Kajian Empirik Pranata Pendidikan dalam latar Budaya dan Organisasi
Kajian
Empirik Pranata Pendidikan dalam latar Budaya dan Organisasi
oleh: Much. Rifqy, Sy., SE
oleh: Much. Rifqy, Sy., SE
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Pranata Pendidikan
Pranata Pendidikan terletak pada upaya sosialisasi, sehingga masyarakat
memiliki kemampuan dan ciri-ciri pribadi. Pendidikan adalah suatu proses yang
terjadi karena interaksi berbagai faktor, yang menghasilkan penyadaran diri dan
lingkungan. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan
bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
menjelaskan bahwa pendidikan dilakukan agar mendapatkan tujuan yang diharapkan
bersama, yaitu:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Berdasarkan Tap MPR No. II/MPR/1988 bahwa pendidikan itu berdasarkan atas
Pancasila dasar dan falsafah negara. Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis. Sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh
dan terpadu. Semesta dalam arti terbuka bagi seluruh rakyat. Menyeluruh dalam
arti mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Terpadu dalam arti
adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha
pembangunan nasional.
Pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Undang-undang ini mengungkapkan
satu sistem yang :
a.
Berakar pada kebudayaan nasional
dan berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945
b.
Merupakan satu keseluruhan dan
dikembangkan untuk ikut berusaha mencapai tujuan nasional
c.
Mencakup, baik jalur pendidikan
sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah
d.
Mengatur, bahwa jalur pendidikan
sekolah terdiri atas 3 (tiga) jenjang utama
e.
Mengatur, bahwa kurikulum, peserta
didik dan tenaga kependidikan, terutama guru, dosen atau tenaga pengajar,
merupakan tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan
f.
Mengatur secara terpusat
(sentralisasi), namun penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan
dilaksanakan secara tidak terpusat (desentralisasi)
g.
Menyelenggarakan satuan dan
kegiatan pendidikan sebagai tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat,
dan Pemerintah
h.
Mengatur, bahwa satuan dan
kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan masyarakat
diperlakukan dengan penggunaan ukuran yang sama
i.
Mengatur, bahwa satuan dan
kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memiliki kebebasan
untuk menyelenggarakannya sesuai dengan ciri atau kekhususan masing-masing
sepanjang ciri itu tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara
j.
memudahkan peserta didik memperoleh pendidikan yang
sesuai dengan bakat, minat dan tujuan yang hendak dicapai.
2.2.Ruang Lingkup Pendidikan
a.
Pendidikan dalam keluarga (informal)
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
b.
Pendidikan di sekolah (formal)
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang
yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
c.
Pendidikan dalam masyarakat (nonformal)
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Selanjutnya dalam Undang-undang Sisdiknas dijelaskan bahwa, pendidikan
nonformal diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan
yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap pendidikan formal.
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan
penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan.
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak
usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan dan
pelatihan kerja, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta
satuan pendidikan yang sejenis. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi
masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup,
dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri,
dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga
yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan.
2.3.Fungsi Pranata Pendidikan
1. Fungsi
konservasi (pengawetan)
2. Fungsi evaluatif
(penilaian)
3. Fungsi kreatif
a.
Fungsi Pranata Pendidikan Menurut Para Ahli
1.
Menurut BRUCE J COHEN
Fungsi pranata pendidikan antara lain :
-
Memberikan persiapan bagi peran-peran pekerjaan
-
Sebagai perantara perpindahan warisan kebudayaan
-
Memperkenalkan peranan dalam masyarakat
-
Mempersiapkan individu dengan berbagai peranan
sosial
-
Memberi landasan penilaian dan pemahaman
2.
Menurut BOGARDUS
Fungsi pranata pendidikan antara lain :
-
Memberantas kebodohan yaitu mengusahakan agar anak
mampu menulis dan membaca serta mengembangkan kemampuan intelektualnya
-
Menghilangkan salah pengertian yaitu mengembangkan
pengertian yang luas tentang manusia lain yang berbeda kebudayaan dan
kepentingannya
3.
Menurut DAVID POPONOE
Fungsi pendidikan antara lain :
-
Sebagai transmisi kebudayaan masyarakat yaitu
selalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat
-
Menjamin adanya integrasi sosial di tengah masyarakat
Indonesia yang majemuk
-
Sumber inovasi sosial
4. Menurut
HORTON dan HUNT
Fungsi nyata (manifest) pendidikan antara lain :
-
Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari
nafkah
-
Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan
pribadi dan kepentingan masyarakat melestarikan kebudayaan.
Fungsi
tersembunyi / laten pendidikan antara lain :
-
Mengurangi pengawasan orang tua kepada anak
-
Menyediakan sarana pembangkangan terhadap
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat mempertahankan sistem kelas sosial
-
Memperpanjang masa remaja
b.
Fungsi Tersembunyi Pranata Pendidikan
1. Menunda masa
kedewasaan anak
2. Menjadi saluran bagi
mobilitas sosial
3. Memelihara integrasi
masyarakat
c.
Fungsi Nyata Pendidikan
1. Menolong orang untuk
sanggup mencari nafkah bagi kehidupannya kelak
2. Meningkatkan citra
rasa kehidupan
3. Meningkatkan taraf
kesehatan dengan olahraga
d.
Manfaat Pendidikan
1. Wawasan dan pandangan
seseorang dalam berinteraksi menjadi lebih baik
2. Seseorang dapat mengikuti
perkembangan zaman
3. Seseorang menjadi lebih kritis dan
analitis dalam berpikir.
2.4.Pengertian Budaya
Arti Kata
Budaya Secara Etimologis Menurut kamus Bahasa
Indonesia kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta Bodhya yang berarti
akal budi, sinonimnya adalah kultur yang berasal dari bahasa Inggris Culture
atau Cultuur dalam Bahasa Belanda. Kata Culture sendiri berasal dari bahasa
Latin Colere (dengan akar kata “Calo” yang berarti mengerjakan tanah, mengolah
tanah atau memelihara ladang dan memelihara hewan ternak.
Arti kata
budaya secara terminologis budaya adalah suatu hasil dari budi dan atau daya,
cipta, karya, karsa, pikiran dan adat istiadat manusia yang secara sadar maupun
tidak, dapat diterima sebagai suatu perilaku yang beradab. Dikatakan membudaya
bila kontinu, konvergen.
Budaya adalah sebuah warisan sosial juga
adalah segala sesuatu yang tercipta atau dilakukan oleh sekumpulan individu
disuatu tempat tertentu di masa lalu dan kemudian melalui waktu hingga sampai
di masa selanjutnya. Pemberian itu kemudian diulang sebagai sebuah tradisi yang
sebagian berasal dari warisan masa lalu oleh generasi sekarang.
Menurut
Takahashi ( 1989 ) kebudayaan merupakan
sub kategori peradaban, jadi
berbicara tentang keunikan-keunikannya
atau model- model bangunan yang berdiri di atasnya fondasi kemanusiaan atau perdaban. Menurut Ruth Benedict,
kebudayaan menunjukkan pola-pola pemikiran serta tindakan tertent yang
terungkap dalam aktivitas. Sehingga pada hakekatnya kebudayaan itu sesuai
dengan apa yang dinyatakan oleh Ashley Montagu ialah “ way of life “ yaitu cara hidup tertentu yang memancarkan identitas
tertentu pula dari suatu bangsa ( Hans J. Daeng, 1993 ).
Kebudayaan
juga dapat berubah karena adanya beberapa aspek lingkungan yang mempengaruhi,
dengan derajat adaptasi tertentu (Moertjipto, 1995). Akan tetapi pada
perkembangannya tidaklah semua kebudayaan yang di ciptakan oleh manusia itu
dapat terus bertahan hidup. Oleh karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan
masyarakat sebagai pemangku kebudayaan itu, maka nilai-nilai yang ada
didalamnya pun bisa mengalami pergeseran-pergeseran. Apabila suatu kebudayaan
dianggap baik oleh masyarakat pemangkunya dan mampu beradaptasi dengan
perkembangan social, maka akan tetap di pertahankan.
Kebudayaan
sebagai suatu proses tentunya tidak akan mengenal titik henti, namun selalu
berproses sepanjang masa sejauh dinamika potensis kodrati yang berwujud cipta,
rasa, dan karsa masih melekat pada diri manusia ( Suratman, 1993 ). Pendapat
yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Kartodirdjo, bahwa bila suatu
kebudayaan ingin tetap bisa bertahan, maka harus dapat mengikuti atau
menyesuaikan dengan perkembangan social masyarakat pemangkunya harus dinamis.
Kebudayaan tersebut harus berani berkompetisi dengan kebudayaan lain. Dengan
demikian, walaupun kebudayaan itu sudah dapat dikatakan sebagai puncak, bukan
berarti berhenti berkembang. Oleh karena kebudayaan itu harus selalu berkembang
seirama dengan perkembangan atau kemajuan social ekonomi masyarakat penduduknya
( Moertjipto, 1995 ).
Kebudayaan
dapat dibedakan dengan dua hal, yaitu kebudayaan ditinjau dari sudut individu
dan kebudyaan ditinjau dari sudut masyarakat. Kebudayaan ditinjau dari sudut
individu maka individu berperan :
a.
Mempelajari hasil-hasil yang telah diperoleh
oleh generasi terdahulu, agar individu dapat menyadari posisi kedudukannya dan
mengetahui perjuangan yang dilakukan generasi terdahulu
b.
Mengembangkan hasil, yang diperoleh generasi terdahulu,
apa-apa yang telah dianggapnya sebagai asumsi untuk lebih menyempurnakan
perkembangan yang telah dihasilkan itu
c.
Menghubungkan nilai yang dipelajari dan
dikembangkan kepada genarasi yang akan timbul . maka pengaruh dari individu
harus giat mempelajari mengembangkan hasil yang telah diperoleh generasi
sebelumnya dan menghubungkannya kepada generasi yang sedang tumbuh.
Kebudayaan ditinjau dari sudut masyarakat,
maka wujudnya berbentuk hasil pikiran (logik), norma (etika), dan perasaan
(estetika). Masyarakat perlu mempelajari hasil pikiran yang
dikembangkangenerasi terdahulu, dan
hasil pikiran itu menggambarkan bagaimana cara kerja yang dilakukan untuk
menuju ke arah hasil pikiran yang sempurna.
2.5.Latar
Budaya Masyarakat Indonesia
Kemajemukan masyarakat
Indonesia dapat dilihat dari banyaknya suku-bangsa yang tersebar di wilayah
Nusantara ini. Menurut perkiraan terakhir, terdapat kurang lebih 500
suku-bangsa yangmengembangkan kebudayaan masing-masing secara mandiri. Diantara
suku-bangsa-suku-bangsa yang tersebar tersebut ada yang memiliki jumlah anggota
besar, setiap suku-bangsa Jawa yang paling dominan dari seluruh penduduk
Indonesia, dan ada yang jumlah anggotanya hanya beberapa ribu saja ( Poerwanto,
1996 ).
Setiap
suku-bangsa mengembangkan kebudayaannya masing-masing sebagai kerangka acuan
dalam proses adaptasi terhadap lingkungannya, dan ini dikenal dengan kebudayaan
suku-bangsa. Kebudayaan-kebudayaan suku-bangsa itu hingga kini masih berfungsi
sebagai kerangka acuan bagi para penduduknya dan di tanamkan pada generasi
penerus atau muda lewat pendidikan dalam keluarga. Oleh karena itu, kebudayaan
suku-bangsa pada umumnya masih berfungsi dalam terpelihara dalam lingkungan
kerabat.
Sementara itu,
kebudayaan daerah berasal dari kebudayaan suku-bangsa yang paling dominan.
Suku-bangsa yang dikatakan paling dominan ini dapat terbentuk karena :
jumlahnya paling banyak, l dapat karena kebudayaan tersebut telah mapan atau
dapat karena anggota-anggota dalam suku-bangsa tersebut banyak yang menduduki
peran-peran penting baik dalam bidang politik, social maupun ekonomi.
Biasanya
kebudayaan daerah itu berkembang sebagai hasil perpanduan kebudayaan-kebudayaan
suku-bangsa pada masyarakat majemuk yang menduduki suatu wilayah permukiman
bersama. Tidak jarang perkembangan kebudayaan suatu daerah diwarnai atau
didominasi oleh salah satu kebudayaan suku-bangsa yang mempunyai jumlah
penduduk paling banyak, atau karena kebetulan telah mapan perkembangannya, atau
karena telah merupakan kebudayaan dari golongan masyarakat yang menguasai
sumber-sumber kekuasaan politik, ekonomi, dan social.
2.6.Budaya dari latar Agama
Sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan
kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol.
Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan
juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama
memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama.
Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal,
abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut).
Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa
kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa
kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Interaksi antara agama dan kebudayaan itu
dapat terjadi dengan, pertama agama memperngaruhi kebudayaan dalam
pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan.
Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama
dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia
mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan
hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitem nilai dan simbol agama.
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan,
yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali
terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial
adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi
realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata
sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi
merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu)
yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan
kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama
memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai
dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang
baru lahir, bila agama memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqah
untuk penebusan (rahinah) anak tersebut, sementara kebudayaan yang
dikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji memberikan wawasan dan cara
pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendoakan kesalehan anak
yang baru lahir agar sesuai dengan harapan ketuhanan dan kemanusiaan. Demikian
juga dalam upacara tahlilan, baik agama maupun budaya lokal dalam tahlilan
sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi orang yang
meninggal.
Oleh karena itu, biasanya terjadi dialektika
antara agama dan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna (spirit) pada
kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Namum
terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal ini
berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adat
istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyat
yang bersifat absolut.
Gagasan pribumisasi Islam, secara geneologis
dilontarkan pertama kali oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an. Dalam
‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif
berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia
tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi pemurnian
Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat muslim di
Timur Tengah. Bukankah Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan
budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri?
Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari
kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak
hilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan untuk menghindari
polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak
terhindarkan.
Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan
budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan
yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta berusaha
mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.
Pada konteks selanjutnya, akan tercipta
pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya, dalam wujud
‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari ‘Islam Otentik’ atau ‘Islam Murni’ yang
ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh
penjuru dunia. ‘Islam Pribumi’ justru memberi keanekaragaman interpretasi dalam
praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan
demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam.
Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan
paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus
berlanjut.
Sebagai contoh dapat dilihat dari praktek
ritual dalam budaya populer di Indonesia, sebagaimana digambarkan oleh
Kuntowijoyo, , menunjukkan perkawinan antara Islam dan budaya lokal yang cukup
erat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat, sebagai salah satunya, dimaksudkan agar
manusia dapat menjadi ‘wiwoho’, yang mulia. Sehingga berangkan dari pemahaman
ini, masyarakat harus memuliakan kelahiran, perkawinan, kematian, dan
sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan
manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia ini
jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluq
yang mulia.
2.7.Budaya
Lokal
a.
Pengaruh
Hindu-Budha
Bidang pendidikan membawa pengaruh bagi
munculnya lembaga-lembaga pendidikan. Meskipun lembaga pendidikan tersebut
masih sangat sederhana dan mempelajari satu bidang saja, yaitu keagamaan. Akan
tetapi lembaga pendidikan yang berkembang pada masa Hindu-Buddha ini menjadi cikal
bakal bagi lahirnya lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Bukti bukti yang
menunjukkan telah berkembangnya pendidikan pada masa kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha di Indonesia, antara lain adalah:
a)
Dalam catatan
perjalanan I-Tsing, seorang pendeta yang berasal dari Cina, menyebutkan bahwa
sebelum dia sampai ke India, dia terlebih dahulu singgah di Sriwijaya. Di
Sriwijaya I-Tsing melihat begitu pesatnya pendidikan agama Buddha, sehingga dia
memutuskan untuk menetap selama beberapa bulan di Sriwijaya dan menerjemahkan
salah satu kitab agama Buddha bersama pendeta Buddha yang ternama di Sriwijaya,
yaitu Satyakirti. Bahkan I-Tsing menganjurkan kepada siapa saja yang akan pergi
ke India untuk mempelajari agama Buddha untuk singgah dan mempelajari terlebih
dahulu agama Buddha di Sriwijaya. Berita I-Tsing ini menunjukkan bahwa
pendidikan agama Buddha di Sriwijaya sudah begitu maju dan tampaknya menjadi
yang terbesar di daerah Asia Tenggara pada saat itu.
b)
Prasasti Nalanda
yang dibuat pada sekitar pertengahan abad ke-9, dan ditemukan di India. Pada
prasasti ini disebutkan bahwa raja Balaputradewa dari Suwarnabhumi (Sriwijaya)
meminta pada raja Dewapaladewa agar memberikan sebidang tanah untuk pembangunan
asrama yang digunakan sebagai tempat bagi para pelajar agama Buddha yang
berasal dari Sriwijaya. Berdasarkan prasasti tersebut,kita bisa melihat begitu
besarnya perhatian raja Sriwijaya terhadap pendidikan dan pengajaran agama
Buddha di kerajaannya. Hal ini terlihat dengan dikirimkannya beberapa pelajar
dari Sriwijaya untuk belajar agama Buddha langsung ke daerah kelahirannya yaitu
India. Tidak mustahil bahwa sekembalinya para pelajar ini ke Sriwijaya maka
mereka akan menyebarluaskan hasil pendidikannya tersebut kepada masyarakat
Sriwijaya dengan jalan membentuk asrama-asrama sebagai pusat pengajaran dan
pendidikan agama Buddha.
c)
Catatan
perjalanan I-Tsing menyebutkan bahwa pendeta Hui-Ning dari Cina pernah
berangkat ke Ho-Ling (salah satu kerajaan Buddha di Jawa). Tujuannya adalah
untuk bekerja sama dengan pendeta Ho-Ling yaitu Jnanabhadra untuk menerjemahkan
bagian terakhir kitab Nirwanasutra. Dari berita ini menunjukkan bahwa di Jawa
pun telah dikenal pendidikan agama Buddha yang kemudian menjadi rujukan bagi
pendeta yang berasal dari daerah lain untuk bersamasama mempelajari agama
dengan pendeta yang berasal dari Indonesia.
d)
Pada prasasti
Turun Hyang, yaitu prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga menyebutkan
tentang pembuatan Sriwijaya Asrama oleh Raja Airlangga. Sriwijaya Asrama
merupakan suatu tempat yang dibangun sebagai pusat pendidikan dan pengajaran
keagamaan. Hal ini menunjukkan besarnya perhatian Raja Airlangga terhadap
pendidikan keagamaan bagi rakyatnya dengan memberikan fasilitas berupa
pembuatan bangunan yang akan digunakan sebagai sarana pendidikan dan pengajaran.
e)
Istilah surau
yang digunakan oleh orang Islam untuk menunjuk lembaga pendidikan Islam
tradisional di Minangkabau sebenarnya berasal dari pengaruh Hindu-Buddha. Surau
merupakan tempat yang dibangun sebagai tempat beribadah orang Hindu-Buddha pada
masa Raja Adityawarman. Pada masa itu, surau digunakan sebagai tempat berkumpul
para pemuda untuk belajar ilmu agama. Pada masa Islam kebiasaan ini terus
dilajutkan dengan mengganti fokus kajian dari Hindu-Buddha pada ajaran Islam.
b.
Pengaruh
Islam
Sejak kehadiran Islam di Indonesia, para ulama
telah mencoba mengadobsi kebudayaan lokal secara selektif, sistem sosial,
kesenian dan pemerintahan yang pas tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak
yang dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya
Indonesia tetap beragama, walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara
agama. Kalangan ulama Indonesia memang telah berhasil mengintegrasikan antara
keIslaman dan keindonesiaan, sehingga apa yang ada di daerah ini telah dianggap
sesuai dengan nilai Islam, karena Islam menyangkuit nilai-nilai dan norma,
bukan selera atau idiologi apalagi adat. Karena itu, jika nilai Islam dianggap
sesuai dengan adat setempat, tidak perlu diubah sesuai dengan selera, adat,
atau idiologi Arab, sebab jika itu dilakukan akan menimbulkan kegoncangan
budaya, sementara mengisi nilai Islam ke dalam struktur budaya yang ada jauh
lebih efektif ketimbang mengganti kebudayaan itu sendiri.
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa
dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab
saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah
sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana
yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa
yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah)
mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan
serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai
salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat
Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil
menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.
Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk
Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan
pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau
ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).
Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang
dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu.
Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak
seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja
Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan
simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama
Islam.
Demikian pula untuk memahami nilai-nilai
Islam. Para pendakwah Islam dulu, memang lebih luwes dan halus dalam
menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai
budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan
sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama
tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan
kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang
dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan
kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis
semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai
Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam
pendapat Mohammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih
banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan
memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap
sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik
sifatnya.
2.8.Budaya
Nasional
Pelaksanaan
pendidikan nasional berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jalur Pendidikan
Jalur pendidikan terdiri atas :
1. pendidikan formal,
2. nonformal, dan
3. informal.
Jalur Pendidikan
Formal Jenjang pendidikan formal terdiri atas:
1. pendidikan dasar,
2. pendidikan menengah,
3. dan pendidikan tinggi.
Jenis pendidikan
mencakup:
1. pendidikan umum,
2. kejuruan,
3. akademik,
4. profesi,
5. vokasi,
6. keagamaan, dan
7.
khusus.
a.
Tingkatan
Pendidikan Formal
1)
Pendidikan
Dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan
yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai
dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pemerintah dan
Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga
negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut
biaya.
Pendidikan dasar berbentuk:
1. Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah
(MI) atau bentuk lain yang sederajat;
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
2)
Pendidikan
Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan
pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas:
1. pendidikan menengah umum
2. pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk:
1. Sekolah Menengah Atas (SMA),
2. Madrasah Aliyah (MA),
3. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
4. Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk
lain yang sederajat.
3)
Pendidikan
Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan
setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana,
magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk:
1.
akademi,
2. politeknik,
3. sekolah tinggi,
4. institut, atau
5.
universitas.
Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan
program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
b.
Pendidikan
Nonformal
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi
warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai
pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan
potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Pendidikan nonformal meliputi:
1.
pendidikan
kecakapan hidup,
2. pendidikan anak usia dini,
3. pendidikan kepemudaan,
4. pendidikan pemberdayaan perempuan,
5. pendidikan keaksaraan,
6. pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
7. pendidikan kesetaraan, serta
8. pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik.
Satuan pendidikan
nonformal terdiri atas:
1. lembaga kursus,
2. lembaga pelatihan,
3. kelompok belajar,
4. pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
5.
majelis taklim,
serta satuan pendidikan yang sejenis.
Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi
masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup,
dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha
mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai
setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian
penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
c.
Pendidikan
Informal
Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan
oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Hasil pendidikan informal diakui sama dengan
pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan
standar nasional pendidikan.
d.
Pendidikan
Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan
sebelum jenjang pendidikan dasar.
Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:
Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:
1.
Taman Kanak-kanak
(TK),
2. Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang
sederajat.
Pendidikan anak
usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk:
1. Kelompok Bermain (KB),
2.
Taman Penitipan
Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia dini pada jalur
pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang
diselenggarakan oleh lingkungan.
e.
Pendidikan
Kedinasan
Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan
profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah
nondepartemen.
Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan
kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan
calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui
jalur pendidikan formal dan nonformal.
f.
Pendidikan
Keagamaan
Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pendidikan
keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan
informal. Pendidikan keagamaan
berbentuk:
1.
pendidikan
diniyah,
2. pesantren,
3. pasraman,
4. pabhaja samanera, dan bentuk lain yang
sejenis.
g.
Pendidikan
Jarak Jauh
Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan
pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan
layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti
pendidikan secara tatap muka atau reguler.
Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam
berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan
belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar
nasional pendidikan.
h.
Pendidikan
Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial,
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan
bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang
terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu
dari segi ekonomi.
2.9.
Budaya
Internasioanal
Belakangan ini
muncul tren di beberapa sekolah yang mengklaim dirinya menerapkan pendidikan
internasional. Dengan mengadopsi kurikulum asing dan mendatangkan para pengajar
dari negara asal kurikulum, sekolah-sekolah ini berani menyebutkan bahwa
kurikulum mereka berkualitas pendidikan internasional
Sebenarnya
standar pendidikan internasional bukan sekedar pendidikan yang menggunakan
bahasa internasional. Bukan hanya pada kulitnya. Harusnya pendidikan
internasional bukan melulu mempromosikan penggunaan bahasa asing. Pendidikan
internasional harus dimaknai dengan pendidikan yang menjadikan anak didiknya
berpikir secara terbuka dan internasional, open and international minded.
International minded dimana di dalamnya para anak didiknya kelak akan menjadi
manusia yang ‘berwarga negara internasional’ atau istilahnya sebagai global
citizen. Jadi pendidikan internasional bukan sekedar kulit belaka, namun lebih
pada esensi yang terletak di dalamnya, dalam pembelajarannya.
Dalam pendidikan
internasional, kurikulum yang diterapkan boleh-boleh saja kurikulum nasional,
tetapi di dalamnya disisipkan pendidikan untuk ber-internasional. Program yang
benar-benar program berstandar internasional dalam arti yang sesungguhnya yakni
dalam program ini selain menerapkan pelajaran Bahasa Inggris sebagai satu dari
mata pelajarannya, Bahasa Ibu, dalam hal ini Bahasa Indonesia- bila diterapkan
di Indonesia, masih harus dipakai. Anak didik harus tetap dikenalkan dengan
budaya lokal dan harus tetap diajak berpikir tentang apa yang ada di sekitar
lokalnya. Namun pada saat bersamaan, program ini membuat anak didik untuk
berpikir secara internasional dengan cara mengajak mereka untuk peduli akan
situasi yang ada di dunia luar – Act locally, think globally. Juga dengan cara
mengajarkan kepada anak didik adanya perbedaan di antara sesama, dan dengan
cara menerapkan profil-profil manusia yang mengarah ke dalam kehidupan yang
lebih baik. Artinya, anak didik dijejali dengan pendidikan akan hidup dalam
suasana damai di dunia, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian,
diberikan makna perdamaian internasional, dan arah kehidupan yang lebih baik.
Bentuk pendidikan semacam ini bukan dalam tingkat pendidikan teori, namun harus
diterapkan secara nyata. Dalam pendidikan internasional, para pendidik harus
pandai menyelipkan nilai-nilai kemanusian ke dalam semua mata pelajaran dan
dalam semua kegiatan secara berkelanjutan. Kegiatan yang dirancang haruslah
sedemikian rupa sehingga anak didik tidak hanya belajar ilmu, namun juga
belajar nilai.
1. Awal Mula Pendidikan Umum
Upaya pertama
untuk memajukan pendidikan umum dilakukan pada paruh kedua adab ke-15 oleh para
penguasa yang lebih toleran. Lingkup kekuasaan dan masa jabatan mereka
berhubungan langsung dengan nasib politik Negara. Demikianlah, pangeran Leopold
I dan sejumlah besar penduduk memutuskan bahwa Tuscany tidak akan makmur selama
pendidikan masih dikontrol gereja. Mereka mengumumkan suatu agenda yang membuka
sekolah-sekolah dasar, baik untuk orang kaya maupun orang miskin yang akan
diselenggarakan di kota besar dan kecil dibawah pengawasan public. Beberapa
sekolah telah dibuka, namun agenda itu gagal karena tidak ada cukup banyak guru
sekuler dan pengajaranpun kembali jatuh ke tangan pastor wilayah. Republik
Venesia yang tradisinya lebih sekuler jauh lebih berhasil, namun system pendidikan
di Negara itu segera berakhir dengan adanya penaklukan oleh balatentara
Napoleon.
Meskipun
demikian, penaklukan Napoleon bukannya tidak menguntungkan. Periode
pemerintahan Prancis yang singkat telah memperkenalkan pola pemerintahan
terpusat dan prinsip pendidikan yang didukung Negara. Yang lebih penting,
penaklukan Napoleon telah mempersatukan rakyat Italia dalam perlawanan
menentang musuh yang sama. Dari rasa persatuan inilah, akhirnya bangkit gerakan
nasional Sementara itu, penguasa Prancis telah mendirikan sekolah-sekolah
menengah dan universitas-universitas dibawah pengawasan dan biaya Negara untuk
mendirikan pegawai negeri, alih-alih untuk mendidik Gereja dimasa sekarang crri
periode dominasi Prancis ini masih terlihat pada liceo Itali, seperti juga
ginnasio yang lebih tua umurnya memperlihatkan cirri peninggalan Jerman.
Belakangan, keduanya digabungkan secara berurutan menjadi ginnasio liceo
klasik. Ginnasio –liceo klasik merupakan bentuk sekolah menengah yang paling
popular karena mempersiapkan penerimaan ke universitas dan dunia kerja. Kini,
baik ginnasio-liceo maupun universitas telah menjadi institusi Negara.
Pendidikan dasar
agak lambat dimulai, sebagian besar karena Napoleon tidak tertarik untuk
mengurangi jumlah buta huruf di semua kalangan. Sebenarnya, ketika Republik
Cisalpine mengumumkan “ General Plan for Public Instruction-Perencanaan
Umum Bagi Pendidikan Umum “ yang mewajibkan pendidikan dasar secara bebas, penghapusan pengaruh
gereja, dan pemberantasan takhyul memulai pengajaran ilmu pengetahuan alam,
Napoleon merasa cemas dengan kemungkinan konsekuensi nya. Lima tahun kemudian
ia menghentikan eksperimen ini dan mengalihkan sekolah-sekolah itu kepada
pendeta wilayah.
Awal pendidikan
umum yang lebih sukses terjadi di kerajaan Savoy. Sejak tahun 1859 sampai tahun
1870, Raja Victor Emmanuel II memimpin rakyatnya untuk melepaskan diri dari
dominasi Vatikan maupun luar negeri. Kemudian, satu demi satu ia merebut
Lombardi, Parma, Modena, Romagna, Tuscany, kerajaan Naples dan Sisilia, serta Papal
states. Tanggal 13 November 1859, Raja
Victor Emmanuel II meresmikan Casati Law yang terkenal-diambil dari nama
Menteri Pendidikan Umum-nya. Walaupun semula hanya dimaksudkan bagi rakyat
Savory, bentuk pencerdasan Casati Law
dan sambutan rakyat yang hangat menyebabkannya secara bertahap ditiru dan di adopsi dengan suka rela di
Negara-negara taklukan. Casati Law telah menjadi dasar pendidikan umum di Itali
sampai sekarang.
2. Sekolah Pertama
Ada 2 faktor yang memberi
sumbangsih signifikan pada perkembangan pendidikan umum di Swiss. Factor
pertama adalah motif religious atau keagamaan yang muncul pada awal masa
reformasi. Faktor kedua muncul kemudian pada abad ke-19 dengan diakuinya
kebutuhan untuk mendidik anak-anak agar dapat mandiri secara ekonomi, politik,
dan sosial. Faktor kedua ini menghasilkan berbagai reformasi pendidikan,
diantaranya ada yang telah di tiru secara luas.
Seperti di
belahan Eropa lainnya, sekolah mula-mula di bawa masuk ke Swiss oleh gereja
katholik roma. Saat itu hanya ada sedikit pusat populasi yang besar di Swiss
sehingga pusat keuskupan yang bisa mensponsori sekolah katedral juga tidak
banyak, kecuali keuskupan Basel yang terkenal. Dari keuskupan inilah University
of Basle didirikan dan memperoleh koleksi naskah kuno dan catatan catatan
berharga. Daerah pedalaman di Swiss lebih cocok untuk tujuan-tujuan golongan
biarawan atau biarawati. Sejumlah biara telah di bangun di tepi pegunungan
utara lewat panduan dari Itali. Biara-biara tersebut menjadi pelopor misi
onaris untuk rakyat yang belum memiliki agama. Beberapa sekolah biara
didirikan, terutama untuk mendidik remaja setempat agar tertarik bekerja
sebagai ulama gereja. Salah satunya adalah
biara di St. Gall, yang di kenang
terutama karena kekayaan sastra yang tersimpan di sana selama masa
kegelapan dan bertahan bertahun tahun kemudian sampai masa Renaisans. Namun,
kebanyakan penduduk tetap menderita buta huruf hingga masa reformasi.
Karena sifatnya
yang independen, rakyat Swiss tidak pernah mau menerima pengawasan gereja yang
otoritor. Sejak awal abad ke-20, pegunungan dan hutan-hutan Swiss telah
melindungi para pengikut aliran Waldens. Kemudian, Basel menjadi pusat gerakan
untuk mendirikan dewan gereja yang merupakan salahsatu bentuk pengawasan gereja
katholik roma. Unsur-unsur lain yang bertentangan dengan gereja katholik roma
dibawa masuk oleh para pengungsi dan misionaris. Terinspirasi sebagian oleh
ajaran Luther, bangsa Swiss menghasilkan tokoh reformis agamanya sendiri yang
terkenal, yaitu Ulrich Zwingli dan John
Calvin. Zwingli, seorang petinggi gereja di Zurich, memimpin gerakan yang
menghasilkan terbentuknya gereja reformasi. Gereja reformasi segera di jadikan
gereja resmi di beberapa kanton yang berbahasa Jerman dan tetap berlangsung
demikian sampai sekarang. Di Jenewa, John Calvin memimpin berdirinya teokrasi
gereja berdasarkan prinsip teologisnya sendiri. Pengaruh Calvin jelas terlihat
dimasa sekarang, tidak hanya di kanton-kanton yang berbahasa Prancis, tetapi
juga di kalangan kaum Huguenot Prancis, kaum Presbyterian dari Skotlandia,
Irlandia, dam Inggris beberapa elemen
paham protestan Belanda, kaum Kongregasionalisme, dan pengikut puritan dari
Inggris.
Di kelilingi oleh
negara-negara bagian berdaulat yang memiliki gereja resmi dan di selenggarakan
sebagai cabang pemerintahan yang penting, beberapa kanton Swiss juga mengadopsi
prinsip keseragaman agama. Setiap kanton menyatakan diri sebagai pengikut
aliran Calvin, reformasi atau katholik roma. Pernyataan keputusan itu selalu
diwarnai kebencian dan terkadang terjadi pertumpahan darah. Meskipun demikian,
keputusan keputusan itu turut andil dalam mengarahkan jenis pendidikan yang
berkembang. Keputusan keputusan itu juga berperan meningkatkan penolakan
terhadap interferensi pada pendidikan setempat dari otoritas luar, termasuk
dari pemerintahan nasional yang sedang bangkit.
3. Variasi Pendidikan di Barat
Sistem pendidikan
terlengkap dan terluas yang di bawa kaum pembaharu diresmikan di Jenewa oleh
kaum Calvinis. John Calvin tidak
tanggung tanggung membaktikan dirinya untuk menganjurkan prinsip dominasi agama
dalam hubungan antar manusia. Atas anjurannya , dewan pemerintah teokratis
Jenewa di desak untuk mendirikan dan mengelola empat sekolah membaca dalam
bahasa setempat atas biaya pubik; satu sekolah untuk seperempat bagian kota.
Namun , Calvin paling menaruh minat pada sekolah sekolah yang lebih memberikan
sumbangsih langsung pada pelajaran teologi. Maka, didirikanlah sebuah sekolah
dasar ( grammar school ) latin yang dalam banyak hal mirip dengan gymnasium
yang sudah lebih dulu di kembalikan oleh Sturm di Strassburg. Sekolah ini, dan
sekolah sekolah serupa yang didirikan
kaum Calvinis di Negara Negara tetangga, di sebut college. Juga didirikan suatu
institusi pendidikan tinggi yang dinamakan akademi. Dari akademi ini dihasilkan
University of Geneva. Perkembangan serupa yang terjadi di Lausanne dan Neuchatel
menghasilkan perguruan tinggi -perguruan tinggi yang kini berdiri di sana.
Sekolah-sekolah
di Jenewa jelas-jelas berada di bawah control langsung dewan pusat, sebuah
fakta yang memperjelas mengapa kanton Jenewa saat ini memiliki system pendidikan kanton terpadu yang dikelola
secara terpusat. Berlawanan dengan kanton-kanton lainnya yang pada berbagai
tingkat bergantung pada sekolah-sekolah local, system pendidikan kanton
masing-masing dikelola secara local secara umum, dua kanton berbahasa Prancis
lainnya, Neuchatel dan Valais, juga memperlihatkan kepentingan lebih kuat dalam
pengawasan kanton dari pada kanton-kanton berbahasa Jerman. Barangkali hal ini
akibat ikatan budaya mereka pascapemerintahan Napoleon yang sangat mendukung
prinsif pemerintahan terpusat.
Kanton-kanton
lain yang bergabung dengan gerakan
Zwingli dan menjadikan gereja reformasi sebagai gereja resmi, mengikuti
praktek kaum Luther yang menyerahkan pengadaan pelajaran membaca dalam bahasa
setempat kepada jemaat gereja setempat di Zurich, dua sekolah latin di
reorganisasi dan di modernisasikan
menurut aturan-aturan humanistic dengan memasukkan pelajaran latin klasik,
Yunani, dan Ibrani. Nama Gymnasium segera di adopsi untuk sekolah-sekolah ini
dan sekolah lain yang serupa disamping itu, Zwingli memperkenalkan kuliah “
umum “ regular yang berhubungan dengan katedral untuk mengajar pendeta wilayah
dan ulama gereja lainnya sesuai teologi reformasi dan jabatan gereja berbagai
porsi kuliah di berikan dalam bahasa Yunani, Ibrani, dan Latin, namun pada jam
pelajaran berikutnya, pembahasan topic yang sama diulang kembali dalam bahasa
Jerman untuk siapa saja yang ingin mendengarkan.
Zwiling sangat
memperhatikan kebutuhan pendidikan bagi rakyat biasa. Sebenarnya dia telah
menulis sebuah buklet tentang subjek pengajaran rakyat dan secara umum
memperlihatkan minat yang luar biasa untuk ukuran jamannya dengan mengajarkan
ilmu pengetahuan alam, teknik, dan bahkan keterampilan serta pendidikan
kejuruan kepada rakyat. Sayang sekali dia terbunuh pada masa jayanya sehingga
tidak ada kesempatan untuk melaksanakan gagasan-gagasannya bagi pendidikan
rakyat. Akibatnya, pelajaran bahasa daerah-kendati di dukung oleh pemimmpin
kanton, terutama pejabat gereja-
diserahkan pada kepemimpinan, dukungan, dan inisiatif local. Dengan cara ini,
sekolah bahasa daerah berdiri sebagai sekolah local- sekolah rakyat yang
sesungguhnya. Maka kebijakan tanggung jawab pendidikan yang ter desentralisasi
menjadi sangat kuat dan berakar. Ketergantungan pada pemimpinan dan insiatif
local sejak awal ini menyebabkan banyaknya ragam bentuk dan praktek
intitusional. Dalam atmosfer kemerdekaan untuk bertindak ini, kemudian terjadi
sejumlah ekspansi pendidikan yang berhubungan dengan nama-nama seperti
Peestalozzi, Foebel, dan Fellenberg. Meskipun tiap eksperimen tersebut
merupakan usaha pribadi, namun masing-masing menerima dukungan dan bantuan dana
daru init pemerintahan local.
Beberapa kanton
tetap menganut agama katholik, terutama kanton-kanton yang terletak di bagian
tengah dan selatan Negara yang sebagian besar berupa pegunungan dan berpenduduk
jarang. Masyarakatnya benar-benar patuh-dan tetap demikian- kepada pastor
pastornya dan tergantung pada pendidikan yang di selenggarakan gereja katholik.
Sampai sekarang, tak satupun diantara kanton kanton itu yang memiliki
universitas, kecuali kanton Freiburg dan universitas inipun didirikan oleh
kelompok dari luar dan bukan benar-benar institusi kanton. Beberapa kanton
tidak punya sekolah menengah, tetapi mengadakan perjanjian dengan satu ordo
keagamaan atau lebih untuk menyelenggarakan pendidikan bagi kaum muda di
wilayahnya. Terkadang pengaturan yang sama di tetapkan untuk pengajaran
murid-murid sekolah dasar dan pelatihan guru.
Faktor sejarah
yang telah di paparkan diatas memperlihatkan fakta bahwa saat ini tidak ada
pendidikan tunggal di seluruh daerah Swiss. Tidak ada instansi administratif
pusat maupun perangkat undangan-undangan yang mengatur pendidikan anak-anak.
Keanekaragaman bentuk institusional, muatan kurikulum, bahkan bahasa pengantar
dalam pelajaran tidak hanya terdapat di kanton tertentu tetapi bisa pula dalam satu distrik sekolah local. Meskipun
demikian, perbedaan –perbedaan pendidikan ini termasuk salah satu persoalan
yang paling banyak mendapat perhatian dari rakyat Swiss dan Negara ini
merupakan salah satu Negara dengan tingkat bebas buta huruf tertinggi di dunia.
Bangsa Swiss bisa di katakan sebagai bangsa dengan sumberdaya alam termiskin di
dunia sumberdaya utama Swiss sebenarnya adalah rakyat ; dan pendidikan adalah
satusatunya sarana agar sumberdaya itu dapat di manfaatkan seluas luasnya.
4. Tradisi Pendidikan di Asia Timur
Pola-pola yang
mendominasi tradisi social dan ideology Asia menyebar dari tiga pusat
kebudayaan besar di Indonesia, Fertile Crescent, dan Cina. Selama beberapa dasawarsa
terakhir, Jepang dulunya adalah murid Cina, mulai mengukir citra tradisinya
sendiri di Asia. Sebagian besar penyebabnya adalah kemajuan teknologi serta ke
agresifan Jepang dalam militer dan perekonomian. Kultur dan pendidikan di India
secara ringkas pada bab berikutnya. Bab ini dan dua bab selanjutnya akan
mengkaji kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi pendidikan di Cina dan Jepang.
Cina, Jepang dan
Korea disebut dengan istilah “ Asia Timur “. Menurut sejarah, ideology,
lembaga-lembaga politik dan pendidikan di seluruh kawasan itu berhasil dari
Cina. Meskipun demikian, mulai adab 19 sampai datangnya paham, komunis ,
peranan Cina sebagai cikal bekal kebudayaan semakin berkurang. Industrialisasai
, nasionalisme, demokrasi, dan pemahaman komunis menciptakan perpecahan
diantara bangsa-bangsa di Asia Timur yang di masa mendatang mungkin meruntuhkan
persatuan banyak wilayah.
5. Akar tradisi Asia Timur
Sejarah Cina
mungkin dapat dikilas balik sekitar 5000 tahun yang lalu. Jadi, Cina adalah
saingan India sebagai peradaban maju tertua di dunia. Kendati sejarah Cina awal
banyak terselubung dalam mitos, tiga millennium terakhir sejarahnya telah di
dokumentasikan dengan baik. Penemuan-penemuan arkeologi telah mengungkapkan
kecemerlangan dan kemajuan kebudayaan Cina pada permulaan tahun 1500 S.M. tentu
saja masa 1500 tahun sebelum era Kristen itu terbukti sebagai salahsatu periode
paling kreatif di Cina dalam bidang seni, kesusastraan, dan filsafat. Diantara
kepentingan khusus dalam mempelajari sumbangsih intelektual Cina adalah fakta
bahwa antara 6 sampai 3 S.M.telah hidup empat ahli pikir Cina terbesar
sepanjang masa- Lao Tze, Konfusius ( nama latin untuk K’ung fu tze ), Mo Tze,
dan mensius ( nama latin untuk Meng Tze )
besertaajaran mereka. Pemikiran pemikiran yang berasal dari orang-orang
ini khususnya konfusius dan mensius, menjadi terkenal dan sangat berpengaruh
pada banyak bangsa di Asia.
Hampir 2000 tahun
yang lalu Cina mulai berbagi hasil hasil kemajuan kebudayaannya dengan
tetangganya yang belum maju, Korea dan Jepang. Cina berhubungan dengan Korea
secara langsung. Hubungan dengan Jepang dibuka dengan menggunakan Korea sebagai
jembatan. Cina mewariskan konstribusi yang penting dan kekal bagi kebudayaan
Asia Timur. Pertama adalah system etika yang mencakup segala hal.
6. Pendidikan di Negara-negara belum Berkembang.
Dua perang besar
pada abad 20 telah mengakhiri
kolonialisme. Dengan demikian, jutaan orang bebas untuk membuat
keputusan ekonomi, politik, dan pendidikan bagi diri mereka sendiri. Jutaan
orang lainnya yang tidak tersentuh penjajahan, namun lama terhambat oleh
tradisi social yang kaku, miskinnya sumber daya alam, dan pemimpin yang korup
atau tidak layak, juga mulai menemukan kebebasan baru dan memperlihatkan
keinginan- keinginan baru. Kemajuan pesat di bidang komunikasi dan transportasi
telah menyoroti kesenjangan kesejahteraan di dunia dan membawa harapan serta
hasrat baru bagi dua per tiga penduduk dunia yang hidup di wilayah Asia, Afrika
dan Amerika latin, secara ekonomi belum berkembang. Dimasa sekarang, seluruh
dunia terpusat pada apa yang dengan tepat di istilahkan sebagai “ revolusi
harapan yang muncul .”
7. Bentuk permasalahan
Daerah-daerah
yang belum berkembang memiliki sumberdaya alam, iklim, populasi, geografi, dan
tradisi bahasa dan kebudayaan yang sangat beragam. Keanekaragaman itu
menyulitkan generalisasi kebutuhan fisik, social, pendidikan, dan kebutuhan
lainnya. Sebagian besar Negara belum berkembang merupakan wilayah desa
pertanian. ( sebenarnya, salah satu pakar dalam pembuatan model Negara yang
sudah maju dan Negara belum berkembang mempergunakan istilah “ Agraria “ dan “ Industria “). Banyak
diantaranya terletak di daerah yang beriklim panas dan akibat yang melemahkan
dari iklim tropis ini sering di sebut-sebut sebagai penyebab rendahnya produktivitas
dan kemelaratan. Negara-negara belum berkembang cenderung berpenduduk padat,
meskipun ada pula yang berpenduduk jarang. Apa yang hanya sedikit atau sama
sekali tidak memiliki warisan budaya asli dalam kasus kesusastraan, filosofi,
dan sejarah ; yang lain memiliki tradisi budaya kaya yang berasal dari masa
awal peradaban.
Kendati
berbeda-beda, kebanyakan Negara belum berkembang memiliki keyakinan yang tak
kunjung padam bahwa pendidikan adalah kunci utama menuju kebahagiaan dan
perlindungan ekonomi dimasa yang akan datang. Negara yang sedang berkembang
sangat bangga akan program-programnya untuk pemberantasan buta huruf,
pendidikan kejuruan, dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan umum.
Terinspirasi dengan impian akan masa depan yang lebih baik, rakyat yang
hidupnya pas-pasan telah mengadakan upaya-upaya pendidikan yang sungguh-sungguh
mengagumkan, sebuah kenyataan yang dapat mudah di buktikan kebenarannya dengan
memeriksa anggaran tahunan atau kehidupan pribadi orang-orang di Negara yang belum
berkembang.
Untuk memahami
peranan pendidikan dalam pembangunan social dan ekonomi, pertama tama orang
yang harus mempelajari sebab musabab atau setidaknya factor-faktor yang
melestarikan “ kemiskinan“ di Negara-negara ini. Ketika seorang ekonom berbicara
tentang factor-faktor yang mempengaruhi tingkat perekonomian suatu Negara,
biasanya ia membicarakan ketersediaan lahan, tenaga kerja, dan modal. Ekonom
modern yang memusatkan perhatiannya pada Negara belum berkembang cenderung
memodifikasi daftar klasik ini. Sebagai contoh, Brand mengemukakan bahwa
kemelaratan suatu Negara disebabkan oleh ( 1 ) rendahnya produktivitas lahan, (
2 ) kurangnya modal, ( 3 ) rendahnya tingkat pendidikan, dan ( 4 ) kurangnya
kepemimpinan untuk memulai pembangunan ekonomi. Mahasiswa mahasiswi lain dari
Negara yang belum berkembang menyatakan bahwa tekanan penduduk (angka kelahiran
yang tinggi cenderung melebihi angka kematian di daerah-daerah yang belum
berkembang) dan orientasi yang berlebihan terhadap perdagangan asing, jika bukan
penyebab, merupakan ciri-ciri khusus Negara-negara miskin. Bisa segera
dimengerti bahwa unsur-unsur keterbelakangan ekonomi ini dapat dikaitkan dalam
hubungan sebab-akibat untuk menghasilkan serangkaian lingkaran setan yang
memperlihatkan bagaimana Negara yang belum berkembang melestarikan hubungan
itu. Salah satu lingkaran setan itu, seperti yang dilihat oleh para ekonom.
Dengan demikian,
kumpulan unsur seperti ketidak
sempurnaan pasar, kualitas tenaga kerja, dan lain-lain dapat menyebabkan
rendahnya produktivitas yang akhirnya mengakibatkan kekurangan modal-suatu
keadaan yang menghalangi pembangunan ekonomi dan pada tingkat yang lebih
tinggi, juga menghambat pembangunan social dan pendidikan.
Demikian pula
halnya, lingkaran setan lain tentang persoalan yang lebih langsung bagi
mahasiswa yang mempelajari pendidikan konparatif bisa diuraikan secara ringkas.
Sebagai contoh, rendahnya tingkat pendidikan seringkali menyebabkan
produktivitas yang rendah. Akibatnya, pendapatan rendah,kemajuan pendidikan dan
lain-lain pun terhambat. Jelas bahwa tak peduli lingkaran setan apa yang
diperoleh, disini terlibat suatu factor pendidikan, kendati signifikasi dan
dimensinya yang tepat masih di perdebatkan.
Tetapi,
gambarannya tidaklah sedemikian pesimis seperti yang terlihat sepintas. Tak
pelak lagi, harus ada cara untuk memutuskan lingkaran kemelaratan itu, atau
Negara akan tenggelam dalam keterbelakangan yang tak kunjung usai. Pemaksaan
penghematan, cara-cara baru untuk berproduksi, modal asing, dan bantuan teknik
tidak hanya menghancurkan lingkaran setan tersebut, tetapi juga menciptakan
lingkaran lain yang lebih baik. Dengan demikian, dapat dihasilkan produktivitas
yang lebih tinggi dengan lebih banyak pendapatan, peningkatan penghematan, dan
perekonomian yang bergerak kedepan.
Variabel-variabel
sosial dan psikologis dalam proses pembangunan barangkali merupakan
factor-faktor yang sama pentingnya dengan factor ekonomi. Sebagai contoh, Levy
menyimpulkan barangkali tidak ada masyarakat yang sama sekali memiliki factor-faktor
industry. Dalam menganalisa factor-faktor strategis “internal“ dan “eksternal“ untuk perubahan, levy
menekankan variabel-variabel seperti ( 1 ) pola-pola peraturan keluarga, ( 2 )
pola-pola produksi, dan ( 3 ) pola-pola wewenang dan tanggung jawab.
Dalam hal ini,
interfretasi dari penulis-penulis akan mendukung Levy . Hoselitz, sebagian
besar mengambil dari tulisan-tulisan dari Talcott parsone, menemukan beberapa
pola perilaku social yang langsung berhubungan dengan perilaku yang relevan
secara ekonomi (didefinisikan sebagai produksi dan distribusi barang dan jasa).
Hoselitz menjelaskan, “ascription“
dan “partikularisme“ cenderung mengatur peran kemasyarakatan Negara-negara yang
belum berkembang. Status, jabatan, hak istimewa, dan larangan lebih merupakan
akibat dari keluarga, kelas atau kasta dari pada prestasi, yang merupakan
sesuatu yang lebih umum di Negara-negara yang sudah maju. Selain itu, golongan
elite dari masyarakat yang belum berkembang cenderung lebih berorientasi pada
diri sendiri dari pada golongan elite di Negara-negara maju- golongan elite
yang disebut terakhir ini merupakan pola yang di gambarkan sebagai
“orientasi-kolektifitas“.
Dalam manual
UNESCO untuk melaksanakan reset sosial di lapangan, termuat daftar yang lebih
rinci mengenai perubahan individu dan social yang diperlukan untuk merubah
bentuk masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang mampu membangun dirinya
sendiri secara berkesinambungan. Jenis-jenis perubahan strategis tersebut
dikelompokan dalam tiga bagian: perubahan pada masing-masing individu (
pengetahuan, keahlian, perilaku ).
1.
Meningkatkannya tingkat melek huruf,
pengetahuan ilmiah, pelatihan ilmiah dan teknologi, serta pendekatan atau
teknik terhadap berbagai masalah.
2.
Bertambahnya ketidak puasan terhadap kualitas
kehidupan, hubungan status, dan aktivitas ekonomi yang bersifat tradisional.
3.
Meningkatkannya keyakinan bahwa kemajuan
ekonomi dan social dapat diperoleh melalui teknik dan aktivitas ekonomi yang
baru.
4.
Meningkatkannya keyakinan bahwa kemajuan
ekonomi dan social dapat diperoleh melalui upaya dan kompetensi individu ( dari
pada melalui pilihan yang berdasarkan pada penyuapan, kepentingan politik,
hubungan kekeluargaan, kasta atau status social, kebangsaan, ras, agama atau
jenis kelamin ).
5.
Definisi yang kian spesifik tentang hak-hak
istimewa ekonomi yang diharapkan dari masyarakat, dan kewajiban ekonomi pada
masyarakat ( dari pada jaminan yang lunak dan tidak jelas yang sering
diharapkan dari desa atau keluarga, dan kewajiban ekonomi yang luas namun tidak
tentu yang sering dirasakan pada desa atau keluarga )
6.
Bertambahnya respek pada kejujuran dalam
bisnis dan pemerintahan, serta penggunaan perjanjian ( kontrak ) dalam hubungan
ekonomi.
Perubahan
dalam institusi dan hubungan social
1.
Meningkatkannya komunikasi interpersonal
(melalui pemakaian bahasa yang umum, bertambahnya tingkat melek huruf,
perbanyakan media komunikasi, mobilitas social, perjalanan, dan lain-lain.
2.
Meningkatkannya kesempatan ekonomi (melalui pengurangan monopoli, adanya
kredit, dan peningkatan mobilitas jabatan ).
3.
Meningkatkannya upah untuk aktivitas ekonomi (
melalui land reform, perubahan perpajakan berbagai jenis bantuan pemerintah).
4.
Menigkatkannya kekuatan golongan yang
berpartisipasi dalam perubahan-perubahan ini, dan kekurangannya kekuatan
golongan yang menentang perubahan.
5.
Meningkatkannya aktivitas pemerintah dalam
pelayanan public dan pembangunan social dan ekonomi.
Perubahan
pada modal pengeluaran social
1.
Meningkatnya investasi pada pendidikan,
sanitasi dan kesehatan masyarakat, penyediaan air bersih.
2.
Meningkatkannya investasi untuk transportasi,
komunikasi, daya, dan irigasi.
Meningkatkan
kompetensi (kemungkinan termasuk investasi) dalam administrasi publik,
ketertiban masyarakat, dan penegakan militer.
2.11.
Pengertian Organisasi
Arti kata organisasi secara etimologis tubuh
atau alat tubuh, aturan, susunan, perkumpulan dari kelompok tertentu dengan
dasar ideologi yang sama.
Arti kata organisasi secara
terminologis organisasi adalah kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara
sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasikan, yang bekerja
atas dasar yang relatif terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau
sekelompok tujuan.
2.12.
Pendidikan Keluarga
a.
Konsep Keluarga
Di dalam pendidikan hal yang paling utama adalah
proses pendidikan. Natawijaya (Elih, 2012:21) mengemukakan bahwa
‘proses pendidikan merupakan interaksi sosial-budaya antara orang dewasa yang
berperan sebagai pendidik dan orang yang belum dewasa’. Kelahiran lembaga
pendidikan modern, seperti sekolah atau lembaga pendidikan lainnya, secara
historis memang merupakan akibat dari keterbatasan keluarga untuk memenuhi
kebutuhan belajar yang terus berkembang pada setiap individu anak sesuai dengan
perkembangannya. Namun demikin bukan berarti bahwa dengan anak-anak memasuki
lembaga pendidikan modern tersebut fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan
menjadi hilang.
Dalam awal siklus perkembangan kehidupan seorang
individu, secara nyata keluarga merupakan lembaga pertama yang dikenalinya. Keluarga merupakan suatu lembaga atau unit sosial terkecil di
masyarakat yang terbentuk melalui perkawinan yang sah biasanya terdiri atas
ayah, ibu dan anak yang hidup disuatu tempat. Menurut Ki hajar Dewantara (Elih, 2012:23):
“...keluarga itulah tempat pendidikan yang lebih sempurna sifat dan
wujudnya daripada pusat-pusat lainnya, untuk melangsungkan pendidikan ke arah
kecerdasan budi pekerti (pembentukan watak individu) dan sebagai persediaan
hidup kemasyarakatan. ...orang tua dalam keluarga, dengan kesucian yang
semurni-murninya, kecintaan yang sebesar-besarnya, keikhlasan yang
sesuci-sucinya dan sebagimana berhadapan dengan anak-anaknya sendiri, maka
teranglah mereka itu sukar disamakan dengan kaum guru lainnya, yang teristimewa
hanya terkait formil, dan hanya organis mereka wajib melakukan pendidikan
terhadap anak-anak yang bukan anaknya sendiri”.
Keluarga adalah salah satu mata rantai kehidupan yang paling esensial dalam
sejarah perjalanan hidup anak manusia. Sekaligus ia juga membuat mozaik
khilafah yang membutuhkan bingkai ajaran sebagai pelindung dan penghias lukisan
kehidupan yang memberikan kenyamanan dan keteduhan kalbu. Tentunya lukisan
kehidupan keluarga yang begitu indah ini tidak lepas dari spektrum dasar, yaitu
sakinah, mawadah, dan warrohmah.
“Baitii jannati”i, rumahku adalah taman sorgaku. Sebuah ungkapan paling tepat tentang
bangunan keluarga ideal, karena keluarga merupakan sumber pertama dan utama
bagi kehidupan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Keluarga sebagai
sumber pertama dan utama memberikan sumbangan yang sangat besar bagi
perkembangan dan pertumbuhan mental maupun fisik anak dalam kehidupannya.
Selain itu, keluarga bagi anak merupakan suatu tempat yang paling strategis
dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang dibutuhkan oleh anak
yang tengah mencari makna kehidupan.
Keberhasilan pendidikan anak dalam keluarga ketika anak berada dalam usia
dini, akan sangat berpengaruh pada keberhasilan pendidikan pada periode
berikutnya. Berkaitan dengan tanggungjawab orang tua dalam pendidikan anak, khususnya
anak usia dini, ibu memegang peranan penting. Hal ini dikarenakan sejak
sentuhan awal dalam kehidupan seorang bayi, frekuensi kehadiran ibu lebih
dominan. Menurt Freud seperti yang dikutip oleh Dagun “perkembangan sosial seseorang sangat
ditentukan oleh pengalaman pada awal masa kanak-kanaknya...hubungan sang anak
dengan ibunya sangat berpengaruh dalam pembentukan pribadi dan sikap-sikap
sosial si anak di kemudian hari” . Secara umum ayah kurang menunjukan minat dan
merasa tidak tahu tentang pengasuhan anak. Menurut hadits Rasululloh saw
bersabda (Elih, 2012:24) : “Engkau (ibu) lebih berhak terhadap
anak-anak”. Namun demikian peran seorang ayah dalam keluarga bukan berarti
tidak ada sama sekali. Dalam ajaran agama islam walaupun mengutamakan ibu, tetapi
peran ayah mendapat penegasan, misalnya dalam salah satu hadist Rasululloh saw.
Sebagimana diriwayatkan Ibnu Majah, (Elih,
2012:25) mengungkapkan : “Sebagian kewajiban bapak atas
anak-anaknya ialah memberikan nama yang baik, mengajarkan menulis dan mencarikan
jodohnya apabila telah dewasa”. Selain itu juga peran seorang ayah begitu
penting sejalan dengan yang diungkapkan oleh
al-Qurthubi sebagaimana dikutip oleh Takariawan (Elih, 2012:26) menegaskan bahwa keluarga hendaknya
memiliki hubungan yang akrab dan intim satu dengan yang lain, karena akan
memudahkan dalam proses penyerapan nilai-nilai.
Jadi betapa pentingnya pendidikan yang dilaksanakan dalam keluarga.
Perhatian mengenai pendidikan keluarga tidak hanya ditujukan oleh
anggota-angota keluarga yang bersangkutan, melainkan oleh segenap lapisan
masyarakat. Hal ini mengisyaratkan betapa keluarga itu merupakan bagian dalam
kehidupan bermasyarakat.
b. Pola Asuh dalam keluarga
Persoalan yang
mendapat banyak kajian dalam pendidikan di keluarga ada;ah mengenai pola asuh.
Menurut Kohn sebagaimana dikutip Indriana dan Haditono (Elih, 2012:27) bahwa pola asuh menyangkut sikap orang tua
memberikan peraturan serta disiplin, hadiah dan hukuman, cara orang tua
menunjukan kekuasaannya tanggapan terhadap keinginan-keinginan anak. Menurut
Jones dan Wilkins (Elih, 2012:21) strategi
pola asuh terdiri dari :
1.
Kompetensi instrumental, yaitu perilaku independen, oriental berprestasi,
dominan purposif, kooperatif, dan tanggungjawab secara sosial.
2.
Kompetensi ekspresif, meliputi perilaku keekspresifan emosional,
spontanitas, dan keintiman hubungan.
Pola asuh yang bersifat mendorong akan meningkatakan kemandirian karena
percaya diri merupakan salah satu ciri kemandirian. Sedangkan keluarga dengan
pola asuh yang menekan atau otoriter mengakibatkan anak kurang diberi
kesempatan untuk mengembangkan kemandiriannyasehingga ia mengalami hambatan di
dalam mencapai kemandirian.
Dalam pendidikan di keluarga disiplin sangat perlu diterapkan. Untuk
menanamkan disiplin pada anak, Shochib (Elih,
2012:29) mengungkapkan bahwa pola asuh harus merupakan upaya
orang tua yang diaktualisasikan terhadap penataan :
1.
Lingkungan fisik
2.
Lingkungan sosial internal dan eksternal
3.
Pendidikan internal dan eksternal
4.
Dialog dengan anak-anak
5.
Suasana psikologis
6.
Sosiobudaya
7.
Perilaku yang ditampilkan pada saat terjadinya pertemuan dengan anak-anak
8.
kontrol terhadap perilaku anak-anak
9.
Menentukan nilai-nilai moral sebagai dasar berperilaku dan yang diupayakan
kepada anak-anak.
Untuk memberikan pendidikan dalam keluarga Abdullah Nasih Uwan sebagaimana
dikutip Takariawan(Elih, 2012:30) dalam keluarga , yaitu :
1.
Pendidikan iman
2.
Pendidikan moral
3.
Pendidikan fisik
4.
Pendidikan intelektual
5.
Pendidikan psikis
6.
Pendidikan sosial
7.
Pendidikan seksual
Selain dari itu Abdul halim mengemukakan bahwa mendidik anak pada
hakikatnya merupakan serangkian dari usaha orang tua dalam rangka :
1.
Menyelamatkan fitrah islamiah anak
2.
Mengembangkan potensi pikir anak
3.
Mengembangkan potensi rasa anak
4.
Mengembangkan potensi karsa anak
5.
Mengembangkan potensi kerja anak
6.
Mengembangkan potensi sehat anak
Selain itu ada metode-metode dalam mendidik anak menurut Abdullah Nashih di
dalam keluarga yang banyak berpengaruh pada nanak, diantaranya adalah :
1.
Pendidikan dalam keteladanan
2.
Pendidikan dengan adat kebiasaan
3.
Pendidikan dengan nasihat
4.
Pendidikan dengan pengawasan
5.
Pendidikan dengan hukuman
c. Model Kehidupan
Keluarga Edukatif
Model
kehidupan keluarga edukatif dalam hal ini secara khusus berkenaan dengan :
1.
Model konstruk kehidupan edukatif, yaitu suatu konstruk yang menggambarkan
sejumlah dimensi, variabel dan indikator kehidupan keluarga yang kondusif
terhadap keberhasilan pendidikan anak.
Konstruk kehidupan keluarga edukatif dapat terlihat pada gambar dibawah ini
:
2.
Model pengukuran dan istrumen pengukuran kehidupan kelurga edukatif, yaitu
model instrumen untuk mengukur kehidupan keluarga edukatif, yang memiliki
reliabilital dan validitas bermakna. Model ini dapat dilihat pada gambar
dibawah ini:
d.
Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga adalah bertanggung jawab dalam rangka menjaga dan
menumbuhkembangkan anggota-anggotanya. Dalam hal ini keluarga berfungsi untuk
membekali setiap anggota keluarganya agar dapat hidup sesuai dengan tuntutan
nilai-nilai religius pribadi dan lingkungan. Demi perkembangan dan pendidikan
anak, keluarga harus melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik dan seimbang.
Peranan orang tua dalam melaksanakan
fungsi-fungsi keluarga harus disertai
dengan penampilan serta tindakan-tindakan yang telah disesuaikan dengan
berbagai situasi.
Berdasarkan pendekatan budaya, keluarga sekurang-kurangnya harus mempunyai
7 fungsi yaitu :
1.
Fungsi Biologis -Fungsi ini diarahkan untuk mendorong keluarga sebagai wahana
menyalurkan kebutuhan reproduksi sehat bagi semua anggota keluarganya, sehingga
melahirkan generasi yang lebih baik di masa yang akan datang. Keluarga disini
juga berfungsi sebagai tampat untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
seperti kebutuhan akan keterlindungan fisik seperti kesehatan, sandang, pangan
dan papan.
2.
Fungsi Edukatif - Keluarga merupakan lingkungan yang pertama bagi anak. Pendidikan
merupakan tanggungjawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang merupakan figur
sentral dalam pendidikan. Fungsi pendidikan mengharuskan setiap orang tua untuk
mengkondisikan kehidupan keluarga menjadi situasi pendidikan.
3.
Fungsi Religius - Fungsi religius berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk
mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan melibatkan anak-anak serta anggota
keluarga lainnya mengenai kaidah-kaidah agama dan perilaku keagamaan. Fungsi
ini mengharuskan orang tua sebagai seorang tokoh inti dan panutan dalam
keluarga, untuk menciptakan iklim keagamaan dalam kehidupan keluarganya.
4.
Fungsi Protektif (perlindungan) - Fungsi protektif dalam keluarga ialah untuk menjaga dan memelihara
anak serta anggota lainnya dari tindakan negatif yang mungkin timbul, baik dari
dalam maupun dari luar kehidupan keluarga. Fungsi ini pun adalah untuk
menangkal pengaruh kehidupan yang sesat sekarang dan pada masa yang akan
datang.
5.
Fungsi Sosialisasi Anak - Fungsi sosialisasi berkaitan dengan mempersiapkan anak untuk
menjadi anggota masyarakat yang baik. Dalam melaksanakan fungsi ini, keluarga
berperan sebagai penghubung antara kehidupan anak dengan kehidupan sosial dan
norma sosial sehingga kehidupan disekitarnya dapat dimengerti oleh anak.
6.
Fungsi Rekreatif - Fungsi ini tidak harus selalu dalam membentuk kemewahan ataupun
pesta pora melainkan melalui penciptaan suasana kehidupan yang tenang dan
harmonis di dalam keluarga. Keadaan ini dapat dibangun melalui kerjasama
diantara anggota keluarga yang diwarnai oleh hubungan insani yang didasari oleh
adanya saling mempercayai, saling menghormati dan saling mengerti.
7.
Fungsi Ekonomis - Fungsi ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan kesatuan ekonomis.
Aktifitas dalam fungsi ekonomis berkaitan dengan pencarian nafkah, pembinaan
usaha dan perencanaan anggaran pengeluaran biaya keluarga.
2.13.
Konsep Dasar dan Pengertian Budaya Sekolah
1.
Konsep Dasar Budaya Sekolah
Sistem pendidikan mengembangkan pola kelakuan
tertentu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dari murid-murid.
Kehidupan di sekolah serta norma-norma yang berlaku di situ dapat disebut
kebudayaan sekolah. Walaupun kebudayaan sekolah merupakan bagian dari
kebudayaan masyarakat luas, namun mempunyai ciri-ciri yang khas sebagai “sub-culture”. Sekolah bertugas untuk
menyampaikan kebudayaan kepada generasi baru dan karena itu harus selalu
memperhatikan masyarakat dan kebudayaan umum. Timbulnya sub-kebudayaan sekolah
terjadi oleh sebab sebagian yang cukup besar dari waktu murid terpisah dari
kehidupan orang dewasa. Dalam situasi seperti ini dapat berkembang pola
kelakuan yang khas bagi anak muda yang tampak pada pakaian, bahasa, kebiasaan
kegiatan-kegiatan serta upacara-upacara. Sebab lain timbulnya kebudayaan
sekolah ialah tugas sekolah yang khas yakni mendidik anak dengan menyampaikan
sejumlah pengetahuan, sikap, keterampilan yang sesuai dengan kurikulum dengan
metode dan teknik kontrol tertentu yang berlaku di sekolah itu.
Salah satu keunikan dan keunggulan sebuah
sekolah adalah memiliki budaya sekolah (school
culter) yang kokoh dan tetap eksis. Sebuah sekolah harus mempunyai misi
menciptakan budaya sekolah yang menantang dan menyenangkan, adil, kreatif,
terintegratif, dan dedikatif terhadap pencapaian visi, menghasilkan lulusan
yang berkualitas tinggi dalam perkembangan intelektualnya dan mempunyai
karakter takwa, jujur, kreatif, mampu menjadi teladan, bekerja keras, toleran
dan cakap dalam memimpin, serta menjawab tantangan akan kebutuhan pengembangan
sumber daya manusia yang dapat berperan dalam perkembangan IPTEK dan
berlandaskan IMTAQ.
Budaya sekolah (school culter) merupakan kata kunci (keyword) yang perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh dari para pengelola pendidikan. Budaya sekolah perlu dibangun berdasarkan kekuatan karakteristik budaya lokal masyarakat tempat sekolah itu berada. Budaya sekolah adalah detak jantung sekolah itu sendiri, perumusannya harus dilakukan dengan sebuah komitmen yang jelas dan terukur oleh komunitas sekolah yakni guru, siswa, manajemen sekolah, dan masyarakat.
Budaya sekolah (school culter) merupakan kata kunci (keyword) yang perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh dari para pengelola pendidikan. Budaya sekolah perlu dibangun berdasarkan kekuatan karakteristik budaya lokal masyarakat tempat sekolah itu berada. Budaya sekolah adalah detak jantung sekolah itu sendiri, perumusannya harus dilakukan dengan sebuah komitmen yang jelas dan terukur oleh komunitas sekolah yakni guru, siswa, manajemen sekolah, dan masyarakat.
Untuk membangun atmosfer budaya sekolah yang
kondusif, maka ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu apakah yang dimaksud
dengan budaya sekolah, bagaimana penciptaannya, bagaimana peran kepala sekolah
selaku leader dalam mendesain budaya sekolahnya, bagaimana hasil dari budaya
sekolah kontribusinya terhadap keberhasilan sekolah baik dalam meningkatkan
kualitas sumber daya manusia maupun prestasi sekolahnya.
Menurut Zamroni (Zamroni, 2011) budaya sekolah
( kultur sekolah ) sangat mempengaruhi prestasi dan perilaku peserta didik dari
sekolah tersebut. Budaya sekolah merupakan jiwa dan kekuatan sekolah yang
memungkinkan sekolah dapat tumbuh berkembang dan melakukan adaptasi dengan
berbagai lingkungan yang ada.
Selanjutnya, dalam analisis tentang budaya
sekolah dikemukakan bahwa untuk mewujudkan budaya sekolah yang akrab-dinamis,
dan positif-aktif perlu ada rekayasa social. Dalam mengembangkan budaya baru
sekolah perlu diperhatikan dua level kehidupan sekolah: yaitu level individu
dan level organisasi atau level sekolah. Level individu, merupakan perilaku
siswa selaku individu yang tidak lepas dari budaya sekolah yang ada. Perubahan
budaya sekolah memerlukan perubahan perilaku individu. Perilaku individu siswa
sangat terkait dengan prilaku pemimpin sekolah.
2.
Pengertian Budaya Sekolah
Secara etimologis, budaya berasal dari bahasa
Inggris yaitu dari kata culture. Marvin Harris (1987) mendefinisikan culture atau budaya sebagai serangkaian
aturan yang dibuat oleh masyarakat sehingga menjadi milik bersama, dapat
diterima oleh masyarakat, dan bertingkah laku sesuai dengan aturan. Dalam
istilah lain, Denis Lawton (1975) mendefinisikan bahwa culture is everything that exists in a society. Culture includes every
thing that is man made : technological artifacts, skills, attitudes, and
values.
Secara implisit, kesimpulan dari kedua
definisi di atas menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai yang
telah diterapkan di suatu sekolah merupakan budaya sekolah. Secara eksplisit,
Deal dan Peterson (1999) mendefinisikan budaya sekolah sebagai sekumpulan nilai
yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang
dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan
masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau
watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas.
Budaya sekolah adalah keyakinan dan
nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai
warga suatu masyarakat. Jika definisi ini diterapkan di sekolah, sekolah dapat
saja memiliki sejumlah kultur dengan satu kultur dominan dan kultur lain
sebagai subordinasi. (Kennedy, 1991)
Pendapat lain tentang budaya sekolah juga
dikemukakan oleh Schein, bahwa budaya sekolah adalah suatu pola asumsi dasar
hasil invensi, penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok tertentu saat ia
belajar mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta dianggap
valid, dan akhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam
memandang, memikirkan, dan merasakan masalah-masalah tersebut. ( Schein , 2010
)
Pandangan lain tentang budaya sekolah
dikemukakan oleh Zamroni ( 2011 ) bahwa budaya sekolah adalah merupakan suatu
pola asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan
kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama oleh seluruh warga sekolah, yang
diyakini dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai
problem dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan melakukan integrasi
internal, sehingga pola nilai dan asumsi tersebut dapat diajarkan kepada
anggota dan generasi baru agar mereka
memiliki pandangan yang tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan
dan bertindak menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada ( Zamroni,
2011: 297 ).
3. Karakteristik Budaya Sekolah
Kehidupan selalu berubah, dalam pertumbuhan
dan perkembangan anak mengalami perubahan. Perubahan-perubahan itu dapat
terjadi karena pengaruh lingkungan dan pendidikan. Pengaruh lingkungan yang
kuat adalah di sekolah karena besar waktunya di sekolah. Sekolah memegang
peranan penting dan strategis dalam mengubah, memodifikasi, dan
mentransformasikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan yang
berhubungan dengan kebutuhan anak untuk hidup di masyarakat sesuai dengan
tuntutan jamannya.
Studi terhadap sekolah-sekolah yang berhasil
atau efektif dapat diperoleh gambaran bahwa mereka mempunyai lima karakteristik
umum seperti yang diungkapkan oleh Steven dan Keyle (editor, 1985) sebagai
berikut :
a. Sekolah memiliki
budaya sekolah yang kondusif
b. Adanya harapan
antara para guru bahwa semua siswa dapat sukses
c. Menekankan
pengajaran pada penguasaan ketrampilan
d. Sistem tujuan
pengajaran yang jelas bagi pelaksanaan monitoring dan penilaian keberhasilan
kelas
e. Prinsip-prinsip
sekolah yang kuat sehingga dapat memelihara kedisiplinan siswa.
Penciptaan
budaya sekolah dapat dilakukan melalui :
a. Pemahaman tentang
budaya sekolah
b. Pembiasaan
pelaksanaan budaya sekolah
c.
Reward and punishment
Menurut Robbins (1994) karakteristik umum
budaya sekolah adalah sebagai berikut: (1) inisiatif individual, (2) toleransi
terhadap tindakan beresiko, (3) arah, (4) integrasi, (5) dukungan dari
manajemen, (6) kontrol, (7) identitas, (8) sistem imbalan, (9) toleransi
terhadap konflik dan (10) pola-pola komunikasi.
Dalam lingkup tatanan dan pola yang menjadi
karakteristik sebuah sekolah, kebudayaan memiliki dimensi yang dapat di ukur
yang menjadi ciri budaya sekolah seperti:
1.
Tingkat tanggung jawab, kebebasan dan
independensi warga atau personil sekolah, komite sekolah dan lainnya dalam
berinisiatif.
2.
Sejauh mana para personil sekolah dianjurkan
dalam bertindak progresif, inovatif dan berani mengambil resiko.
3.
Sejauh mana sekolah menciptakan dengan jelas
visi, misi, tujuan, sasaran sekolah, dan upaya mewujudkannya.
4.
Sejauh mana unit-unit dalam sekolah didorong
untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi.
5.
Tingkat sejauh mana kepala sekolah memberi
informasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap personil sekolah.
6.
Jumlah pengaturan dan pengawasan langsung yang
digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku personil sekolah.
7.
Sejauh mana para personil sekolah
mengidentifkasi dirinya secara keseluruhan dengan sekolah ketimbang dengan
kelompok kerja tertentu atau bidang keahlian profesional.
8.
Sejauh mana alokasi imbalan diberikan
didasarkan atas kriteria prestasi.
9.
Sejauh mana personil sekolah didorong untuk
mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka.
10. Sejauh mana
komunikasi antar personil sekolah dibatasi oleh hierarki yang formal (diadopsi
dari karakteristik umum seperti yang dikemukakan oleh Stephen P. Robbins).
Dari sekian karakteristik yang ada, dapat
dikatakan bahwa budaya sekolah bukan hanya refleksi dari sikap para personil
sekolah, namun juga merupakan cerminan kepribadian sekolah yang ditunjukan oleh
perilaku individu dan kelompok dalam sebuah komunitas sekolah.
4.
Unsur-unsur Budaya Sekolah
Bentuk budaya sekolah secara intrinsik muncul
sebagai suatu fenomena yang unik dan menarik, karena pandangan sikap, perilaku
yang hidup dan berkembang dalam sekolah pada dasarnya mencerminkan kepercayaan
dan keyakinan yang mendalam dan khas dari warga sekolah.
Hedley Beare mendeskripsikan unsur-unsur
budaya sekolah dalam dua kategori:
1. Unsur yang tidak
kasat mata
Unsur yang tidak kasat mata adalah filsafat
atau pandangan dasar sekolah mengenai kenyataan yang luas, makna hidup atau
yang di anggap penting dan harus diperjuangkan oleh sekolah. Dan itu harus
dinyatakan secara konseptual dalam rumusan visi, misi, tujuan dan sasaran yang
lebih kongkrit yang akan di capai oleh sekolah.
2. Unsur yang kasat
mata dapat termenifestasi secara konseptual meliputi :
a) visi,misi, tujuan
dan sasaran,
b) kurikulum,
c) bahasa
komunikasi,
d) narasi sekolah,
dan narasi tokoh-tokoh,
e) struktur
organisasi,
f) ritual, dan
upacara,
g) prosedur belajar
mengajar,
h) peraturan sistem
ganjaran/ hukuman,
i)
layanan psikologi sosial,
j)
pola interaksi sekolah dengan orang tua,
masyarakat dan yang meteriil dapat berupa : fasilitas dan peralatan, artifiak
dan tanda kenangan serta pakaian seragam.
Djemari Mardapi (2003) membagi unsur-unsur
budaya sekolah jika ditinjau dari usaha peningkatan kualitas pendidikan sebagai
berikut :
b) Kultur sekolah
yang positif
Kultur sekolah yang positif adalah kegiatan-kegiatan
yang mendukung peningkatan kualitas pendidikan, misalnya kerjasama dalam
mencapai prestasi, penghargaan terhadap prestasi, dan komitmen terhadap
belajar.
c) Kultur sekolah
yang negatif
Kultur sekolah yang negatif adalah kultur yang
kontra terhadap peningkatan mutu pendidikan. Artinya resisten terhadap
perubahan, misalnya dapat berupa: siswa takut salah, siswa takut bertanya, dan
siswa jarang melakukan kerja sama dalam memecahkan masalah.
d) Kultur sekolah
yang netral
Yaitu kultur yang tidak berfokus pada satu
sisi namun dapat memberikan konstribusi positif tehadap perkembangan
peningkatan mutu pendidikan. Hal ini bisa berupa arisan keluarga sekolah,
seragam guru, seragam siswa dan lain-lain.
5. Peran Budaya Sekolah
Dalam
terminologi kebudayaan, pendidikan yang berwujud dalam bentuk lembaga atau
instansi sekolah dapat dianggap sebagai pranata sosial yang di dalamnya
berlangsung interaksi antara pendidik dan peserta didik sehingga mewujudkan
suatu sistem nilai atau keyakinan,dan juga norma maupun kebiasaan yang di
pegang bersama. Pendidikan sendiri adalah suatu proses budaya. Masalah yang
terjadi saat ini adalah nilai-nilai yang mana yang seharusnya dikembangkan atau
dibudayakan dalam proses pendidikan yang berbasis mutu itu. Dengan demikian
sekolah menjadi tempat dalam mensosialisasikan nilai-nilai budaya yang tidak
hanya terbatas pada nilai-nilai keilmuan saja, melainkan semua nilai-nilai
kehidupan yang memungkinkan mampu mewujudkan manusia yang berbudaya.
Djemari
(2003) membagi karekteristik peran kultur sekolah berdasarkan sifatnya dapat
dibedakan menjadi tiga yakni :
1) Bernilai
Strategis
Budaya yang dapat berimbas dalam kehidupan
sekolah secara dinamis. Misalnya memberi peluang pada warga sekolah untuk
bekerja secara efisien, disiplin dan tertib. Kultur sekolah merupakan milik
kolektif bukan milik perorangan, sehingga sekolah dapat dikembangkan dan
dilakukan oleh semua warga sekolah.
2) Memiliki Daya
Ungkit
Budaya yang memliki daya gerak akan mendorong
semua warga sekolah untuk berprestasi, sehingga kerja guru dan semangat belajar
siswa akan tumbuh karena dipacu dan di dorong, dengan dukungan budaya yang
memiliki daya ungkit yang tinggi. Misalnya kinerja sekolah dapat meningkat jika
disertai dengan imbalan yang pantas, penghargaan yang cukup, dan proporsi tugas
yang seimbang. Begitu juga dengan siswa akan meningkat semangat belajranya,
bila mereka diberi penghargaan yang memadai, pelayanan yang prima, serta
didukung dengan sarana yang memadai.
3) Berpeluang Sukses
Budaya yang berpeluang sukses adalah budaya
yang memiliki daya ungkit dan memiliki daya gerak yang tinggi. Hal ini sangat
penting untuk menumbuhkan rasa keberhasilan dan rasa mampu untuk melaksanakan
tugas dengan baik. Misalnya budaya gemar membaca. Budaya membaca di kalangan
siswa akan dapat mendorong mereka untuk banyak tahui tentang berbagai macam
persoalan yang mereka pelajari di lingkungan sekolah. Demikian juga bagi guru
mereka semakin banyak pengetahuan yang diperolah, tingkat pemahaman semakin
luas, semua ini dapat berlangsung jika disertai dengan kesadaran, bahwa mutu/
kualitas yang akan menentukan keberhasilan seseorang.
6.
Hal-hal Yang Perlu Dikembangkan Dalam
Menciptakan Budaya Sekolah Yang Unggul
Keberadaan budaya sekolah di dalam
sebuah sekolah merupakan urat nadi dari segala aktivitas yang dijalankan warga
sekolah mulai dari guru, karyawan, siswa dan orang tua. Budaya sekolah yang
didesain secara terstruktur, sistematis, dan tepat sesuai dengan kondisi sosial
sekolahnya, pada gilirannya bisa memberikan kontribusi yang positif bagi peningkatan
kualitas sumber daya manusia sekolah dalam menuju sekolah yang berkualitas.Ada
tiga hal yang perlu dikembangkan dalam menciptakan budaya sekolah yang
berkualitas, yaitu:
1.
Budaya keagamaan (religi) :
Menanamkan perilaku atau tatakrama yang tersistematis dalam
pengamalan agamanya masing-masing sehingga terbentuk kepribadian dan sikap yang
baik (akhlaqul Karimah)
2.
Bentuk Kegiatan :
Budaya Salam, Doa sebelum/sesudah belajar, Doa bersama, Sholat
Berjamaah (bagi yang beragama islam), peringatan hari besar keagamaan, dan
kegiatan keagamaan lainnya.
3.
Budaya kerjasama (team work) :
Menanamkan rasa kebersamaan dan rasa sosial terhadap sesama
melalui kegiatan yang dilakukan bersama. Bentuk Kegiatan: MOS, Kunjungan
Industri, Parents Day, Baksos, Teman
Asuh, Sport And Art, Kunjungan
Museum, Pentas Seni, Studi banding, Ekskul, Pelepasan Siswa, Seragam Sekolah,
Majalah Sekolah, Potency Mapping,
Buku Tahunan, PHBN, (Peringatan hari Besar Nasional), dan PORSENI.
4.
Budaya kepemimpinan (leadhership) :
Menanamkan jiwa kepemimpinan dan keteladanan dari sejak dinikepada
anak-anak. Bentuk Kegiatan : Budaya kerja keras, cerdas dan ikhlas, budaya
Kreatif; Mandiri & bertanggung jawab, Budaya disiplin, Ceramah Umum,
upacara bendera, Olah Raga Jumat Pagi, Studi Kepemimpinan Siswa, LKMS (Latihan
Keterampilan manajemen siswa), Disiplin siswa, dan OSIS.
2.14.
Pendidikan Masyarakat
a. Peranan Pendidikan Dalam Masyarakat
Sebagian besar
masyarakat modern memandang lembaga-lembaga pendidikan sebagai peranan kunci
dalam mencapai tujuan sosial Pemerintah bersama orang tua telah
menyediakan anggaran pendidikan yang diperlukan sceara besar-besaran untuk
kemajuan sosial dan pembangunan bangsa, untuk mempertahankan nilai-nilai
tradisional yang berupa nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan seperti rasa
hormat kepada orang tua, kepada pemimpin kewajiban untuk mematuhi hukum-hukum
dan norma-norma yang berlaku, jiwa patriotisme dan sebagainya.
Pendidikan juga diharapkan untuk memupuk rasa takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
meningkatkan kemajuan-kemajuan dan pembangunan politik, ekonomi, sosial dan
pertahanan keamanan. Pendek kata pendidikan dapat diharapkan untuk
mengembangkan wawasan anak terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya
dan pertahanan keamanan secara tepat dan benar, sehingga membawa kemajuan pada
individu masyarakat dan negara untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
Berbicara tentang
fungsi dan peranan pendidikan dalam masyarakat ada bermacam-macam pendapat, di
bawah ada tiga pendapat tentang fungsi pendidikan dalam masyarakat.
1.
Wuradji (1988) menyatakan bahwa pendidikan sebagai lembaga konservatif
mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Fungsi sosialisasi, (2) Fungsi
kontrol sosial, (3) Fungsi pelestarian budaya Masyarakat, (4) Fungsi latihan
dan pengembangan tenaga kerja, (5) Fungsi seleksi dan alokasi, (6) Fungsi
pendidikan dan perubahan sosial, (7) Fungsi reproduksi budaya, (8) Fungsi
difusi kultural, (9) Fungsi peningkatan sosial, dan (10) Fungsi modifikasi
sosial. ( Wuradji, 1988, p. 31-42).
2.
Jeane H. Ballantine (1983) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam
masyarakat itu sebagai berikut: (1) fungsi sosialisasi, (2) fungsi seleksi,
latihan dan alokasi, (3) fungsi inovasi dan perubahan sosial, (4) fungsi
pengembangan pribadi dan sosial (Jeanne H. Ballantine, 1983, p. 5-7).
3.
Meta Spencer dan Alec Inkeles (1982) menyatakan bahwa fungsi pendidikan
dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) memindahkan nilai-nilai budaya, (2)
nilai-nilai pengajaran, (3) peningkatan mobilitas sosial, (4) fungsi
stratifikasi, (5) latihan jabatan, (6) mengembangkan dan memantapkan hubungan
hubungan sosial (7) membentuk semangat kebangsaan, (8) pengasuh bayi.
Dari tiga pendapat
tersebut di atas, tidak ada perbedaan tetapi saling melengkapi antara pendapat
yang satu dengan pendapat yang lain.
1)
Fungsi Sosialisasi.
Di dalam masyarakat
pra industri, generasi baru belajar mengikuti pola perilaku generasi sebelumnya
tidak melalui lembaga-lembaga sekolah seperti sekarang ini. Pada masyarakat pra
industri tersebut anak belajar dengan jalan mengikuti atau melibatkan diri
dalam aktivitas orang-orang yang telah lebih dewasa. Anak-anak mengamati apa
yang mereka lakukan, kemudian menirunya dan anak-anak belajar dengan berbuat
atau melakukan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa.
Untuk keperluan tersebut anak-anak belajar bahasa atau simbol-simbol yang
berlaku pada generasi tua, menyesuai kan diri dengan nilai-nilai yang berlaku,
mengikuti pandangannya dan memperoleh keterampilan-keterampilan tertentu yang
semuanya diperoleh lewat budaya masyarakatnya. Di dalam situasi seperti itu
semua orang dewasa adalah guru, tempat di mana anak-anak meniru, mengikuti dan
berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih dewasa. Mulai
dari permulaan, anak-anak telah dibiasakan berbuat sebagaimana dilakukan oleh
generasi yang lebih tua. Hal itu merupakan bagian dari perjuangan hidupnya.
Segala sesuatu yang dipelajari adalah berguna dan berefek langsung bagi
kehidupannya sehari-hari. Hal ini semua bisa terjadi oleh karena budaya yang
berlaku di dalam masyarakat, di mana anak menjadi anggotanya, adalah bersifat
stabil, tidak berubah dan waktu ke waktu, dan statis.
Dengan semakin majunya
masyarakat, pola budaya menjadi lebih kompleks dan memiliki diferensiasi antara
kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, antara yang dianut oleh
individu yang satu dengan individu yang lain. Dengan perkataan lain masyarakat
tersebut telah mengalami perubahan-perubahan sosial. Ketentuan-ketentuan untuk
berubah ini sebagaimana telah disinggung di halaman-halaman situs web ini
sebelumnya, mengakibatkan terjadinya setiap transmisi budaya dan satu generasi
ke generasi berikutnya selalu menjumpai permasalahan-permasalahan. Di dalam
suatu masyarakat sekolah telah melembaga demikian kuat, maka sekolah menjadi
sangat diperlukan bagi upaya menciptakan/melahirkan nilai-nilai budaya
baru (cultural reproduction).
Dengan berdasarkan
pada proses reproduksi budaya tersebut, upaya mendidik anak-anak untuk
mencintai dan menghormati tatanan lembaga sosial dan tradisi yang sudah mapan
adalah menjadi tugas dari sekolah. Termasuk di dalam lembaga-lembaga sosial
tersebut diantaranya adalah keluarga, lembaga keagamaan, lembaga pemerintahan
dan lembaga-lembaga ekonomi. Di dalam permulaan masa-masa pendidikannya,
merupakan masa yang sangat penting bagi pembentukan dan pengembangan
pengadopsian nilai-nilai ini. Masa-rnasa pembentukan dan pembangunan upaya
pengadopsian ini dilakukan sebelum anak-anak mampu memiliki kemampuan kritik
dan evaluasi secara rasional.
Sekolah-sekolah
menjanjikan kepada anak-anak gambaran tentang apa yang dicita-citakan oleh
lembaga-lembaga sosialnya. Anak-anak didorong, dibimbing dan diarahkan untuk
mengikuti pola-pola prilaku orang-orang dewasa melalui cara-cara ritual
tertentu, melalui drama, tarian, nyanyian dan sebagainya, yang semuanya itu
merupakan ujud nyata dari budaya masyarakat yang berlaku. Melalui cara-cara
seperti itu anak. anak dibiasakan untuk berlaku sopan terhadap orang tua,
hormat dan patuh terhadap norma-norma yang berlaku. Lembaga-lembaga agama
mengajarkan bagaimana penganutnya berbakti kepada Tuhannya berdasarkan tata
cara tertentu.
Lembaga-lembaga
pemerintahan mengajarkan bagaimana anak kelak apabila telah menjadi warga
negara penuh, memenuhi kewajiban-kewajiban negara, memiliki jiwa patriotik dan
memiliki kesadaran berwarga negara. Semua ajaran dan pembiasaan tersebut pada
permulaannya berlangsung melalui proses emosional, bukan proses kognitif.
Dalam proses belajar
untuk mengikuti pola acuan bagi tatanan masyarakat yang telah mapan dan
melembaga, anak-anak belajar untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai tradisional
di mana institusi tradisional tersebut dibangun. Keseluruhan proses di mana
anak-anak belajar mengikuti pola-pola dan nilai-nilai budaya yang berlaku
tersebut dinamakan proses sosialisasi. Proses sosialisasi tersebut harus
beijalan dengan wajar dan mulus oleh karena kita semua mengetahui betapa
pentingnya masa-masa permulaan proses sosialisasi. Orang tua dan keluarga
berharap sekolah dapat melaksanakan proses sosialisasi tersebut dengan baik.
Dalam lembaga-lembaga ini guru-guru di sekolah dipandang sebagai model dan
dianggap dapat mengemban amanat orang tua (keluarga dan masyarakat) agar
anak-anak- memahami dan kemudian mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakatnya.
Willard Waller dalam hubungan ini menganggap sekolah, terutama di daerah-daerah
pedesaan sebagai museum yang menyimpan tentang nilai-nilai kebajikan (mnuseum
of virture) (Pardius and Parelius, 1978; p. 24). Dengan anggapan
tersebut, masyarakat menginginkan sekolah beserta staf pengajarnya harus mampu
mengajarkan nilai-nilai kebajikan dari masyarakatnya (the old viture), atau
keseluruhan nilai-nilai yang diyakini dan menjadi anutan dan pandangan
masyarakatnya. Untuk memberikan pendidikan mengenai kedisiplinan, rasa hormat
dan patuh kepada pemimpin, kemauan kerja keras, kehidupan bernegara dan
kehidupan demokrasi, menghormati, nilai-nilai perjuangan bangsa, rasa keadilan
dan persamaan, aturan-aturan hukum dan perundang-undangan dan sebagainya,
kiranya lembaga utama yang paling berkompeten adalah lembaga pendidikan.
2)
Fungsi kontrol sosial
Sekolah dalam
menanamkan nilai-nilai dan loyalitas terhadap tatanan tradisional masyarakat
harus juga berfungsi sebagai lembaga pelayanan sekolah untuk melakukan
mekanisme kontrol sosial. Durheim menjelaskan bahwa pendidikan moral dapat
dipergunakan untuk menahan atau mengurangi sifat-sifat egoisme pada anak-anak
menjadi pribadi yang merupakan bagian masyarakat yang integral di mana anak
harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial. (Jeane H. Bellatine, 1983,
p.8). Melalui pendidikan semacam ini individu mengadopsi nilai-nilai sosial dan
melakukan interaksi nilai-niiai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
Selanjutnya sebagai individu sebagai anggota masyarakat ia juga dituntut untuk
memberi dukungan dan berusaha untuk mempertahankan tatanan sosial yang berlaku.
Sekolah sebagai
lembaga yang berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan tatanan-tatanan
sosial serta kontrol sosial mempergunakan program-program asimilasi dan nilai-nilai
subgrup beraneka ragam, ke dalam nilai-nilai yang dominan yang memiliki dan
menjadi pola anutan bagi sebagiai masyarakat.
3)
Fungsi pelestarian budaya masyarakat.
Sekolah di samping
mempunyai tugas untuk mempersatu budaya-budaya etnik yang beraneka ragam juga
harus melestanikan nilai-nilai budaya daerah yang masih layak dipertahankan
seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekerti dan suatu upaya
mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah dan sebagainya.
4)
Fungsi seleksi, latihan dan pengembangan tenaga kerja.
Jika kita amati apa
yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka menyiapkan tenaga kerja untuk suatu
jabatan tertentu, maka di sana akan terjadi tiga kegiatan yaitu kegiatan,
latihan untuk suatu jabatan dan pengembangan tenaga kerja tertentu.
Proses seleksi ini
terjadi di segala bidang baik mau masuk sekolah maupun mau masuk pada jabatan
tertentu. Untuk masuk sekolah tertentu harus mengikuti ujian tertentu, untuk
masuk suatu jabatan tertentu harus mengikuti testing kecakapan tertentu.
5)
Fungsi pendidikan dan perubahan sosial.
Pendidikan mempunyai
fungsi untuk mengadakan perubahan sosial mempunyai fungsi (1) melakukan
reproduksi budaya, (2) difusi budaya, (3) mengembangkan analisis kultural
terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional, (4) melakukan perubahan-perubahan
atau modifikasi tingkat ekonomi sosial tradisional, dan (5) melakukan
perubahan-perubahan yang lebih mendasar terhadap institusi-institusi
tradisional yang telah ketinggalan.
Sekolah berfungsi
sebagai reproduksi budaya menempatkan sekolah sebagai pusat penelitian dan
pengembangan. Fungsi semacam ini merupakan fungsi pada perguruan tinggi. Pada
sekolah-sekolah yang lebih rendah, fungsi ini tidak setinggi pada tingkat
pendidikan tinggi.
Pada masa-masa proses
industrialisasi dan modernisasi pendidikan telah mengajarkan nilai-nilai serta
kebiasaan-kebiasaan baru, seperti orientasi ekonomi, orientasi kemandirian,
mekanisme kompetisi sehat, sikap kerja keras, kesadaran akan kehidupan keluarga
kecil, di mana nilai-nilai tersebut semuanya sangat diperlukan bagi pembangunan
ekonomi sosial suatu bangsa. Usaha-usaha sekolah untuk mengajarkan sistem nilai
dan perspektif ilmiah dan rasional sebagai lawan dan nilai-nilai dan pandangan
hidup lama, pasrah dan menyerah pada nasib, ketiadaan keberanian menanggung
resiko, semua itu telah diajarkan oleh sekolah sekolah sejak proses modernisasi
dari perubahan sosial Dengan menggunakan cara-cara berpikir ilmiah, cara-cara
analisis dan pertimbangan-pertimbangan rasional serta kemampuan evaluasi yang kritis
orang akan cenderung berpikir objektif dan lebih berhasil dalam menguasai alam
sekitarnya.
Lembaga-lembaga
pendidikan disamping berfungsi sebagai penghasil nilai-nilai budaya baru juga
berfungsi penghasil nilai-nilai budaya baru juga berfungsi sebagai difusi
budaya (cultural diffission). Kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial
yang kemudian diambil tentu berdasarkan pada hasil budaya dan difusi budaya.
Sekolah-sekolah tersebut bukan hanya menyebarkan penemuan-penemuan dan
informasi-informasi baru tetapi juga menanamkan sikap-sikap, nilai-nilai dan
pandangan hidup baru yang semuanya itu dapat memberikan kemudahan-kemudahan
serta memberikan dorongan bagi terjadinya perubahan sosial yang berkelanjutan.
Fungsi pendidikan
dalam perubahan sosial dalam rangka meningkatkan kemampuan analisis kritis
berperan untuk menanamkan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai baru tentang cara
berpikir manusia. Pendidikan dalam era abad modern telah berhasil menciptakan
generasi baru dengan daya kreasi dan kemampuan berpikir kritis, sikap tidak
mudah menyerah pada situasi yang ada dan diganti dengan sikap yang tanggap
terhadap perubahan. Cara-cara berpikir dan sikap-sikap tersebut akan melepaskan
diri dari ketergantungan dan kebiasaan berlindung pada orang lain, terutama
pada mereka yang berkuasa. Pendidikan ini terutama diarahkan untuk mempenoleh
kemerdekaan politik, sosial dan ekonomi, seperti yang diajukan oleh Paulo
Friere. Dalam banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju, pendidikan
orang dewasa telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga masalah kemampuan
kritis ini telah berlangsung dengan sangat intensif. Pendidikan semacam itu
telah berhasil membuka mata masyarakat terutama didaerah pedesaan dalam
penerapan teknologi maju dan penyebaran penemuan baru lainnya.
Pengaruh dan upaya
pengembangan berpikir kritis dapat memberikan modifikasi (perubahan) hierarki
sosial ekonomi. Oleh karena itu pengembangan berpikir knitis bukan saja efektif
dalam pengembangan pnibadi seperti sikap berpikir kritis, juga berpengaruh
terhadap penghargaan masyarakat akan nilai-nilai manusiawi, perjuangan ke arah
persamaan hak-hak baik politik, sosial maupun ekonomi. Bila dalam masyarakat
tradisional lembaga-lembaga ekonomi dan sosial didominasi oleh kaum bangsawan
dan golongan elite yang berkuasa, maka dengan semakin pesatnya proses
modernisasi tatanan-tatanan sosial ekonomi dan politik tersebut diatur dengan
pertimbangan dan penalaran-penalaran yang rasional. Oleh karena itu timbullah
lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik yang berasaskan keadilan,
pemerataan dan persamaan. Adanya strata sosial dapat terjadi sepanjang
diperoleh melalui cara-cara objektif dan keterbukaan, misalnya dalam bentuk
mobilitas vertikal yang kompetitif.
Berdasarkan
penjelasan sebelumnya, dari lahir sampai mati manusia hidup sebagai anggota
masyarakat. Hidup dalam masyarakat berarti adanya interaksi sosial dengan
orang-orang di sekitar dan dengan demikian mengalami pengaruh dan mempengaruhi
orang lain. Interaksi sosial sangat utama dalam tiap masyarakat.
Manusia adalah makhluk
sosial. Ia hidup dalam hubungannya dengan orang lain dan hidupnya bergantung
pada orang lain. Karena itu manusia tak mungkin hidup layak di luar masyarakat.
Masyarakat sangat
luas dan dapat meliputi seluruh umat manusia. Masyarakat terdiri atas berbagai
kelompok, yang besar maupun kecil tergantung dari jumlah anggota kelompoknya.
Masayarakt secara umum merupakan suatu kelompok organisasi yang luas atau yang
paling besar yang terdiri sub-sub kelompok lain.
Interaksi
masyarakat tidak terlepas dari kebudayaan. Berkat kebudayaan kita berbahasa
Indonesia, bukan berbahasa Inggris, menghormati sang Saka Merah Putih, kima
makan nasi menggunakan sendok-garpu bukan menggunakan sumpit. Demikian juga
seorang yang berbahasa Sunda, Batak, Minahasa, menghargai gamelan, tortor dan
lainnya. Itu semua merupakan interaksi individu dengan kebudayaan masyarakat.
Latihan yang diterima oleh anggota baru tentang cara-cara hidup suatu
masyarakat berkat interaksi dengan lingkungannya disebut pengaruh kebudayaan
atas individu.
Hubungan antara
individu itu bukan sepihak melainkan timbal balik. Kebudayaan mempengaruhi
individu dengan berbagai cara akan tetapi individu juga mempengaruhi kebudayaan
sehingga terjadi perubahan sosial. Kebudayaan dapat dipandang sebagai cara-cara
mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Namun tiap masyarakat memilih cara
yang dianggap paling sesuai sehingga tidak ada dua masyarakat yang sama
kebudayaannya.
Kebudayan
dipengaruhi oleh lingkungan fisik seperti iklim, topografi, kekayaan alam, dan
sebagainya. Kebudayaan daerah tropis akan berbeda dengan kebudayaan di daerah
dingin, kebudayaan di daerah gurun berbeda dengan kebudayaan daerah yang
berhutan.
Kebudayaan juga
dipengaruhi oleh kontak dengan kebudayaan lain yang dipercepat oleh
perkembangan komunikasi dan transportasi. Yang dipinjam biasanya hal-hal yang
berguna untuk memcahkan masalah-masalah atau sebagi alat untuk mencapai tujuan
masyarakat.
Dalam kebudayaan
di masyarakat dapat dibedakan dengan kebudayaan eksplisit ang dapat diamati
secara langsung dalam kelakuan verbal maupun non verbal pada anggota-anggota
masyarakat. Kelakuan eksplisit misalnya dapat kita lihat pada kelakuan dua
orang atau lebih dalam situasi normal menurut peranan masing-masing misalnya
interaksi antara suami-istri, orang tua-anak, guru-murid, atasn-bawahan, dan
sebaginya. Kebudayaan implisist dalam masyarakat terdiri atas kepercayaan,
nilai-nilai dan norma-norma yang dapat di tafsirkan ahli antropologi untuk
menjelaskan berbagai kelakuan anggota masyarakat.
Dengan nilai kebudayaan
anggota masyarakat mengetahui apakah yang layak, pantas, baik, atau seharusnya.
Nilai-nilai dapat bersifat positif yakni apa yang diinginkan dan negatif yankni
apa yang tidak diinginkan, misalnya soal kebersihan dan kesopanan, atau soal
penipuan dan kekerasan.
Dengan
norma-norma dimaksud aturan-aturan kelakuan yang diterima oleh masyarakat.
Diantaranya ada kebiasaan-kebiasaan seperti soal pakaian, adat perkawinan, dan
sebagainya.
Dalam tiap
kelompok, keluarga, sekolah, masyarakat terdapat cara-cara berpikir dan berbuat
yang diterima dan diharapkan oleh setiap anggota kelompok atau masyarakat. Pola
kelakuan yang secara umum terdapat dalam suatu masyarakat disebut kebudayaan.
Kebudayaan meliputi keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, keterampilan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan manusia sebagai anggota masyarakat.
Aturan-aturan
pendidikan dalam masyarakat merupakan interaksi antara manusia dengan
lingkungannya, yang akan membentuk manusia sesuai dengan kebudayaan yang
dipakai dalam masyarakat tersebut. Pendidikan setiap kelompok masyarakat akan
berbeda. Pendidikan akan tercermin pada perbuatan-perbuatan atau tingkah laku
individu.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Pranata Pendidikan terletak pada upaya sosialisasi, sehingga masyarakat
memiliki kemampuan dan ciri-ciri pribadi. Pendidikan adalah suatu proses yang
terjadi karena interaksi berbagai faktor, yang menghasilkan penyadaran diri dan
lingkungan. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan
bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Undang-undang ini mengungkapkan
satu sistem yang :
a. Berakar pada kebudayaan nasional dan berdasarkan
Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945
b. Merupakan satu keseluruhan dan dikembangkan untuk
ikut berusaha mencapai tujuan nasional
c. Mencakup, baik jalur pendidikan sekolah maupun jalur
pendidikan luar sekolah
d. Mengatur, bahwa jalur pendidikan sekolah terdiri
atas 3 (tiga) jenjang utama
e. Mengatur, bahwa kurikulum, peserta didik dan tenaga
kependidikan, terutama guru, dosen atau tenaga pengajar, merupakan tiga unsur
yang tidak dapat dipisahkan
f.
Mengatur secara terpusat
(sentralisasi), namun penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan
dilaksanakan secara tidak terpusat (desentralisasi)
g. Menyelenggarakan satuan dan kegiatan pendidikan
sebagai tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan Pemerintah
h. Mengatur, bahwa satuan dan kegiatan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dan masyarakat diperlakukan dengan penggunaan
ukuran yang sama
i.
Mengatur, bahwa satuan dan
kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memiliki kebebasan
untuk menyelenggarakannya sesuai dengan ciri atau kekhususan masing-masing
sepanjang ciri itu tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara
j.
memudahkan peserta didik memperoleh pendidikan yang
sesuai dengan bakat, minat dan tujuan yang hendak dicapai.
Budaya
adalah suatu hasil dari budi dan atau daya, cipta, karya, karsa, pikiran dan
adat istiadat manusia yang secara sadar maupun tidak, dapat diterima sebagai
suatu perilaku yang beradab.
Budaya lokal terdiri dari budaya
hindu-budha, dan islam. Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi
dengan; pertama agama memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya,
nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Kedua, agama
dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia
mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan
hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitem nilai dan simbol
agama.
Pendidikan dalam latar budaya nasional
yaitu Indonesia, berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Pendidikan budaya nasional
terdiri dari jenjang-jenjang pendidikan baik formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan internasional di Indonesia bukan sekedar
pendidikan yang menggunakan bahasa internasional. Pendidikan internasional
harus dimaknai dengan pendidikan yang menjadikan anak didiknya berpikir secara
terbuka dan internasional, open and
international minded. International
minded dimana di dalamnya para anak didiknya kelak akan menjadi manusia
yang ‘berwarga negara internasional’ atau istilahnya sebagai global citizen.
Pola
pendidikan pada negara-negara kontemporer berawal dari agama, yaitu pendidikan
gereja, semua aturan-aturan pendidikan berdasarkan nilai dan norma agama
katolik, dan diserahkan pada pastor atau pendeta.
Organisasi
secara etimologis tubuh atau alat tubuh, aturan, susunan, perkumpulan dari
kelompok tertentu dengan dasar ideologi yang sama.
Organisasi
secara terminologis organisasi adalah kesatuan sosial yang dikoordinasikan
secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasikan, yang
bekerja atas dasar yang relatif terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan
bersama atau sekelompok tujuan.
Pranata pendidikan dalam organisasi
dilihat dari 3 bagian yaitu :
1.
Budaya Keluarga
Dalam awal siklus perkembangan kehidupan seorang
individu, secara nyata keluarga merupakan lembaga pertama yang dikenalinya. Keluarga merupakan suatu lembaga atau unit sosial terkecil di
masyarakat yang terbentuk melalui perkawinan yang sah biasanya terdiri atas
ayah, ibu dan anak yang hidup disuatu tempat.
2.
Budaya Sekolah
Budaya sekolah sebagai sekumpulan nilai yang
melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang
dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan
masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau
watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas.
3.
Budaya Organisasi
Masyarakat sangat luas dan dapat meliputi
seluruh umat manusi. Masyarakat terdiri atas berbagai kelompok, yang besar
maupun kecil tergantung dari jumlah anggota kelompoknya. Masayarakt secara umum
merupakan suatu kelompok organisasi yang luas atau yang paling besar yang
terdiri sub-sub kelompok lain.
Dalam tiap kelompok, keluarga, sekolah,
masyarakat terdapat cara-cara berpikir dan berbuat yang diterima dan diharapkan
oleh setiap anggota kelompok atau masyarakat. Pola kelakuan yang secara umum
terdapat dalam suatu masyarakat disebut kebudayaan. Kebudayaan meliputi
keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, keterampilan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kebiasaan manusia sebagai anggota masyarakat.
Aturan-aturan pendidikan dalam masyarakat
merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya, yang akan membentuk
manusia sesuai dengan kebudayaan yang dipakai dalam masyarakat tersebut.
Pendidikan setiap kelompok masyarakat akan berbeda. Pendidikan akan tercermin
pada perbuatan-perbuatan atau tingkah laku individu.
3.2.
Saran
1. Dalam mendidik
anak, organisasi keluarga harus lebih di perhatikan oleh para orang tu, karena
pendidikan dalam keluarga merupakan pondasi untuk menjadikan anak sebagai generasi
penerus bangsa.
2. Sekolah-sekolah
di Indonesia yang bertaraf internasional bukan merupakan sekolah yang
mementingkan budaya asing, namun tujuannya adalah untuk membuka wawasan anak
mengenai kehidupan luar, namun dengan tidak mengesampingan budaya lokal
sendiri, yaitu budaya Indonesia.
3. Pendidikan agama
merupakan pendidikan yang penting bagi anak, terutama untuk anak pada usia
dini.
4. Untuk para guru
dalam proses pembelajaran diharapkan untuk tidak lupa memasukan nilai dan
norma-norma agama, dan kebudayaan lokal, karena itu merupakan karakteristik
pendidikan di Indonesia.
0 comments: