ABDUL KARIM AL-JILLI INSAN KAMIL
A. Biografi
Nama Al-jili cukup
dikenal dalam kalangan peminat dan peneliti tasawuf, tetapi riwayat hidupnya,
yang mennyangkut tahun kelahiran, pendidikan, dan perananya dalam masyarakat,
sangat sedikit yang diketahui. Hai itu disebabkan Al-jili sendiri tidak meninggalkan
catatan yang menceritakan tentang dirinya, dan murid-muridnya pun tidak ada
yang menulis tentang kehidupannya. Kendati demikian, kehidupan Al-jili tidak
seluruhnya berada dalm kegelapan, karena dalam beberapa tulisannya ia
melengkapi uraiannya dengan mencantumkan tempat dan tahun keberadaannya.
Nama lengkapnya
ialah ’Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ’Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Ia mendapatkan
gelar kehormatan ”syaikh” yang biasa dipakai di awal namanya. Selain itu, ia
juga mendapat gelar ”Quthb al-Din” (kutub/poros agama), suatu gelar
tertinggi dalam hirarki sufi. Namanya dinisbatkan dengan Al-jili karena ia
berasal dari Jilan. Akan tetapi, Goldziher mengatakan, penisbatan itu bukan
pada Jilan, tetapi pada nama sebuah desa dalam distrik Bagdad ”jil’.
Ia lahir pada awal
Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad, dengan alasan bahwa—menurut
pengakuannya sendiri—ia adalah keturunan Syeikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani
(470-561 H), yakni turunan dari cucu perempuan Syeikh tersebut. Sedangkan ‘Abd
al-Qadir al-Jilani berdomisili di Bagdad sejak tahun 478 H sampai akhir
hayatnya, tahun 561 H. Dan diduga keturunannya juga berdomisili di Bagdad,
termasuk kedua orangtua al-Jilli. Namun setelah ada penyerbuan militerstik
bangsa Mongol ke Bagdad yang dipimpin Timur Lenk, keluarga al-Jilli berimigran
ke kota Yaman (kota Zabid). Di kota inilah al-Jilli mendapatkan pendidikan yang
memadai sejak dini. Dalam catatannya, ia menyebutkan bahwa pada tahun 779 H ia
pernah mengikuti pelajaran dari Syeikh Syaraf al-Din Ismail ibn Ibrahim
al-Jabarti (w. 806 H), dan salah satu teman seangkatan adalah Syihab al-Din
Ahmad al-Rabbad (w. 821).
Pada tahun 790 H ia
berada di Kusyi, India untuk mendalami kesufiannya. Ketika berkunjung ke India
ini, Al-jili melihat tasawuf falsafi ibn Arabi dan tarekat-tarekat antara lain
Syisytiyah (didirikan oleh Mu’in al-Din al-Shysyti, W.623H di Asia
Tengah),Suhrawardiyah (didirikan oleh Abu Najib al-Suhrawardi, W.563 H,di
Bagdad), Naqsyabandiyah (didirikan oleh Baha al-Din al-Naqsyaband, W.791 H.di
Bukhara) berkembang denagn pesat. Sebelum sampai ke India, ia berhenti di
Persia dan mempelajari bahasa Parsi. Di sanalah ia menulis karyanya Jannat-u
al-Ma’arif wa Ghayat-u Murid wa al-Ma’arif.
Pada akhir tahun 799
H ia berkunjung ke Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji, namun dalam
kesempatan ini ia sempat pula melakukan tukar pikiran dengan orang disana. Hal
ini menandakan bahwa kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan melebihi kecintaannya
terhadap hal-hal lain. Empat tahun kemudian, yakni tahun 803 H al-jili
berkunjung ke kota Kairo. Dan disana ia sempat belajar di Univeritas al-Azhar,
dan bertemu banyak para teolog, filusuf, dan sufi. Di kota inilah ia
menyelesaikan penulisan bukunya yang berjudul, Ghunyah Arbab al-Sama’ wa
Kasyf al-Qina’ an Wujud al-Istima.
Dan dalam tahun yang
sama juga ia berkunjung ke kota Gazzah, Palestina, di kota ini ia menulis
bukunya dengan judul, al-Kamalat al-Ilahiyah. Namun setelah kurang lebih dua
tahun kemudian, ia kembali lagi ke kota Zabid, Yaman dan bertemu kembali dengan
gurunya (al-Jabarti). Maka pada tahun 805 H ia kembali ke Zabit dan sempat
bergaul dengan gurunya itu selama satu tahun, karena pada tahnu berikutnya
gurunya meninggal.
Di ketahui bahwa
tahun kunjungannya ke Gazzah merupakan tahun terakhir dari perjalanannya ke
luar Zabit. Dari itu, diketahui pula bahwa sekembalinya dari Gazzah itu ia
masih hidup selama lebih kurang 21 tahun dan masih tetap terus aktif menulis
sampai akhir hayatnya.
B. Karya-Karya Al-Jili
Sebagaimana riwayat
hidupnya,karya-karya al-jili pun tidak banyak diketahui secara pasti, sehingga
kita tidak bisa memperkirakan jumlah yang tepat dari hasil karyanya itu. Iqbal
mengatakan bahwa karya la-jili tidak banyak seperti ibn ‘Arabi. Iqbal hanya
menyebutkan tiga dari kitab-kitabnya, yaitu suatu ulasan atas karya ibn ‘Arabi,
al-futuhat al- makkiyah, suatu komentar atas basmalah, dan karyanya yang
terkenal al-Insan al-Kamil.
Ada lagi penelitian
yang lebih akurat ialah yang dilakukan oleh Haji Khalifah . Ia mencatat,
bahwa al-jili telah menulis enam judul karya tulis, yaitu:
1.
Al-Insan Al-Kamil Fi Ma’rifat-I ‘L-Awakhir Wa ‘L-Awa’il,
2.
Al-Durrah Al-‘Ayniyah Fi L-Syawahid Al-Ghaybiyah,
3.
Al-Kahf Wa ‘L-Raqim Fi Syarh Bi Ism-I ‘L-Lah Al-Rahman Al-Rahim,
4.
Lawami Al-Barq,
5.
Maratib Al-Wujud,
6.
Al Namus
Al-Aqdam.
Penelitian Haji Khalifah
itu dilengkapi oleh Isma’il Pasya
al-Baghdadi. Ia mencatat lima karya al-jili selebihnya. Dan yang lebih banyak
penemuan diantara dua peneliti sebelumnya mengenai karya-karya al-Jilli adalah
Carl Brockelmann, ia mencatat sebanyak 29 (dua puluh sembilan) judul karya
al-Jilli.
Namun, karya-karya
yang ingin dikemukakan disini hanya berasal dari penelitian pertama yang
dilakukan oleh Haji Khalifah , yang menurut kami masih mendekati
originalitasnya, diantara enam karya al-Jilli adalah:
1. Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-i
al-Awakhir wa al-Awail, Buku
ini adalah bukunya yang paling poluler. Karya ini tersebar di Dar al-Kutub
al-Mishriyah, Kairo, beberapa kali diterbitkan maktabah shabihy dan mushthafa
al-Babi al-Halabi di Kairo, dan Dar al-Fikr di Beirut.Buku ini mengupas dengan
mendalam konsep Insan kamil (manusia sempurna) secara sistematis.
2. Al-Durrah al-‘Ayiniyah fi
al-Syawahid al-Ghaybiyah, Buku
ini merupakan antologi puisi yang mengandung 534 bait syair karya al-Jilli.
3. Al-Kahf wa al-Raqim fi
Syarh bi Ism-i Allah al-Rahman al-Rahim,
Buku ini merupakan kajian mendalam mengenai kalimat Basmalah secara panjang
lebar menurut tafsir sufi. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir di luar tafsir
sufi—yang berupaya menjelaskan kata demi kata dan kalimat demi kalimat dari ayat-ayat
al-Qur’an—al-Jilli, di dalam karya ini menjelaskan ayat pertama surat
al-Fatihah, huruf demi huruf, yang menurutnya merupakan
lambang-lambang/simbol-simbol yang mempunyai makna tersendiri.
4. Lawami’ al-Barq
5. Maratib al-Wujud, Buku ini menjelaskan tentang tingkatan wujud dan disebut
juga dengan judul Kitab Arba’in Maratib.
6. Al-Namus al-Aqdam, Buku ini terdiri dari 40 juz, masing-masing juz seakan-akan
terlepas dari juz lainnya dan mempunyai judul tersendiri. Akan tetapi sangat
disayangkan sebagian besar dari buku ini tidak ditemukan lagi.
C. Konsep Insan kamil
Al-Jili.
Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata insan dan kamil.
Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti yang
sempurna.
Dengan demikian, Insan
kamil berarti manusia yang sempurna.
Insan kamil Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofi ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Insan kamil Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofi ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Dan secara etimologi
kata ‘Insan kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua
kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang
berasal dari turunan beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan
ada yang memandang berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena
manusia sendiri secara historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir
dengan lupa.Ada juga yang berpendapat bahwa itu berasal dari ‘ain san, yang
artinya ‘seperti mata’. Namun dalam artian umum biasanya berarti manusia.
Kata kedua, kamil,
yang artinya adalah ‘sempurna’,yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini sangat
tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang
mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap). Kekuatan kata kamil
(sempurna), menurutnya, melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan
sesuatu yang mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih
tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itu lah yang disebut kamil
(sempurna).
Al-jili seperti ibn
’Arabi, memandang Insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang
paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud
hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak,
yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah, dan waktu. Ia adalah esensi
murni, tidak bernama, tidak bersifat, dan tidak mempunyai relasi dengan
sesuatu. Di dalam kesendirian-Nya yang gaib itu esensi mutlak tidak dapat
dipahami dan tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya, karena indera,
pemikiran, akal, dan pengertian mempunyai kemampuan yang fana dan tidak pasti,
hal yang tidak pasti akan menghasilkan ketidakpastian pula. Karena itu, tidak
mungkin manusia yang serba terbatas akan dapat mengetahui zat mutlak itu secara
pasti. Al-jili mengatakan,”Sesungguhnya saya telah memikirkan-Nya, namun
bersama itu pula saya bertambah tidak tahu tentang Dia”. Ungkapan tersebut
senada dengan ucapan ibn ’Arabi,”Tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah
sendiri.”
Kemudian, wujud
mutlak itu ber-tajalli secara sempurna pada alam semesta yang serba
ganda ini. Tajalli tersebut terjadi bersamaan penciptaan alam yang
dilakukan oleh tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada menjadi ada. Menurut
al-jili alam ini bukanlah dicptakan Tuhan dari bahan yang telah ada, tetapi
diciptakan-Nya dari ketiadaan (creatio ex nihilo) di dalam ilmunya. Kemudian, wujud
alam yang ada di dalam ilmu-Nya itu dimunculkan-Nya menjadi alam empiris.
Dengan terjadinya tajalli
Tuhan pada alam semesta, tercerminlah kesempurnaan citra-Nya pada setiap bagian
dari alam, namun zat-Nya tidaklah berbilang dengan berbilannya wadah tajalli
tersebut, tetapi tetapi Esa dalam segenap wadah tajalli-Nya. Dengan
demikian, setiap bagian dari alam ini mencerminkan citra ketuhanan, namun apa
yang tampak dalam dunia nyata hanyalah bayangan dari esensi mutlak itu.
Menurut pandangan
al-jili dan juga ibn ’Arabi, Tuhan adalah transenden dan sekaligus imanen.
Al-jilli mengumpamakan hubungan Tuhan dan alam laksana air dan es (air yang
membeku). Tuhan al-Haqq, diumpamakan sebagai air. Dan alam diumpamakan
sebagai es. Dalam menjelaskan perumpamaan antara ”es” dan ”air” ini, Yusuf
Zaydan menyebutkan bahwa al-jili melihat adanya dua bentuk wujud, yakni wujud
haqqi dan wujud khalqi. Wujud khalqi hanya
berupa wujud ”yang dipinjam” dari wujud haqqi. ”Es”
sebagai perumpamaan wujud khalqi hanyalah wujud
”pinjaman”, sedangkan wujud yang hakiki ialah ”air”, sebagai tamsilan
dari wujud haqqi. Jadi, pada dasarnya hanya ada satu wujud,
yakni wujud haqqi, sedangkan wujud khalqi hanya
berupa aspek lahir dari wujud haqqi. Oleh karena itu, di tempat
lain, al-jili menyebut haqqi dan khalqi, atau kulli dan juz’i
sebagai aspek aspek-aspek dari wujud yang satu.
Jadi, dari satu
sisi, Insan kamil merupakan wadah tajalli yang paripurna,
sementara di sisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena
pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik
alam fisika maupun metafisika. Selain itu, Insan kamil adalah kutub yang
diedari oleh segenap alam wujud ini dari awal smapai akhirnya dan ia
hanya satu, sejak permulaan wujud sampai akhirnya.
Kesempurnaan Insan
kamil itu tidak lain adalah karena ia merupakan identifikasi dari hakikat Muhammad.Hakikat
Muhammad , yang disebut dalam istilah falsafah dengan logos, pada
dasarnya merupakan arketipe kosmos. Makhluk memperoleh kesejahteraan pada
hakikat ini dan mendapat rezeki dari wujudnya. Ia juga merupakan
arketipe dari Bani Adam, yang semuanya secara potensial adalah Insan kamil,
meski hanya dikalangan para nabi dan wali saja potensi itu menjadi aktual.
Al-Jili merumuskan Insan
kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah
contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad)
yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW
asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai Nur (cahaya/roh) Ilahi yang
menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh
kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan
Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang
berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il
(Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan
yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan Insan
kamil dengan dua pengertian.
a. Pertama, Insan kamil
dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam
pengertian demikian, Insan kamil terkait dengan pandangan mengenai
sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap
mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna
inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri
pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
b. Kedua, Insan kamil
terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat
Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial
dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia
sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang
inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering
terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia
menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi al-Jili,
manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan
mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui
berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang
nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi
serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Kalau al-Hallaj
memandang Nur Muhammad itu qadim dan ibn ’Arabi
memandangnya itu qodim dalam ilmu tuhandan baru ketika ia menyatakan diri pada
makhluk, maka al-jili memandangnya baru. Nagi al-jili hanya ada satu wujud
yang qadim, yaitu wujud Allah sebagai zat yang wajib (pasti,
niscaya) ada. Wujud tuhan dipandang qadim karena Dia tidak di
dahului oleh ketiadaan. Al-jili menjelaskan, sekalipun wujud yang
diciptakan itu sudah ada semsnjak qidam didalam ilmu Tuhan, ia tetap dipandang
baru dalam keberadaanya itu, karena ia ”disebabkan” oleh wujud lain yang
secara esensialtelah lebih dulu ada, yakni wujud Tuhan.oleh karena itu,
kata al-jili, a’yan tsabitah yang ada dalam ilmu Tuhan bukan qadim,
tetapi baru.
Dan setiap manusia
memiliki potensi untuk mendapatkan “hakikat muhammadiyah” atau “Nur
muhammad” dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu mengaktualisasikan
hakikat muhammadiyah itu sangat terbatas, dan manusia yang mampu
mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang disebut dengan Insan
kamil. Aktualisasi “Nur muhammad” dalam pandangan al-Jilli
dan Ibn ‘Arabi tidak dilihat secara ontologis saja tetapi juga secara
epistemologis dan itu bisa dicapai dengan dua jalan, jalan pertama disebut tajjali
dan jalan kedua disebut taraqqi. Dan tajjali adalah berkat ke-Rahmanan-Nya
yang ia berikan kepada manusia yang ia kehendaki, sedangkan taraqqi
adalah usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri untuk mendapatkan status Insan
kamil.
D. Proses Munculnya Insan
kamil
Seperti Ibn ’Arabi,
al-Jili membawa teori tajalli dan taraqqi dalam proses munculnya Insan
kamil. Menurut al-jili, tajalli Ilahi yang berlangsung secara
terus-menerus pada alam semesta terdiri atas lima martabat, di antaranya
adalah:
Pertama, Uluhiyah,
tahap ini adalah tingkat tertinggi dalam proses tajjali Tuhan, dimana
uluhiyah merupakan esensi (quidity) zat primordial dan merupakan wujud
primer yang menjadi sumber segala yang ada dan tidak ada. Nama yang digunakan
dalam peringkat ini adalah “Allah”, karena dalam pandangan al-Jilli sendiri,
sebutan “Allah” merupakan nama tertinggi bagi Tuhan di atas nama-Nya al-Ahad,
yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi sebagai tingkat tajjali tertinggi Tuhan (Ahadiyah).
Kedua, Ahadiyah,
tahap ini muncul dari tahap sebelumnya (uluhiyah), dimana tingkatan ini
merupakan sebutan dari zat murni (al-dzat al-sadzi) yang
tidak memiliki nama dan sifat, dan tahap ini tidak bisa dicapai oleh
pengetahuan manusia karena tidak ada kalimat dan kata-kata yang dapat
menggambarkan-Nya. Dan dalam tahap ini menurut al-Jilli mengalami tiga peNurunan
(tanazzul):
a. Ahadiyah, Zat Mutlak menyadari ke-Esa-an diriNya
b. Huwiyah, kesadaran Zat Mutlak terhadap ke-Esa-an-Nya yang gaib
c. Aniyah, Zat Mutlak menyadari diri-Nya sebagai Kebenaran
Ketiga, Wahidiyah,
dimana pada tahap ini zat Tuhan menampakan diri-Nya pada sifat dan asma (nama),
tetapi sifat dan asma itu sendiri masih identik dengan zat Tuhan karena zat ini
pun masih berupa potensi-potensi dan belum mampu mengaktual secara keseluruhan.
Keempat, Rahmaniyah,
pada tahap ini Tuhan ber-tajjali pada realitas asma dan sifat, dan
dengan kalimat “kun” (jadilah), muncullah realitas-realitas potensial yang
terdapat dalam tahap Wahidiyah tadi menjadi wujud yang aktual,
yakni alam semesta. Tetapi aktualitas ini masih bersifat universal, karena
bersamaan dengan proses penciptaan alam secara keseluruhan.
Kelima, Rububiyah,
dalam tahap ini Tuhan ber-tajjali pada alam semesta yang sudah mengalami
partikularisasi (terbagi-bagi) dan sudah beragam, khususnya pada diri manusia
(sebagai makhluk yang terbatas) untuk memanifestasikan diri-Nya yang tidak
terbatas itu dengan menunjukan citra-Nya dalam diri manusia, dan citra Tuhan
yang paling utuh bisa kita temukan dalam diri seorang Insan kamil.
Adapun tajjali
ini akan mengalami pantulan yang akan berbalik arah kearah semula (dari zat
sampai perbuatan, kemudian berbalik dan memantul dari perbuatan menuju zat); pertama
tajjali perbuatan (tajjali al-af’al), kedua tajjali
nama-nama (tajjali al-asma), ketiga tajjali sifat-sifat (tajjali
al-shifat), keempat tajjali zat (tajjali al-dzat).
Kemudian al-Jilli
sendiri dengan kejeniusannya membagi taraqqi kepada tujuh tingkatan
menuju Insan kamil:
1. al-Islam, dimana
pada tingakt ini seseorang harus memiliki identitas keislaman yang mana
identitas itu termaktub dalam rukun Islam: syahadat, sholat, zakat,
puasa, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu
2. al-Iman, pada
tingkat ini seseorang harus memiliki keyakinan yang teguh kepada Allah s.w.t.,
Malaikat-Malaikat Allah, Kitab-Kitab Allah, Rasul Alllah, Hari Akhir, dan Qadar
3. al-Shaleh, pada
tahap ini seseorang melaksanakan ibadah kepada Allah harus didasari oleh rasa
takut (khawf) dan harap (raja’)
4. al-Ikhsan, dalam
tahap ini seseorang harus menempuh tujuh maqam, yaitu: tobat, inabah
(tobat dari kelalaian mengingat Tuhan), zuhud, tawakal, rela, tafwidl
dalam segala hal, dan ikhlas
5. al-Syahadah, pada
tahap ini seseorang akan menyaksikan keindahan dan keagungan Tuhan yang
sesungguhnnya
6. al-Shiddiqiyah,
pada tahap ini bisa disebut juga tahap makrifat karena seseorang pada tahap ini
akan mendapatkan cahaya kebenaran secara berangsur dari asma-Nya hingga
zat-Nya, yaitu:
a. ‘ilm al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh asma Tuhan
b. ‘ayn al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh sifat Tuhan
c. haqq al-yaqin, pada tingakat ini
seorang sufi disinari oleh zat Tuhan
7. al-Qurbah, pada
tahap ini seseorang akan mendapatkan kedudukan di sisi Tuhan paling terdekat
dengan-Nya, dan ada empat pendekatan kepada Allah, yaitu:
a. al-Khullah, adalah sebuah persahabatan dengan Tuhan, sehingga Tuhan
dikenal secara intim. Dengan demikian sufi senantiasa berbuat sesuai dengan apa
yang dikehendaki-Nya
b. al-Hubb, adalah sebuah percintaan antara sufi dan Tuhannya, sehingga
yang satu merasakan apa yang dirasakan oleh yang lainnya
c. al-Khiram, adalah
sebuah pencitraan Tuhan secara utuh terhadap seorang sufi, tetapi kesempurnaan
Tuhan tidak tercapai oleh sufi secara keseluruhan, karena kesempurnaan-Nya
tidak terbatas
d. al-Ubudiyah,
adalah sebuah penghambaan seorang sufi terhadap Tuhannya, karena bagaimana pun
ia tidak akan dapat menjadi Tuhan.
E. Kedudukan Insan kamil
Seperti Ibn ’Arabi
juga, al-jili memandang Insan kamil berkedudukan sebagai khalifah Tuhan di bumi. Hal itu ada karena pada diri Insan
kamil terdapat kemampuan-kemampuan yang melebihi kemampuan-kemampuan
manusia kebanyakan, baik dari segi kepribadian maupun pengetahuan. Kelebihan
itu, tidak lain adalah karena pada diri Insan kamil terealisasi segenap
asma dan sifat-sifat Tuhan secara utuh. Sebagai contoh, al-jili menunjuk nabi
Daud a.s. ia mempunyai moral dan pengetahuan yang tinggi, melebihi manusia
lain. Apalagi pada diirnya termanifestasi sifat-sifat afal (sifat-sifat aktif)
Tuhan melebihi sifat-sifat-Nya yang lain. Hal demikian adalah karena kitab
zabur merupakan tajalli dari sif at-sifat af’al.
Kesimpulan
Seorang manusia yang
menyandang Insan kamil sebagaimana yang dikemukakan Ibn ‘Arabi adalah
merupakan manusia yang telah mencapai perkembangan spiritual tingkat tinggi dan
secara sempurna mencerminkan citra Tuhan. Dan secara etimologi kata ‘Insan
kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kalimat; al-insan
dan al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari turunan beberapa
kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang memandang berasal
dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara
historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir dengan lupa. Ada juga yang
berpendapat bahwa itu berasal dari ‘ain san, yang artinya ‘seperti mata’. Namun
dalam artian umum biasanya berarti manusia. Kata kedua, kamil, yang
artinya adalah ‘sempurna’, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini sangat
tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang
mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap).
Kekuatan kata kamil
(sempurna), menurutnya, melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan
sesuatu yang mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih
tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itu lah yang disebut kamil
(sempurna). Menurut al-Jilli, Lawh al-Mahfuzh yang dipandang sebagai
ketentuan-ketentuan dan catatan-catatan ilmu Tuhan tentang makhluk-Nya identik
dengan al-Nafs al-Kulliyah (jiwa universal) atau dalam bahasa Hallaj
adalah ‘Nur muhammad’ yang secara paripurna dapat ber-tajjali
pada Insan kamil, dan manjadi perantara antara Tuhan dan makhluk, karena
ia (Insan kamil) adalah khalifah yang diutus untuk menjaga dan melestarikan
alam semesta. Dan ‘hakikat muhammadiyah’ ini dalam pandangan al-Jilli
sendiri adalah sebagai makhluk dan bersifat baharu. Tidak seperti pandangan Ibn
‘Arabi yang menganggapnya qadim dan baharu, dan al-Halaj menganggapnya qadim
saja.
Hakikat al-Muhammadiyah
sebagai makhluk pertama yang diciptakan Tuhan di dalam ilmu-Nya, itu seperti
cahaya Tuhan yang menerangi-Nya dari ketiadaan (nihilo).
Namun ketiadaan
Tuhan disini bukan berarti tidak ada sama sekali, tetapi tidak ada karena
kesucian-Nya yang terbebas dari segala ada selain Diri-Nya, segala persepsi dan
keterbatasan ilmu pengetahuan manusia tentang Tuhan. Karena cahaya yang
diciptakanNya pertama kali belum mampu memberikan gambaran tentang Diri-Nya.
Kemudian dengan kekuasaan-Nya Ia ciptakan makhluk dari yang berupa non-materi
hingga yang materi untuk menjadi saksi kewujudan-Nya, tetapi dari semua
makhluk yang ia ciptakan hanya manusia lah yang memiliki kesadaran dan
pengetahuan tentang Diri-Nya sehingga manusia pun diberi amanat sebagai
khlaifah untuk itu.
Dan dalam diri manusia lah terdapat ‘cermin’ yang mampu memantulkan citra Tuhan, dengan bantuan cahaya (Hakikat Muhammadiyah) yang Tuhan ciptakan pertama kali. Dan setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan “hakikat muhammadiyah” atau “Nur muhammad” dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu mengaktualisasikan hakikat muhammadiyah itu sangat terbatas, dan manusia yang mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang disebut dengan Insan kamil. Aktualisasi “Nur muhammad” dalam pandangan al-Jilli dan Ibn ‘Arabi tidak dilihat secara ontologis saja tetapi juga secara epistemologis dan itu bisa dicapai dengan dua jalan, jalan pertama disebut tajjali dan jalan kedua disebut taraqqi. Dan tajjali adalah berkat ke-Rahmanan-Nya yang ia berikan kepada manusia yang ia kehendaki, sedangkan taraqqi adalah usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri untuk mendapatkan status Insan kamil.
Dan dalam diri manusia lah terdapat ‘cermin’ yang mampu memantulkan citra Tuhan, dengan bantuan cahaya (Hakikat Muhammadiyah) yang Tuhan ciptakan pertama kali. Dan setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan “hakikat muhammadiyah” atau “Nur muhammad” dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu mengaktualisasikan hakikat muhammadiyah itu sangat terbatas, dan manusia yang mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang disebut dengan Insan kamil. Aktualisasi “Nur muhammad” dalam pandangan al-Jilli dan Ibn ‘Arabi tidak dilihat secara ontologis saja tetapi juga secara epistemologis dan itu bisa dicapai dengan dua jalan, jalan pertama disebut tajjali dan jalan kedua disebut taraqqi. Dan tajjali adalah berkat ke-Rahmanan-Nya yang ia berikan kepada manusia yang ia kehendaki, sedangkan taraqqi adalah usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri untuk mendapatkan status Insan kamil.
Daftar
Pustaka
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2006
Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi
“Pengembangan Konsep Insane Kamil Ibn Arabi Oleh Al-Jili”.
Jakarta:Paramadina, 1997
http://ichang.org/archives/
0 comments: