OBJEK KAJIAN FIQHULLUGHAH
ABSTRAK
OLEH: ENDANG MUNAWAR, M.Pd.I
OLEH: ENDANG MUNAWAR, M.Pd.I
Fiqh Lughah dan Ilmu Lughah merupakan dua kajian epistimologi bahasa. Kedua
disiplin ilmu bahasa ini diawali kata fiqh dan ilm. Dua kata ini
mengandung makna mengetahui dan memahami sesuatu. Kemiripan pengertian secara
etimologi membuat kedua disiplin ilmu ini perlu diberi batasan yang jelas,
khususnya dalam objek kajiannya. Hal ini bertujuan agar kajian Fiqh Lughah tidak berbaur dengan
kajian Ilmu Lughah. Setelah dilakukan kajian, ditemukan
tiga ranah objek
kajian Fiqh Lughah. Pertama, kajian hubungan lafaz dengan lafaz. Ranah
pertama ini membahas komparasi dengan bahasa Semit dan Bahasa Arab. Kedua,
Kajian hubungan lafaz dengan makna. Ranah ini membahas tentang makna yang
dihasilkan oleh bunyi dan makna yang diperoleh dari aneka jenis kamus. Ketiga,
kajian lafaz dalam penerapannya. Ranah ketiga ini membahas tentang gharib,
dakhil, maudhu’ (musytaq, murtajal, manhut, mulhaq, dan ma’dul), dan majaz.
Kata kunci: Fiqh Lughah, objek kajian
A. Pendahuluan
Secara etimologi, Fiqh
Lughah memiliki kesamaan makna dengan Ilmu Lughah[1]. Fiqh berarti ilm
atau mengetahui dan memahami tentang sesuatu[2]. Akan tetapi, Fiqh Lughah dan
Ilmu Lughah secara terminologi memiliki pengertian yang berbeda, begitu
juga dengan metodologi dan ranah kajiannya.
Dilihat dari metodologi, Fiqh Lughah mengkaji bahasa sebagai sarana
untuk mempelajari peradaban atau sastra, sedangkan Ilmu Lughah mengkaji
bahasa untuk kepentingan bahasa itu sendiri. Proses analisanya pun berbeda, meski dalam objek
yang sama. Fiqh Lughah lebih menekankan kajian tentang historique
comparative, sedangkan Ilmu Lughah sebatas kajian analisis deskriptive.
R.H Robin dalam Dr. Emil Badi Yaqub menjelaskan bahwa ranah kajian Fiqh
Lughah lebih luas dibanding Ilmu Lughah. Fiqh Lughah memiliki
tujuan akhir untuk mempelajari peradaban dan sastra melalui bahasa, sedangkan Ilmu
Lughah terbatas pada analisa terhadap struktur kalimat saja[3]. Perbedaan
yang telah diklasifikasikan oleh para linguis di atas akan dapat dipahami
secara komperhensif jika objek kajian masing-masing ilmu dikaji lebih mendalam.
Argumentasi di atas menjadi
alasan pentingnya untuk mengkaji Fiqh Lughah dengan mengetahui batasan
objek kajiannya. Pada artikel ini akan dibahas tentang objek-objek kajian Fiqh
Lughah. Pertama, hubungan lafaz dengan lafaz. Kedua, hubungan lafaz dengan
makna. Ketiga, hubungan lafaz dengan penerapannya.
B. Pembahasan
Objek kajian Fiqh Lughah berbeda
dengan Ilmu Lughah. Jika kajian Ilmu Lughah cenderung mengkaji
morfologi, fonem, dan sintaksis, sedangkan Fiqh Lughah mengkaji lafaz
(kata) yang berhubungan dengan morfem, morfologi, sintaksis tersebut, baik yang
berhubungan dengan kata lain, dengan makna, maupun dalam penerapannya[4]. Secara rinci pemakalah
uraikan di bawah ini.
1.
Hubungan lafaz dengan lafaz (علاقة اللفظ باللفظ)
a.
Komparasi dengan bahasa Semit (مقارنات سامية)
Komparasi dengan bahasa Semit
memiliki arti bahwa Fiqh Lughah mengkaji secara history tentang
perkembangan bahasa pada abad-abad permulaan. Ketika itu para teolog Yahudi dan
Nasrani merasakan perlunya mengkaji bahasa untuk memahami kitab-kitab suci
mereka.
Pada tahun 1798 M, di mana
terjadinya perkembangan pengkajian bahasa Semit, perhatian terhadap bahasa
mengalami perkembangan pesat sehingga tidak berfokus pada kajian bahasa kitab
suci saja. Kajian terhadap perbandingan bahasa Semit membantu menyingkap
fenomena-fenomena yang terdapat dalam bahasa Arab. Hal ini menyebabkan para
pengkaji bahasa mampu memberikan interpretasi terhadap hal-hal yang masih
dianggap membingungkan. Inilah yang menjadi objek kajian Fiqh Lughah.
b.
Komparasi dengan bahasa Arab (مقارنات عربية)
Pada bagian ini, kajian Fiqh
Lughah akan membahas perbandingan dialek-dialek dalam rumpun bahasa Arab.
Kajiannya tentu tidak berbentuk deskriptif terhadap dialek yang ada, seperti yang menjadi kajian ilmu nahwu, tetapi berfokus kepada faktor penyebab
atau alasan terjadinya perbedaan dialek pada bahasa Arab itu.
2.
Hubungan lafaz dengan makna (علاقة اللفظ بالمعنى)
Hubungan lafaz dengan makna terbagi menjadi dua bagian. Pertama, makna jaras yaitu makna yang ditimbulkan dari bunyi. Kedua, makna kata berdasarkan kamus.
a.
Makna bunyi (الجرس)
Seperti yang telah dikemukakan oleh para linguis, bahwa kajian Fiqh
Lughah dalam hal bunyi adalah sekitar hubungan antara fenomena bunyi kata
dan pengaruhnya terhadap kondisi saat bunyi kata itu terdengar. Kajian bunyi ini terbagi dua,
yaitu muhakah dan taklif. Masing-masing akan dijelaskan dengan
rinci.
·
Muhakah (المحاكة)
Muhakah adalah bunyi kata yang
menunjukkan makna tertentu. Fenomena bahasa ini dikenalkan pertama kali oleh
linguis Ighriq dengan nama ono mato poeia. Fenomena ini terdapat
pada semua bahasa manusia. Sebagian mereka menyebutnya sebagai perkembangan
bahasa yang pertama.
Para linguis menjadikan bahasa
sebagai pemberi berita terhadap suara dalam perkembangannya. Seperti kata-kata:
الخرير, الفحيح, atau الحفيف.
Demikian juga dengan kata قطف, قطع, dan قطم. Kajian terhadap kata-kata
ini hanya terhadap kosa katanya, bukan dalam hal qaidah, yang menjadi
objek kajian Ilmu Lughah.
·
Taklif (التأليف)
Taklif adalah kajian terhadap susunan
atau bangunan kata. Apakah huruf-huruf pembentuk kata itu dinilai bagus atau
tidak. Kata tersebut dinilai berdasarkan kedekatan makhraj (tempat keluarnya
huruf). Seperti مستشزرات dan الهعخ.
b. Makna Kamus
(المعجمي)
Unsur terakhir dalam hubungan bahasa dengan makna dalam Fiqh Lughah adalah
makna yang diperoleh dari kamus. Beragam kamus telah dibuat oleh para linguis
sebagai bentuk perkembangan bahasa. Kelompok kamus tersebut akan diuraikan
berikut ini.
i.
Kamus objek
tertentu (معاجم موضوعات خاصة)
a.
Rasail
Maudhu’at (رسائل الموضوعات): Kamus ini memuat kata-kata yang
sering digunakan dalam keseharian, bahkan ada yang mengikutsertakan tarkib
dan susunan kalimat. Kata-katanya memuat objek tertentu, seperti tentang
senjata dan sebagainya. Di antara objek kajian dalam risalah ini adalah
sebagai berikut.
·
Risalah Lingkungan Arab Gurun, seperti risalah tentang hujan karya Abi Zaid dan
Alashmai, risalah tentang badai karya Abu Hanifah Addainury, risalah tentang
awan dan hujan karya Ibnu Daryad.
·
Risalah Hewan, seperti risalah penciptaan hewan karya Alashmai, risalah
tentang kuda karya Ibnu Qutaibah, risalah tentang onta dan kambing karya
Alashmai, dan risalah tentang burung karya Ibnu Abi Hatim.
·
Risalah Tumbuhan, risalah tentang tumbuhan karya Abu Hanifah, Alashmai, dan
Abu Zaid.
b.
Mutaradif (المترادف)
Mutaradif memiliki makna yang sejajar
dengan sinonim. Kamus sinonim berisi padanan dari kata, di antaranya terdapat
pada kamus Raudhul Makluf Fima Lahu Ismani Ila Uluf karya Alfayr dan
Zubadi
c.
Adhdad (الأضداد)
Adhdad adalah satu kata memiliki dua
makna yang berlawanan[5]. Di antara risalah yang memuat adhad adalah kamus yang
dibuat oleh Qithrib, Ibnu Sakkit, Abu Bakr Alanbary, Abu Barakat bin Alanbary,
Atawazi, dan Ashaghani.
d.
Musytarak
Lafzy (المشترك اللفظي)
Musytarak lafzy adalah beragamnya makna sebuah
kata. Di antara risalah yang memuat musytarak lafzy ini dibuat oleh
Alashmai dan Ibnu Abi Hatim Assajastani.
e.
Furuq (الفروق)
Al-Furuq merupakan perbedaan-perbedaan
dalam bahasa. Kata berbeda namun memiliki arti yang berdekatan dan memiliki
muatan makna yang berbeda. Tokoh yang telah membuat risalah al-Furuq adalah Yaqub bin Sakkit dan Abu Hilal Alasykari.
f.
Kamus sains
dan teknologi (معاجم فنية)
Kamus ini baru muncul dan berkembang pada masa belakangan ini. Di antara
contohnya adalah Kasyaf karya Atahanuwi, Tarif karya Aljurjani,
dan Kulliyat karya Abu Baqa Alhusaini.
ii.
Kamus Makna
(معاجم المعنى)
Kamus ini merupakan kamus yang disusun berdasarkan susunan makna yang
khusus. Berdasarkan urutan makna itulah disusun kata-kata bahkan tarkibnya.
Di antara contoh kamus ini adalah kitab Alfaz karya Ibnu Sakkit, Tahzib
Kitab Alfaz karya Atabrizi, Alfaz alkitabiyah karya Hamzani, Mabadi Lughah
karya Aliskafi, dan Almukhashash karya Ibnu Sayyiduh.
iii.
Kamus Lafaz
(معاجم الألفاظ)
Kamus lafaz berbeda dengan kamus makna. Kamus ini disusun berdasarkan
susunan kata kemudian diberi maknanya. Penyusunan kamus yang satu dengan yang
lain terdiri atas beragam metoda. Setidaknya terdapat dua jenis, yaitu
penyusunan secara fonemik berdasarkan makhraj dan penyusunan berdasarkan huruf
hijaiyah.
a.
Penyusunan
secara fonemik berdasarkan makhraj terdapat pada kamus seperti kamus Al-Ain
karya Khalil, Albari’ karya Alqali, Tahzibul Lughah karya Alazhary, Almuhith
karya Shahib Ibn Ibad.
b.
Penyusunan
berdasarkan huruf hijaiyah sesuai urutan huruf. Pembagian penyusunannya akan diuraikan berikut
ini.
a)
Susunan
kata-katanya beraturan. Terkadang menggunakan taqlibul huruf seperti
pada kamus Aljamharah karya Ibn Duraid, dan dengan nizham tatabu daury
seperti kamus Maqayis Lughah karya Ibn Faris. Secara rinci terlihat dalam table di bawah ini.
الحرف
|
البدء
|
الانتهاء
|
ب
|
بب
|
بأ
|
ت
|
تت
|
تب
|
Tabel 1: Kamus dengan susunan
kata-kata yang beraturan
b)
Susunan
kata-katanya tidak berpedoman kepada tertib kata. Jenis kamus ini terdapat dua
macam. Pertama, urutannya berdasarkan huruf awal kata seperti kamus Aljim karya
Asyaibani dan Asasul Balaghah karya Zamakhsyari, Almishbah karya Alfuyumi,
serta kamus-kamus moderen menggunakan susunan ini. Kedua, susunannya
berdasarkan huruf terakhir kata, seperti kamus Diwanul Adab karya Alfarabi dan
Lisanul Arab karya Ibn Manzur.
3.
Hubungan lafaz dengan penggunaan / penerapan (علاقة اللفظ بالاستعمال)
a.
Gharib (غريب)
Gharib adalah kosa kata yang jarang atau
tidak masyhur penggunaannya dalam keseharian. Kata tersebut tidak diketahui
kecuali setelah melewati kajian tertentu. Ia dapat didefenisikan juga sebagai
kosa kata asli bahasa Arab yang tidak memakai kaidah bahasa Arab yang masyhur.
Kosa kata yang dipandang gharib ini ada kalanya diambil dari
Alquran, seperti yang terdapat dalam kitab Gharibul Quran karya Muarij Assudusy
dan Gharibul Quran karya Abu Hatim Assajastani. Ada yang diperoleh dari kitab
Hadis Nabi Muhammad SAW, seperti kitab yang dikarang oleh Abu Ubaidah, Alashmai
dan sebagainya.
Terdapat juga kitab yang memuat kata-kata gharib dari Alquran dan
Hadis, seperti pada kitab Gharibul Quran wa Gharibul Hadis karya Ibn Khurath,
Alharwi, dan Almadini. Disamping itu, ada yang diambil dari kalam orang Arab,
seperti pada kitab Gharibul Mushnif karya Ibn Salam, Gharibul Lughah dan Kitab
Gharibul Lughah wa Musykilul Quran karya Ibn Qutaibah.
b.
Dakhil (دخيل)
Dakhil dalam definisi para linguis
memiliki dua jenis, yaitu muarrab dan muwallad. Adapun perbedaan
dari dua jenis ini hanya sekitar waktu saja. Mana yang lebih dahulu dan mana
yang terjadi baru-baru ini. Meskipun pada hakikatnya memiliki pengertian yang
sama. Dua jenis itu akan
dijelaskan berikut ini.
I.
Muarrab (معرب)
Muarrab dalam istilah Bahasa Indonesia
sejajar dengan serapan. Muarrab adalah proses menyerap kata asing dengan
cara adaptasi berdasarkan aturan bahasa Arab dan kebiasaan tutur kata orang
Arab atau dengan cara adaptasi dari segi tashrif.
Sebagian linguis Arab ada yang tidak setuju dengan adanya serapan dalam
bahasa Arab. Alasan mereka
adalah bahwa serapan menunjukkan
ketidakmurnian bahasa. Akan tetapi, mayoritas linguis telah sepakat bahwa
terjadinya serapan sebagai bentuk kedinamisan sebuah bahasa.
Di antara buktinya adalah bahwa dalam Alquran sendiri terdapat kata serapan
dari bahasa lain. Ketika Alquran diturunkan maka kata-kata itu menjadi bahasa
Arab, seperti kata الصراط, السندس, الاستبرق, القنطار, الدينار, dan sebagainya.
II.
Muwallad (مولد)
Muwallad merupakan sisi lain dari muarrab.
Pola muwallad ini baru muncul pada Dinasti Abasiyah. Hal ini terjadi saat terjadinya penerjemahan besar-besaran terhadap buku-buku asing. Para
penerjemah telah berupaya membuat padanan huruf yang tidak ditemukan dalam
bahasa Arab yang mendekati fonem Arab.
Di antara huruf yang tidak terdapat dalam bahasa Arab adalah huruf C yang
ditulis dengan huruf ق, contoh: موسيقي (music),
dan huruf V yang ditulis dengan huruf ب atau و, seperti الأوستا (vista).
Akan tetapi, bagaimanapun juga hal ini tidak bisa dijadikan patokan, sebab Fiqh
Lughah tidak berfokus pada kaidah-kaidah.
Sebagai bukti, kita dapat menemukan serapan secara adopsi langsung dari
bahasa asing yang menyalahi kaidah tashrif seperti التلفزيون (televisi).
Dari penjelasan ini dapat dipahami pembeda antara muarrab dengan
muwallad. Jika para pendahulu mengadakan muarrab --menyerap bahasa
asing tetapi disesuaikan dengan kaidah bahasa Arab-- untuk kemurnian bahasa,
maka para linguis moderen melakukan muwallad --memberikan kebebasan
dalam penyerapan bahasa asing-- tanpa terpaku kepada kaidah bahasa Arab
(serapan-adopsi) untuk kepentingan keilmuan.
Di antara kitab yang mengkaji tentang fenomena serapan ini adalah Kitab Ma
Warada fil Quran min Lughatil Qabail karya Ibn Salam Aljumha, Kitab Qasdu Sabil
fima fil Arabiyah minad Dakhil karya Dimasyqi, dan Almuarrab min Alfazil
Quranil Karim karya Syekh Hamzah Fathullah.
c.
Maudhu’ (موضوع)
Dalam hal ini, ada beragam pertanyaan muncul dalam benak kita tentang Fiqh
Lughah. Di antaranya adalah kenapa kita juga membahas tentang musytaq,
murtajal, manhut, mulhaq, dan ma’dul dalam Fiqh Lughah, di mana
sudah kita pelajari pada nahwu dan atau ushul nahwi. Apa perbedaan kajian pada
kedua disiplin ilmu ini dan sebagainya.
Jawaban dari semua pertanyaan itu adalah bahwa kajian Fiqh Lughah terbatas
pada penerapan dari semua istilah di atas. Lebih rinci akan kita temukan dalam
penjelasan di bawah ini.
1)
Musytaq (مشتق)
Musytaq merupakan proses membuat sebuah
kata yang diambil dari satu kata lain atau lebih yang sesuai lafaz dan
maknanya. Seperti kata طالب yang berasal dari kata طلب. Kajian Fiqh Lughah tidak sekedar mencari apa
asal dari kata itu serta kaidah-kaidahnya, seperti yang dibahas dalam ranah Ilmu
Lughah. Akan tetapi lebih mengkaji dan mengamati kepada jenis dan perbedaan makna yang
ditimbulkan oleh perbedaan bentuk kata turunan tersebut.
2)
Manhut (منجوت)
Manhut adalah sebuah kata yang diambil
dari dua kata lain atau lebih. Kata ini menjadi istilah tertentu. Di antara
contoh manhut ini adalah البسملة yang berasal dari kata بسم الله.
3)
Murtajal (مرتجل)
Murtajal adalah
sebuah istilah baru yang muncul dari seorang yang terpandang dan tinggi tingkat
kafasihannya, dimana belum pernah ada istilah tersebut sebelumnya.
4)
Mulhaq (ملحق)
Mulhaq adalah menambah huruf dalam
sebuah kata kemudian ditasrif berdasarkan kaidah asalnya. Seperti ب, ل, ج, menjadi جلبب.
5)
Ma’dul (معدول)
Fenomena ma’dul telah masyhur pada bahasa Arab. Wazan kata
terdapat dalam tasrif, namun ia tidak bisa ditasrif. Seperti kata عمر.
6)
Majaz (مجاز)
Seperti yang kita kenal bahwa majaz merupakan kajian Ilmu Balaghah.
Pertanyaannya, kenapa terdapat dalam objek kajian Fiqh Lughah? Jawabannya
adalah karena majaz berhubungan dengan lafaz dan kaitannya dengan
penerapan bahasa.
C. Simpulan
Dari uraian di atas dapat
dipahami perbedaan yang jelas antara Fiqh Lughah dengan Ilmu Lughah.
Fiqh Lughah membahas
tentang kosa kata dan penerapannya, baik yang berkaitan dengan lafaz, makna, maupun penerapannya dalam kalimat. Fiqh Lughah tidak membahas struktur
dan kaidah-kaidah bahasanya. Dengan kata lain, Fiqh
Lughah membahas sesuatu yang yang berubah-ubah (multi intrepertasi), tidak
yang tetap. Memahami
objek kajian Fiqh Lughah menjadi salah satu jalan agar terjaga dari
pembauran dengan kajian Ilmu Lughah.
Hasil kajian ini dapat
dijadikan kajian awal bagi para peminat kajian linguistik untuk mengenal Fiqh
Lughah. Diharapkan lahirnya beragam kajian lain setelah pembaca menelaah
tulisan ini.
Daftar Pustaka
Alhamd, Muhammad bin Ibrahim. 2005. Fiqh
Lughah. Riyadh: Dar Ibn Khuzaimah.
Hasan, Tamam. 2000. Al-Ushul. Kairo: Alamul Kutub.
Manzhur, Ibn. t.t. Lisanul Arab. Beirut: Dar Shadir.
Yaqub, Emil Badi. 1982. Fiqh Lughah Arabiyah Wa Khashaishiha. Beirut: Daru
Tsaqafah Islamiyah.
[1]. Dr. Emil Badi Yaqub, Fiqh Lughah Arabiyah Wa
Khashaishiha, (Beirut: Daru Tsaqafah Islamiyah, 1982), h. 28
0 comments: