Islam Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Makalah
Sejarah Peradaban Islam
“Islam Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib”
Dosen Pengampu : Endang Munawar, M.Pd.I
Di Susun Oleh :
Elgi Iqbal Febriana
Fahmi Amrullah Husni
Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Arqam
Muhammadiyah Garut
JL. Bratayuda No. 39 Garut TLP. 0262 243400
Kata Pengantar
Segala puji bagi Alllah Ta’ala, kami memuji-Nya, kami berlindung kepada
Allah dari keburkan dir-diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa
yang di beri petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bias menyesatkan, dan
barang siapa di sesatkan oleh Allah maka tidak ada yang bias membenarkan
petnjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak di ibadahi
dengan benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan Rasul Nya. Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat kepadanya,
dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan sampai hari pembalasan, dan
semoga mendapatan keselamatan yang banyak.
Syukur Alhamdulillah kami dari kelompok 5, yang kebetulan di tugaskan
membuat makalah tentang ”Islam pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib” berhasil menyelesaikan
tugas dengan referensi buku dan website.
Mungkin dari makalah yang kami buat ini tentunya masih banyak kekurangan
dalam penulisannya. Harapan kami semoga makalah yang kami buat in bisa
bermanfaat dan juga kita bisa mempelajari sejarah islam pada masa khalifah Ali
bin Abi Thalib.
Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW,
segenap keluarga dan para Sahabatnya.
Garut, 15 April 2020
Kelompk 5
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
A. PENDAHULUAN......................................................................................................... 1
B. PEMBAHASAN
a) Sekilas kehidupan Ali bin Abi Thalib...................................................................... 1
b) Pemerintahan dan Situasi Politik Pada Masa Ali bin Abi Thalib............................... 2
c)
Latar Belakang Adanya Tantangan dari Khawarij, Thalhah dan Mu’awiyah .......
d)
Akhir
Pemerintahan Ali bin Abi Thali.....................................................................
C. KESIMPULAN.............................................................................................................. 8
D. DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 9
A. Pendahuluan
Islam pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin berkembang sangat pesat,
dimana dimulai setelah kedaulatan Nabi
hingga ke Timur Tengah dan bahkan di luar daerah itu. Islam dikembangkan dengan
mengajarkan nilai-nilai demokratis terutama dalam pengangkatan seorang khalifah.
Ini bisa dilihat dalam berbagai peristiwa pengangkatan Khulafa al-Rasyidin
walaupun caranya berbeda-beda tetapi intinya sama yaitu menjunjung nilai
bermusyawarah untuk mufakat.
Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah khalifah terakhir masa khulafa’
ar-Rasyidin dimana masa ini adalah masa yang sangat kritis politik dalam negeri
karena banyak pemberontakan demi menuntut kematian khalifah Utsman yang
dianggap didalangi oleh khalifah Ali.
Maka dari itu dalam makalah ini akan dipaparkan tentang sekilas
kehidupan Ali, kemudian kebijakan-kebijakan apa yang dilakukan Ali dalam pemerintahannya
dan juga konflik yang terjadi pada masa khalifah Ali.
B. Pembahasan
a)
Sekilas Kehidupan Ali Bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib lahir sekitar 13 Rajab 23
Pra Hijriah/599 Masehi – wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661 Masehi), adalah salah
seorang pemeluk Islam pertama (Assaabiquunal Awwaluun) dan juga keluarga dari
Nabi Muhammad saw. Ali adalah sepupu dan sekaligus menantu Nabi Muhammad saw,
setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra. Ia pernah menjabat sebagai salah
seorang khalifah pada tahun 656 M sampai 661 M. Beliau adalah Khalifah terakhir
dari Khulafaur Rasyidin.
Ahlussunnah memandang Ali bin Abi Thalib
sebagai salah seorang sahabat nabi yang terpandang. Hubungan kekerabatan Ali
dan Rasulullah saw sangat dekat sehingga ia merupakan seorang ahlul bait dari
nabi S.A.W. Ahlussunnah juga mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai salah seorang
Khulafaur rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk) setelah Khalifah Utsman
bin Affan.
Kaum Sunni menambahkan nama Ali dibelakang
dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah ridha padanya. Tambahan ini
sama sebagaimana yang
juga diberikan kepada sahabat nabi yang lain.
Sedangkan kaum Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu
Wajhah (KW) atau semoga Allah
me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa
dia tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang
kurang sopan sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa dia tidak suka
memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan
riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian
musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang dia, maka Ali enggan
meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi
sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual
warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau
spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan
beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada
tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan
keturunan langsung dari Ali bin Abi Thalib melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib
Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja’far
Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.[1]
b) Pemerintahan dan Situasi Politik Pada Masa Ali
bin Abi Thalib
1. Situasi Politik menjelang pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Situasi politik menjelang pengangkatan Ali bin Abi Thalib cukup
rawan mengingat Usman terbunuh di tangan pemberontak. Pada kesempatan tersebut,
Ibn Harb memegang kendali keamanan kota Madinah sampai terpilihnya seorang
Khalifah yang baru.
Segera setelah terbunuhnya Usman, kaum muslimin meminta kesediaan
Ali untuk dibaiat menjadi Khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak
ada lagi orang yang patut menduduki kursi Khalifah setelah Usman. Mendengar
permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan
urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan
tokoh-tokoh Ahl asy-Syura” bersama para pejuang Perang Badar.[2]
Pengangkatan Syaidina Ali menjadi Khalifah tidaklah sebagaimana
yang dilakukan terhadap Abu Bakar dan Umar, sebab hanya orang-orang yang Pro
terhadap Ali yang melakukan Baiat (penobatan) itu. Ali memegang jabatan pada
hari Jum’at 13 Zulhijjah 35 Hijriah, dan orang yang pertama kali melakukan
baiat terhadap Syaidina Ali adalah Thalhah yang akhirnya justru memihak
Mu’awiyah.[3]
Setelah pembaiatan, Ali mengucapkan pidato yang isinya antara
lain: “Wahai manusia, kamu telah membaiat saya sebagaimana yang telah dilakukan
kepada Khalifah-khalifah yang dahulu dari padaku. Saya hanya menolak sebelum
jatuh pilihan, apabila pilihan telah jatuh, menolak tidak boleh lagi. Imam
harus teguh dan rakyat harus patuh. Baiat terhadap diriku ini adalah yang rata,
yang umum. Barang siapa yang mungkir dari padanya terpisahlah ia dari agama
Islam.[4]
Banyaknya peperangan yang terjadi pada masa pemerintahan Ali dan
yang terpenting adalah dua hal, yaitu peperangan jamal (unta) dan peperangan
Siffin.
2. Prinsip Politik Ali bin Abi Thalib
Prinsip Politik Ali tergambar bahwa ia seorang yang berani, yang
memiliki kepribadian yang mulia bahkan sebagai seorang anak asuh Rasulullah ia
banyak menerima ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala persoalan
keagamaan secara teoritis dan praktis. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu,
ia mengikuti Rasulullah sejak kecil baik dalam suka dan duka, dan tentunya hal
tersebut mempengaruhi dalam melaksanakan pemerintahannya.[5]
Meskipun di belakang hari ia tidak mampu untuk mengembalikan pemerintahan
sebagaimana Rasulullah karena situasinya yang cukup berbeda. Hal yang menonjol
prinsip Ali adalah kompromi politik, hal tersebut tergambar pada saat
pemberontakan Thalhah dan sekutu-sekutunya.
3.Kebijakan Politik Ali bin Abi Thalib
Tindakan dan kebijaksanaan Ali setelah resmi memegang jabatan
Khalifah adalah memberhentikan semua gubernur yang diangkat oleh Usman,
termasuk
Mu’awiyah, dengan mengangkat pejabat-pejabat baru. Tanah-tanah
yang dibagikan di zaman Usman kepada keluarganya ditarik kembali. Khalifah Ali juga menerapkan pengawasan yang sangat ketat
agar tidak terjadi penyelewengan oleh para pejabat pemerintah. Ternyata para
pejabat baru yang diangkat oleh Ali menimbulkan Pro dan Kontra di kalangan
rakyat daerah. Ada yang menerima dan ada pula yang menolak, serta ada yang
bersikap netral seperti Mesir dan Basrah. Penggantian para pejabat baru ini
dilakukan oleh Ali pada awal tahun 36 Hijriyah.
Pemerintahan Ali juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan
setelah pemberontakan di Kabul dan Sistan ditumpas, ia juga mendirikan
pemukiman-pemukiman meliter perbatasan Syria dan membangun benteng-benteng yang
kuat di utara perbatasan Parsi.
Dalam pengelolaan uang negara Khalifah Ali mengikuti
prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh khalifah Umar, harta rakyat dikembalikan
kepada rakyat. sikap jujur dan adil yang diterapkan oleh Ali ini, menimbulkan
amarah di antara sejumblah pendukungnya sendiri dan kemudian berpihak kepada
Mu’awiyah. Khalifah Ali juga menberi contoh mengenai persamaan di depan hukum
dan peradilan, hal ini menunjukkan bahwa prinsip persamaan semua lapisan sosial
dan etnik di depan hukum, dan peradilan bebas diteruskan oleh Ali sebagaimana
pada masa-masa sebelum sejak masa Rasulullah.
c) Latar Belakang Adanya Tantangan
dari Khawarij, Thalhah dan Mu’awiyah
Pemerintahan
Ali bin Abi Thalib dengan kebijakan-kebijakannya untuk memulihkan situasi umat
Islam tidaklah mulus mengingat Thalhah, Khawarij dan Mu’awiyah, menuntut agar
kasus pembunuhan Khalifah Usman segera ditangkap dan mereka segera dibawa ke
meja hijau. Namun tuntutan mereka itu tidak dikabulkan oleh Ali dengan beberapa
alasan: Pertama Karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis
yang penuh intimidasi seperti saat itu ialah memulihkan ketertiban dan
mengkonsolidasikan kedudukan-kedudukan Khalifah. Kedua Menghukum para pembunuh
bukanlah perkara mudah. Khalifah Usman tidak di bunuh oleh hanya satu orang
saja, melainkan banyak orang yang melakukan pembunuhan tersebut.[5]
Dia pun
menghindari pertikaian dengan Thalhah dan sekutunya. Tetapi tampaknya
penyelesaian damai sulit untuk di capai. Maka kontak senjata pun tak dapat
dielakkan lagi, sehingga Thalhah dan Zubair terbunuh sedangkan Aisyah
dikembalikan ke Madinah. Peperangan ini terkenal dengan nama “waqi’ah al-Jamal”
(perang Unta/Jamal) yang terjadi pada tahun 36 Hijriyah, dalam peperangan itu,
pihak Ali bin Abi Thalib memperoleh kemenangan.
Tantangan
selanjutnya muncul dari Mu’awiyah, yang tidak menerima pemberhentiannya, yang
pada akhirnya terjadi peperangan antara pasukan Mu’awiyah dan pasukan Ali bin
Abi Thalib di Siffin. Ali bin Abi Thalib pada mulanya tidak menginginkan
terjadinya pertempuran tersebut, tetapi Mu’awiyah tak mengindahkannya sehingga
mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari kedua belah pihak. Namun pada
akhirnya pertempuran tersebut dapat dihentikan dengan meminta diadakannya
perdamaian antara kedua belah pihak dengan cara mengangkat kitab suci Al-Qur’an
sebagai symbol perdamaian. Kelicikan Mu’awiyah ini disambut baik oleh Khalifah
Ali dengan mengadakan gencatan senjata. Kedua belah pihak mengambil jalan
Tahkim (arbitrase) untuk mengakhiri pertempuran, masing-masing pihak mengangkat
satu wakil untuk mengadakan perundingan, dari pihak Mu’awiyah di utus Amr bin
Ash sedangkan dari pihak Ali mengangkat Abu Musa al-Asy’ari sebagai wakil.
Dari
pertemuan mereka, diputuskan bahwa Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib harus
melepaskan jabatannya. Namun setelah Abu Musa al-Asy’ari mengumumkan untuk
meletakkan jabatan Ali bin Abi Thalib dan Amr bin Ash justru menolak
menjatuhkan Mu’awiyah. Peristiwa Tahkim secara politik merugikan pihak Ali.
Keputusan
Ali untuk mengadakan tahkim pun telah menuai protes dari sebagian pasukannya,
yang kemudian keluar dari pasukan Ali dan dikenal dengan nama “Khawarij”.
Mereka berpegang pada prinsip bahwa kebenaran yang sesungguhnya itu bukanlah
semata-mata hanya berada ditangan manusia. Sebagaimana mereka berberpegang pada
firman Allah Qs. al-Maidah (5) : 44 yang artnya : Sungguh, kami yang menurunkan
Kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para
Nabi yang berserah
diri
kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para
ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka
menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia,
(tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga
murah. Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itulah orang-orang kafir.[6]
Dengan
pandangan kaum Khawarij tersebut, mereka merencanakan untuk membunuh
tokoh-tokoh yang ikut dalam peristiwa Tahkim, dan hal ini telah berhasil
membunuh Ali pada tahun 40 H, ketika Ali menuju ke Masjid hendak mengimami
shalat berjama’ah Subuh.[7]
Ali ra.
Terbunuh pada malam Jum’at waktu sahur pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Ada
yang mengatakan pada bulan Rabi’ul Awwal. Namun pendapat pertama lebih shahih
dan populer.
Ali ra.
ditikam pada hari Jum’at 17 Ramadhan tahun 40 H, tanpa ada perselisihan. Ada
yang mengatakan bahwa dia wafat pada hari dia di tikam, ada juga yang
mengatakan pada hari Ahad tanggal 19 Ramadhan.
Al-fallas
berkata, “Ada yang mengatakan, dia ditikam pada malam dua puluh satu Ramadhan
dan wafat pada malam dua puluh empat dalam usia 58 atau 59 tahun.
Ada yang
mengatakan, dia wafat dalam usia 63 tahun. Itulah pendapat yang masyhur,
demikian di tuturkan oleh Muhammad bin al-Hanafiyah, Abu Ja’far al-Baqir, Abu
Ishaq as-Sabi’i dan Abu Bakar bin Ayasy. Sebagian ulama lain mengatakan, wafat
dalam usia 63 atau 64 tahun. Diriwayatkan dari Abu Ja’far al-Baqir, katanya,
“wafat dalam usia 64 tahun.”
Masa
kekhalifaan Ali bin Abi Thalib lima tahun kurang tiga bulan. Ada yang
mengatakan empat tahun sembilan bulan tiga hari. Ada yang mengatakan empat
tahun delapan bulan dua puluh tiga hari.
Secara
umum prestasi Khulafa’ al-Rasyidin dalam hal perluasan wilayah, diawali pada
masa Abu Bakar dan mencapai titik tertingginya pada masa Umar dan relativ
berhenti pada masa Ali yang kekhalifaannya lebih banyak
diliputi
oleh banyak pertikaian internal sehingga tidak memungkinkan ekspansi lebih
jauh. Pada akhir satu generasi pasca Muhammad, inperium Islam telah membenteng
dari Oxus hingga Syrtis di Afrika sebelah Utara.
d) Akhir Pemerintahan Ali bin AbiThalib
Sebetulnya
tidak pernah ada suatu haripun, keadaan yang stabil selama pemerintahan Ali,
karena banyaknya hal-hal yang tidak sepengetahuan Ali telah terjadi, seperti
halnya di waktu beliau bersiap-siap hendak mengirim bala tentara untuk
memerangi Muawiyah, terjadilah suatu kelompok yang akan mengakhiri hidup
masing-masing dari Ali, Mu’awiyah dan Amr bin As. Kelompok tersebut terdiri
dari tiga orang khawarij, yang telah bersepakat hendak membunuh ketiga orang
peminpin itu pada malam yang sama. Seorang diantaranya bernama Abdurrahman ibnu
Muljam. Orang teersebut berangkat ke kufah untuk mmbunuh Ali. Yan seorang lain
bernama Barak ibnu Abdillah at-Tamimi. Orang ini pergi ke Syam untuk membunuh
Mu’awiyah , sedang yang satunya lagi yaitu Amr ibnu Bakr at-Tamimi berangkat ke
Mesir untuk membunuh Amr bin Ash.
Tetapi
diantara ketiga orang itu hanya Ibnu Muljam yang dapat membunuh Ali. Ibnu
Muljam membunuh Ali dengan pedang waktu beliau sedang shalat. Orang-orang yang
sedang shalat di masjid itu hanya mampu menangkap Ibnu Muljam ketika Ali sudah
terbunuh dan berpulang kerahmatullah.
Sedangkan Mu’awiyah dan Amr bin Ash selamat dari maut karena tikaman
yang diarahkan kepada Mu’awiyah ak membawanya pada kemtian dan Amr ibnu Bakar
salah dalam menikam orang , ia mengira Kharij ibnu Habib as-Suhami lah orang
yang akan dibunhnya yang dikiranya Amr bin Ash.
Dengan
demikian berakhirlah riwayat Ali, orang yang paling fashih, paling berani, dan
yang paling luas pengetahuannya di antara pengikut-pengikut Rasulullah SAW.
Dengan pulangnya Ali kerahmatullah habislah masa pemerintahan Khulafaur
Rasyidin. [8]
C.
Kesimpulan
Setelah Usman terbunuh Ali bin Abi Thalib pun ditunjuk sebagai
Khalifah keempat. Namun perjalanan kekhalifaan Ali tidaklah berjalan mulus,
karena munculnya banyak tekanan akibat pembunuhan Khalifah Usman bin Affan. Kebijakan
Ali bin Abi Thalib dalam rangka pemulihan stabilitas pemerintahan justru
kemudian memicu pemberontakan baru seperti penggantian Umaiyyah. Selanjutnya
dalam internal pasukan Ali sendiri muncul pemberontakan akibat adanya arbitrase
antara Ali dan Mu’awiyah, kelompok ini yang kemudian dikenal dengan Khawarij
yang di belakang hari mereka membunuh Ali
D.
Daftar Pustaka
[3] Fuad Mohat.
Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1988), h. 29
[4] . Muhamin, dkk. Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Cet.
2; Jakarta: Kencana 2007), h. 241
[5] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradapan Islam (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2009 ), h.110-111
[6] Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya
(Jakarta: Yayasan Penyelenggara/Penafsiran Al-Qur’an, 1971), h. 167
[7] Nurcholish Majid. Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah
Telaah Kritis Tentang Masalah keimanan
[8]
https//:perkembangan-islam-pada-masa-khalifah_74.html/
0 comments: