REFLEKSI HIJRAH 1433 Prof. Dr. H. Saeful Anwar, MA.
REFLEKSI HIJRAH 1433
Prof. Dr. H. Saeful Anwar, MA.[*]
بسم الله الرّحمن الرّحيم
الحمد لله ربّ العالمين، أشهد أن لا
اله الا الله الملك الحقّ المبين، وأشهد أنّ محمّدا عبده ورسوله الصّادق الوعد الأمين، اللّهمّ صلّ وسلّم على سيّدنا محمّد
وعلى آله وصحبه والتّابعين له باحسان الى يوم الدّين أجمعين، قال الله تعالى في
القرآن الكريم، أعوذ بالله من الشّيطان الرّجيم
(لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجوالله واليوم الآخر وذكر
الله كثيرا)، رضيت بالله ربّا وبالاسلام
دينا وبمحمّد نبيّا ورسولا.
Tepat panda hari Ahad 27 November
2011 M, umat Islam sedunia memasuki tahun baru Islam, 1 Muharram 1433 H. Dalam
rangka memasuki tahun baru ini selayaknyalah kita melakukan refleksi terhadap
makna, proses dan esensi dari hijrah Rasulullah Saw dan para Sahabat
dari Makkah ke Yatsrib (Madinah) yang menjadi dasar perhitungan kalender Islam
tersebut, untuk membantu menemukan soluasi yang tepat terhadap problem yang
kita hadapi kini dan di masa depan.
Sesuatu yang dijadikan pangkal
hitungan tahun kalender oleh setiap komunitas di dunia ini pastilah sesuatu
yang dipandang mempunyai arti dan posisi yang strategis dan fundamental bagi
komunitas tersebut. Karena itu peristiwa hijrah bagi umat Islam
mempunyai makna dan nilai yang sebanding misalnya dengan makna dan nilai
kelahiran Yesus bagi umat Nasrani yang menjadikannya sebagai pangkal tahun
kalender Masehi. Dalam sejarah tercatat bahwa yang pertama kali menetapkan
tahun kalender Islam adalah Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab sehubungan dengan
kebutuhan administrasi pemerintahan. Dalam rapat kabinet Khilafat muncul
beberapa ide : ada yang mengusulkan kalender Romawi yang dimulai sejak masa
Alexander, ada yang mengusulkan kalender Persia yang dimulai setiap kali
pergantian rezim, ada yang mengusulkan hari pengangkatan Nabi Muhammad SAW
sebagai Nabi, dan ada yang mengusulkan hari hijrah-nya Nabi dan para
Sahabat dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Menanggapi ide-ide ini Khalifah ‘Umar
ibn al-Khattab memutuskan, “Kita tetapkan tahun kalender tersebut berdasarkan hijrah
Rasul, sebab hijrah itu merupakan batas pemisah antara haqq
(kebenaran) dan kebatilan. Mereka menyepakati hal itu dan sepakat dimulai dari
bulan Muharram. (Ibn al-Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, Beirut : Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1407 H/1987 M, I, 12-13).
Bangsa Arab sendiri sudah memiliki tahun kalender pra-Islam. Bani
Ibrahim memulai tahun kalendernya sejak peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim
sampai pembangunan Ka’bah oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il a.s. Kemudin Bani
Isma’il memulainya lagi dari masa pembangunan Ka’bah sampai mereka menyebar ke
berbagai kawasan, di mana setiap kelompok yang keluar dari Tihamah menjadikan
hari keluarnya sebagai pangkal hitungan tahun, sedang yang tetap tinggal di Tihamah
menghitungnya sejak keluarnya Sa’ad, Nahd dan Juhainah dari Tihamah sampai
wafatnya Ka’ab ibn Lu’ay, kemudian dimulai lagi sejak wafatnya Ka’ab ibn Lu’ay
sampai hari Gajah, kemudian dimulai lagi dari hari Gajah sampai ditetapkannya
kalender Islam atau Hijriyah
oleh Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab pada tahun 17 atau 18 Hijriyah.
Fakta bahwa Khalifah ‘Umar ibn
al-Khattab dan kabinetnya tidak memilih tahun kalender Romawi, Persi, Arab,
kelahiran Nabi atau kebangkitannya menjadi Nabi, melainkan hijrah Nabi
dari Makkah ke Madinah itu, menunjukkan makna seperti ditunjuk Khalifah ‘Umar
ibn al-Khattab sendiri, yaitu bahwa hijrah merupakan tonggak strategis
dalam proses kebangkitan Islam dan kehidupan muslim, sebagai pemisah antara era
jahili (batil) dan era islami (haqq). Hal ini terlihat lebih
jelas dalam sirah Rasul yang memperlihatkan lima fase harakah
(gerakan) Islam, yaitu : (1) fase dakwah tertutup dan tanzhim
(organisasi) tertutup, (2) fase dakwah terbuka dan tanzhim tertutup, (3)
fase pendirian Negara Madinah, (4) fase pengukuhan dan pembangunan Negara
Madinah, dan (5) fase fath dan falah (kemenangan dan kesuksesan
dengan tersiarnya Islam di bumi).
Di tengah dominasi sistem, struktur
dan kultur jahili yang demikian kuat selama berabad-abad, Rasul
berdakwah secara rahasia selama 3 tahun sejak turunnya wahyu pertama (Q.S. 96 :
1-5) di Gua Hira sampai turunnya Q.S. 15 : 94 yang menginstruksikan agar Rasul
berdakwah secara terbuka. Pada fase ini hanya beriman 9 orang, yaitu Siti
Khadijah, Abu Bakar Shiddiq, ‘Ali ibn Abi Thalib dan Zaid ibn Haritsah,
kemudian ‘Utsman ibn ‘Affan, Zubair ibn ‘Awwam, ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf, Sa’ad
ibn Abi Waqqash dan Thalhah ibn ‘Ubaidillah, baru kemudian para Sahabat lain
yang termasuk “kelompok 60” dari berbagai suku, laki-laki-perempuan, tua-muda, kaya-miskin, bangsawan-jelata dan merdeka-hamba
sahaya.
Pada fase kedua yang berjalan 7 tahun
(4 – 10 Nubuwwah), dakwah terbuka ternyata menimbulkan reaksi keras
terutama dari kalangan elite penguasa agama, politik dan ekonomi musyrikin
Makkah, di mana minoritas muslim menderita aneka macam teror dan intimidasi
sejak cara yang lunak sampai kepada yang paling kejam : bunuh, bui dan buang.
Yasir dan anaknya, ‘Abdullah, tewas dipanggang api, sedang isterinya, Samiyyah,
sesudah diangkat dari panggang api dan ditelanjangi bulat-bulat, dibawa ke
padang pasir, kemudian ditelentangkan dan kemaluannya ditusuk dengan tombak
hingga tewas, dan anaknya yang lain, ‘Ammar ibn Yasir, sesudah dilepas dari
panggang api harus memakai baju besi di tengah terik matahari setiap hari.
Bilal dan Abu Fakihah, masing-masing diikat lehernya dan ditarik ke sana ke
mari oleh anak-anak sebagai mainan, kemudian di padang pasir ditelentangkan di
atas pasir panas di bawah terik matahari yang menyengat dan dadanya digencet
dengan batu besar. Mereka berdua bersama ‘Amir ibn Fuhairah dan saudarinya,
Hamamah, Ummu Unais dan puterinya, Nahdiyah dan puterinya, Labibah dan
Zunairah, adalah kaum budak yang disiksa setiap hari sampai ditebus dan
dimerdekakan oleh Abu Bakar. Abu Bakar sendiri ketika berdakwah di masjid
al-Haram dikeroyok, dibanting dan diinjak-injak tubuhnya dengan sepatu berpaku
sampai pingsan dan nyaris tewas sehingga digotong ke rumah oleh kerabatnya. Ibn
Mas’ud yang membaca ayat al-Qur’an di masjid al-Haram, dan Abu Dzar al-Ghiffari
yang membaca Syahadatain di masjid yang sama, dikeroyok sehingga pulang
berlumur darah. ‘Utsman ibn ‘Affan, Zubair ibn ‘Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqqash
dan Khalid ibn Sa’id adalah sample mereka yang disiksa kemudian diusir
oleh keluarganya. Khabbab ibn al-Aritti diikat pada tiang yang dikelilingi
kobaran api, kemudian punggung dan kepalanya distrika dengan besi menyala.
Mash’ab ibn ‘Umair ditangkap dan dipasung terus-terusan dengan berbagai siksaan.
Mereka semua dan banyak Sahabat lain yang menderita hal serupa, merupakan
tumbal-tumbal dan saksi-saksi kebenaran yang tidak mungkin dapat dihapus dari
lembaran sejarah dunia.
Kegagalan missi ‘Utbah ibn Rabi’ah
membawa hasil rapat parlemen Darun Nadwah, baik missi pertma yang menawarkan
harta, tahta dan wanita kepada Nabi asalkan Nabi menghentikan dakwahnya, maupun
missi kedua yang menawarkan konsep toleransi dalam ibadah, dan missi ketiga
yang mengusulkan agar al-Qur’an diganti dengan yang lain yang tidak menyinggung
“warisan nenek moyang dan keperibadian asli bangsa” yang musyrik, dengan dalih
demi persatuan dan kesatuan nasional Makkah, mendorong mereka untuk tidak saja
menghina Nabi, tapi juga meningkatkan teror dan intimidasi terhadap umat Islam,
sehingga 15 dari 121 orang berhijrah ke Abessinia (Habsyah) selama 3 bulan. Di
Makkah sendiri gerakan dakwah terus berkobar dan kian hari makin banyak yang
masuk Islam, sehinga teror dan intimidasi makin menghebat, dan Darun Nadwah
memutuskan “Gerakan Tutup Kuping” yang diberlakukan kepada seluruh rakyat untuk
tidak mendengarkan al-Qur’an dan memperolokkan Nabi dengan cara menuntut
hal-hal yang mustahil. Karena berbagai cara itu pun tidak berhasil membendung
arus masuk Islam, apalagi memurtadkan umat Islam dari agamanya, Darun Nadwah
memutuskan, “Muhammad harus dibunuh dengan tanggungjawab semua suku”. Tetapi
karena Bani Hasyim dan Bani Muthallib selain Abu Lahab dan keluarganya
melindungi dan menjaga Nabi setiap hari dan malam di kamp Bani Hasyim, akhirnya
Darun Nadwah memutuskan pemboikotan dan isolasi total terhadap Nabi, Bani
Hasyim, Bani Muthallib (selain Abu Lahab dan keluarganya), dan seluruh umat
Islam dengan undang-undang yang dimulai dengan kalimat “Bismika Allahumma
…” dan disakralkan serta disimpan di dalam Ka’bah. Menghadapi situasi gawat
seperti ini, Nabi menginstruksikan agar umat Islam segera berhijrah lagi ke
Habsyah sehingga mereka berhijrah kedua kali ke Habsyah sebanyak 101 orang (83
laki-laki dan 18 perempuan), sedang Nabi sendiri bersama Bani Hasyim, Bani
Muthallib dan 81 muslim lainnya (52 laki-laki dan 29 perempuan) menjalani
pemboikotan dan isolasi total selama 3 tahun di kamp Bani Hasyim, di mana
mereka harus makan dedaunan dan mengganjal perut dengan batu karena kelaparan.
Meskipun mereka dibebaskan pada tahun 10 Nubuwwah, tetapi pada tahun ini
pula dua tulang punggung Nabi, Siti Khadijah dan Abu Thalib, meninggal dunia,
sehingga intimidasi makin merajalela. Pada “tahun kesedihan” (‘am al-hazn)
ini Nabi mencoba mencari jalan keluar ke Tha’if. Tetapi di sini pun dakwah
menghadapi jalan buntu, sehingga Nabi yang dilempari batu bersama Zaid ibn
Haritsah terpaksa pulang dengan merangkak berlumur darah. Dengan Isra’-Mi’raj
memang Rasul terhibur menyaksikan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah.
Tetapi beliau pun harus menyampaikan peristiwa yang tak terjangkau akal ini
kepada umatnya, dan mereka sendiri sesudah menderita ujian-ujian keimanan
berupa penyiksaan-penyiksaan fisis, diuji secara mental-psikhis apakah masih
mau juga membenarkan berita Rasul yang dituduh “majnun” (orang gila) itu
mengenai hal yang tak terjangkau akal tersebut ?
Fase ketiga, Hijrah,
atau proses pembentukan negara, adalah masa transisi dan puncak kegentingan.
Dengan memanfaatkan musim haji, pada tahun 11 Nubuwwah 6 orang dari Yatsrib
masuk Islam. Tahun berikutnya masuk Islam lagi 12 haji dari Yatsrib, dan
terjadilah “Bai’at ‘Aqabah Pertama”yang sering disebut “Bai’at Wanita”,
yaitu untuk : (1) tidak musyrik, (2) tidak mencuri, (3) tidak berzina, (4)
tidak membunuh anak, (5) tidak melakukan tuduhan-tuduhan keji dan (6) tidak
akan mendurhakai Rasul. Sepulangnya mereka ke Yatsrib, Islam berkembang pesat
dan nama Muhammad menjadi populer di Yatsrib. Karena itu tahun berikutnya (13 Nubuwwah)
terjadi lagi “Bai’at ‘Aqabah Kedua” yang sering disebut “Bai’at
Laki-Laki” atau “Bai’at Perang”. Bai’at yang sangat penting dan
menentukan dari 75 orang (73 laki-laki dan 2 perempuan) dari suku Khazraj dan
Aus ini dilakukan sangat tertutup, yaitu tengah malam di bukit ‘Aqabah, Mina,
yang hanya dihadiri oleh mereka, Nabi, Abu Bakar dan Ali, ditambah ‘Abbas paman
Nabi yang masih kafir. Akibatnya, Islam segera tersebar ke berbagai pelosok
Yatsrib, sehingga tidak ada satu rumah pun yang tidak termasuki ruh Islam.
Melihat gerak-gerik Nabi dan fenomena yang “membahayakan” ini, dan karena
pembocoran rahasia Bai’at ‘Aqabah Kedua oleh Iblis kepada penguasa
Musyrikin Makkah, intimidasi mereka terhadap Nabi dan umat Islam di Makkah
makin mengganas. Melihat realitas politik yang gawat ini, Rasul
menginstruksikan agar umat Islam segera berhijrah ke Yatsrib secara diam-diam
di malam hari. Mereka pun berhijrah. Rombongan pertama dipimpin Abu Salamah,
rombongan kedua dipimpin ‘Umar ibn al-Khattab, dan rombongan ketiga dipimpin
Hamzah ibn ‘Abd al-Muthallib, kemudian individu-individu yang berceceran.
Puncak kegentingan terjadi ketika
Darun Nadwah memutuskan kebulatan tekad nasional yang disepakati seluruh suku
Arab Makkah untuk mengeksekusi Nabi pada tengah malam yang ditentukan dengan 11
pasukan eksekutor pilihan yang sudah ditetapkan. Nabi pun, sesudah diberi tahu
oleh Jibril perihal rencana jahat kafir
itu dan perihal izin Allah untuk berhijrah, mengatur siasat. Siang hari itu
beliau menemui Abu Bakar untuk mengatur siasat hijrah, dan sesudah
menyiapkan dua kendaraan yang diserahkan kepada ‘Abdullah ibn Uraiqith, gaid
bayaran professional yang musyrik, yang harus menjemput dan berangkat dari
tempat dan pada hari yang ditentukan, beliau pulang. Sejak waktu ‘Isya, malam
27 Shafar 13/14 Nubuwwah (12/13 September 622 M), para eksekutor sudah
mengepung rumah Nabi. Dalam situasi terkepung ini Nabi menginstruksikan agar
Ali tidur di tempat tidur Nabi dengan
selimut Nabi. Sesuai skenario yang sudah dibuat, Nabi segera lolos menerobos
barikade eksekutor tanpa kelihatan menuju rumah Abu Bakar, dan keduanya
berangkat menuju gua di puncak gunung Tsur. Di gua Tsur mereka berdua bersembunyi
3 hari 3 malam (malam Jum’at, Sabtu dan Ahad), di mana dua anak Abu Bakar,
‘Abdullah dan Asma’, serta mantan hamba sahayanya, ‘Amir ibn Fuhairah,
melaksanakan tugas masing-masing. ‘Abdullah sebagai intelligen berangkat setiap
sore ke puncak gunung ke gua Tsur melaporkan perkembangan situasi dan tiba
kembali di rumah sebelum subuh. Asma’, yang sedang hamil tua, harus berangkat
selepas magrib dari kota Makkah menuju kaki gunung Tsur sepanjang + 7,5
km, dan mendaki ke puncak gunung Tsur sepanjang + 2 jam perjalanan kaki
sekali jalan, dengan jalan batu berkelok-kelok dalam keadaan gelap-gulita dan
membawa makanan untuk Nabi dan Abu Bakar, dan harus sudah tiba di rumah sebelum
subuh. ‘Amir ibn Fuhairah setiap pagi dan siang hari mengerahkan kambing gembalaannya
untuk menghapus jejak Nabi, Abu Bakar, ‘Abdullah dan Asma’ di sepanjang jalan
dari kota Makkah ke kaki gunung Tsur. Tetapi dengan usaha maksimal itu pun,
akhirnya tetap saja ratusan tentara dan garda Makkah yang disebar dengan
iming-iming hadiah 100 ekor unta bagi siapa saja yang membawa Muhammad hidup
atau mati atau menunjukkan tempat persembunyiannya, banyak yang sampai ke
gerbang gua, memeriksa ke sana ke mari, memanjat batu gua dan berdiri di
atasnya. Melihat mereka sudah berada di mulut gua, bahkan ada yang kencing di
situ menghadap mulut gua, Abu Bakar menangis tersedu, bukan karena takut
dirinya binasa, tapi takut Nabi dibunuh. Di saat itu Nabi meneguhkan jiwa Abu
Bakar dengan berkata : “la takhaf wa la tahzan inna Allaha ma’ana”
(Jangan takut dan jangan bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita). Jika
bukan karena mukjizat dengan ditutupnya pintu gua dengan sarang laba-laba dan
adanya burung merpati, tentu kedua orang mulia itu binasa dan Islam tidak
tersiar sehingga dunia tetap gelap-gulita. Sesudah situasi perburuan mereda,
Nabi dan Abu Bakar berangkat dari gua dengan dua kendaran yang dipandu gaid
musyrik itu pada malam Senin, 1 Rabi’ul Awwal 1 Hijriyyah/16 September 622 M,
sampai di Quba 8 Rabi’ul Awwal 1 H/23 September 622 M, menetap di sini 4 hari
dan mendirikan masjid Quba. Pada hari kelima, hari Jum’at, Nabi bergerak menuju
Yatsrib. Setelah melakukan shalat Jum’at pertama di kampung Bani Salim, beliau
masuk ke Yatsrib 12 Rabi’ul Awwal 1 H dengan mendapat sambutan gegap-gempita.
Para Sahabat Muhajirin dan Anshar yang sudah lama menunggu dan khawatir Nabi
dibunuh, kini bergembira antara menangis dan bersorak-sorai menyanyikan nasyid
“Thala’al Badru ‘Alaina …”. Dengan masuknya Rasul ke Yatsrib,
dibangunnya Masjid Nabawi dan dideklarasikannya Konstitusi (Piagam) Madinah,
berubahlah nama Yatsrib menjadi “Madinah” untuk selama-lamanya.
Dengan berdirinya Negara Islam
Madinah, sirah Rasul memasuki fase keempat, fase pengukuhan dan
pembangunan negara, di mana umat Islam hidup di era Madaniyyah, era
kemerdekaan, sesudah 13 tahun tertindas di era Makkiyyah, era
keterjajahan. Tetapi Makkah segera menghasut minoritas musyrikin Madinah untuk
memberontak, dan menghambat muslim Madinah untuk ‘umrah ke masjid
al-Haram. Oleh karena itu Madinah pun membalasnya dengan menghambat jalur
dagang Makkah menuju Siria, sampai terjadi perang Badar al-Kubra,
Ramadlan 2 H. Dalam perang penentuan yang tidak seimbang ini, 313 tentara Islam
menghadapi 950 tentara musyrik, Nabi menjerit memohon bantuan kepada Allah SWT,
“Ya Allah, tolonglah kami, tolonglah kami, andaikan kami ini binasa, Engkau
tidak akan melihat lagi seorang manusia pun di muka bumi ini yang
menyembah-Mu”. Allah SWT pun menurunkan tentara langit sebanyak 1.000 malaikat
untuk membantu tentara Islam, sehingga mereka beroleh kemenangan besar. (Q.S. 3
: 123-127, 8 : 9-19). Tetapi beberapa minggu
kemudian kaum sparatis Yahudi Bani Qainuqa’ hampir berhasil membunuh Nabi,
sehingga Nabi menumpasnya. Makkah pun segera muncul lagi untuk menggempur Madinah,
sehingga Nabi menghadangnya di Uhud tahun 3 H. Baru saja menderita kekalahan
dalam perang Uhud, Nabi pun harus menumpas gerakan sparatis Yahudi Bani Nadlir
tahun 4 H serta gerakan-gerakan sparatis lain sampai perang Ahzab menghadapi
kekuatan multi nasional, di mana Madinah diguncang dari luar dan dalam dan
dikepung dari berbagai jurusan. (Q.S. 33 : 9-22), kemudian menumpas sparatis
Yahudi Bani Quraizhah yang bersama Yahudi Bani Nadlir mengotaki kekuatan multi
nasional dalam perang Ahzab 5 H itu.
Dengan terciptanya stabilitas politik
dalam negeri, sirah Rasul memasuki fase kelima, fase jihad
politik (diplomasi) dan kemenangan, sejak perjanjian Hudaibiyyah dengan Makkah
tahun 6 H, yang dilanjutkan dengan dakwah internasional ke Kaisar Romawi, Kisra
Persi, Gubernur Mesir dan negara-negara lain, perang Khaibar menggempur Yahudi
tahun 7 H, perang Mu’tah, Jamadil Ula 8 H/September 629 M, di mana 3.000
tentara Islam menghadapi + 200.000 tentara Romawi yang professional,
sampai futuh Makkah 17 Ramadlan 8 H, di mana Rasul membawa 10.000 umat
Islam Madinah memasuki Makkah tanpa perlawanan berarti, dan ribuan penduduk
Makkah berbondong-bondong masuk Islam. Kemudian perang Hunain dan Tha’if
menghadapi kekuatan musyrikin yang tersisa, sampai dengan perang Tabuk,
Rajab-Ramadlan 9 H, di mana Rasul memimpin 30.000 tentara Islam menghadapi
Romawi meskipun Romawi tidak berani muncul. Setelah melakukan haji Wada’
bersama sekitar 130.000 umat Islam yang merepresentasikan seluruh penduduk
Jazirah Arabia tahun 10 H, di mana turun ayat al-Qur’an yang menegaskan
kesempurnaan Islam dan bahwa ia adalah agama yang diridlai Allah SWT (Q.S. 5 :
3), dan Rasul menyampaikan khutbah Wada’ (perpisahan), beliau wafat pada
hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal 11 H dalam usia 63 tahun 4 hari, setelah selesai
menunaikan risalah-nya selama + 23 tahun, dan memikulkan amanah
penyebaran Islam ke seluruh dunia sebagai rahmat bagi alam semesta ke pundak
para penerusnya.
Dari proses sirah Rasul di
atas dapat disimpulkan bahwa hijrah, yang tersebut dalam al-Qur’an tidak
kurang dari 80 kali itu, esensinya adalah mencabut diri dari aqidah, fikrah,
prilaku dan realitas jahili untuk mencemplungkan diri ke dalam aqidah,
fikrah, prilaku dan realitas islami guna mengubah realitas jahili menjadi
realitas islami dengan niat yang ikhlas dan cara yang benar sesuai al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw dengan
segala resiko dan hasilnya.
Rasulullah Saw kini telah tiada, dan
tidak akan ada lagi seorang rasul dan nabi pun sampai akhir zaman, dan Rasul tidak
meninggalkan warisan apa-apa kepada kita selain al-Qur’an dan al-Sunnah yang,
seperti ditegaskannya sendiri dalam khutbah Wada’, kita tidak akan
tersesat jalan selama berpegang teguh pada keduanya. Kalaulah kita ingin
mencapai fatah dan falah berupa ridla Allah SWT serta
kejayaan Islam dan umatnya seperti yang dicapai Rasul dan para Sahabat dulu,
serta ingin hidup bersama mereka (Nabiyyin, Shiddiqin, Syuhada’ dan Shalihin)
di sorga nanti, kita mesti memiliki tujuan seperti yang mereka miliki dan
menempuh proses seperti yang mereka temph, yakni mentaati Allah dan Rasul-Nya,
di mana Rasul dijadikan uswah hasanah dalam segala aspek kehidupan (Q.S.
33 : 21), dengan keyakinan bahwa yang di-taklif-kan kepada kita bukan
terhasilkannya tujuan, tapi menempuh proses pencapaian tujuan itu dengan niat
yang ikhlas dan cara yang benar sebagai ibadah kepada Allah SWT. Hasil juang
tanpa perjuangan adalah nihil, perjuangan tanpa resiko mustahil, dan perjuangan
yang menghalalkan segala cara kriminil. Kita pegang erat al-Qur’an dan
al-Sunnah, baik mengenai materi ajaran Islam maupun metodologi dan proses
penegakannya. Sabda Rasul Saw:
لتتبعن سنن من كان قبلكم حذو القذة بالقذة حتي لو دخلوا في جحر ضب لدخلثموه قالوا يا رسول الله اليهود
والنصاري؟ قال فمن؟ (متفق عليه)
Seorang tokoh Salaf menegaskan :
لن يصلح أمر آخر هذه الأمة الا بما صلح به أوله
Pola sistem, struktur dan kultur
sosial serta pola watak manusia-manusia pelakunya, baik yang haq di satu
pihak maupun yang batil di pihak lain, tidak berubah sepanjang sejarah
sebagai sunnatullah yang tak akan pernah berubah sampai bubarnya alam ini.
Yang berganti hanyalah satuan individu dan nama pemainnya. Nuh versus kaumnya
yang kafir, Ibrahim versus Namrud, Musa versus Fir’aun, Haman dan Qarun, Isa
versus Yahudi yang dengki, dan Muhammad versus Musyrikin Makkah dan Persia
serta Ahli Kitab Madinah dan Romawi, adalah para pemain di masa lampau. Peran
yang dimainkan umat Muslimin, umat Musyrikin dan umat Ahli Kitab sejak zaman
Nabi menghadapi Makkah dan Persia serta Romawi, masa al-Khulafa’ al-Rasyidun,
Bani Umayyah dan Bani ‘Abbas menghadapi Musyrikin Asia sampai Bagdad jatuh ke
tangan Mongol 656 H/1258 M, dan menghadapi gempuran-gempuran Ahli Kitab Eropa
sampai Sevilla dan Cordova jatuh di abad yang sama (1236 M) dan Granada jatuh
1492 M, sampai dunia Islam termasuk Nusantara dilanda badai imperialisme Ahli
Kitab Eropa abad 16-20 M dan imperialisme canggih (nekolim) Ahli Kitab Eropa
dan Amerika hingga kini, sementara Musyrikin Uni Soviet, Cina dan Jepang tidak
kalah represifnya, dan sisa-sisa kekuatan sosialis pasca kehancuran Uni Soviet
membayang-bayangi, semua itu memperlihatkan dengan jelas benang merah
pertarungan antara haq dan batil sepanjang sejarah yang membentuk
rumus konflik atau kompetisi “Tiga Segi”, yaitu umat Musyrikin dan Ahli Kitab
senantiasa konflik satu sama lain, tetapi segera bersatu dalam bersama-sama
menghadapi umat Islam, dengan posisi yang paling keras kebencian dan
permusuhannya terhadap umat Islam adalah berturut-turut : Yahudi, kemudian
Musyrikin, dan yang paling dekat simpatinya adalah umat Nasrani selama komit
kepada agamanya dan tidak terkontaminasi kibr dan hubbuddunya
Yahudi dan Musyrikin (Q.S. 5 : 82), dan umat Islam akan senantiasa menang
kecuali ketika mengidap penyakit “wahn”, yaitu hubbuddunya wa
karahiyyat al-maut atau ditusuk dari dalam oleh kaum munafik. Oleh karena itu
dalam setiap konflik antar negara, seperti kasus Palestina-Israel,
India-Pakistan (soal Kashmir), Eriteria, Cyprus, Bosnia dan lainnya, PBB yang
didominasi Ahli Kitab dan Musyrikin selalu memihak pihak non-muslim, dan dalam
setiap konflik vertikal di berbagai negara, seperti Sudan Selatan, Filipina
Selatan, Timor Timur, RMS, Gerakan Papua Merdeka dan lainnya, negara-negara
Barat selalu berada di belakang pihak non-muslim.
Pasca pembubaran Khilafat Turki
Usmani 1924 dengan tangan Musthafa Kemal, seorang anggota Freemasonry, setiap
kali muncul usaha pembangunan kembali Khilafat atau negara nasionalis islami
atau apa yang dari kaca mata Ben Gurion, tokoh Yahudi, dilihat sebagai
“Muhammad-Muhammad Baru” yang akan mempersatukan dunia Islam dan mengalihkan konflik
internal sesamanya kepada Barat, segera ditumpas dan dibantai. Di Mesir, Hasan
al-Banna, ‘Abd al-Qadir ‘Audah, Sayyid Qutb dan beberapa tokoh al-Ikhwan
al-Muslimun lainnya dibunuh dan partainya dibubarkan sesudah Presiden Muhammad
Najib digulingkan tahun 1950-an oleh Jamal ‘Abdul Naser yang sosialis sekuler
dengan bantuan Barat dan kemudian Uni Soviet. Di Indonesia, Masyumi dibubarkan
tahun 1960 dan para tokohnya dipenjara oleh rezim Orde Lama yang sosialis
sekuler di bawah pengaruh RRC dan Uni Soviet, dan di sepanjang rezim Orde Baru
di bawah pengaruh Barat (sejak sekitar 1970-an) ditekan seumur hidup atau
sampai usia senja sekitar 1990-an. Di Arab Saudi, Raja Faisal pembentuk Rabithah
‘Alam Islami, pemimpin embargo minyak Timur Tengah terhadap Barat dan
pejuang iptek islami Arab Saudi masa depan, dibunuh melalui tangan
keponakannya. Khumaeni pemimpin revolusi Islam Iran digempur selama 10 tahun
(1979-1989) dengan tangan Saddam Husein yang sosialis sekuler. Di Pakistan,
Presiden Ziya ul Haq dibunuh bersama beberapa pejabat tinggi dan tentara
seniornya di pesawat yang ditembak jatuh (1988), dan Jama’at Islami-nya Maududi
dilumpuhkan. Di Sudan, pemerintahan Ja’far Numaeri akhir digulingkan hanya karena
ia mendekritkan berlakunya syari’at Islam di Sudan sesudah bertaubat
(berhijrah) dari sosialisme dan kapitalisme. Di Turki, Perdana Menteri Erbakan
dari Partai Islam Refah pemenang Pemilu 1995 dijatuhkan 1997. Di Aljazair,
Partai FIS (Front Islamique Solut) pemenang Pemilu 1999 dibubarkan dan
tokoh-tokohnya dipenjara. Pemerintahan Taliban di Afganistan dihancurkan oleh
agresi militer AS dan NATO sejak Oktober 2001 dan Usamah ibn Laden yang dicap
sebagai “gembong teroris” dijadikan buronan sampai dibunuh di Pakistan 2 Mei
2011, sebagaimana Abu Bakar Ba’asyir dicap “teroris” dan terus ditekan. Di
Iraq, pemerintahahan Saddam Husein pun
dihancurkan oleh agresi militer AS dan sekutunya sejak 20 Maret 2003 karena
dianggap melindungi “teroris”, dan Saddam pun dibunuh di tiang gantungan 30
Desember 2006. Di Libya, Mu’ammar Qaddafi ditekan seumur-umur sampai
pemerintahannya dihancurkan dengan agresi militer NATO sejak Juni 2011 dan
Qaddafi sendiri dibunuh 20 Oktober 2011. Di Indonesia, Soeharto dan Habibi pun
digulingkan, bukan hanya karena Soeharto pasca berakhirnya “Perang Dingin” Ahli
Kitab versus Musyrikin dengan kehancuran pihak Musyrikin 1989-1990 muncul
sebagai pemimpin “Negara-negara Non-Blok/Dunia Ketiga”, tapi terutama karena ia
bersama Habibi dengan ICMI-nya, seperti terlihat dalam GBHN 1993, telah
berhasil menyatukan kubu nasionalis islami dan kalangan kebangsaan yang netral
agama di Indonesia dalam format “Negara Kebangsaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa”, serta telah siap melakukan pembaharuan radikal dan memasuki era
kebangkitan nasional kedua menyaingi Barat dalam teknologi canggih. Fenomena
spektakular ini bukan hanya dilihat oleh Barat dengan kacamata Ben Gurion-nya,
tapi juga oleh seluruh dunia. Secara kebetulan, dalam taksi dari ‘Aziziyah
menuju Masjid al-Haram 17 tahun yang lalu (1994), beberapa intelektual Mesir
menyapa, “Oh, inta Andunisi ?” (Oh, anda orang Indonesia ?). “Aiwah,
esyfi ?” (Ya, betul, ada apa ?), penulis bilang. “Indonesia bagus,
Indonesia bagus”, jawab mereka ramai. “Kenapa”, penulis tanya. Salah seorangnya
menjawab, “Kini seluruh dunia Islam berharap dan bergantung penuh kepada
Indonesia. Apabila Indonesia bisa bertahan seperti sekarang ini seluruh dunia
Islam akan bangkit, dan apabila Indonesia gagal seluruh dunia Islam akan
hancur”. “Kenapa begitu ?”, tanya penulis penasaran. “Karena hanya
Indonesia-lah yang akan bisa memimpin dunia Islam”, jawab mereka. “Oh tidak,
mestinya Timur Tengah, kan Timur Tengah pusat Islam dan kaya dengan minyaknya
?”, sanggah penulis lebih penasaran. Mereka menjawab ramai, “Tidak, hanya
Indonesia-lah yang akan mampu memimpin dunia Islam bersaing dengan Barat, sebab
Indonesia punya Habibi”.
Islam, sesuai namanya sendiri seperti
ditunjuk Marcel A. Boisard sewaktu masih menjadi Nasrani dalam L’Humanisme
de L’Islam (Humanisme dalam Islam), adalah agama penyerahan mutlak
kepada Allah dalam keharmonisan sesama manusia. Islam, meski menyatakan hanya
dialah agama yang benar dan diridlai Allah SWT (Q.S. 3 : 19, 85, 5 : 3), dan untuk itu ia siap diuji
kebenarannya secara ilmiah (Q.S. 2 : 23, 41 : 42, 52), sehingga harus
didakwahkan secara ilmiah pula, yaitu dengan hikmah, pitutur yang baik dan
dialog dengan yang lebih baik (Q.S. 16 : 125), ia tetap menegaskan toleransi
beragama di mana “Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama” (Q.S. 2 : 251, 10 : 99), dan menjadikan jihad perang
hanya untuk bela diri dan pengawal dakwah yang diarahkan terutama kepada elite
dan penguasa yang intoleran sehingga dakwah sampai ke dalam hati dan otak
manusia yang sebebas-bebasnya (a.l. Q.S. 2 : 190-193, 216-218, 22 : 39-40,
9 : 36, 85 : 8). Thomas W. Arnold
dalam The Preaching of Islam, telah memaparkan secara jujur sejarah
perjalanan dakwah Islam di dunia sepanjang masa. Islam, kata Syaltout dalam al-Islam
‘Aqidah wa Syari’ah, memegang perdamaian sebagai prinsip dasar, sedang
perang hanyalah tindakan darurat untuk mengatasi keadaan abnormal. Konflik tiga
segi yang melibatkan umat Islam sepanjang sejarah hanyalah karena keterpaksaan
oleh pihak lain yang alergi dan memandang umat Islam beragama Islam sebagai
perbuatan kriminal atau teroris yang harus dihukum sampai mereka murtad dari
agamanya atau mengikuti millah mereka. (Q.S. 2 : 105, 120, 217-218, 3 : 100).
Dalam konstelasi seperti ini, Rasul
bersabda :
أشدّ النّاس بلاء الأنبياء ثمّ الصّالحون
ثمّ الأمثل فالأمثل، ابتلي الرجل بحسب دينه، فان كان في دينه صلابة زيد له في
البلاء. (Manusia
yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang-orang saleh,
kemudian yang paling mirip dan yang lebih mirip. Seseorang diuji menurut kadar
keagamaannya. Maka apabila dalam keagamaannya terdapat keteguhan, ditambahlah
ujiannya). Ini disebabkan, semakin kuat intensitas keimanan seseorang
dengan berpegang teguh pada tauhid sebagai haq (kebenaran),
semakin kuat pula reaksi kebencian dan permusuhan dari pendukung kebatilan (kufur
dan syirik). Sebaliknya, makin lemah intensitas keimanan dan
komitmen seseorang pada haq/tauhid, makin melemah pula reaksi kebencian
dan permusuhan dari pihak kebatilan, sampai mereka bersatu pada derajat nol,
yaitu derajat facum, di mana sebenarnya kedua pihak sudah tidak lagi
berada di kawasan nilai-nilai etis-ideologis baik plus maupun minus, melainkan
berada di kawasan “nihilisme moral” di bawah payung filsafat
sophisme-relativisme yang meragukan atau merelatifkan segala sesuatu, atau
materialisme-naturalisme yang memandang manusia hanya semata-mata makhluk
fisis-biologis yang tidak memiliki dan tidak memerlukan nilai-nilai
etis-ideologis. Inilah kaum مذبذبين بين
ذلك لا الى هؤلاء ولا الى هؤلاء" ’”
(orang-orang skeptik di antara yang demikian, tidak ke sana dan tidak ke mari).
Atau ibarat hewan yang hidup hanya untuk makan, melakukan seksual dan memenuhi
tuntutan-tuntutan biologis lain secara hedonis. (Q.S. 45 : 23-24, 47 : 12). Filsafat model ini, kata Jamaluddin
al-Afgani dalam al-Radd ‘ala al-Dahriyyin, adalah bahaya laten yang
merusak peradaban dunia sepanjang masa. Dalam konteks ujian seperti ini Allah
SWT berfirman (Q.S. 29 : 1-3, 2 : 155,
214, 3 : 142).
Ujian memang bukan hanya dengan keburukan
(penderitaan) seperti di atas, terutama di era keterjajahan yang harus disikapi
dengan sabar, tapi juga dengan kebaikan terutama di era kemerdekaan
berupa perolehan harta yang melimpah, tahta yang megah dan wanita yang wah yang
harus disikapi dengan syukur. Panggung sandiwara kehidupan di dunia ini
sebagai “Dar al-Ghurur” (Negeri Tipuan/Jebakan) adalah fase ketiga dari
lima fase kehidupan yang pasti dialami semua manusia, yaitu Alam Arwah
dahulu, Alam Arham di perut ibu, Alam Dunia kini, Alam
Barzakh/Qubur sebentar lagi, dan Alam Akhirat nanti yang tak
berujung-kesudahan, yaitu alam kehidupan yang tetap dan abadi (Dar al-Qarar)
sebagai alam kehidupan yang sesungguhnya (al-Hayawan). Alam ketiga, alam
dunia ini, adalah “Forum Ujian” sementara yang hanya beberapa tahun saja, untuk
diseleksi mana manusia yang layak ditempatkan dalam sorga secara abadi dan mana
yang pantas ditempatkan dalam neraka secara sementara atau abadi. Allah SWT
berfirman (Q.S. 67 : 1-2). Kata Syaikh al-Fudlail ibn ‘Iyadl, yang dikutip Ibn
Taimiyyah dalam al-‘Ubudiyyah dan Ibn Rajab dalam Jami’ al-‘Ulum wa
al-Hikam, maksud “ أحسن عملا ” (yang paling baik amalnya) dalam
ayat tersebut adalah “أخلصه و أصوبه “ (yang paling ikhlas dan yang paling benar).
Sebab, kata beliau selanjutnya :
إنّ العمل إذا
كان خالصا ولم يكن صوابا لم يقبل، واذا كان صوابا ولم يكن خالصا لم يقبل، حتى يكون
خالصا صوابا، والخالص أن يكون لله، والصّواب أن يكون على السّنة.
(Sesungguhnya amal apabila
ikhlas/murni tetapi tidak benar tidak diterima, dan apabila ia benar tetapi
tidak ikhlas juga tidak diterima, sampai ia itu ikhlas dan benar. Ikhlas adalah
karena Allah, dan benar adalah sesuai dengan al-Sunnah).
Kita diuji dari dua segi, yaitu
keikhlasan tujuan dan kebenaran cara, baik dalam pemahaman ajaran Islam (ijtihad/tafaqquh)
maupun dalam pengamalannya (jihad/mujahadah) sebagai al-Shirat
al-Mustaqim (jalan lurus). Banyak yang telah lulus dengan sukses gemilang
(mencapai al-falah), yaitu para nabiyyin, shiddiqin, syuhada’ dan
shalihin sepanjang masa, tetapi banyak pula yang gagal sehingga
tergelincir dari al-Shirat al-Mustaqim itu, yang di akhirat pun akan
mengalami hal serupa, yaitu jatuh dari jembatan al-Shirat al-Mustaqim
yang membentang di atas neraka Jahannam ke bawah ke dalam neraka Jahannam.
Imam al-Syafi’i rahimahullah
telah mengingatkan dalam al-Risalah bahwa ijtihad merupakan ujian
bagi mujtahid sebagaimana ujian
dengan kewajiban-kewajiban lain, apakah ia ikhlas dalam ijtihadnya, yaitu semata-mata
mencari kebenaran untuk mencapai ridla Allah SWT, atau karena yang lain seperti
mencari kedudukan dan prestise, pesan sponsor dan lain-lain. Jika ikhlas,
apakah cara ijtihadnya benar sesuai metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, seperti ilmu Ushul Fiqh yang diciptakan al-Syafi’i
kemudian berkembang dan menjadi baku dalam khazanah intelektual muslim serta
teruji kebenarannya berabad-abad, atau ngawur tidak berdasar metodologi ilmiah
tertentu melainkan semata-mata mengukur ilmu, iradah, qudrah dan hukum
Allah dengan perasaan-perasaan subyektif pelaku atau pesan sponsor belaka, atau
berdasar terkaan-terkaan spekulatif laksana “dukun” karena ingin disebut “mujtahid”,
“modernis” atau “postmodernis” atau “teremansipasi” dengan Barat sehingga bisa
mendapat “carrot”. Apabila ijtihad memenuhi kedua syarat
tersebut, ikhlas dalam tujuan dan benar dalam cara, pelakunya mendapat dua
pahala jika hasilnya ternyata benar, dan mendapat satu pahala jika hasilnya
ternyata salah. Begitu pula para pengamal diuji apakah ikhlas tujuan amalnya
atau untuk kepentingan lain, seperti apakah hijrah-nya dari Makkah ke
Madinah karena Allah dan Rasul-Nya, atau karena dunia yang akan diperoleh dan
wanita yang akan dinikah. Begitu pula ber-thaharah, menutup ‘aurat,
shalat, zakat, shadaqah, infaq, puasa, haji, membaca al-Qur’an, khutbah,
tablig, dakwah, mengajar, belajar, menikah, berbisnis, menuntut, mengadili,
bersaksi, berpolitik, dan sebagainya. Kalau ikhlas, apakah cara melakukannya
benar sebagaimana dalam al-Qur’an dan Hadits shahih, atau salah seperti
karena mengikuti bid’ah, khurafat dan takhayul, atau karena
memang tidak mengakui syari’at Nabi Muhammad Saw dengan anggapan bahwa syari’at
yang dibawa Nabi adalah untuk awam yang dangkal, sedang dirinya yang “wali”
atau pengikut “wali” sudah melampaui derajat awam dan sudah mencapai “haqiqat”
(esensi), sehingga taklif dengan syari’at telah gugur daripadanya,
sehingga shalat, misalnya, cukup dengan “eling” saja dalam batin. Inilah faham
dan gerakan kebatinan sepanjang sejarah Islam terutama sejak abad 3 H/8 M yang
dimotori Yahudi sejak zaman ‘Abdullah ibn Saba’. Ini semua merupakan tantangan
yang menuntut kita untuk bergumul di empat medan : dunia ilmiah-filosofis,
dunia ideologis, dunia strategis, dan dunia praksis.
Dengan kehancuran di Khaibar,
sisa-sisa Yahudi ber-diaspora (menyebar ke mana-mana) termasuk yang
menyusup ke dalam tubuh umat Islam sebagai munafiq untuk menghancurkan
Islam dari dalam, sebagaimana Paulus telah berhasil menghancurkan Nasrani dari
dalam dan menggesernya ke dalam hermetisme (idealisme subyektif). ‘Abdullah ibn
Saba’, seorang tokoh intelektual dan politikus Yahudi yang munafik, bukan hanya
berhasil di jalur struktural menimbulkan konflik politik internal dunia Islam
berabad-abad sejak terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, tapi juga sukses di
jalur kultural memasukkan filsafat hermetisme ke dalam pemikiran Islam melalui
konsep hulul, inkarnasi Tuhan dalam diri ‘Ali ibn Abi Thalib,
sebagaimana inkarnasi Tuhan dalam diri Yesus dari Paulus. Ini kemudian berkembang
menjadi aliran dan gerakan Syi’ah Gulat dan Isma’iliyah/Bathiniyah yang di
jalur filsafat dikendalikan oleh para filosof Isma’ili seperti Ibn Sina dan
Ikhwan al-Shafa’, dan di jalur tasawuf dikendalikan oleh para tokoh sufi
batini, seperti Busthami dengan konsep ittihad-nya, al-Hallaj dengan
konsep hulul-nya, al-Hakim al-Tirmidzi dengan konsep khatam
al-auliya’-nya, dan Ibn ‘Arabi dengan konsep wahdat al-wujud-nya.
Banjir Ibn ‘Arabisme yang melimbas Gazalisme dan Averroisme (Ibn Rusydisme) dan
membuat merajalelanya sufisme dan tarekat heterodoks di dunia Islam pasca
kejatuhan Bagdad ke tangan Mongol terutama sejak abad 14 M, membuat dunia Islam
lumpuh total dalam lumpur hermetisme-neo-platonisme di mana ruh ijtihad
dan jihad mati. Sementara itu Eropa bangkit dengan dua sayap sekaligus.
Pertama, sayap kultural dengan renaissance abad 13-16, yang banyak
mengadopsi iptek Islam terutama Gazalisme, Averroisme dan Ibn Sinaisme, di mana
para filosof Yahudi seperti Maimun ibn Musa, dan Kristen seperti Thomas
Aquinas, William Ocham, Roger Bacon, Francis Bacon dan Rene Descartes, berperan
penting. Kedua, sayap struktural dengan politik penggusuran Islam dari Eropa,
sampai Granada, ibu kota kerajaan Islam terakhir di Spanyol, jatuh di akhir
abad 15 (1492 M). Tetapi “anak-anak” renaissance yang meninggalkan
hermetisme dan Kristen neo-platonik dan skolastik itu, bukan hanya menimbulkan
revolusi industri Eropa pada abad 17 M, tapi juga menciptakan filsafat baru,
naturalisme, yang menjadi matang di era aufklaruung abad 18-19 M, di
mana muncul materialisme Karl Marx dan positivisme Auguste Comte yang
dua-duanya Yahudi. Kedua sayap naturalisme (realisme ekstrim) inilah yang
dengan kemajuan ipteknya terutama dengan figur seperti Einstein yang Yahudi
membawa Barat (Eropa dan Amerika) ke puncak peradaban materialnya yang
mendominasi dunia hingga dewasa ini, di mana arus komunikasi dan informasi
mengalir dari Barat ke Timur termasuk dunia Islam. Bahkan banyak intelektual
muslim yang hanyut ke dalam naturalisme-positivisme yang secara ambivalen
mengaku beriman kepada Allah SWT dan alam gaib, tetapi menolak segala sesuatu
yang belum atau tak dapat dibuktikan secara empirik-sensual, sehingga efek-efek
transendental dan nilai-nilai keislaman, seperti ikhlas, sulit
masuk ke dalam sains (ilmu) mereka. Sementara itu tajdid (pembaharuan)
al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah yang terkurung berabad-abad dan baru
direaktualisasikan oleh Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Syah Waliyullah
al-Dahlawi, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad ‘Abduh, Muhammad Rasyid Ridla,
Muhammad Iqbal, Hasan al-Banna, Abu al-A’la al-Maududi, Isma’il Raji al-Faruqi
dan lainnya dari kalangan Sunni, serta Thabathaba’i, ‘Ali Sari’ati, Muhammad
Baqir al-Shadr, Husein Nasr dan lainnya dari kalangan Syi’i, belum berhasil
mengangkat kembali dunia Islam ke rel dualisme islaminya karena berbagai
kendala baik internal maupun eksternal. Di sini sebenarnya sedang terjadi
konflik tiga segi : Islam versus realisme ekstrim
(naturalisme-materialisme-sekularisme) dalam bentuk marxisme dan positivisme,
dengan sayap ideologi politik demokrasi dan diktatorismenya dan sayap ideologi
ekonomi kapitalisme dan sosialismenya, yang semuanya dimotori Yahudi, dan Islam
versus Hermetisme (idealisme subyektif) yang didukung Hindu-Budha dan Kristen.
Baik kubu idealisme subyektif maupun kubu realisme ekstrim sama-sama
dikendalikan Yahudi ibu kandung Dajjal musuh bebuyutan Nabi Muhammad dan Nabi
Isa a.s. Kita yang bermotto “la syarqiyyah wa la gharbiyyah”, harus ber-hijrah
baik dari naturalisme Yahudi dan Musyrikin, maupun dari hermetisme Nasrani dan
Musyrikin ke aqidah dan falsafah Islam yang dualis, yang mengakui sesuatu
(ilmu) yang secara empirik dan rasional dapat dibenarkan dan secara
biopsikososial dan moral-spiritual berguna dan memuaskan, di mana eksistensi
Ketuhanan Allah Yang Maha Esa dan kerasulan Nabi Muhammad Saw berikut segala
informasi dan sistem nilai yang dibawanya diakui dalam kerangka bangunan ilmu
secara keseluruhan. Kita harus ber-hijrah dari thagut dalam
bentuk pemikiran jahiliyah di alam zhulumat, baik idealisme
subyektif maupun realisme ekstrim, ke aqidah Syahadatain sejak di “Dar
al-Arqam” sampai dengan di “Dar al-Suffah”.
Kita harus jujur mengakui kekalahan
umat Islam dalam membentuk realitas. Realitas dunia sejak beberapa abad lalu
adalah terutama hasil bentukan naturalisme-materialisme-sekularisme. Kita tidak
mesti hanyut ke dalam realitas jahili, atau ber-‘uzlah mengisolasi
diri seperti sebagian sufi, tapi ber-hijrah dari realitas jahili
itu untuk membentuk realitas islami serta mengubah dan membentuk
realitas jahili menjadi realitas islami. Meminjam istilah
Peursen, “membentuk ‘ada’ dari ‘suatu seharusnya’”. Suatu seharusnya, suatu
ide, bagi umat Islam bukanlah nilai-nilai etis universal yang naturalistik
seperti diajukan Immanuel Kant dan Peursen, sebab di samping hal itu hampir
merupakan imago belaka, juga dengan itu kita masih belum terbebas dari
situasi perbudakan di antara sesama manusia yang musyrik. Kita harus mencapai
kemerdekan sejati, yakni bebas dari perbudakan baik oleh tradisi, milieu,
penguasa zalim dan syetan, maupun oleh hawa nafsu kita sendiri, apalagi oleh
benda mati seperti batu, patung, keris, bintang, matahari dan sebagainya, di
mana Syahadatain yang berintikan tauhid Uluhiyah Allah dan tauhid
Uswah Rasulullah, dengan segala ideologi dan sistem nilai transendental
yang diwahyukan Allah SWT sebagai cahaya, petunjuk dan anugerah bagi alam
semesta, yaitu Islam, merupakan satu-satunya alternatif bagi manusia untuk
dapat hidup sebagai manusia. Kita harus membentuk realitas baru dengan ideologi
dan sistem nilai islami, bukan mengubah Islam disesuaikan dengan realitas
budaya jahili seperti bentukan naturalisme-materialisme-sekularisme yang
tidak manusiawi.
Kita tidak perlu alergi dengan
perubahan alami yang memang merupakan sunnatullah kauniyah dan tak dapat
ditolak, dan terhadap pembaharuan (tajdid) yang memang sudah disabdakan
Rasul, dalam arti membersihkan kembali jati diri Islam dan menyesuaikan bajunya
dengan perubahan alami yang terjadi. Yang harus ditolak adalah tahrif (pemalsuan),
tagyir (pengubahan), tabdil (penggantian), ta’thil
(pengosongan) dan tagrib (pengasingan) terhadap ajaran Islam dengan
sesuatu dari luar dan keluar daripadanya. Kita tak perlu alergi dengan
penyesuaian terhadap perkembangan sosio-kultural yang tak terhindari, tetapi
menolak penundukan hukum Allah SWT kepada perkembangan sosio-kultural yang
ahumanis. Agama Allah SWT bukan gerbong kereta api yang ditarik-tarik ke sana
ke mari, tapi lokomotif yang menentukan ke arah mana gerbong sosial itu melaju.
Kita harus membentuk realitas dari suatu ide, bukan membentuk ide dari suatu
realitas. Meski konsep sebagai disposisi atau abstraksi muncul dalam benak
sesudah dan mengikuti fakta alam empirik yang disebut sains (sebagian ilmu),
tetapi peradaban fisis dan non-fisis di dunia empirik sendiri baru mungkin
terwujud dalam realitas sesudah dan mengikuti ide dalam benak pelakunya. Jalan,
pasar, gedung-gedung pencakar langit, listrik, mobil, pesawat, tank-tank
berlapis baja dan lainnya, serta perbuatan shalat, zakat, puasa, haji, makan,
minum, bersumpah,menikah, berjual-beli, mabok, madon, maen, maling, maehan,
menganiaya, mengadili, berpolitik dan lainnya, semua itu hanya mungkin terwujud
sesudah dan mengikuti ide dalam benak pelakunya. Jakarta akan tetap menjadi
hutan belantara seperti sebelum Batavia, kota Bogor akan tetap menjadi hutan
belantara seperti sebelum Boitenzorg, dan kita akan tetap dijajah oleh Eropa
dan Jepang, jika para pendahulu kita tidak mempunyai ide dan berjuang
merealisasikan ide itu, yaitu ide untuk merdeka dan membangun Bangsa dan Negara
ini menurut suatu seharusnya. Saudi Arabia akan tetap menjadi jahiliyah
dan basis penyembahan berhala, Eropa akan tetap tidur dalam masa kegelapannya,
dan dunia seluruhnya akan tetap hidup dalam kegelapan, jika Nabi dan para
sahabatnya tidak bercita-cita dan berjuang mati-matian merombak realitas jahili
Arab dan dunia itu menjadi realitas islami, meski untuk itu harus ber-hijrah
dari Makkah membentuk al-Madinah al-Munawwarah untuk kemudian mengubah
Makkah menjadi Makkah al-Mukarramah.
Sistem nilai dan sosial Makkah yang
dibina di atas ideologi nasionalisme dengan prinsip “berpegang teguh pada tradisi
dan warisan nenek-moyang serta kepribadian asli bangsa” Makkah yang musyrik
itu, berintikan aqidah watsaniyah (penyembahan berhala sebagai perantara
kepada Tuhan Yang Maha Esa), kemanusiaan yang menurut mereka adil dan beradab,
persatuan nasional Makkah, kerakyatan yang dipimpin oleh para tokoh suku dalam
permusyawaratan/ perwakilan Darun Nadwah, serta kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Makkah kecuali kaum budak, seperti gaya demokrasi Yunani dan
Romawi kuno. Ternyata ideologi dan sistem nilai jahiliyah ini telah
melahirkan prinsip dan gaya hidup demokratis kapitalistik yang permisif dan
hedonis di bawah kepemimpinan “Abu al-Hakam” (Bapak Pemersatu Nasional),
di mana segala sesuatu adalah halal asalkan sesuai dengan hak asasi manusianya
dan tidak merugikan orang lain, sehingga mabok, madon, maen dan renten
merajalela, bahkan membunuh kaum budak dan anak sendiri pun boleh karena
merupakan hak asasinya yang tidak merugikan orang lain. Rasul dan para Sahabat
ber-hijrah mencabut diri dari ideologi dan sistem nilai, struktur
sosial-politik dan kultur jahiliyah Makkah tersebut untuk membentuk
realitas islami serta mengubah dan membentuk realitas jahili itu menjadi
realitas islami, bukan membentuk ideologi dan sistem nilai islami dari ideologi
dan sistem nilai jahili, baik Musyrikin Makkah dan Persi maupun Ahli
Kitab Romawi. Kalaulah perjuangan mengubah realitas jahili menjadi
realitas islami itu kini belum berhasil, ide Islam yang besar sebagai agama
Allah Yang Maha Besar jangan diciutkan agar sesuai dengan otak kita yang kecil
atau jiwa kita yang kerdil. Sebab, dengan begitu kita bukan hanya telah
mengidentikkan Islam dengan diri kita sendiri yang berarti syirik, tapi
juga telah merusak agama Allah SWT yang bukan saja berdosa (maksiat) dan
membuat perjuangan kita mustahil berhasil, tapi juga identitas diri kita
sendiri menjadi hancur. Struktur dan dekorasi sebuah istana yang kokoh dan
megah akan hancur berantakan kalau harus mengikuti keinginan orang buta yang
karena latarbelakang tertentu mencemoohkan dan hendak mendekonstruksi,
merekonstruksi atau mereformasinya. Hukum itu untuk manusia dan karenanya harus
sesuai dengan hakekat diri dan cara wujud serta fungsi eksistensinya sendiri,
sedang manusia tidak akan pernah dapat mengetahui hakekat dirinya sebelum bisa
memanjat pahanya sendiri. Kalaulah topi laken dari cowboy Amerika itu
tidak cocok dengan kepala kita, yang harus dipermak bukan kepala kita, tapi
laken yang harus dirombak atau dibuang. Dengan konsep “membentuk suatu
seharusnya dari suatu apa adanya”, bukan saja kita tak akan pernah bisa maju
melangkah, tapi juga identitas diri kita sendiri menjadi amburadul.
Dulu para ulama NU (Nahdlatul Ulama)
yang mengklaim dirinya “Aswaja” (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) mengikuti
al-Qur’an dan al-Sunnah dengan menjunjung tinggi mazhab teologi
Asy’ariyah-Maturidiyah, mazhab fiqh yang empat terutama Syafi’iyah, dan mazhab
tasawuf Qadiriyah-Naqsyabandiyah, dan para ulama Muhammadiyah yang dilansir
sebagai kaum mujaddid/salafi, mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah dengan
menjunjung tinggi ruh ijtihad dan menghormati mazhab-mazhab Aswaja terdahulu
terutama Hanafiyah dan Hanbaliyah yang digelorakan kembali oleh Ibn Taimiyyah
dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyyah serta pengikutnya seperti Syaikh Muhammad
ibn ‘Abd al-Wahhab. Tetapi sangat disayangkan, kini sebagian NU muda telah
berubah mengambil mazhab Abdullah Ahmed al-Na’im, tokoh sosialis sekuler Sudan
yang menolak seluruh hukum al-Qur’an dalam ayat-ayat Madaniyyah yang
dipandang bersifat teknis-operasional, dan hanya mengakui ayat-ayat Makkiyyah
yang dipandang mengandung esensi-esensi dan prinsip-prinsip universal, dengan
misi dan gerakan “Dekonstruksi Syari’ah”-nya. Dan sebagian Muhammadiyah
muda telah berubah mengambil mazhab Fazlur Rahman, tokoh Pakistan yang lari ke
Amerika, yang juga menolak seluruh hukum al-Qur’an yang dipandang bersifat
teknis-operasional sebagai “responsi Tuhan terhadap realitas sosio-kultural
Arab di zaman Nabi, yang realitas sosio-kultural Arab di zaman Nabi itu
merupakan sebab nuzul atau ‘illat hukum al-Qur’an, yang tentu
saja hukum harus berubah dengan berubahnya ‘illat (situasi-kondisi) pada
zaman kontemporer atau postmodern ini, sehingga yang masih berlaku hanyalah
esensi-esensi universal. Hasil akhir dari kedua mazahab ini sama-sama hanya
mengambil “esensi” atau “haqiqat” dengan menggugurkan syari’at
yang dianggap partikularistik dan formalistik itu, sama dengan kaum kebatinan
atau sufi heterodoks tempo dulu. Padahal, dualisme islami yang dianut oleh bodi
utama umat Islam sepanjang zaman, yaitu Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,
mengajarkan bahwa tidak mungkin ada dalam realitas aktual esensi universal yang
tak bersandar pada partikular-partikular, jika tidak menafikan universal sama
sekali seperti Ibn Taimiyyah, dan tak pernah ada dalam kenyataan bahkan dalam
khayalan sekalipun, lemari, syetan atau perbuatan yang tanpa materi dan bentuk.
Orang-orang seperti ini, ahli haqiqat yang menggugurkan syari’at,
kata al-Ghazali lebih mendekati kekufuran ketimbang keimanan, dan kata Ibn
Taimiyyah adalah kafir. Mereka perlu dikasihani dan didakwahi karena tersesat
jalan dan mengira bahwa mereka dengan begitu melakukan kebaikan dan perbaikan,
padahal telah gagal dalam ujian. Tetapi lebih patut dikasihani lagi masyarakat
awam yang, jika tidak ikut hanyut ke dalam arus “dekonstruksisme” atau “postmodernisme”
itu, berkeliaran dan berceceran di mana-mana mencari penunjuk jalan. Mereka
hidup dalam kegelapan di tengah amukan badai “gazw al-fikr” dari Barat
yang tidak kurang dahsyatnya dari amukan badai Tsunami.
Dulu sebelum abad ke-20 M, para ulama
dan zu’ama Islam yang mukhlis dan shalih sepakat mengikuti
al-Qur’an dan al-Sunnah mengenai materi ajaran Islam dan metodologi
penegakannya dengan pola : pembinaan ‘aqidah, hijrah, gazwah, fatah dan falah,
dengan hasil yang sebanding dengan resikonya. Pada paruh pertama abad ke-20
memang terjadi polarisasi antara pola perjuangan parlementer dan
non-parlementer, tetapi mereka sama dalam materi ajaran yaitu mengakui syari’at
Islam secara kaffah (meski terdapat perbedaan nuansa dalam hal-hal furu’iyyah-ijtihadiyyah
yang sepele, seperti antara ushalli atau tidak, antara qunut
shubuh atau tidak, qabliyah jum’at atau tidak, dan sebagainya), dan
sepakat dalam metodologi perjuangan struktural. Mereka melihat bahwa misi utama
imperialisme Eropa adalah Gospel (misi suci kristenisasi dunia), Gold
(ekonomi) dan Glory (kejayaan politik bangsa penjajah). Karena itu
perjuangan kemerdekaan pun sebagai reaksi terhadapnya adalah untuk membela dan
menegakkan Islam, mewujudkan kemerdekaan politik dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah
yang dikristalisasikan dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menjiwai dan
mencetuskan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Karena toleransi terhadap
minoritas Kristen di sebagian belahan Timur Indonesia yang beberapa jam sesudah
proklamasi itu mengultimatum untuk memisahkan diri dari Negara Indoensia
apabila “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta itu tidak dicoret, umat Islam yang
merupakan mayoritas mutlak bangsa ini rela berkorban demi keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang baru berdiri itu, sehingga sila “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” itu diubah
menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan penyesuaian dalam batang tubuh UUD
1945. Kemudian, dalam upaya pengembalian Piagam Jakarta itu pun terlihat bahwa
umat Islam bangsa Indonesia sepakat dalam materi syari’at Islam dan dalam
metodologi penegakan struktural, baik parlementer maupun non-parlementer. Bagi
mereka, seperti terlihat dalam siding-sidang Konstituante 1957-1959, menegakkan
syari’at Islam bukan saja kewajiban syar’i yang menjamin kebahagiaan
ukhrawi, tapi juga satu-satunya alternatif bagi manusia untuk dapat hidup
sebagai manusia secara aman dan adil-sejahtera, sedang Negara merupakan sarana
mutlak untuk melindungi dan merealisasikan agama Islam secara sempurna, di mana
“Sesuatu yang sesuatu yang wajib tidak sempurna tanpa sesuatu itu maka sesuatu
itu pun wajib pula”, dan, seperti kata al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin
dan Mizan al-‘Amal, “al-Din wa
al-Sulthan tauaman, fa al-din ashlun/assun wa al-sulthan harisun, wa ma la
ashla/assa lahu fahamdumun, wa ma la harisa lahu fadla’i’un” (Agama dan
Negara adalah dua saudara kembar yang saling menunjang. Agama adalah asas dan
Negara adalah penjaga. Sesuatu yang tanpa asas pasti roboh, dan sesuatu yang
tanpa penjaga akan musnah).
Pasca kejatuhan kedua jalur
perjuangan struktural itu, tahun 1970-an muncul seorang intelektual muda muslim
dari “pangkuan” Masyumi dengan ide sekularisasi dan metode perjuangan kultural-nya.
Ternyata kemudian ia bukan saja menolak metodologi perjuangan struktural yang
dianggapnya beresiko terlalu berat itu, tapi juga menolak apa yang harus
diperjuangkan sendiri yaitu materi syari’at Islam. Gerakan penghapusan metodologi
perjuangan struktural dan materi syari’at Islam itu dilakukan lebih gencar
terutama sejak awal abad ke-21 ini oleh segerintil orang yang senang disebut
“kaum posmodernis” seperti yang tergabung dalam kelompok Jaringan Islam Liberal
(JIL). Ide sekularisasi dan penggusuran syari’at Islam ini, seperti telah
diuji-cobakan secara sukses di Turki yang dapat membuat Negara mantan “Rajawali
Islam” itu menjadi sekecil “burung pipit” yang tak berdaya, hanyalah instrumen
Ahli Kitab dalam kerangka konflik Tiga Segi di jalur struktural dan kultural,
untuk tetap mempertahankan dunia Islam dalam ketidakberdayaannya dalam lumpur
idealisme/spiritualisme dengan ketiga penyakit kronisnya : miskin, bodoh dan
pecah-belah. Sementara itu kelompok yang dikenal sebagai “NII KW 9” dengan Ma’had
Zaitun-nya, apabila dibiarkan dengan angan-angannya dalam “ketertindasan”,
dikhawatirkan akan membentuk teologi Islam dari visi politiknya sendiri seperti
telah terjadi dengan Syi’ah selain Zaidiyah, yang tertekan berabad-abad oleh
Daulat Umawiyah dan Daulat ‘Abbasiyah dan sebagian dieksploitasi oleh Yahudi.
Kita boleh berharap dengan
“Muhammad-Muhammad Baru” muda seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI), Ikhwanul Muslimin Indonesia, Hizbut Tahrir Indoensia, Partai Keadilan
Sejahtera, Majlis Mujahidin Indonesia, Ansharut Tauhid dan lain-lain. Tetapi
mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya dan telihat masih mencari
induk dan bentuk itu segera menjadi bulan-bulanan Ahli Kitab terutama Yahudi
dengan tuduhan “teroris”. Sebaliknya, jika “anak-anak manja” asuhan Barat
seperti JIL dan Ahmadiyah itu berhasil, praktis kita tidak punya apa-apa lagi.
Satu-satunya warisan dari Rasul hilang sudah, kita masuk ke alam jahiliyah
lagi di era “postmodernisme”. Aqidah hancur sudah, hijrah hapus
sudah, gazwah enyah sudah, sehingga fatah pun punah dan falah
lenyap menjadi kata kosong dalam adzan dan iqamat yang hanya
berwujud dalam khayal dan mimpi. Kita tak dapat membayangkan lagi bagaimana
nasib anak-cucu kita nanti di dunia ini dan kelak di akhirat.
Sekarang saja negeri subur yang
terhampar di jalur khattulistiwa ini telah menjelma sebagai negeri yang bukan
saja mengidap penyakit kronis berupa kebodohan, kemiskinan dan perpecahan, tapi
juga sudah menjelma sebagai negeri yang hampir terbesar utangnya sedunia, hampir
terkorup sedunia, ladang peredaran narkoba, pornografi-pornoaksi dan prostitusi
yang subur di dunia. Berita tentang “malima” (mabok, maen, madon, maling dan
maehan/mateni) bukan saja menjadi pemandangan umum di massmedia setiap hari,
tapi juga terlihat dengan mata telanjang di mana-mana. Konflik-konflik
psikologis dan dekadensi moral dengan segala efek biopsikososial-nya yang
berbahaya ini merupakan kultur kehidupan jahiliyah/zulumat yang berawal
dari proses dehumanisasi yang berpangkal dari filsafat jahiliyah/zulumat
pula yaitu sophisme, naturalisme-materialisme dan sekularisme.
Kita jangan salah diagnosis yang
mengakibatkan salah terapi sehingga umat keracunan. Umat Islam mundur, seperti
kata Syakib Arsalan dalam Limadza Ta’akhkhara al-Muslimun wa limadza Taqaddama ghairuhum, karena
meninggalkan agamanya, sedang umat lain juga maju karena meninggalkan agamanya. Renessans Eropa
bukan hanya untuk memperbaiki sesuatu yang tidak beres dalam agama dan tradisi
intelektual mereka, tapi terutama untuk menguasai dunia Islam dengan senjata
iptek yang dengannya dilandasi iman umat Islam menguasai Eropa berabad-abad.
Kata Francis Bacon pada abad 16-17, masa akhir Renessans itu, “Ilmu
adalah kekuasaan”. Kita mundur bukan karena Islam, meskipun ada beberapa hal
yang harus dibersihkan dari Islam dan sebagian hasil ijtihad harus
disesuaikan. Kita jatuh, terhina dan miskin, karena kita telah melepaskan tali
bergantung kepada Allah SWT sebagai satu-satunya sumber semua ilmu dan
kekuatan. Hanya ada tiga jalur untuk memperoleh ilmu dan kekuatan dari Allah
SWT, yaitu : (a) taqarrub/taqwa, dengan tafakkur, dzikir dan menjalankan
agama-Nya (habl min Allah) sebagai ilmu, hidayah dan rahmat yang
diturunkan Allah melalui jalan resmi, sebagai wasilah untuk memperoleh nashr
tanpa diminta; (b) du’a, sebagai wasilah untuk memperoleh ijabah
sesudah diminta; dan (c) kasab sesuai hukum kausalitas yang eksak,
obyektif dan konstan kecuali jika terjadi khariq li al-‘adah dalam
keadaan khusus, sebagai wasilah untuk memperoleh hasil usaha, yang ilmu
tentangnya diturunkan Allah melalui jalan tidak resmi, yaitu melalui temuan
empirik dan rasional manusia (habl min al-nas). Selama ini kita menjauhi
Allah. Agama-Nya bukan saja tidak dilaksanakan secara utuh, tapi malah akan dibongkar
dan diacak-acak, padahal kita banyak menumpang hidup dan penghidupan pada
Islam. Kita malas berdoa apalagi di saat-saat ijabah seperti tengah
malam karena asyik mengobrol, menonton televisi, mengatur siasat berebut kursi,
atau lainnya, kecuali bila disuruh oleh dukun sebagai jimat atau mantera. Etos
kerja dan penguasaan iptek kita juga lemah, sebab ruh ijtihad dan jihad
untuk belajar, berpikir dan bekerja keras sudah mati. Kalaupun belajar,
berpikir dan bekerja keras kelihatannya lebih banyak untuk kepentingan pribadi
dan sesaat. Dalam keadaan lemah, miskin dan bodoh, kita pun berpecah-belah dan
sering menghamburkan potensi dan energi untuk sesuatu yang sia-sia atau malah
menimbulkan malapetaka. Kita sering cekcok karena khilafiyah dan
berantem karena rebutan kuah, jama’ah dan imamah, yang justeru
sering dikepalai oleh ulama sendiri, padahal ulama adalah waratsat
al-anbiya’ yang harus menjadi teladan yang baik bagi umat seperti Nabi
meski sebatas kemanusiaan yang tidak maksum. Harusnya ulama dengan ruh ijtihad
dan jihad-nya giat dan sibuk ber-ijtihad dan ber-jihad,
melakukan tarbiyah dan dakwah secara ikhlas dan benar baik bi
al-maqal dan bi al-‘amal, maupun bi al-hal sebagai uswah hasanah dan malja’
(sandaran) atau marji’ (rujukan) bagi umat.
Kita pelajari, fahami, amalkan, sebarkan
dan tegakkan al-Qur’an dan al-Sunnah seluruhnya dengan cara yang benar dan
tujuan yang ikhlas mencari kebenaran (haq) dan ridla Allah semata, yang
kebenaran itu adalah tunggal di mana tiada di balik kebenaran selain kesesatan
(Q.S. 10 : 32), dengan prinsip “la li altasykik wa lakin li tathma’inna biha
al-qulub”, dan “la li altabdil wa la li al-tagyir, wa lakin li itsbat
al-tsawabit wa tagyir al-mutagayyirat”, di mana yang qath’i disikapi
dengan “al-Hayat ‘aqidatun wa jihadun”, dan yang zanni-ijtihadi
disikapi dengan “Ra’yuna shawabun yahtamil al-khatha’, wa ra’yu gairina
khatha’un yahtamil al-shawab”. Inilah jalan tengah antara relativisme dan
absolutisme. Sabda Nabi, “Khair al-umur ausathua”. Kata Fazlur Rahman,
“Jalan tengah bukan hanya jalan terbaik, tapi juga merupakan satu-satunya jalan
yang harus ditempuh”. Kita memang sering membesar-besarkan yang kecil dan mengecil-ngecilkan
yang besar, mengabsolutkan yang relatif dan merelatifkan yang absolut, dan
menjelekkan yang cantik seperti isteri kita sendiri dan mencantikkan yang jelek
seperti wanita lain meski ia hanya pembantu rumah tangga. Itu semua karena
hiasan nafsu syahwat dan gadlab yang dikipas-kipasi oleh syetan
yang mempedayakan akal kita yang lemah, sehingga kita asyik terbuai dalam
kekeliruan, kepalsuan dan kesesatan sampai ajal tiba atau ditegur oleh Allah
SWT kalau Dia masih menyayangi kita.
Melalui refleksi ini, marilah kita
dengan Bismillah bertaubat dan ber-hijrah dari thagut
kepada Allah SWT, dari bathil kepada haq, dari zhulumat
kepada nur, dari syar, fahsya’ dan munkar kepada khair
dan ma’ruf, dan dari segala sesuatu yang jahili kepada yang
islami.
نصر من الله
وفتح قريب وبشر المؤمنين، حسبنا
الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير، ولا حول و لا قوّة الّا بالله العليّ
العظيم، لا اله الا الله محمّد رسول الله، سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لااله الا
أنت أستغفرك وأتوب اليك، وصلي الله علي سيدنا محمد النّبيّ الأميّ وعلى اآله وصحبه
وسلم، سبحان ربك رب العزة عما يصفون، وسلام على المرسلين، والحمد لله رب العالمين.
REFERENSI UTAMA
1. Abdullah Ahmed Al-Na’im, Toward on
Islamic Reformation, terjem. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani, Dekonstruksi
Syari’ah, (Yogyakarta : LKIS dan Pustaka Pelajar, 1994).
2. Al-Afgani, Jamal al-Din, al-Radd
‘ala al-Dahriyyin, terjem. Muhammad ‘Abduh, (Kairo : Maktabah al-Khanji,
1956).
3. Al-Ghazali, Muhammad ibn Muhammad, Ihya’
‘Ulum al-Din, (Semarang : Thaha Putera, t.t.), jld. I-IV.
4. Al-Syafi’i, Muhammad ibn Idris, al-Risalah,
(Beirut : Dar al-Fikr, t.t.).
5. Boisard, A, Marcel, terjem H.M.
Rasjidi, Humanisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980).
6. Charles Kurzman, ed., Liberal
Islam : A Suerce Book, terjem. Bahrul Ulum, et al, Wacana Islam Liberal
Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, (Jakarta : Paramadina,
2001).
7. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam
di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, cet. III, 1985).
8. Deliar Noer, Partai Islam di
Pentas Nasional, (Bandung : Mizan, cet. II, 2000).
9. Fazlur Rahman, Islam &
Modernity Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago &
London : The University of Chicago Press, 1982, Paperback Edition, 1984).
10. Hamka, Prof.Dr., Sejarah Ummat
Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), jld. I-IV.
11. Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh
al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima’i, (Kairo :
Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah, 1967), jld. I-IV.
12. Ibn al-Atsir, ‘Ali ibn Abi al-Karam Muhammad
ibn Ahmad, al-Kamil fi al-Tarikh (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1407 H/1987 M), jld. I-X.
13. Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah,
(Mesir : Musthafa al-Babi al-Halabi, cet. II, 1375 H/1955 M), I-II.
14. Ibn Khaldun, ‘Abd al-Rahman, Tarikh
Ibn Khaldun al-Musamma Kitab al-‘Ibar fi Daiwan al-Mubtada’ wa al-Khabar,
(Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413 H/1992 M), jld. I-VII.
15. Konstituante, Tentang Dasar Negara
Republik Indonesia, (Bandung, 1959), jld. I-II.
16. Mahmud Syaltout, al-Islam ‘Aqidah
wa Syari’ah, (Kairo : Dar al-Qalam, cet. III, 1966).
17. Moenawar Chalil, Kelengkapan
Tarikh Nabi Muhammad S.A.W, (Jakarta : Bulan Bintang, cet. VI, 1977).
18. Mubarakfuri, al, Shafiyyu al-Rahman, al-Rahiq
al-Makhtum Bahtsun fi al-Sirah al-Nabawiyyah ‘ala Shahibiha Afdlal al-Shalat wa
al-Salam, (Kairo : Dar al-Hadits, 1412 H/1992 M).
19. Munir Muhammad al-Ghadlban, al-Manhaj
al-Haraki li al-Sirah al-Nabawiyyah, (Yordan : Maktabah al-Manar, cet. VII,
1412 H/1992 M).
20. Pringgodigdo, AK., Sejarah
Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta : Dian Rakyat, cet. IX, 1980).
21. Thomas W. Arnold, The Preaching of
Islam, terjem. Nawawi Rambe, Sejarah Dakwah Islam, (Jakarta : Wijaya, cet. II, 1981).
22. Yusuf Karam, Tarikh al-Falsafah
al-Aurabiyyah fi al-‘Ashr al-Wasith, (Kairo : Dar al-Ma’arif, cet. III,
t.t.).
[*]
Guru Besar Fak. Syari’ah dan
Hukum/dosen Pasca Sarjana/Wakil Ketua DKM IKOMAH UIN “SGD” Bandung.
0 comments: