FILSAFAT ABAD 19 (POSITIVISME DAN MARXISME)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak orang yang mengenal
kata positif dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mengartikan positif sebagai
kata yang mengandung arti baik atau berguna. Sesuatu yang baik maka itu sesuatu
yang positif, begitu sebaliknya, jika sesuatu yang buruk maka sesuatu itu
dianggap negatif, yang merupakan lawan kata dari positif.
Dalam makalah ini akan dibahas
tentang positif yang artinya berbeda dengan arti yang biasa digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Kata positif pertama kali digunakan oleh August Comte
yang berperan penting dalam mengafirkan filsafat dan sains di Barat, dengan
memisahkan keduanya dari unsur agama dan metafisis, yang dalam kasus Comte
berarti mengingkari hal-hal non-inderawi.
Ada perbedaan makna positif
antara makna positif dalam kehidupan sehari-hari dan makna positif dalam
positivisme August Comte. Bagi orang awam, pasti belum mengetahui arti
positivisme, oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas tentang arti
positivisme, positivisme August Comte, apa pengaruh positivisme, dan yang
lainnya pada bab pembahasan.
Begitu juga dengan Marxisme menurut sejarahnya
Marxisme memiliki dua dimensi : pertama, sebagai teori ilmiah , kedua sebagai
proyek politik revolusioner , namun dalam kenyataanya kedua dimensi ini amatlah
sulit untuk dipisahkan, dan pemahaman Marxisme sebagai sebuah istilah, rasanya
tidak asing lagi saat ini, dan mungkin sebagian dari kita sudah mengenal
ide-ide dasar yang digagas oleh para nabi Marxisme, Karl Marx[1]
dan Frederick Engels[2]
, yang kemudian diteruskan oleh Stalin dan Lenin sehingga ide ini menyentuh
ranah politik dan ekonomi lebih luas[3]
. Dari para “jaguar” tersebut, menghasilkan bentuk dan asesoris yang
berubah-ubah pada penampilan Marxisme. Hal ini terjadi karena proses
penyesuaian dengan sosio kultur yang ada pada saat itu. Oleh karenanya,
Marxisme juga dikenal dengan istilah Marxisme Engelianisme, Marxisme Leninisme,
Marxisme Stalinisme namun, dari semua itu tetap menampilkan satu wajah dasar
asli, dengan asesoris yang berbeda Pondasi teori Marxisme terangkum dalam tiga
tema besar[4]:
Pertama adalah filsafat Materialisme, asas pokok filsafat ini, berdiri tegak di
atas landasan Materialisme dialektika dan Materialisme historis. Kedua, politik
ekonomi. Pembahasan yang paling urgen dalam masalah ini yaitu pandangan
meterialisme dalam teori nilai laba atau keutungan, beserta segala yang terkait
dengan hal itu; baik rentetan yang mempengaruhi kondisi sosial masarakat,
bahkan yang menyentuh dimensi agama dan. Ketiga; konsep ketatanegaraan dan
pendangan revolusi..jpg)
Hampir semua teori hasil kreasi manusia mempunyai landasan pengaruh historis, baik dari para pendahulunya ataupun generasi sesudahnya yang, kurang lebih merupakan implementasi estaveta dari satu bentuk ke bentuk lain dan, terkadang pengulangan total. Ide-ide pemikiran, filsafat dan bahkan ilmu sainstis pun merupakan mata rantai yang berkesinambungan dari waktu ke waktu[5]. Oleh kerena itu, melalui makalah ini akan dibahas bagaimanakah sebenarnya sketsa dasar dari ideologi Marxisme ini sehingga mampu berpengaruh di kancah dunia.
.jpg)
Hampir semua teori hasil kreasi manusia mempunyai landasan pengaruh historis, baik dari para pendahulunya ataupun generasi sesudahnya yang, kurang lebih merupakan implementasi estaveta dari satu bentuk ke bentuk lain dan, terkadang pengulangan total. Ide-ide pemikiran, filsafat dan bahkan ilmu sainstis pun merupakan mata rantai yang berkesinambungan dari waktu ke waktu[5]. Oleh kerena itu, melalui makalah ini akan dibahas bagaimanakah sebenarnya sketsa dasar dari ideologi Marxisme ini sehingga mampu berpengaruh di kancah dunia.
B. Rumusan Masalah
a.
Bagaimanakah pemikiran Positivisme?
b. Bagaimana pemikiran Marxisme?
BAB II
PEMBAHASAN
POSITIVISME DAN MARXISME
I.
POSITIVISME
A. Pengertian
Positivisme
Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah
dimaknai sebagai ’baik’ dan ’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif.
Pemahaman awam ini bukannya tanpa dasar, karena jika kita membaca, misalnya,
kamus saku Oxford kita akan menemukan ’baik’ dan ’berguna’ dalam daftar makna
untuk kata positive.[6]
Pada dasarnya positivisme
adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar
adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian
hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik
yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam
pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan
juga digunakan oleh Ibn al-Haytham dalam karyanya Kitab al-Manazhir. Sekalipun
demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat pertama kali
dilakukan Comte di abad kesembilan belas.
Adapun yang menjadi tititk tolak dari
pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual
dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan
“positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas
pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta
tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi)
ke masa depan.[7]
B. Biografi August Comte
Auguste Comte, yang bernama
lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier
Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee
Joffre dan Universitas Montpellier, Comte melanjutkan pendidikannya di Ecole
Polytechnique di Paris.[8] Masa pendidikannya di École Polytechnique dijalani selama dua tahun, antara
1814-16. Masa dua tahun ini berpengaruh banyak pada pemikiran Comte
selanjutnya. Di lembaga pendidikan ini, Comte mulai meyakini kemampuan dan
kegunaan ilmu-ilmu alam.
Pada Agustus 1817 Comte menjadi sekertaris, dan
kemudian menjadi anak angkat, Henri de Saint-Simon, setelah comte di usir dan
hidup dari mengajarkan matematika. Persahabatan ini bertahan hingga setahun
sebelum kematian Saint-Simon pada 1825. Saint-Simon adalah orang yang tidak mau
diakui pengaruh intelektualnya oleh Comte, sekalipun pada kenyataannya pengaruh
ini bahkan terlihat dalam kemiripan karir antara mereka berdua. Selama
kebersamaannya dengan Saint-Simon, dia membaca dan dipengaruhi oleh,
sebagaimana yang diakuinya, Plato, Montesquieu, Hume, Turgot, Condorcet, Kant,
Bonald, dan De Maistre, yang karya-karya mereka kemudian di kompilasi oleh
menjadi dua karya besarnya, the Cours de Philosophie Positive dan Systeme de
Politique Positive. Selama lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin
terpisah dari habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini
dirinya sebagai pembawa agama baru, yakni agama kemanusiaan.
Pada saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia
telah merencanakan publikasi karyanya tentang filsafat positivisme yang diberi
judul Plan de Travaux Scientifiques Necessaires pour Reorganiser la Societe
(Rencana Studi Ilmiah untuk Pengaturan kembali Masyarakat). Tapi kehidupan
akademisnya yang gagal menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul bukunya
kita bisa melihat kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial.
Secara intelektual, kehidupan Comte dapat
diklasifikasikan menjadi tiga tahapan. Pertama, ketika dia bekerja dan
bersahabat dengan Saint-Simon. Pada tahap ini pemikirannya tentang sistem
politik baru dimana fungsi pendeta abad pertengahan diganti ilmuwan dan fungsi
tentara dialihkan kepada industri. Tahap kedua ialah ketika dia telah menjalani
proses pemulihan mental yang disebabkan kehidupan pribadinya yang tidak stabil.
Pada tahap inilah, Comte melahirkan karya besarnya tentang filsafat positivisme
yang ditulis pada 1830-42.[9]
Auguste Comte meninggal pada
tahun 1857 dengan meninggalkan karya-karya seperti Cours de Philosophie
Possitive, The Sistem of Possitive Polity, The Scientific Labors Necessary for
Recognition of Society, dan Subjective Synthesis.
C.
Positivisme August Comte
Di antara karya-karyanya Auguste Comte, Cours
de Philosphie Possitive dapat dikatakan sebagai masterpiece-nya,
karena karya itulah yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat juga
dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya
Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan masyarakat, yaitu:
a. Pada zaman atau
tahap teologis, orang mengarahkan rohnya kepada hakekat “batiniah” segala
sesuatu kepada “sebab pertama” dan “tujuan terakhir” segala sesuatu. Jadi orang
masih percaya kepada kemungkinan adanya pengetahuan atau pengenalan yang
mutlak. Oleh karena itu orang berusaha memilikinya. Orang yakin bahwa
dibelakang tiap kejadian tersirat suatu pernyataan kehendak yang secara khusus.
Ada taraf pemikiran ini terdapat lagi 3 tahap, yaitu:
1. Tahap yang paling
bersahaja atau primitive, ketika orang menganggap bahwa segala benda berjiwa
(animisme).
2. Tahap ketika orang menurunkan kelompok-kelompok hal-hal tertentu seluruhnya
masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati, yang
melatarbelakangi sedemikian rupa sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki
dewa-dewa nya sendiri (politeisme).
3. Tahap yang
tertinggi, ketika orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu
tokoh tertinggi, yaitu dalam monoteisme.
b. Zaman yang kedua,
yaitu zaman metafisika, sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari
zaman teologis. Sebab kekuatan-kekuatan yang adikodrati atau dewa-dewa diganti
dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan pengertian-pengertian, atau
dengan pengada-pengada yang lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu
yang bersifat umum, yang disebut alam dan yang dipandang sebagai asal segala
penampakan atau gejala yang khusus.

c. Zaman positif
adalah zaman ketika orang tau bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai
pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun
pengenalan metafisis. Ia tidak lagi mau melacak asal dan tujuan terakhir
seluruh alam semesta ini atau melacak hakekat yang sejati dari segala sesuatu
yang berada dibelakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan
hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah
dikenal atau yang disajikan kepadanya, yaitu dengan pengamatan dan memakai
akalnya. Pada zaman ini akan tercapai “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan
dengan suatu fakta yang umum. Tujuan tertinggi pada zaman ini akan tercapai
bilamana segala gejala telah dapat disusun dan diatur dibawah satu fakta yang
umum saja.
Seperti yang telah dipaparkan
diatas, hukum dalam 3 zaman atau 3 tahap ini bukan hanya berlaku bagi
perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tiap orang
sendiri-sendiri. Misalnya, sebagai kanak-kanak oranng adalah seorang teolog,
sebagai pemuda ia menjadi seorang metafisikus dan sebagai orang dewasa ia
adalah seorang fisikus.[10]
Pada akhir
hidupnya, setiap individu berupaya untuk membangun agama baru tanpa teologi
atas dasar filsafat positifnya. Agama baru tanpa teologi ini mengagungkan akal
dan mendambakan kemanusiaan dengan semboyan “cinta sebagai prinsip, teratur
sebagai basis, kemajuan sebagai tujuan”.[11]
Sebagai istilah
ciptaannya yang terkenal altruism yaitu menganggap bahwa soal utama bagi
manusia ialah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain.[12]
D. Pengaruh
Positivisme
Positivisme yang
diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan intelektual abad sembilan belas.
Di Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart Mill, dengan antusias memerkenalkan
pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di Inggris yang mengapresiasi karya besar
Comte, diantaranya G.H. Lewes, penulis The Biographical History of Philosophy
dan Comte’s Philosophy of Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang
kemudian mengkritisi pandangan-pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli
paling berpengaruh pada abad sembilan belas; dan John Morley, seorang politisi
sukses. Namun dari orang-orang itu hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual
terpengaruh oleh Comte.[13]
Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam
pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte
terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain yang dipengaruhi
Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan
hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan
fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari pembaca pemikiran Comte yang
serius selama setengah abad pasca kematiannya. Karya besar Comte bagi banya
filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan wajib.
Namun Comte baru
benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang pada 1887 merupakan orang
pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di
universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte untuk dibaca oleh
mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation
into the study of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak
sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara umum.[14]
E. Kritik atas Positivisme
Dalam sejarahnya, positivisme
dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan
menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa
fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi
ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme
biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.[15]
Kritik juga dilancarkan oleh
Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini didasarkan atas dua hal,
ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang
digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo. Kritik
pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa
yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam
realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang
dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam
memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan
menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak
dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang
diteliti. Kritik kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif
yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya
populer di lingkaran politik tertentu.[16]
II. MARXISME
A. Munculnya
Marxisme
Ideology Marxisme muncul dari kreativitas pemikir Karl Marx dan Frederick
Engels, yang sangat setia menjembatani teori materialis Marxis dengan saintis.
Dari perspektif falsafi, pijakan pemikiran marxisme berdiri di atas materialis
ateistik, ketidak percayaan akan adanya tuhan, kontradiksi dengan yang diyakini
oleh agamawan, teori aliran idealisme obyektif maupun idealisme subyektif dan
bahkan bertentangan juga dengan mazdhab mastaniyyah[17].
Dalam pandangan Marxis, materi adalah tuhan itu sendiri, tiada yang
mempunyai kekuatan dalam penciptaan kecuali materi. Marxisme adalah
Materialisme. Maksudnya, Marxisme dimulai dengan ide bahwa materi adalah esensi
dari semua realitas, dan materilah yang membentuk akal, bukan sebaliknya.
Kesemuanya itu sangat terpengaruh oleh ideologi Hegel[18]dan
juga Feurbach [19].
Dari adopsi keduanya mengasilkan produk marxisme komunis yang berdiri di
atas teori pokok materialis dialektik yang menyatakan bahwa, materi lebih dulu
ada dari akal supranatural. Hanya materilah yang merupakan esensi awal pencipta
dari segenap wujud, kemudian berevolusi menggunakan teori hukum dialektika
internal menuju kehidupan nabati, berevolusi lagi menuju kehidupan hewani,
kemudian insani dan, pada akhirnya menciptakan karya terbesar yang mampu
membedakan manusia dengan wujud lain, terciptalah logika. Bermula dari materi
dan berhenti pada titik ahir logika untuk saat ini [20].
Kembali ke akar permasalahan bahwa Karl Marx bukan mendatangkan teori
filsafat murni baru, akan tetapi merupakan estaveta mata rantai dari teori
Hegel dan Feurbach [21].
Bahkan kalau kita membuka lembaran sejarah, akan kita temukan bahwasannya teori
yang menyatakan materi adalah pencipta, telah ada pada jaman filsafat yunani
kuno yang menyatakan bahwa unsur dasar materi penciptaan adalah air, tanah, api
dan udara [22].
Bukan hanya dari falsafat pendahulu teori Marxis muncul, lebih dari itu
bahkan dalam sudut pandang materialis, penafsiran akan sejarah peradaban
manusia merupakan danpak dari ekonomi material dan menghasilkan sengketa
konflik dua realita sosial, masarakat borjuis dan proletarian. Pada umumnya
Marxisme muncul mengambil bentuk dari tiga akar pokok, Salah satu dari akar itu
ialah analisis Marx tentang politik Perancis, khususnya revolusi borjuis di
Perancis tahun 1790-an, dan perjuangan-perjuangan kelas berikutnya diawal abad
ke-19. Akar lain dari Marxisme adalah apa yang disebut ‘ekonomi Inggris’, yaitu
analisis Marx tentang sistem kapitalis seperti yang berkembang di Inggris. Akar
ketiga dari Marxisme, yang menurut catatan sejarahnya merupakan titik permulaan
Marxisme, adalah ‘filsafat Jerman’. Dari analisa Marx menyatakan bahwa “Bukan
kesadaran sosial yang menentukan kenyataan sosial, melainkan kenyataan sosial
yang menentukan kesadaran.” Senada dengan yang dikatakan Angels “Pikiran tidak
menciptakan materi, namun materilah yang menciptakan pikiran.” Makanya untuk
mengerti dan mendefinisikan sebuah filfasat, teori ataupun ideologi, menurut
Marxis perlu menganalisis “kenyataan sosial” yang merupakan dasar filsafat
tersebut. Marxisme mewakili pertentangan yang sistematis dan fundamental dengan
idealism[23]
dalam segala bentuknya, dan perkembangan Marxisme mencerminkan suatu pemahaman
materialis tentang apa yang tengah terjadi dalam realitas (kenyataan). Jelasnya
Marxis terlahir sebagai wujud pembelaan pada kaum buruh yang tertindas kapitaslis.
Pendek kata, Marxisme adalah teori untuk seluruh kelas buruh secara utuh,
independen dari kepentingan jangka pendek dari berbagai golongan sektoral,
nasional, dan lain-lain. Atau dengan kata lain Marxisme terlahir dari
perlawanan dan perjuangan kelas buruh melawan sistem kapitalis, dan juga
mewujudkan opsesi kemenangan gerakan sosialis. Maka Marxisme bertentangan
dengan oportunisme politik, yang justru mengorbankan kepentingan umum seluruh
kelas buruh demi tuntutan sektoral dan/atau jangka pendek. Hal itu adalah dasar
pijakan muncul gerakan ini, namun benarkah teori awal tujuan gerakan Marxisme
sesuai dengan realita dan cita Marx sesungguahnya? Bagaimana sejarah mencatan
adakah kesesuaian antara cita ideologi dengan usaha realita? Sialahkan anda
yang menjawab itu semua.
B. Materi Dalam
Tinjauan Marxisme
Membahas Marxisme tidak luput dari pembahasan materi, karena ideologi
Marxisme itu sendiri berdiri di atas teori Materialisme dialektika dan
Materialisme historis. Kesemuanya itu dapat terangkum dari beberapa poin
penting:
1. materi lebih
dulu ada dari pada ruh spiritual atau logika. Materi yang menciptakan pikiran
dan segala sesuatu yang dikatakan berasal dari pikiran (misalnya ide-ide
tentang seni, hukum, politik, moralitas, dan sebagainya bahkan agama), hal-hal
ini pada kenyataannya berasal dari dunia material. ‘Akal’, yaitu pikiran dan
proses berpikir, adalah sebuah produk dari otak; dan otak itu sendiri, yang
berarti juga ide-ide, muncul pada suatu tahap tertentu dari perkembangan materi
hidup. Jadi, akal adalah produk dari dunia material[24],
hal ini jelas kontaradiksi dengan aliran idealism[25].
2. Tatasurya bukan
merupakan kreasi cipta tuhan. Maka tiada kata tuhan pencipta alam dalam kamus
materialis.
3. Alam semesta
tidak memerlukan kekuatan keluar dari kebiasaan alam dan kekuatan yang
mengaturnya di luar alam itu sendiri, dengan begitu, alam materi mengatur
dirinya sendiri melalui proses revolusi tanpa henti, proses ini tertuang dengan
hukum-hukum alam saintis empiris. Dan proses evolusi ini juga terjadi pada
tatanan sosial masyarakat.
Lantas adakah perbedaan antara Materialisme Marxisme dengan teori
Materialis klasik “hylozois” (dari bahasa Yunani, yang berarti “mereka yang
percaya bahwa materi itu hidup) ? Pernyataan penting yang diajukan oleh para
Marxisme bahwa, Materialisme Marxis barbeda jauh dengan bentuk Materialisme
klasik. Marx dan Engels sendiri memberikan catatan kesalahan pada ideologi
material klasik.
1. Teori Materialisme
klasik tidak berlandaskan kebenaran ilmu kimia dan biologi.
2. Teori revolusi
klasik tidak manembus dimensi hidup secara total, namun hanya mencakup dalam
proses revolusi materi belaka.
3. Paham Materialisme
klasik tidak memahami manusia sebagai kumpulan dari hasil hubungan sosial, akan
tetapi memahaminya sebatas pemahaman yang abstrak, dan tidak obyektif [26].
C. Dialektika
Materialis
Para Materialisme Marxis berupaya keras untuk menemukan dalil logika, guna
memperkuat pemahaman yang menjelaskan kenyataan bahwa benda-benda, kehidupan,
dan masyarakat, berada dalam keadaan bergerak dan perubahan yang konstan. Dan
bentuk logika itu, tentu saja adalah dialektika 16. Dalam istilah Marx,
dialektika diartikan sebagai ilmu hukum pergerakan, baik di alam realitas
empiris, ataupun dalam ide pikiran manusiawi. Bisa diartikan dialektika secara
sederhana adalah logika gerak, atau logika pemahaman umum dari para aktivis
dalam gerakan. Kandungan dari hukum dialektika itu sendiri tersusun dari tiga
hal, secara singkat adalah:
1. Hukum perubahan
(transformasi) kuantitas menjadi kualitas dan vice versa.
2. Hukum penafsiran
mengenai yang berlawanan (interpenetration of opposites)
3. Hukum negasi
dari negasi
Ketiga-tiganya dikembangkan oleh Hegel dengan gaya idealisnya sebagai
sekedar hukum-hukum pikiran: yang pertama
1. (dalam bagian
pertama karyanya Logic) dalam Doktrin mengenai Keberadaan (Being),
2. (mengisi seluruh
bagian kedua dan bagian yang paling penting dari Logic) Doktrin mengenai
Hakekat (Essence), dan akhirnya,
3. Merupakan hukum
fundamental bagi rancang-bangun seluruh sistem itu.
Kesalahannya teori Hegel menurut Marxis terletak pada kenyataan bahwa
hukum-hukum itu disisipkan pada alam dan sejarah sebagai hukum-hukum pikiran,
mengembalikan kesemuanya pada pikiran, simpelnya, Hegel berpandangan
mengembalikan realitas pada pikiran, dan pikiranlah yang menciptakan realitas.
Itu terjadi karena Hegel adalah seorang idealis[27].
Beda halnya dalam pandangan Marxis bahwasannya gerak logika merupakan duplikat
alam riil, bukan sebaliknya sebagai mana pendapat Hegel[28].
Oleh karenanya seorang materialis selalu berusaha mencari penjelasan bukan
hanya tentang ide-ide, melainkan juga tentang gejala-gejala material itu
sendiri, dalam hal sebab-sebab material. Dan ini adalah aspek yang sangat
penting dari Marxisme, yang secara tegas menolak metode-metode pemikiran dan
logika yang telah mapan dalam masyarakat idealis (feer dengan kapitalis).
Kemudian Angels meletakkan teori-teori Marx dalam bingkai ilmu pengetahian
sains.
a.
Hukum transformasi dari kuantitas menuju kualitas dan
vice versa.
Sebelum memasuki penjelasan hukum di atas, sebaiknya kita memahami terlebih
dahulu bahwa perubahan dalam marxis terbagi dalam dua bentuk,
1. Perubahan irtiqoi,
yaitu perubahan yang terjadi dikarenakan adanya penambahan atau pengurangan
kapasitas-kuantitas secara gradual pada sesuatu.
2. Perubahan stauri,
yaitu peralihan dari perubahan kuantitas secara gradual menuju perubahan
kualitas dari sesuatu, atau dengan kata lain revolusi bentuk ke bentuk lain
yang baru, yang lebih sempurna.
Dari penjelasan pembagian tersebut bisa memberikan gambaran pada kita bahwa
yang dimaksudkan perubahan bentuk oleh Marxis adalah transformasi dari
kuantitas menuju kualitas dan kebalikannya. Dua model perubahan tersebut
merupakan proses penting berkaitan dengan teori evolusi materi, sosial, bahkan
pemikiran ide.
Hukum ini menyatakan bahwa proses-proses perubahan gerak di alam semesta
tidaklah perlahan (gradual), dan juga tidak setara. Periode-periode perubahan
yang relatif gradual atau perubahan kecil selalu diselingi dengan
periode-periode perubahan yang sangat cepat perubahan semacam ini tidak bisa
diukur dengan kuantitas, melainkan hanya bisa diukur dengan kualitas.
Penjelasan rinci yang dimaksudkan dalam teori revolusi kuantitas menjadi
kualitas adalah bahwa dalam materi dengan suatu cara yang secara tepat
ditetapkan untuk setiap kasus individual, perubahan-perubahan kualitatif hanya
dapat terjadi oleh penambahan kuantitatif atau pengurangan kuantitatif dari
materi atau gerak (yang dinamakan energi).
Masing-masing materi yang kapasitas kualitatifnya berbeda, berlandaskan
pada perbedaan-perbedaan komposisi (susunan) kimiawi atau pada kuantitas-
kuantitas atau bentuk-bentuk gerak (energi) yang berbeda-beda atau hampir pada
kedua-duanya (kualitatif dan kualitatif). Oleh karena itu tidak memunginkan
mengadakan perubahan kualitas suatu materi kecuali menambah/ mengurangi materi
atau gerak, yaitu tanpa perubahan sesuatu yang bersangkutan itu secara
kuantitatif [29].
Agak rumit memang memahami teori ini tanpa diiring contoh yang jelas. Sebagai
contoh temperatur suhu air, pertama-tama sesuatu yang tidak ada artinya dalam
hubungan likuiditasnya, betapapun dengan peningkatan atau pengurangan suhu air
cair (hanya perubahan kuantitatif), akan tetapi ada suatu titik di mana keadaan
kohesi ini berubah dan air itu diubah menjadi uap atau es [30]
(perubahan ke kualititatif).
Bukan hanya saintis dialektika digunakan, namun Marxisme menggunakan teori
logika ini lebih luas lagi, perkembangan species pun menggunakan teori ini di
mata mereka, sampai-sampai teori ini menjadi motor dalam benak yang merubah
kondisi masyarakat dari sistem yang terbelakang (kacau balau) menuju sistem
sosialis, revolusionis. seperti peralihan dari sistem feodal menuju kapital,
dan dari kapitalis menuju sosialis [31].
b.
Hukum interpenetration of opposites
Teori hukum dialektika yang satu ini secara cukup sederhana bisa diartikan
bahwasannya proses-proses perubahan revolusi terjadi karena adanya kontradiksi-kontradiksi
karena konflik-konflik yang terjadi di antara elemen-elemen yang berbeda, yang
melekat dalam semua proses alam materi maupun sosial. Mungkin perlunya
dipaparkan tentang yang maksud kontradiktisi dalam pendangan Marxis terbagi
menjadi tiga hal.
1. Kontradiktif dalam
satu hukum. Mustahil dua hal yang berlawanan sama-sama benar dan sama bohong
dalam satu tempat dan waktu. Oleh karena itu hanya satu dari kontradiktisi itu
yang dibenarkan, dan yang lain disalahkan (bohong). Saya ateis dan saya juga
bukan ateis.
2. Kontradiksi internal,
kontradiksi terjadi antara satu komponen dengan komponen yang lain dalam satu
perangkat kesatuan. Lenin mancontohkan dengan kutub selatan dan utara pada gaya
hukum magnetic [32].
Atau min-plus pada arus listrik.
3. Kontradiksi eksternal.
Maksudnya perbedaan antara sesuatu dengan yang lain memiliki perbedaan hakekat.
Seperti matahari dan tumbuhan [33].
Dua bentuk kontradiksi di atas (internal dan ekternal) memainkan peran yang
sangat penting dalam perjalanan teori revolusi. Tipe kedua dikatakan primer dan
yang ketiga dikatakan sekunder.
Sebagai contoh dari hukum interpenetration of opposites adalah energi
elektromagnetik, menjadi bergerak akibat dorongan positif dan negatif atas satu
sama lain, eksistensi kutub utara dan kutub selatan. Hal-hal ini tidak bisa
eksis secara terpisah (sendiri-sendiri). Mereka eksis dan beroperasi justru
akibat kekuatan-kekuatan yang bertentangan satu sama lain (- dan +) yang ada
dalam sistem. Hal yang serupa bahwa setiap masyarakat saat ini terdiri atas
elemen-elemen berbeda yang bertentangan, yang bergabung bersama dalam satu
sistem, yang membuat mustahil bagi masyarakat apapun, di negeri manapun untuk
tetap stabil dan tak berubah. Metode dialektis hukum ke dua ini
mengidentifikasi (mengenali) kontradiksi-kontradiksi ini dan dengan demikian
berarti mempelajari serta menyingkap secara mendalam perubahan internal yang
sedang terjadi. Beda halnya dengan hukum pertama[34]
yang menyingkap tentang rahasia peralihan kualitatif pada sesuatu.
c.
Hukum negasi dari negasi.
‘Negasi’ dalam hal ini secara sederhana berarti gugurnya sesuatu, kematian
suatu benda karena ia bertransformasi (berubah) menjadi benda yang lain.
Sebagai contoh, perkembangan masyarakat kelas dalam sejarah kemanusiaan
menunjukkan negasi (gugurnya) masyarakat sebelumnya yang tanpa-kelas. Jadi,
hukum negasi dari negasi secara sederhana menyatakan bahwa seiring munculnya
suatu sistem (menjadi ada/ eksis) baru, maka ia akan memaksa sistem lainnya
yang lama untuk sirna (mati) digantikan oleh sistem yang baru tersebut. Tetapi,
ini bukan berarti bahwa sistem yang kedua (yang baru) ini bersifat permanen
atau tak bisa berubah. Sistem yang kedua itu sendiri, menjadi ter-negasi-kan
akibat perkembangan-perkembangan lebih lanjut dan proses-proses perubahan dalam
masyarakat. Karena masyarakat kelas telah menjadi negasi dari masyarakat
tanpa-kelas, negasi dari negasi. Bisa di katakan bahwa hukum negasi dari negasi
dihasilhan sebagai solusi dari baberapa hal yang berlawanan dan bertentangan,
urgensi pentingnya hukum ini adalah mampu menciptakan dan menafsirkan perubahan
bentuk ke yang lebih baik, dan bentuk inipun tidak menutup kemungkina akan berubah.
Contoh studi kasus sosial ekonomi, adanya bentuk sistem kapitalis
mengharuskan lenyapnya sistem buruh iduvidual dalam penguasaan pengaturan
produksi. Berkuasanya kapitalis manghilangkan kepemilikan kaum buruh kecil.
Kemudian datang sosialis memberangus pengusaan kapitalis dalam
perindustrian dan mengembalikan pengaturan produksi pada kaum buruh dalam
bentuk bersama, bukan kepemilikan secara perindividu. Hal itu tertera di dalam
Manifesto Komunis, Marx menjelaskan bagaimana buruh harus membebaskan dirinya
sendiri. Ia menulis, “langkah pertama dalam revolusi yang dilaksanakan oleh
kelas buruh adalah dengan menaikkan posisi proletariat itu ke dalam posisi
kelas yang memerintah, untuk memenangkan perjuangan demokrasi.” Bagi Marx, isu
kuncinya adalah kekuasaan politik buruh. Para buruh harus menempatkan industri
di tangan negara. Tapi negara ini adalah negara mereka (kelas buruh).
Negara itu tidak lebih atau kurang daripada “proletariat yang
mengorganisasi diri sebagai kelas yang memerintah”. Maka dari sinilah
kapitalisme tergeser.
Tiga hukum dialektika ini telah memberikan pengaruh besar pada gerakan
Marxisme dan kemudian menjelma dalam cakupan besar, skala negara, untuk
dijadikan landasan dalam keputusan publik. Namun teori ini banyak mendapatkan
kritikan sana-sini, bahkan diantara para ilmuan Marxis itu sendiri. Seperti
teori dalektika Marxis yang menyatakan bahwa setiap sesuatu yang kontradiktif
kompetitif senantiasa akan menghasilkan hal yang baru sebagai soslusi dari dua
hal berlawanan tersebut, kita dapat dengan mudah menemukan hal yang
kontradiktif tersebut, namun timbul pertanyaan yang membuat para Marxime
menggelengkan kepala dan mengerutkan dahi untuk mencari jawaban dari
pertanyaan, apa yang menyebabkan terjadinya konflik dari dua hal yang berlawanan
tersebut? Apa yang mengharuskan Marxisme untuk menyatakan secara pasti bahwa
produk dari dua hal yang kontradiksi tersebut adalah lebih baik? Kekuatan apa
yang memberikan materi mati untuk berenergi? Kenyataannya para Marxis masih
belum menemukan jawaban memuaskan untuk dirinya sendiri dan lawan teorinya.
Dari Isaac Newton misalnya, yang telah meneliti hukum-hukum mekanik, gerakan
planet, dan benda-benda planet, memutuskan bahwa tenaga penggerak awal
diberikan kepada semua materi, dan bahwa dorongan awal ini ditentukan oleh
semacam kekuatan supranatural, yaitu oleh Tuhan. Masih banyak lagi kritik akan
teori dialektika Marxis ini, baik dari tinjauan ilmu pengetahuan maupun teologi
agama dan kenyataan sosial itu sendiri, yang saya kira tidak perlu pembahasan khusus
diluar lembaran ini secara panjang lebar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa August Comte merupakan seorang yang menggunakan positivisme
pertama kali sebagai sebuah filsafat pada abad ke Sembilan belas. Menurutnya,
positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan
yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal, yang faktual
dan positif, sehingga metafisika ditolaknya.
Menurut August Comte,
perkembangan pemikiran manusia berlangsung tiga tahap, yaitu tahap teologis,
tahap metafisis, dan tahap ilmiah atau positif. Dalam hukum 3 zaman atau 3 tahap ini bukan hanya
berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi
tiap orang sendiri-sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Asmoro
Achmadi.2010. Filsafat Umum. Rajagrafindo Persada: Jakarta
Brewer, Anthony. ” Kajian Kritis DAS KAPITAL KARL MARX
, CV. ADIPURA , Jakarta 1999
Dr. ‘Abdul
Mun’im al Hafni,. Mausu’ah al Filsafat wa al Falasifah, , hal: 1206
Dr. Saiyid Abdul Tawwab Abdul Hadi., Marxisiyyah wa
Mauqif Al Islam minha, hal: 5
Dr. Jamaluddin Husain ‘Afifi, . Adhwa’ ‘ala
Filsafat al Islamiyyah fi al ‘Ashri al Washith, hal: 4
Dr.
Harun Hadiwijono.1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2.
Kanisius:Yogyakarta
Fakih, Mansour , “ runtuhnya teori Pembangunan dan
globalisasi “,Yogyakarta Insist press, 2005.
Hashem, “agama marxist dan asal usul atheisme dan
fenomena kapitalis “, Surabaya,Yayasan Nuansa cendekia, 2001.
Held, David dan Giddens, Anthony ,” perdebatan klasik
dan kontemporer mengenai Kelompok, Kekuasaan dan konflik”,Jakarta, CV Rajawali
1982
Ir. Soekarno. “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”
dalam Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: Departemen Penerangan.1964. pp. 1-23
Mandel, Ernest ,
“tesis-tesis pokok Marxisme “,Yogyakarta Nailil printika, 2006.
Muzairi,
M. Ag.2009.Filsafat Umum.Teres:Yogyakarta
Ritzer ,george.
“ Teori Sosiologi Modern “. Jakarta : Prenada Media. 2004.
Suar Suroso: MARXISME SEBUAH KAJIAN, Dinyatakan Punah,
Ternyata Kiprah, Jakarta : Hasta Mitra.2009, hal. vii – xvi.
Thoriq Haji., Afkar
Marxisiyyah fil al Mizan, hal: 22
Wahid
situmorang, Abdul, “Gerakan Sosial” . Yogyakarta : pustaka pelajar.
2007.
SUMBER INTERNET
Dikutip dari : http://taufandamanik.wordpress.com/2010/07/28/psikologi-massa-wacana-kolektif-dan-perubahan-sosial/
Dikutip
dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism
[1] Karl Marx, Yahudi Jerman, dilahirkan di
Tafeuz tahun 1818 dan meninggal tahun 1883, selengkapnya lihat Mausu’ah al
Filsafat wa al Falasifah, Dr. ‘Abdul Mun’im al Hafni, hal: 1206
[2] Frederick Angel, lahir tahun 1820 di
Babarman Jeman dan meninggal tahun 1890, dari keluarga Kapitalis, lihat
lengkapnya: Mausu’ah al Filsafat wa al Falasifah, Dr. ‘Abdul Mun’im al Hafni.
hal: 195
[5] Adhwa’ ‘ala Filsafat al Islamiyyah fi al
‘Ashri al Washith, Dr. Jamaluddin Husain ‘Afifi, hal: 4
[7] Asmoro Achmadi.2010. Filsafat Umum. Rajagrafindo
Persada: Jakarta. Hal. 119
[10] Dr. Harun Hadiwijono.1980. Sari Sejarah Filsafat
Barat 2. Kanisius:Yogyakarta. Hal.
[11] Asmoro Achmadi.2010. Filsafat Umum. Rajagrafindo
Persada: Jakarta. Hal. 121
[12] Pringgodigdo, (Ed.), cit., hlm. 42
[17] Akar pokok perbedaan landasan pikiran,
aliran idealisme menyatakan bahwa ruh lebih dulu ada dari pada materi,
sedangkan aliran mastaniyyah mengatakan bahwa antara ruh dan materi tidak ada
satu sama lain mendahului, berbeda halnya dalam pandangan materialis,
menyatakan bahwa materi lebih dulu ada dari pada ruh. Masing-masing pandangan
yang berbeda ini menghasilkan cabang persepsi yang berbeda pula dalam menyikapi
akan adanya Tuhan dan seterusnya.
[18] Hegel, Filosof Jerman (1831-1770), Satu
dari sekian filosof yang paling berpengaruh ide pemikirannya dalam sejarah
manusia. selengkapnya lihat Mausu’ah al Filsafat wa al Falasifah, Dr. ‘Abdul
Mun’im al Hafni, hal: 1496
[19] Ludwing Andreas Feurbach (1872-1804),
filosof Jerman, kritikus agama Nashrani dan semua agama keseluruhan.
Selengkapnya lihat Mausu’ah al Filsafat wa al Falasifah, Dr. ‘Abdul Mun’im al
Hafni, hal: 1049
[20] Karena dalam pandangan Marxisme bahwa
perubahan tidak mengenal kata akhir, Al Marxisiyyah wa al Islam, Dr. Mushthofa
Mahmud. hal: 35
[22] filosof yang pertama tercatan dalam sejarah
adalah Tholes (546-624 SM), menyatakan bahwa air adalah materi pertama pencipta
(‘illatul ‘ula). Lihat : Allah wa al ‘Alam wa al Insan, ‘Inda Falasifah Yunani,
Dr. Jamalluddin Husain ‘Afifi, ,hal: 20
[23] Idealisme maksudnya adalah aliran filsafat, lawan
Marxisme. Dalam makna filosofis, idealisme memiliki akar dari pandangan bahwa
dunia ini hanyalah cerminan dari ide, pikiran, roh atau, lebih tepatnya Ide,
yang hadir sebelum segala dunia ini hadir. Benda-benda material kasar yang kita
kenal melalui indera kita, menurut aliran ini, hanyalah salinan yang kurang
sempurna dari Ide yang sempurna itu. Para pendukung filsafat ini yang paling
konsisten sepanjang sejarah kuno adalah Plato. Walau demikian, ia bukan
merupakan pencipta idealisme, yang telah lahir sebelum jamannya.
[25] Menurut pendekatan idealis (mastaliyyah), perkembangan
umat manusia dan masyarakat – baik seni, ilmu pengetahuan, dll. – ditentukan
bukan oleh proses material, melainkan oleh perkembangan ide-ide, oleh
penyempurnaan atau turun-temurunnya pemikiran manusia. Dan bukanlah kebetulan
belaka bahwa pendekatan umum ini, dinyatakan atau tidak, ternyata menyelubungi
semua filsafat kapitalisme
[26] Hal ini terjadi dikarenakan perbedaan sudut
pandang dalam teori berfikir, kalau filosof kuno menggunakan manthiq qadhim
yang hanya mengandalkan logika semata, dan ini jelas penuh campur tangan asumsi
pribadi. Sedangkan filosof pertengahan dan kontemporer lebih didominasi dengan
gaya manthiq hadist. Marxisiyyah wa Mauqif Al Islam minha, Dr. Saiyid Abdul
Tawwab Abdul Hadi, hal: 9
[27] Titik-berangkat Hegel: bahwa jiwa, pikiran,
ide, adalah primer dan bahwa dunia real hanyalah sebuah salinan (copy) dari ide
itu. Titik inilah yang menurut para Marxisme keberangkatan yang sama sekali
salah, namun herannya Marxisme tetap mengadopsi hukum dialektika Hegel, ini
terjadi dikarenakan menurut Engels hanya dia yang mampu memaparkan kebenaran
gambaran-gambaran individual hukum dialektika dari alam dan sejarah dengan
jelas dan kongkrit.
[29] Ide Marxisme ialah bahwasannya akan
senantiasa ada periode-periode perubahan gradual yang diselingi dengan
periode-periode perubahan tiba-tiba
[31] Hal tersebut menunjukkan lompatan-lompatan kualitatif
dalam perkembangan sosial; tetapi perubahan itu muncul sebagai akibat akumulasi
kontradiksi-kontradiksi kuantitatif dalam masyarakat
[32] Tipe kontradiksi ke dua ini (internal)
memiliki dua tuntutan konsekwensi. Pertama: dua sisi yang kontratiktif menuntut
eksistensi satu sama lain. Cantoh adanya maksimal dan minimal. Kedua:
kontradiktisi kompetitif dan saling perlawanan keduanya senantiasa berlanjud,
hingga manghasilkan revolusi membentuk yang baru.
[33] Kontradiksi eksternal sedikit berbeda
dengan kontradiksi internal, perbedaannya adalah kontradiksi ekternal tidak
menuntut hilangnya satu harus menghilangkan yang lain.
0 comments: