abu Bakar dan Ali, ditambah ‘Abbas paman Nabi yang masih kafir. Akibatnya, Islam segera tersebar ke berbagai pelosok Yatsrib, sehingga tidak ada satu rumah pun yang tidak termasuki ruh Islam. Melihat gerak-gerik Nabi dan fenomena yang “membahayakan” ini, dan karena pembocoran rahasia Bai’at ‘Aqabah Kedua oleh Iblis kepada penguasa Musyrikin Makkah, intimidasi mereka terhadap Nabi dan umat Islam di Makkah makin mengganas. Melihat realitas politik yang gawat ini, Rasul menginstruksikan agar umat Islam segera berhijrah ke Yatsrib secara diam-diam di malam hari. Mereka pun berhijrah. Rombongan pertama dipimpin Abu Salamah, rombongan kedua dipimpin ‘Umar ibn al-Khattab, dan rombongan ketiga dipimpin Hamzah ibn ‘Abd al-Muthallib, kemudian individu-individu yang berceceran.
Puncak kegentingan terjadi ketika Darun Nadwah memutuskan kebulatan tekad nasional yang disepakati seluruh suku Arab Makkah untuk mengeksekusi Nabi pada tengah malam yang ditentukan dengan 11 pasukan eksekutor pilihan yang sudah ditetapkan. Nabi pun, sesudah diberi tahu oleh  Jibril perihal rencana jahat kafir itu dan perihal izin Allah untuk berhijrah, mengatur siasat. Siang hari itu beliau menemui Abu Bakar untuk mengatur siasat hijrah, dan sesudah menyiapkan dua kendaraan yang diserahkan kepada ‘Abdullah ibn Uraiqith, gaid bayaran professional yang musyrik, yang harus menjemput dan berangkat dari tempat dan pada hari yang ditentukan, beliau pulang. Sejak waktu ‘Isya, malam 27 Shafar 13/14 Nubuwwah (12/13 September 622 M), para eksekutor sudah mengepung rumah Nabi. Dalam situasi terkepung ini Nabi menginstruksikan agar Ali  tidur di tempat tidur Nabi dengan selimut Nabi. Sesuai skenario yang sudah dibuat, Nabi segera lolos menerobos barikade eksekutor tanpa kelihatan menuju rumah Abu Bakar, dan keduanya berangkat menuju gua di puncak gunung Tsur. Di gua Tsur mereka berdua bersembunyi 3 hari 3 malam (malam Jum’at, Sabtu dan Ahad), di mana dua anak Abu Bakar, ‘Abdullah dan Asma’, serta mantan hamba sahayanya, ‘Amir ibn Fuhairah, melaksanakan tugas masing-masing. ‘Abdullah sebagai intelligen berangkat setiap sore ke puncak gunung ke gua Tsur melaporkan perkembangan situasi dan tiba kembali di rumah sebelum subuh. Asma’, yang sedang hamil tua, harus berangkat selepas magrib dari kota Makkah menuju kaki gunung Tsur sepanjang + 7,5 km, dan mendaki ke puncak gunung Tsur sepanjang + 2 jam perjalanan kaki sekali jalan, dengan jalan batu berkelok-kelok dalam keadaan gelap-gulita dan membawa makanan untuk Nabi dan Abu Bakar, dan harus sudah tiba di rumah sebelum subuh. ‘Amir ibn Fuhairah setiap pagi dan siang hari mengerahkan kambing gembalaannya untuk menghapus jejak Nabi, Abu Bakar, ‘Abdullah dan Asma’ di sepanjang jalan dari kota Makkah ke kaki gunung Tsur. Tetapi dengan usaha maksimal itu pun, akhirnya tetap saja ratusan tentara dan garda Makkah yang disebar dengan iming-iming hadiah 100 ekor unta bagi siapa saja yang membawa Muhammad hidup atau mati atau menunjukkan tempat persembunyiannya, banyak yang sampai ke gerbang gua, memeriksa ke sana ke mari, memanjat batu gua dan berdiri di atasnya. Melihat mereka sudah berada di mulut gua, bahkan ada yang kencing di situ menghadap mulut gua, Abu Bakar menangis tersedu, bukan karena takut dirinya binasa, tapi takut Nabi dibunuh. Di saat itu Nabi meneguhkan jiwa Abu Bakar dengan berkata : “la takhaf wa la tahzan inna Allaha ma’ana” (Jangan takut dan jangan bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita). Jika bukan karena mukjizat dengan ditutupnya pintu gua dengan sarang laba-laba dan adanya burung merpati, tentu kedua orang mulia itu binasa dan Islam tidak tersiar sehingga dunia tetap gelap-gulita. Sesudah situasi perburuan mereda, Nabi dan Abu Bakar berangkat dari gua dengan dua kendaran yang dipandu gaid musyrik itu pada malam Senin, 1 Rabi’ul Awwal 1 Hijriyyah/16 September 622 M, sampai di Quba 8 Rabi’ul Awwal 1 H/23 September 622 M, menetap di sini 4 hari dan mendirikan masjid Quba. Pada hari kelima, hari Jum’at, Nabi bergerak menuju Yatsrib. Setelah melakukan shalat Jum’at pertama di kampung Bani Salim, beliau masuk ke Yatsrib 12 Rabi’ul Awwal 1 H dengan mendapat sambutan gegap-gempita. Para Sahabat Muhajirin dan Anshar yang sudah lama menunggu dan khawatir Nabi dibunuh, kini bergembira antara menangis dan bersorak-sorai menyanyikan nasyid “Thala’al Badru ‘Alaina …”. Dengan masuknya Rasul ke Yatsrib, dibangunnya Masjid Nabawi dan dideklarasikannya Konstitusi (Piagam) Madinah, berubahlah nama Yatsrib menjadi “Madinah” untuk selama-lamanya.
Dengan berdirinya Negara Islam Madinah, sirah Rasul memasuki fase keempat, fase pengukuhan dan pembangunan negara, di mana umat Islam hidup di era Madaniyyah, era kemerdekaan, sesudah 13 tahun tertindas di era Makkiyyah, era keterjajahan. Tetapi Makkah segera menghasut minoritas musyrikin Madinah untuk memberontak, dan menghambat muslim Madinah untuk ‘umrah ke masjid al-Haram. Oleh karena itu Madinah pun membalasnya dengan menghambat jalur dagang Makkah menuju Siria, sampai terjadi perang Badar al-Kubra, Ramadlan 2 H. Dalam perang penentuan yang tidak seimbang ini, 313 tentara Islam menghadapi 950 tentara musyrik, Nabi menjerit memohon bantuan kepada Allah SWT, “Ya Allah, tolonglah kami, tolonglah kami, andaikan kami ini binasa, Engkau tidak akan melihat lagi seorang manusia pun di muka bumi ini yang menyembah-Mu”. Allah SWT pun menurunkan tentara langit sebanyak 1.000 malaikat untuk membantu tentara Islam, sehingga mereka beroleh kemenangan besar. (Q.S. 3 : 123-127,  8 : 9-19). Tetapi beberapa minggu kemudian kaum sparatis Yahudi Bani Qainuqa’ hampir berhasil membunuh Nabi, sehingga Nabi menumpasnya. Makkah pun segera muncul lagi untuk menggempur Madinah, sehingga Nabi menghadangnya di Uhud tahun 3 H. Baru saja menderita kekalahan dalam perang Uhud, Nabi pun harus menumpas gerakan sparatis Yahudi Bani Nadlir tahun 4 H serta gerakan-gerakan sparatis lain sampai perang Ahzab menghadapi kekuatan multi nasional, di mana Madinah diguncang dari luar dan dalam dan dikepung dari berbagai jurusan. (Q.S. 33 : 9-22), kemudian menumpas sparatis Yahudi Bani Quraizhah yang bersama Yahudi Bani Nadlir mengotaki kekuatan multi nasional dalam perang Ahzab 5 H itu.
Dengan terciptanya stabilitas politik dalam negeri, sirah Rasul memasuki fase kelima, fase jihad politik (diplomasi) dan kemenangan, sejak perjanjian Hudaibiyyah dengan Makkah tahun 6 H, yang dilanjutkan dengan dakwah internasional ke Kaisar Romawi, Kisra Persi, Gubernur Mesir dan negara-negara lain, perang Khaibar menggempur Yahudi tahun 7 H, perang Mu’tah, Jamadil Ula 8 H/September 629 M, di mana 3.000 tentara Islam menghadapi + 200.000 tentara Romawi yang professional, sampai futuh Makkah 17 Ramadlan 8 H, di mana Rasul membawa 10.000 umat Islam Madinah memasuki Makkah tanpa perlawanan berarti, dan ribuan penduduk Makkah berbondong-bondong masuk Islam. Kemudian perang Hunain dan Tha’if menghadapi kekuatan musyrikin yang tersisa, sampai dengan perang Tabuk, Rajab-Ramadlan 9 H, di mana Rasul memimpin 30.000 tentara Islam menghadapi Romawi meskipun Romawi tidak berani muncul. Setelah melakukan haji Wada’ bersama sekitar 130.000 umat Islam yang merepresentasikan seluruh penduduk Jazirah Arabia tahun 10 H, di mana turun ayat al-Qur’an yang menegaskan kesempurnaan Islam dan bahwa ia adalah agama yang diridlai Allah SWT (Q.S. 5 : 3), dan Rasul menyampaikan khutbah Wada’ (perpisahan), beliau wafat pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal 11 H dalam usia 63 tahun 4 hari, setelah selesai menunaikan risalah-nya selama + 23 tahun, dan memikulkan amanah penyebaran Islam ke seluruh dunia sebagai rahmat bagi alam semesta ke pundak para penerusnya.
Dari proses sirah Rasul di atas dapat disimpulkan bahwa hijrah, yang tersebut dalam al-Qur’an tidak kurang dari 80 kali itu, esensinya adalah mencabut diri dari aqidah, fikrah, prilaku dan realitas jahili untuk mencemplungkan diri ke dalam aqidah, fikrah, prilaku dan realitas islami guna mengubah realitas jahili menjadi realitas islami dengan niat yang ikhlas dan cara yang benar sesuai  al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw dengan segala resiko dan hasilnya.
Rasulullah Saw kini telah tiada, dan tidak akan ada lagi seorang rasul dan nabi pun  sampai akhir zaman, dan Rasul tidak meninggalkan warisan apa-apa kepada kita selain al-Qur’an dan al-Sunnah yang, seperti ditegaskannya sendiri dalam khutbah Wada’, kita tidak akan tersesat jalan selama berpegang teguh pada keduanya. Kalaulah kita ingin mencapai fatah dan falah berupa ridla Allah SWT serta kejayaan Islam dan umatnya seperti yang dicapai Rasul dan para Sahabat dulu, serta ingin hidup bersama mereka (Nabiyyin, Shiddiqin, Syuhada’ dan Shalihin) di sorga nanti, kita mesti memiliki tujuan seperti yang mereka miliki dan menempuh proses seperti yang mereka temph, yakni mentaati Allah dan Rasul-Nya, di mana Rasul dijadikan uswah hasanah dalam segala aspek kehidupan (Q.S. 33 : 21), dengan keyakinan bahwa yang di-taklif-kan kepada kita bukan terhasilkannya tujuan, tapi menempuh proses pencapaian tujuan itu dengan niat yang ikhlas dan cara yang benar sebagai ibadah kepada Allah SWT. Hasil juang tanpa perjuangan adalah nihil, perjuangan tanpa resiko mustahil, dan perjuangan yang menghalalkan segala cara kriminil. Kita pegang erat al-Qur’an dan al-Sunnah, baik mengenai materi ajaran Islam maupun metodologi dan proses penegakannya. Sabda Rasul Saw:
 لتتبعن سنن من كان قبلكم حذو القذة بالقذة  حتي لو دخلوا  في جحر ضب لدخلثموه قالوا يا رسول الله اليهود والنصاري؟ قال فمن؟ (متفق عليه)
 Seorang tokoh Salaf menegaskan : لن يصلح أمر آخر هذه الأمة الا بما صلح به أوله  
Pola sistem, struktur dan kultur sosial serta pola watak manusia-manusia pelakunya, baik yang haq di satu pihak maupun yang batil di pihak lain, tidak berubah sepanjang sejarah sebagai sunnatullah yang tak akan pernah berubah sampai bubarnya alam ini. Yang berganti hanyalah satuan individu dan nama pemainnya. Nuh versus kaumnya yang kafir, Ibrahim versus Namrud, Musa versus Fir’aun, Haman dan Qarun, Isa versus Yahudi yang dengki, dan Muhammad versus Musyrikin Makkah dan Persia serta Ahli Kitab Madinah dan Romawi, adalah para pemain di masa lampau. Peran yang dimainkan umat Muslimin, umat Musyrikin dan umat Ahli Kitab sejak zaman Nabi menghadapi Makkah dan Persia serta Romawi, masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, Bani Umayyah dan Bani ‘Abbas menghadapi Musyrikin Asia sampai Bagdad jatuh ke tangan Mongol 656 H/1258 M, dan menghadapi gempuran-gempuran Ahli Kitab Eropa sampai Sevilla dan Cordova jatuh di abad yang sama (1236 M) dan Granada jatuh 1492 M, sampai dunia Islam termasuk Nusantara dilanda badai imperialisme Ahli Kitab Eropa abad 16-20 M dan imperialisme canggih (nekolim) Ahli Kitab Eropa dan Amerika hingga kini, sementara Musyrikin Uni Soviet, Cina dan Jepang tidak kalah represifnya, dan sisa-sisa kekuatan sosialis pasca kehancuran Uni Soviet membayang-bayangi, semua itu memperlihatkan dengan jelas benang merah pertarungan antara haq dan batil sepanjang sejarah yang membentuk rumus konflik atau kompetisi “Tiga Segi”, yaitu umat Musyrikin dan Ahli Kitab senantiasa konflik satu sama lain, tetapi segera bersatu dalam bersama-sama menghadapi umat Islam, dengan posisi yang paling keras kebencian dan permusuhannya terhadap umat Islam adalah berturut-turut : Yahudi, kemudian Musyrikin, dan yang paling dekat simpatinya adalah umat Nasrani selama komit kepada agamanya dan tidak terkontaminasi kibr dan hubbuddunya Yahudi dan Musyrikin (Q.S. 5 : 82), dan umat Islam akan senantiasa menang kecuali ketika mengidap penyakit “wahn”, yaitu hubbuddunya wa karahiyyat al-maut atau ditusuk dari dalam oleh kaum munafik. Oleh karena itu dalam setiap konflik antar negara, seperti kasus Palestina-Israel, India-Pakistan (soal Kashmir), Eriteria, Cyprus, Bosnia dan lainnya, PBB yang didominasi Ahli Kitab dan Musyrikin selalu memihak pihak non-muslim, dan dalam setiap konflik vertikal di berbagai negara, seperti Sudan Selatan, Filipina Selatan, Timor Timur, RMS, Gerakan Papua Merdeka dan lainnya, negara-negara Barat selalu berada di belakang pihak non-muslim.
Pasca pembubaran Khilafat Turki Usmani 1924 dengan tangan Musthafa Kemal, seorang anggota Freemasonry, setiap kali muncul usaha pembangunan kembali Khilafat atau negara nasionalis islami atau apa yang dari kaca mata Ben Gurion, tokoh Yahudi, dilihat sebagai “Muhammad-Muhammad Baru” yang akan mempersatukan dunia Islam dan mengalihkan konflik internal sesamanya kepada Barat, segera ditumpas dan dibantai. Di Mesir, Hasan al-Banna, ‘Abd al-Qadir ‘Audah, Sayyid Qutb dan beberapa tokoh al-Ikhwan al-Muslimun lainnya dibunuh dan partainya dibubarkan sesudah Presiden Muhammad Najib digulingkan tahun 1950-an oleh Jamal ‘Abdul Naser yang sosialis sekuler dengan bantuan Barat dan kemudian Uni Soviet. Di Indonesia, Masyumi dibubarkan tahun 1960 dan para tokohnya dipenjara oleh rezim Orde Lama yang sosialis sekuler di bawah pengaruh RRC dan Uni Soviet, dan di sepanjang rezim Orde Baru di bawah pengaruh Barat (sejak sekitar 1970-an) ditekan seumur hidup atau sampai usia senja sekitar 1990-an. Di Arab Saudi, Raja Faisal pembentuk Rabithah ‘Alam Islami, pemimpin embargo minyak Timur Tengah terhadap Barat dan pejuang iptek islami Arab Saudi masa depan, dibunuh melalui tangan keponakannya. Khumaeni pemimpin revolusi Islam Iran digempur selama 10 tahun (1979-1989) dengan tangan Saddam Husein yang sosialis sekuler. Di Pakistan, Presiden Ziya ul Haq dibunuh bersama beberapa pejabat tinggi dan tentara seniornya di pesawat yang ditembak jatuh (1988), dan Jama’at Islami-nya Maududi dilumpuhkan. Di Sudan, pemerintahan Ja’far Numaeri akhir digulingkan hanya karena ia mendekritkan berlakunya syari’at Islam di Sudan sesudah bertaubat (berhijrah) dari sosialisme dan kapitalisme. Di Turki, Perdana Menteri Erbakan dari Partai Islam Refah pemenang Pemilu 1995 dijatuhkan 1997. Di Aljazair, Partai FIS (Front Islamique Solut) pemenang Pemilu 1999 dibubarkan dan tokoh-tokohnya dipenjara. Pemerintahan Taliban di Afganistan dihancurkan oleh agresi militer AS dan NATO sejak Oktober 2001 dan Usamah ibn Laden yang dicap sebagai “gembong teroris” dijadikan buronan sampai dibunuh di Pakistan 2 Mei 2011, sebagaimana Abu Bakar Ba’asyir dicap “teroris” dan terus ditekan. Di Iraq, pemerintahahan Saddam Husein  pun dihancurkan oleh agresi militer AS dan sekutunya sejak 20 Maret 2003 karena dianggap melindungi “teroris”, dan Saddam pun dibunuh di tiang gantungan 30 Desember 2006. Di Libya, Mu’ammar Qaddafi ditekan seumur-umur sampai pemerintahannya dihancurkan dengan agresi militer NATO sejak Juni 2011 dan Qaddafi sendiri dibunuh 20 Oktober 2011. Di Indonesia, Soeharto dan Habibi pun digulingkan, bukan hanya karena Soeharto pasca berakhirnya “Perang Dingin” Ahli Kitab versus Musyrikin dengan kehancuran pihak Musyrikin 1989-1990 muncul sebagai pemimpin “Negara-negara Non-Blok/Dunia Ketiga”, tapi terutama karena ia bersama Habibi dengan ICMI-nya, seperti terlihat dalam GBHN 1993, telah berhasil menyatukan kubu nasionalis islami dan kalangan kebangsaan yang netral agama di Indonesia dalam format “Negara Kebangsaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa”, serta telah siap melakukan pembaharuan radikal dan memasuki era kebangkitan nasional kedua menyaingi Barat dalam teknologi canggih. Fenomena spektakular ini bukan hanya dilihat oleh Barat dengan kacamata Ben Gurion-nya, tapi juga oleh seluruh dunia. Secara kebetulan, dalam taksi dari ‘Aziziyah menuju Masjid al-Haram 17 tahun yang lalu (1994), beberapa intelektual Mesir menyapa, “Oh, inta Andunisi ?” (Oh, anda orang Indonesia ?). “Aiwah, esyfi ?” (Ya, betul, ada apa ?), penulis bilang. “Indonesia bagus, Indonesia bagus”, jawab mereka ramai. “Kenapa”, penulis tanya. Salah seorangnya menjawab, “Kini seluruh dunia Islam berharap dan bergantung penuh kepada Indonesia. Apabila Indonesia bisa bertahan seperti sekarang ini seluruh dunia Islam akan bangkit, dan apabila Indonesia gagal seluruh dunia Islam akan hancur”. “Kenapa begitu ?”, tanya penulis penasaran. “Karena hanya Indonesia-lah yang akan bisa memimpin dunia Islam”, jawab mereka. “Oh tidak, mestinya Timur Tengah, kan Timur Tengah pusat Islam dan kaya dengan minyaknya ?”, sanggah penulis lebih penasaran. Mereka menjawab ramai, “Tidak, hanya Indonesia-lah yang akan mampu memimpin dunia Islam bersaing dengan Barat, sebab Indonesia punya Habibi”.
Islam, sesuai namanya sendiri seperti ditunjuk Marcel A. Boisard sewaktu masih menjadi Nasrani dalam L’Humanisme de L’Islam (Humanisme dalam Islam), adalah agama penyerahan mutlak kepada Allah dalam keharmonisan sesama manusia. Islam, meski menyatakan hanya dialah agama yang benar dan diridlai Allah SWT (Q.S. 3 : 19, 85,  5 : 3), dan untuk itu ia siap diuji kebenarannya secara ilmiah (Q.S. 2 : 23, 41 : 42, 52), sehingga harus didakwahkan secara ilmiah pula, yaitu dengan hikmah, pitutur yang baik dan dialog dengan yang lebih baik (Q.S. 16 : 125), ia tetap menegaskan toleransi beragama di mana “Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama” (Q.S. 2 : 251,  10 : 99), dan menjadikan jihad perang hanya untuk bela diri dan pengawal dakwah yang diarahkan terutama kepada elite dan penguasa yang intoleran sehingga dakwah sampai ke dalam hati dan otak manusia yang sebebas-bebasnya (a.l. Q.S. 2 : 190-193, 216-218,  22 : 39-40,  9 : 36,  85 : 8). Thomas W. Arnold dalam The Preaching of Islam, telah memaparkan secara jujur sejarah perjalanan dakwah Islam di dunia sepanjang masa. Islam, kata Syaltout dalam al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, memegang perdamaian sebagai prinsip dasar, sedang perang hanyalah tindakan darurat untuk mengatasi keadaan abnormal. Konflik tiga segi yang melibatkan umat Islam sepanjang sejarah hanyalah karena keterpaksaan oleh pihak lain yang alergi dan memandang umat Islam beragama Islam sebagai perbuatan kriminal atau teroris yang harus dihukum sampai mereka murtad dari agamanya atau mengikuti millah mereka. (Q.S. 2 : 105, 120, 217-218,  3 : 100).
Dalam konstelasi seperti ini, Rasul bersabda :
  أشدّ النّاس بلاء الأنبياء ثمّ الصّالحون ثمّ الأمثل فالأمثل، ابتلي الرجل بحسب دينه، فان كان في دينه صلابة زيد له في البلاء. (Manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian yang paling mirip dan yang lebih mirip. Seseorang diuji menurut kadar keagamaannya. Maka apabila dalam keagamaannya terdapat keteguhan, ditambahlah ujiannya). Ini disebabkan, semakin kuat intensitas keimanan seseorang dengan berpegang teguh pada tauhid sebagai haq (kebenaran), semakin kuat pula reaksi kebencian dan permusuhan dari pendukung kebatilan (kufur dan syirik). Sebaliknya, makin lemah intensitas keimanan dan komitmen seseorang pada haq/tauhid, makin melemah pula reaksi kebencian dan permusuhan dari pihak kebatilan, sampai mereka bersatu pada derajat nol, yaitu derajat facum, di mana sebenarnya kedua pihak sudah tidak lagi berada di kawasan nilai-nilai etis-ideologis baik plus maupun minus, melainkan berada di kawasan “nihilisme moral” di bawah payung filsafat sophisme-relativisme yang meragukan atau merelatifkan segala sesuatu, atau materialisme-naturalisme yang memandang manusia hanya semata-mata makhluk fisis-biologis yang tidak memiliki dan tidak memerlukan nilai-nilai etis-ideologis. Inilah kaum   مذبذبين بين ذلك لا الى هؤلاء ولا الى هؤلاء"  ” (orang-orang skeptik di antara yang demikian, tidak ke sana dan tidak ke mari). Atau ibarat hewan yang hidup hanya untuk makan, melakukan seksual dan memenuhi tuntutan-tuntutan biologis lain secara hedonis. (Q.S. 45 : 23-24,  47 : 12). Filsafat model ini, kata Jamaluddin al-Afgani dalam al-Radd ‘ala al-Dahriyyin, adalah bahaya laten yang merusak peradaban dunia sepanjang masa. Dalam konteks ujian seperti ini Allah SWT berfirman (Q.S. 29 : 1-3,  2 : 155, 214,  3 : 142).
Ujian memang bukan hanya dengan keburukan (penderitaan) seperti di atas, terutama di era keterjajahan yang harus disikapi dengan sabar, tapi juga dengan kebaikan terutama di era kemerdekaan berupa perolehan harta yang melimpah, tahta yang megah dan wanita yang wah yang harus disikapi dengan syukur. Panggung sandiwara kehidupan di dunia ini sebagai “Dar al-Ghurur” (Negeri Tipuan/Jebakan) adalah fase ketiga dari lima fase kehidupan yang pasti dialami semua manusia, yaitu Alam Arwah dahulu, Alam Arham di perut ibu, Alam Dunia kini, Alam Barzakh/Qubur sebentar lagi, dan Alam Akhirat nanti yang tak berujung-kesudahan, yaitu alam kehidupan yang tetap dan abadi (Dar al-Qarar) sebagai alam kehidupan yang sesungguhnya (al-Hayawan). Alam ketiga, alam dunia ini, adalah “Forum Ujian” sementara yang hanya beberapa tahun saja, untuk diseleksi mana manusia yang layak ditempatkan dalam sorga secara abadi dan mana yang pantas ditempatkan dalam neraka secara sementara atau abadi. Allah SWT berfirman (Q.S. 67 : 1-2). Kata Syaikh al-Fudlail ibn ‘Iyadl, yang dikutip Ibn Taimiyyah dalam al-‘Ubudiyyah dan Ibn Rajab dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, maksud “ أحسن عملا ” (yang paling baik amalnya) dalam ayat tersebut adalah “أخلصه و أصوبه   “ (yang paling ikhlas dan yang paling benar). Sebab, kata beliau selanjutnya :
إنّ العمل إذا كان خالصا ولم يكن صوابا لم يقبل، واذا كان صوابا ولم يكن خالصا لم يقبل، حتى يكون خالصا صوابا، والخالص أن يكون لله، والصّواب أن يكون على السّنة.
(Sesungguhnya amal apabila ikhlas/murni tetapi tidak benar tidak diterima, dan apabila ia benar tetapi tidak ikhlas juga tidak diterima, sampai ia itu ikhlas dan benar. Ikhlas adalah karena Allah, dan benar adalah sesuai dengan al-Sunnah).
Kita diuji dari dua segi, yaitu keikhlasan tujuan dan kebenaran cara, baik dalam pemahaman ajaran Islam (ijtihad/tafaqquh) maupun dalam pengamalannya (jihad/mujahadah) sebagai al-Shirat al-Mustaqim (jalan lurus). Banyak yang telah lulus dengan sukses gemilang (mencapai al-falah), yaitu para nabiyyin, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin sepanjang masa, tetapi banyak pula yang gagal sehingga tergelincir dari al-Shirat al-Mustaqim itu, yang di akhirat pun akan mengalami hal serupa, yaitu jatuh dari jembatan al-Shirat al-Mustaqim yang membentang di atas neraka Jahannam ke bawah ke dalam neraka Jahannam.
Imam al-Syafi’i rahimahullah telah mengingatkan dalam al-Risalah bahwa ijtihad merupakan ujian bagi  mujtahid sebagaimana ujian dengan kewajiban-kewajiban lain, apakah ia ikhlas dalam ijtihadnya, yaitu semata-mata mencari kebenaran untuk mencapai ridla Allah SWT, atau karena yang lain seperti mencari kedudukan dan prestise, pesan sponsor dan lain-lain. Jika ikhlas, apakah cara ijtihadnya benar sesuai metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, seperti ilmu Ushul Fiqh yang diciptakan al-Syafi’i kemudian berkembang dan menjadi baku dalam khazanah intelektual muslim serta teruji kebenarannya berabad-abad, atau ngawur tidak berdasar metodologi ilmiah tertentu melainkan semata-mata mengukur ilmu, iradah, qudrah dan hukum Allah dengan perasaan-perasaan subyektif pelaku atau pesan sponsor belaka, atau berdasar terkaan-terkaan spekulatif laksana “dukun” karena ingin disebut “mujtahid”, “modernis” atau “postmodernis” atau “teremansipasi” dengan Barat sehingga bisa mendapat “carrot”. Apabila ijtihad memenuhi kedua syarat tersebut, ikhlas dalam tujuan dan benar dalam cara, pelakunya mendapat dua pahala jika hasilnya ternyata benar, dan mendapat satu pahala jika hasilnya ternyata salah. Begitu pula para pengamal diuji apakah ikhlas tujuan amalnya atau untuk kepentingan lain, seperti apakah hijrah-nya dari Makkah ke Madinah karena Allah dan Rasul-Nya, atau karena dunia yang akan diperoleh dan wanita yang akan dinikah. Begitu pula ber-thaharah, menutup ‘aurat, shalat, zakat, shadaqah, infaq, puasa, haji, membaca al-Qur’an, khutbah, tablig, dakwah, mengajar, belajar, menikah, berbisnis, menuntut, mengadili, bersaksi, berpolitik, dan sebagainya. Kalau ikhlas, apakah cara melakukannya benar sebagaimana dalam al-Qur’an dan Hadits shahih, atau salah seperti karena mengikuti bid’ah, khurafat dan takhayul, atau karena memang tidak mengakui syari’at Nabi Muhammad Saw dengan anggapan bahwa syari’at yang dibawa Nabi adalah untuk awam yang dangkal, sedang dirinya yang “wali” atau pengikut “wali” sudah melampaui derajat awam dan sudah mencapai “haqiqat” (esensi), sehingga taklif dengan syari’at telah gugur daripadanya, sehingga shalat, misalnya, cukup dengan “eling” saja dalam batin. Inilah faham dan gerakan kebatinan sepanjang sejarah Islam terutama sejak abad 3 H/8 M yang dimotori Yahudi sejak zaman ‘Abdullah ibn Saba’. Ini semua merupakan tantangan yang menuntut kita untuk bergumul di empat medan : dunia ilmiah-filosofis, dunia ideologis, dunia strategis, dan dunia praksis.
Dengan kehancuran di Khaibar, sisa-sisa Yahudi ber-diaspora (menyebar ke mana-mana) termasuk yang menyusup ke dalam tubuh umat Islam sebagai munafiq untuk menghancurkan Islam dari dalam, sebagaimana Paulus telah berhasil menghancurkan Nasrani dari dalam dan menggesernya ke dalam hermetisme (idealisme subyektif). ‘Abdullah ibn Saba’, seorang tokoh intelektual dan politikus Yahudi yang munafik, bukan hanya berhasil di jalur struktural menimbulkan konflik politik internal dunia Islam berabad-abad sejak terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, tapi juga sukses di jalur kultural memasukkan filsafat hermetisme ke dalam pemikiran Islam melalui konsep hulul, inkarnasi Tuhan dalam diri ‘Ali ibn Abi Thalib, sebagaimana inkarnasi Tuhan dalam diri Yesus dari Paulus. Ini kemudian berkembang menjadi aliran dan gerakan Syi’ah Gulat dan Isma’iliyah/Bathiniyah yang di jalur filsafat dikendalikan oleh para filosof Isma’ili seperti Ibn Sina dan Ikhwan al-Shafa’, dan di jalur tasawuf dikendalikan oleh para tokoh sufi batini, seperti Busthami dengan konsep ittihad-nya, al-Hallaj dengan konsep hulul-nya, al-Hakim al-Tirmidzi dengan konsep khatam al-auliya’-nya, dan Ibn ‘Arabi dengan konsep wahdat al-wujud-nya. Banjir Ibn ‘Arabisme yang melimbas Gazalisme dan Averroisme (Ibn Rusydisme) dan membuat merajalelanya sufisme dan tarekat heterodoks di dunia Islam pasca kejatuhan Bagdad ke tangan Mongol terutama sejak abad 14 M, membuat dunia Islam lumpuh total dalam lumpur hermetisme-neo-platonisme di mana ruh ijtihad dan jihad mati. Sementara itu Eropa bangkit dengan dua sayap sekaligus. Pertama, sayap kultural dengan renaissance abad 13-16, yang banyak mengadopsi iptek Islam terutama Gazalisme, Averroisme dan Ibn Sinaisme, di mana para filosof Yahudi seperti Maimun ibn Musa, dan Kristen seperti Thomas Aquinas, William Ocham, Roger Bacon, Francis Bacon dan Rene Descartes, berperan penting. Kedua, sayap struktural dengan politik penggusuran Islam dari Eropa, sampai Granada, ibu kota kerajaan Islam terakhir di Spanyol, jatuh di akhir abad 15 (1492 M). Tetapi “anak-anak” renaissance yang meninggalkan hermetisme dan Kristen neo-platonik dan skolastik itu, bukan hanya menimbulkan revolusi industri Eropa pada abad 17 M, tapi juga menciptakan filsafat baru, naturalisme, yang menjadi matang di era aufklaruung abad 18-19 M, di mana muncul materialisme Karl Marx dan positivisme Auguste Comte yang dua-duanya Yahudi. Kedua sayap naturalisme (realisme ekstrim) inilah yang dengan kemajuan ipteknya terutama dengan figur seperti Einstein yang Yahudi membawa Barat (Eropa dan Amerika) ke puncak peradaban materialnya yang mendominasi dunia hingga dewasa ini, di mana arus komunikasi dan informasi mengalir dari Barat ke Timur termasuk dunia Islam. Bahkan banyak intelektual muslim yang hanyut ke dalam naturalisme-positivisme yang secara ambivalen mengaku beriman kepada Allah SWT dan alam gaib, tetapi menolak segala sesuatu yang belum atau tak dapat dibuktikan secara empirik-sensual, sehingga efek-efek transendental dan nilai-nilai keislaman, seperti ikhlas, sulit masuk ke dalam sains (ilmu) mereka. Sementara itu tajdid (pembaharuan) al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah yang terkurung berabad-abad dan baru direaktualisasikan oleh Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Syah Waliyullah al-Dahlawi, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad ‘Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, Muhammad Iqbal, Hasan al-Banna, Abu al-A’la al-Maududi, Isma’il Raji al-Faruqi dan lainnya dari kalangan Sunni, serta Thabathaba’i, ‘Ali Sari’ati, Muhammad Baqir al-Shadr, Husein Nasr dan lainnya dari kalangan Syi’i, belum berhasil mengangkat kembali dunia Islam ke rel dualisme islaminya karena berbagai kendala baik internal maupun eksternal. Di sini sebenarnya sedang terjadi konflik tiga segi : Islam versus realisme ekstrim (naturalisme-materialisme-sekularisme) dalam bentuk marxisme dan positivisme, dengan sayap ideologi politik demokrasi dan diktatorismenya dan sayap ideologi ekonomi kapitalisme dan sosialismenya, yang semuanya dimotori Yahudi, dan Islam versus Hermetisme (idealisme subyektif) yang didukung Hindu-Budha dan Kristen. Baik kubu idealisme subyektif maupun kubu realisme ekstrim sama-sama dikendalikan Yahudi ibu kandung Dajjal musuh bebuyutan Nabi Muhammad dan Nabi Isa a.s. Kita yang bermotto “la syarqiyyah wa la gharbiyyah”, harus ber-hijrah baik dari naturalisme Yahudi dan Musyrikin, maupun dari hermetisme Nasrani dan Musyrikin ke aqidah dan falsafah Islam yang dualis, yang mengakui sesuatu (ilmu) yang secara empirik dan rasional dapat dibenarkan dan secara biopsikososial dan moral-spiritual berguna dan memuaskan, di mana eksistensi Ketuhanan Allah Yang Maha Esa dan kerasulan Nabi Muhammad Saw berikut segala informasi dan sistem nilai yang dibawanya diakui dalam kerangka bangunan ilmu secara keseluruhan. Kita harus ber-hijrah dari thagut dalam bentuk pemikiran jahiliyah di alam zhulumat, baik idealisme subyektif maupun realisme ekstrim, ke aqidah Syahadatain sejak di “Dar al-Arqam” sampai dengan di “Dar al-Suffah”.
Kita harus jujur mengakui kekalahan umat Islam dalam membentuk realitas. Realitas dunia sejak beberapa abad lalu adalah terutama hasil bentukan naturalisme-materialisme-sekularisme. Kita tidak mesti hanyut ke dalam realitas jahili, atau ber-‘uzlah mengisolasi diri seperti sebagian sufi, tapi ber-hijrah dari realitas jahili itu untuk membentuk realitas islami serta mengubah dan membentuk realitas jahili menjadi realitas islami. Meminjam istilah Peursen, “membentuk ‘ada’ dari ‘suatu seharusnya’”. Suatu seharusnya, suatu ide, bagi umat Islam bukanlah nilai-nilai etis universal yang naturalistik seperti diajukan Immanuel Kant dan Peursen, sebab di samping hal itu hampir merupakan imago belaka, juga dengan itu kita masih belum terbebas dari situasi perbudakan di antara sesama manusia yang musyrik. Kita harus mencapai kemerdekan sejati, yakni bebas dari perbudakan baik oleh tradisi, milieu, penguasa zalim dan syetan, maupun oleh hawa nafsu kita sendiri, apalagi oleh benda mati seperti batu, patung, keris, bintang, matahari dan sebagainya, di mana Syahadatain yang berintikan tauhid Uluhiyah Allah dan tauhid Uswah Rasulullah, dengan segala ideologi dan sistem nilai transendental yang diwahyukan Allah SWT sebagai cahaya, petunjuk dan anugerah bagi alam semesta, yaitu Islam, merupakan satu-satunya alternatif bagi manusia untuk dapat hidup sebagai manusia. Kita harus membentuk realitas baru dengan ideologi dan sistem nilai islami, bukan mengubah Islam disesuaikan dengan realitas budaya jahili seperti bentukan naturalisme-materialisme-sekularisme yang tidak manusiawi.
Kita tidak perlu alergi dengan perubahan alami yang memang merupakan sunnatullah kauniyah dan tak dapat ditolak, dan terhadap pembaharuan (tajdid) yang memang sudah disabdakan Rasul, dalam arti membersihkan kembali jati diri Islam dan menyesuaikan bajunya dengan perubahan alami yang terjadi. Yang harus ditolak adalah tahrif (pemalsuan), tagyir (pengubahan), tabdil (penggantian), ta’thil (pengosongan) dan tagrib (pengasingan) terhadap ajaran Islam dengan sesuatu dari luar dan keluar daripadanya. Kita tak perlu alergi dengan penyesuaian terhadap perkembangan sosio-kultural yang tak terhindari, tetapi menolak penundukan hukum Allah SWT kepada perkembangan sosio-kultural yang ahumanis. Agama Allah SWT bukan gerbong kereta api yang ditarik-tarik ke sana ke mari, tapi lokomotif yang menentukan ke arah mana gerbong sosial itu melaju. Kita harus membentuk realitas dari suatu ide, bukan membentuk ide dari suatu realitas. Meski konsep sebagai disposisi atau abstraksi muncul dalam benak sesudah dan mengikuti fakta alam empirik yang disebut sains (sebagian ilmu), tetapi peradaban fisis dan non-fisis di dunia empirik sendiri baru mungkin terwujud dalam realitas sesudah dan mengikuti ide dalam benak pelakunya. Jalan, pasar, gedung-gedung pencakar langit, listrik, mobil, pesawat, tank-tank berlapis baja dan lainnya, serta perbuatan shalat, zakat, puasa, haji, makan, minum, bersumpah,menikah, berjual-beli, mabok, madon, maen, maling, maehan, menganiaya, mengadili, berpolitik dan lainnya, semua itu hanya mungkin terwujud sesudah dan mengikuti ide dalam benak pelakunya. Jakarta akan tetap menjadi hutan belantara seperti sebelum Batavia, kota Bogor akan tetap menjadi hutan belantara seperti sebelum Boitenzorg, dan kita akan tetap dijajah oleh Eropa dan Jepang, jika para pendahulu kita tidak mempunyai ide dan berjuang merealisasikan ide itu, yaitu ide untuk merdeka dan membangun Bangsa dan Negara ini menurut suatu seharusnya. Saudi Arabia akan tetap menjadi jahiliyah dan basis penyembahan berhala, Eropa akan tetap tidur dalam masa kegelapannya, dan dunia seluruhnya akan tetap hidup dalam kegelapan, jika Nabi dan para sahabatnya tidak bercita-cita dan berjuang mati-matian merombak realitas jahili Arab dan dunia itu menjadi realitas islami, meski untuk itu harus ber-hijrah dari Makkah membentuk al-Madinah al-Munawwarah untuk kemudian mengubah Makkah menjadi Makkah al-Mukarramah.
Sistem nilai dan sosial Makkah yang dibina di atas ideologi nasionalisme dengan prinsip “berpegang teguh pada tradisi dan warisan nenek-moyang serta kepribadian asli bangsa” Makkah yang musyrik itu, berintikan aqidah watsaniyah (penyembahan berhala sebagai perantara kepada Tuhan Yang Maha Esa), kemanusiaan yang menurut mereka adil dan beradab, persatuan nasional Makkah, kerakyatan yang dipimpin oleh para tokoh suku dalam permusyawaratan/ perwakilan Darun Nadwah, serta kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Makkah kecuali kaum budak, seperti gaya demokrasi Yunani dan Romawi kuno. Ternyata ideologi dan sistem nilai jahiliyah ini telah melahirkan prinsip dan gaya hidup demokratis kapitalistik yang permisif dan hedonis di bawah kepemimpinan “Abu al-Hakam” (Bapak Pemersatu Nasional), di mana segala sesuatu adalah halal asalkan sesuai dengan hak asasi manusianya dan tidak merugikan orang lain, sehingga mabok, madon, maen dan renten merajalela, bahkan membunuh kaum budak dan anak sendiri pun boleh karena merupakan hak asasinya yang tidak merugikan orang lain. Rasul dan para Sahabat ber-hijrah mencabut diri dari ideologi dan sistem nilai, struktur sosial-politik dan kultur jahiliyah Makkah tersebut untuk membentuk realitas islami serta mengubah dan membentuk realitas jahili itu menjadi realitas islami, bukan membentuk ideologi dan sistem nilai islami dari ideologi dan sistem nilai jahili, baik Musyrikin Makkah dan Persi maupun Ahli Kitab Romawi. Kalaulah perjuangan mengubah realitas jahili menjadi realitas islami itu kini belum berhasil, ide Islam yang besar sebagai agama Allah Yang Maha Besar jangan diciutkan agar sesuai dengan otak kita yang kecil atau jiwa kita yang kerdil. Sebab, dengan begitu kita bukan hanya telah mengidentikkan Islam dengan diri kita sendiri yang berarti syirik, tapi juga telah merusak agama Allah SWT yang bukan saja berdosa (maksiat) dan membuat perjuangan kita mustahil berhasil, tapi juga identitas diri kita sendiri menjadi hancur. Struktur dan dekorasi sebuah istana yang kokoh dan megah akan hancur berantakan kalau harus mengikuti keinginan orang buta yang karena latarbelakang tertentu mencemoohkan dan hendak mendekonstruksi, merekonstruksi atau mereformasinya. Hukum itu untuk manusia dan karenanya harus sesuai dengan hakekat diri dan cara wujud serta fungsi eksistensinya sendiri, sedang manusia tidak akan pernah dapat mengetahui hakekat dirinya sebelum bisa memanjat pahanya sendiri. Kalaulah topi laken dari cowboy Amerika itu tidak cocok dengan kepala kita, yang harus dipermak bukan kepala kita, tapi laken yang harus dirombak atau dibuang. Dengan konsep “membentuk suatu seharusnya dari suatu apa adanya”, bukan saja kita tak akan pernah bisa maju melangkah, tapi juga identitas diri kita sendiri menjadi amburadul.
Dulu para ulama NU (Nahdlatul Ulama) yang mengklaim dirinya “Aswaja” (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah dengan menjunjung tinggi mazhab teologi Asy’ariyah-Maturidiyah, mazhab fiqh yang empat terutama Syafi’iyah, dan mazhab tasawuf Qadiriyah-Naqsyabandiyah, dan para ulama Muhammadiyah yang dilansir sebagai kaum mujaddid/salafi, mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah dengan menjunjung tinggi ruh ijtihad dan menghormati mazhab-mazhab Aswaja terdahulu terutama Hanafiyah dan Hanbaliyah yang digelorakan kembali oleh Ibn Taimiyyah dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyyah serta pengikutnya seperti Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Tetapi sangat disayangkan, kini sebagian NU muda telah berubah mengambil mazhab Abdullah Ahmed al-Na’im, tokoh sosialis sekuler Sudan yang menolak seluruh hukum al-Qur’an dalam ayat-ayat Madaniyyah yang dipandang bersifat teknis-operasional, dan hanya mengakui ayat-ayat Makkiyyah yang dipandang mengandung esensi-esensi dan prinsip-prinsip universal, dengan misi dan gerakan “Dekonstruksi Syari’ah”-nya. Dan sebagian Muhammadiyah muda telah berubah mengambil mazhab Fazlur Rahman, tokoh Pakistan yang lari ke Amerika, yang juga menolak seluruh hukum al-Qur’an yang dipandang bersifat teknis-operasional sebagai “responsi Tuhan terhadap realitas sosio-kultural Arab di zaman Nabi, yang realitas sosio-kultural Arab di zaman Nabi itu merupakan sebab nuzul atau ‘illat hukum al-Qur’an, yang tentu saja hukum harus berubah dengan berubahnya ‘illat (situasi-kondisi) pada zaman kontemporer atau postmodern ini, sehingga yang masih berlaku hanyalah esensi-esensi universal. Hasil akhir dari kedua mazahab ini sama-sama hanya mengambil “esensi” atau “haqiqat” dengan menggugurkan syari’at yang dianggap partikularistik dan formalistik itu, sama dengan kaum kebatinan atau sufi heterodoks tempo dulu. Padahal, dualisme islami yang dianut oleh bodi utama umat Islam sepanjang zaman, yaitu Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, mengajarkan bahwa tidak mungkin ada dalam realitas aktual esensi universal yang tak bersandar pada partikular-partikular, jika tidak menafikan universal sama sekali seperti Ibn Taimiyyah, dan tak pernah ada dalam kenyataan bahkan dalam khayalan sekalipun, lemari, syetan atau perbuatan yang tanpa materi dan bentuk. Orang-orang seperti ini, ahli haqiqat yang menggugurkan syari’at, kata al-Ghazali lebih mendekati kekufuran ketimbang keimanan, dan kata Ibn Taimiyyah adalah kafir. Mereka perlu dikasihani dan didakwahi karena tersesat jalan dan mengira bahwa mereka dengan begitu melakukan kebaikan dan perbaikan, padahal telah gagal dalam ujian. Tetapi lebih patut dikasihani lagi masyarakat awam yang, jika tidak ikut hanyut ke dalam arus “dekonstruksisme” atau “postmodernisme” itu, berkeliaran dan berceceran di mana-mana mencari penunjuk jalan. Mereka hidup dalam kegelapan di tengah amukan badai “gazw al-fikr” dari Barat yang tidak kurang dahsyatnya dari amukan badai Tsunami.
Dulu sebelum abad ke-20 M, para ulama dan zu’ama Islam yang mukhlis dan shalih sepakat mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah mengenai materi ajaran Islam dan metodologi penegakannya dengan pola : pembinaan ‘aqidah, hijrah, gazwah, fatah dan falah, dengan hasil yang sebanding dengan resikonya. Pada paruh pertama abad ke-20 memang terjadi polarisasi antara pola perjuangan parlementer dan non-parlementer, tetapi mereka sama dalam materi ajaran yaitu mengakui syari’at Islam secara kaffah (meski terdapat perbedaan nuansa dalam hal-hal furu’iyyah-ijtihadiyyah yang sepele, seperti antara ushalli atau tidak, antara qunut shubuh atau tidak, qabliyah jum’at atau tidak, dan sebagainya), dan sepakat dalam metodologi perjuangan struktural. Mereka melihat bahwa misi utama imperialisme Eropa adalah Gospel (misi suci kristenisasi dunia), Gold (ekonomi) dan Glory (kejayaan politik bangsa penjajah). Karena itu perjuangan kemerdekaan pun sebagai reaksi terhadapnya adalah untuk membela dan menegakkan Islam, mewujudkan kemerdekaan politik dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang dikristalisasikan dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menjiwai dan mencetuskan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Karena toleransi terhadap minoritas Kristen di sebagian belahan Timur Indonesia yang beberapa jam sesudah proklamasi itu mengultimatum untuk memisahkan diri dari Negara Indoensia apabila “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta itu tidak dicoret, umat Islam yang merupakan mayoritas mutlak bangsa ini rela berkorban demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru berdiri itu, sehingga sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” itu diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan penyesuaian dalam batang tubuh UUD 1945. Kemudian, dalam upaya pengembalian Piagam Jakarta itu pun terlihat bahwa umat Islam bangsa Indonesia sepakat dalam materi syari’at Islam dan dalam metodologi penegakan struktural, baik parlementer maupun non-parlementer. Bagi mereka, seperti terlihat dalam siding-sidang Konstituante 1957-1959, menegakkan syari’at Islam bukan saja kewajiban syar’i yang menjamin kebahagiaan ukhrawi, tapi juga satu-satunya alternatif bagi manusia untuk dapat hidup sebagai manusia secara aman dan adil-sejahtera, sedang Negara merupakan sarana mutlak untuk melindungi dan merealisasikan agama Islam secara sempurna, di mana “Sesuatu yang sesuatu yang wajib tidak sempurna tanpa sesuatu itu maka sesuatu itu pun wajib pula”, dan, seperti kata al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin dan Mizan al-‘Amal,  al-Din wa al-Sulthan tauaman, fa al-din ashlun/assun wa al-sulthan harisun, wa ma la ashla/assa lahu fahamdumun, wa ma la harisa lahu fadla’i’un” (Agama dan Negara adalah dua saudara kembar yang saling menunjang. Agama adalah asas dan Negara adalah penjaga. Sesuatu yang tanpa asas pasti roboh, dan sesuatu yang tanpa penjaga akan musnah).
Pasca kejatuhan kedua jalur perjuangan struktural itu, tahun 1970-an muncul seorang intelektual muda muslim dari “pangkuan” Masyumi dengan ide sekularisasi dan metode perjuangan kultural-nya. Ternyata kemudian ia bukan saja menolak metodologi perjuangan struktural yang dianggapnya beresiko terlalu berat itu, tapi juga menolak apa yang harus diperjuangkan sendiri yaitu materi syari’at Islam. Gerakan penghapusan metodologi perjuangan struktural dan materi syari’at Islam itu dilakukan lebih gencar terutama sejak awal abad ke-21 ini oleh segerintil orang yang senang disebut “kaum posmodernis” seperti yang tergabung dalam kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL). Ide sekularisasi dan penggusuran syari’at Islam ini, seperti telah diuji-cobakan secara sukses di Turki yang dapat membuat Negara mantan “Rajawali Islam” itu menjadi sekecil “burung pipit” yang tak berdaya, hanyalah instrumen Ahli Kitab dalam kerangka konflik Tiga Segi di jalur struktural dan kultural, untuk tetap mempertahankan dunia Islam dalam ketidakberdayaannya dalam lumpur idealisme/spiritualisme dengan ketiga penyakit kronisnya : miskin, bodoh dan pecah-belah. Sementara itu kelompok yang dikenal sebagai “NII KW 9” dengan Ma’had Zaitun-nya, apabila dibiarkan dengan angan-angannya dalam “ketertindasan”, dikhawatirkan akan membentuk teologi Islam dari visi politiknya sendiri seperti telah terjadi dengan Syi’ah selain Zaidiyah, yang tertekan berabad-abad oleh Daulat Umawiyah dan Daulat ‘Abbasiyah dan sebagian dieksploitasi oleh Yahudi.
Kita boleh berharap dengan “Muhammad-Muhammad Baru” muda seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Ikhwanul Muslimin Indonesia, Hizbut Tahrir Indoensia, Partai Keadilan Sejahtera, Majlis Mujahidin Indonesia, Ansharut Tauhid dan lain-lain. Tetapi mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya dan telihat masih mencari induk dan bentuk itu segera menjadi bulan-bulanan Ahli Kitab terutama Yahudi dengan tuduhan “teroris”. Sebaliknya, jika “anak-anak manja” asuhan Barat seperti JIL dan Ahmadiyah itu berhasil, praktis kita tidak punya apa-apa lagi. Satu-satunya warisan dari Rasul hilang sudah, kita masuk ke alam jahiliyah lagi di era “postmodernisme”. Aqidah hancur sudah, hijrah hapus sudah, gazwah enyah sudah, sehingga fatah pun punah dan falah lenyap menjadi kata kosong dalam adzan dan iqamat yang hanya berwujud dalam khayal dan mimpi. Kita tak dapat membayangkan lagi bagaimana nasib anak-cucu kita nanti di dunia ini dan kelak di akhirat.
Sekarang saja negeri subur yang terhampar di jalur khattulistiwa ini telah menjelma sebagai negeri yang bukan saja mengidap penyakit kronis berupa kebodohan, kemiskinan dan perpecahan, tapi juga sudah menjelma sebagai negeri yang hampir terbesar utangnya sedunia, hampir terkorup sedunia, ladang peredaran narkoba, pornografi-pornoaksi dan prostitusi yang subur di dunia. Berita tentang “malima” (mabok, maen, madon, maling dan maehan/mateni) bukan saja menjadi pemandangan umum di massmedia setiap hari, tapi juga terlihat dengan mata telanjang di mana-mana. Konflik-konflik psikologis dan dekadensi moral dengan segala efek biopsikososial-nya yang berbahaya ini merupakan kultur kehidupan jahiliyah/zulumat yang berawal dari proses dehumanisasi yang berpangkal dari filsafat jahiliyah/zulumat pula yaitu sophisme, naturalisme-materialisme dan sekularisme.
Kita jangan salah diagnosis yang mengakibatkan salah terapi sehingga umat keracunan. Umat Islam mundur, seperti kata Syakib Arsalan dalam Limadza Ta’akhkhara al-Muslimun wa limadza Taqaddama ghairuhum, karena meninggalkan agamanya, sedang umat lain juga maju  karena meninggalkan agamanya. Renessans Eropa bukan hanya untuk memperbaiki sesuatu yang tidak beres dalam agama dan tradisi intelektual mereka, tapi terutama untuk menguasai dunia Islam dengan senjata iptek yang dengannya dilandasi iman umat Islam menguasai Eropa berabad-abad. Kata Francis Bacon pada abad 16-17, masa akhir Renessans itu, “Ilmu adalah kekuasaan”. Kita mundur bukan karena Islam, meskipun ada beberapa hal yang harus dibersihkan dari Islam dan sebagian hasil ijtihad harus disesuaikan. Kita jatuh, terhina dan miskin, karena kita telah melepaskan tali bergantung kepada Allah SWT sebagai satu-satunya sumber semua ilmu dan kekuatan. Hanya ada tiga jalur untuk memperoleh ilmu dan kekuatan dari Allah SWT, yaitu : (a) taqarrub/taqwa, dengan tafakkur, dzikir dan menjalankan agama-Nya (habl min Allah) sebagai ilmu, hidayah dan rahmat yang diturunkan Allah melalui jalan resmi, sebagai wasilah untuk memperoleh nashr tanpa diminta; (b) du’a, sebagai wasilah untuk memperoleh ijabah sesudah diminta; dan (c) kasab sesuai hukum kausalitas yang eksak, obyektif dan konstan kecuali jika terjadi khariq li al-‘adah dalam keadaan khusus, sebagai wasilah untuk memperoleh hasil usaha, yang ilmu tentangnya diturunkan Allah melalui jalan tidak resmi, yaitu melalui temuan empirik dan rasional manusia (habl min al-nas). Selama ini kita menjauhi Allah. Agama-Nya bukan saja tidak dilaksanakan secara utuh, tapi malah akan dibongkar dan diacak-acak, padahal kita banyak menumpang hidup dan penghidupan pada Islam. Kita malas berdoa apalagi di saat-saat ijabah seperti tengah malam karena asyik mengobrol, menonton televisi, mengatur siasat berebut kursi, atau lainnya, kecuali bila disuruh oleh dukun sebagai jimat atau mantera. Etos kerja dan penguasaan iptek kita juga lemah, sebab ruh ijtihad dan jihad untuk belajar, berpikir dan bekerja keras sudah mati. Kalaupun belajar, berpikir dan bekerja keras kelihatannya lebih banyak untuk kepentingan pribadi dan sesaat. Dalam keadaan lemah, miskin dan bodoh, kita pun berpecah-belah dan sering menghamburkan potensi dan energi untuk sesuatu yang sia-sia atau malah menimbulkan malapetaka. Kita sering cekcok karena khilafiyah dan berantem karena rebutan kuah, jama’ah dan imamah, yang justeru sering dikepalai oleh ulama sendiri, padahal ulama adalah waratsat al-anbiya’ yang harus menjadi teladan yang baik bagi umat seperti Nabi meski sebatas kemanusiaan yang tidak maksum. Harusnya ulama dengan ruh ijtihad dan jihad-nya giat dan sibuk ber-ijtihad dan ber-jihad, melakukan tarbiyah dan dakwah secara ikhlas dan benar baik bi al-maqal dan bi al-‘amal, maupun bi al-hal  sebagai uswah hasanah dan malja’ (sandaran) atau marji’ (rujukan) bagi umat.
Kita pelajari, fahami, amalkan, sebarkan dan tegakkan al-Qur’an dan al-Sunnah seluruhnya dengan cara yang benar dan tujuan yang ikhlas mencari kebenaran (haq) dan ridla Allah semata, yang kebenaran itu adalah tunggal di mana tiada di balik kebenaran selain kesesatan (Q.S. 10 : 32), dengan prinsip “la li altasykik wa lakin li tathma’inna biha al-qulub”, dan “la li altabdil wa la li al-tagyir, wa lakin li itsbat al-tsawabit wa tagyir al-mutagayyirat”, di mana yang qath’i disikapi dengan “al-Hayat ‘aqidatun wa jihadun”, dan yang zanni-ijtihadi disikapi dengan “Ra’yuna shawabun yahtamil al-khatha’, wa ra’yu gairina khatha’un yahtamil al-shawab”. Inilah jalan tengah antara relativisme dan absolutisme. Sabda Nabi, “Khair al-umur ausathua”. Kata Fazlur Rahman, “Jalan tengah bukan hanya jalan terbaik, tapi juga merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh”. Kita memang sering membesar-besarkan yang kecil dan mengecil-ngecilkan yang besar, mengabsolutkan yang relatif dan merelatifkan yang absolut, dan menjelekkan yang cantik seperti isteri kita sendiri dan mencantikkan yang jelek seperti wanita lain meski ia hanya pembantu rumah tangga. Itu semua karena hiasan nafsu syahwat dan gadlab yang dikipas-kipasi oleh syetan yang mempedayakan akal kita yang lemah, sehingga kita asyik terbuai dalam kekeliruan, kepalsuan dan kesesatan sampai ajal tiba atau ditegur oleh Allah SWT kalau Dia masih menyayangi kita.
Melalui refleksi ini, marilah kita dengan Bismillah bertaubat dan ber-hijrah dari thagut kepada Allah SWT, dari bathil kepada haq, dari zhulumat kepada nur, dari syar, fahsya’ dan munkar kepada khair dan ma’ruf, dan dari segala sesuatu yang jahili kepada yang islami.
نصر من الله وفتح قريب وبشر المؤمنين،  حسبنا الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير، ولا حول و لا قوّة الّا بالله العليّ العظيم، لا اله الا الله محمّد رسول الله، سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لااله الا أنت أستغفرك وأتوب اليك، وصلي الله علي سيدنا محمد النّبيّ الأميّ وعلى اآله وصحبه وسلم، سبحان ربك رب العزة عما يصفون، وسلام على المرسلين، والحمد لله رب العالمين.
REFERENSI UTAMA
1.      Abdullah Ahmed Al-Na’im, Toward on Islamic Reformation, terjem. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani, Dekonstruksi Syari’ah, (Yogyakarta : LKIS dan Pustaka Pelajar, 1994).
2.      Al-Afgani, Jamal al-Din, al-Radd ‘ala al-Dahriyyin, terjem. Muhammad ‘Abduh, (Kairo : Maktabah al-Khanji, 1956).
3.      Al-Ghazali, Muhammad ibn Muhammad, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Semarang : Thaha Putera, t.t.), jld. I-IV.
4.      Al-Syafi’i, Muhammad ibn Idris, al-Risalah, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.).
5.      Boisard, A, Marcel, terjem H.M. Rasjidi, Humanisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980).
6.      Charles Kurzman, ed., Liberal Islam : A Suerce Book, terjem. Bahrul Ulum, et al, Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, (Jakarta : Paramadina, 2001).
7.      Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, cet. III, 1985).
8.      Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Bandung : Mizan, cet. II, 2000).
9.      Fazlur Rahman, Islam & Modernity Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago & London : The University of Chicago Press, 1982, Paperback Edition, 1984).
10.  Hamka, Prof.Dr., Sejarah Ummat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), jld. I-IV.
11.  Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima’i, (Kairo : Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah, 1967), jld. I-IV.
12.  Ibn al-Atsir, ‘Ali ibn Abi al-Karam Muhammad ibn Ahmad, al-Kamil fi al-Tarikh (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1407 H/1987 M), jld. I-X.
13.  Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, (Mesir : Musthafa al-Babi al-Halabi, cet. II, 1375 H/1955 M), I-II.
14.  Ibn Khaldun, ‘Abd al-Rahman, Tarikh Ibn Khaldun al-Musamma Kitab al-‘Ibar fi Daiwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413 H/1992 M), jld. I-VII.
15.  Konstituante, Tentang Dasar Negara Republik Indonesia, (Bandung, 1959), jld. I-II.
16.  Mahmud Syaltout, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, (Kairo : Dar al-Qalam, cet. III, 1966).
17.  Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad S.A.W, (Jakarta : Bulan Bintang, cet. VI, 1977).
18.  Mubarakfuri, al, Shafiyyu al-Rahman, al-Rahiq al-Makhtum Bahtsun fi al-Sirah al-Nabawiyyah ‘ala Shahibiha Afdlal al-Shalat wa al-Salam, (Kairo : Dar al-Hadits, 1412 H/1992 M).
19.  Munir Muhammad al-Ghadlban, al-Manhaj al-Haraki li al-Sirah al-Nabawiyyah, (Yordan : Maktabah al-Manar, cet. VII, 1412 H/1992 M).
20.  Pringgodigdo, AK., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta : Dian Rakyat, cet. IX, 1980).
21.  Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam, terjem. Nawawi Rambe, Sejarah Dakwah Islam, (Jakarta :  Wijaya, cet. II, 1981).
22.  Yusuf Karam, Tarikh al-Falsafah al-Aurabiyyah fi al-‘Ashr al-Wasith, (Kairo : Dar al-Ma’arif, cet. III, t.t.).


[*] Guru Besar Fak. Syari’ah dan Hukum/dosen Pasca Sarjana/Wakil Ketua DKM IKOMAH UIN “SGD” Bandung.

0 comments:

Copyright © 2013. BloggerSpice.com - All Rights Reserved
Customized by: MohammadFazle Rabbi | Powered by: BS
Designed by: Endang Munawar